"Raven, kenapa dia juga dibawa ke sini?!" tuntut Rebecca yang menatap kesal ke arah Maura, serta jemari gadis itu yang digenggam oleh Raven. Rebecca tengah asyik berbaring di ranjang mewah berukuran kingsize menunggu pria itu, dan ternyata malah kejutan yang tak menyenangkan yang ia dapati. Seringai tipis penuh arti terlukis di wajah Raven melihat ekspresi kecewa yang kentara di wajah Rebecca. "Aku membawa Moora, karena kita akan memainkan sebuah permainan yang sangat seru," sahutnya sambil kembali menarik tangan Maura dan berjalan mendekat ke arah ranjang. "Aku tidak mau, Tuan Raven. Lepaskan aku!" Maura pun sontak berusaha melepaskan diri dari cengkraman Raven, menolak untuk menjadi bagian permainan entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. "Diamlah, Moora!" Raven memerangkap tubuh Maura dalam pelukan erat, hingga gadis itu pun menjadi tak berkutik. "Kamu ingin pergi dari Mansion ini kan? Baik, aku akan ijinkan asalkan kamu mau ikut dalam permainan." Maura pun se
"Hei, Sugar Cookie? Sampai kapan kamu mau terus tertidur, hm?" Suara berat yang mengalun pelan di telinganya serta bibir lembut yang mengecup dadanya, membuat Maura mulai membuka mata dengan sangat perlahan. Uh, kepalanya masih terasa berat dan pusing sekali. Untuk beberapa saat, batin Maura masih berusaha keras untuk mencerna semuanya, dan juga untuk mencerna yang telah terjadi sebelumnya. Maniknya yang masih sayu pun serta merta menoleh ke bawah, dimana kepala bersurai coklat lebat itu tampak asyik bergerilya di dadanya. "Tuan Raven..." Raven mendongak ketika mendengar nada lirih yang memanggil namanya. "Ah, akhirnya kamu sadar juga," cetusnya dengan tersenyum samar. Pria itu merayap di atas tubuh Maura, untuk memindahkan kecupan yang semula mendarat dada Maura, kini ke bibir gadis itu. Namun karena kepalanya yang masih pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas, Maura tak ikut membalas ciuman Raven seperti biasa. Terutama ketika sebuah kilasan memori tiba-tiba s
Pagi ini Raven bersama Maura bersama-sama sedang berada di ruang kerja, lokasi dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Raven sedang mengetik konsep naskah untuk novel barunya, sedangkan Maura diminta untuk menemani pria itu. Dan bagi Maura, ini adalah saat-saat yang paling menyenangkan selama ia berada di Pulau dan Mansion ini, karena Raven mengijinkan gadis itu membaca-baca semua buku yang ditulisnya. Dengan berbinar-binar, gadis itu langsung meraup lima buku karangan Raven King yang ia bawa sekaligus untuk ditaruh di atas meja, lalu dengan santainya ia pun berselonjor di sofa empuk. Tak ada yang bersuara di antara mereka, hanya dengung lembut pendingin ruangan serta ketukan pelan keyboard laptop Raven yang mengisi udara. Maura sendiri telah larut dan tenggelam dalam bacaannya. Kali ini ia memutuskan untuk membaca karya Raven yang berjudul "The Greedy", setelah beberapa saat bingung memutuskan buku mana yang akan lebih dulu ia baca. Setelah hampir dua jam duduk sa
BRAAAKK!! Suara meja yang dipukul dengan keras itu seketika mengagetkan wanita yang tengah duduk di sofa sambil merokok. Ia menatap pria tua dengan rambut putih karena uban, yang baru saja menggebrak meja yang ada di depannya dengan tongkat dari besi. "Mana janjimu, Jane?!" Bentak pria itu seraya melayangkan tatapan gusar. "Mana gadis yang kuminta, hah?! Kenapa kau malah memberiku gadis yang berbeda?!" Wanita yang dipanggil Jane itu pun hanya bisa mendesah berat. Ia mematikan rokoknya, lalu menatap kembali pria tua itu. "Maaf. Tapi aku bisa mengganti dengan gadis yang jauh lebih cantik dan seksi dibandingkan Maura, Tuan Daniel," sahut wanita itu. Ia benar-benar tak habis pikir dengan dua pelanggannya ini, Daniel dan Raven. Mereka itu tampak sama-sama tergiur dengan Maura, si gadis Asia Tenggara berambut hitam dengan bola mata yang sama hitamnya. Well, Maura memang cantik, tapi masih banyak gadis yang lebih cantik darinya. Bahkan Maura termasuk "biasa", jika dibandi
"Apa benar Tuan Raven-lah yang mematahkan jari tangannya, hanya karena karena Miss Rebecca telah mengintimidasi Miss Maura??" Maura sontak menutup mulutnya dengan tangan, untuk meredam teriakan terkejut yang hampir lolos dari bibirnya. Tubuhnya yang masih bersandar diam di dinding pun seketika terpaku. Dingin yang serta merta menyergap batinnya membuat gadis itu membeku. Raven... mematahkan jari Rebecca!? Apa itu benar?? Apa benar Raven telah melakukan hal mengerikan seperti itu??! ["Aku bukan cuma mengusir Rebecca, tapi juga memberikan sedikit hukuman agar dia jera."] Manik gelap Maura pun membelalak nanar sempurna, saat ingatannya memutar kembali perkataan Raven. Yaitu ketika Maura bertanya kemana gerangan Rebecca. Ya Tuhan. Rasanya ingin sekali Maura menyerbu masuk ke dalam ruangan santai itu, untuk menginterogasi dua orang pelayan yang telah membuatnya kembali menjadi sangat ketakutan kepada Raven! "Jangan menyebarkan gosip, Freya. Apa kamu ingin dipecat oleh Tuan R
"Apa kamu takut padaku, Moora?" Maura mengerjap pelan, berusaha mengusir efek membingungkan dari sorot kelabu Raven yang seperti telah menghipnotis dirinya. "Entahlah, Tuan Raven. Apakah aku harus takut padamu?" balas Maura akhirnya, pelan dan ragu. Senyum yang tercipta di wajah Raven kali ini agak lebih lebar dari sebelumnya, meskipun masih juga tetap samar dan tak terbaca seperti biasa. "Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kamu menggemaskan sekali, Sugar Cookie." Raven mendaratkan sebuah kecupan lembut dan sekilas di bibir Maura. Maura terkesiap saat merasakan tubuhnya yang melayang dan kedua kakinya yang tak lagi menyentuh tanah. Gadis itu baru menyadari bahwa Raven ternyata telah menggendongnya ala bridal. "Luka-luka di kakimu harus segera diobati agar tidak infeksi. Lain kali jika ingin bermain di pantai, pakailah sandal yang nyaman. Dan jangan lupa untuk meminta ijin padaku terlebih dulu." Maura pun akhirnya mengangguk, karena melihat Raven yang tampak masih mena
Dua pria berbeda usia itu sedang duduk saling berhadapan, hanya dibatasi oleh sebuah meja kopi dari kayu tebal dengan bagian atasnya dari kaca. Dua pasang mata yang berbeda warna saling beradu tatap, seakan sama-sama mengukur kekuatan dan mencari kelemahan masing-masing. Selama beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara mereka. Hingga akhirnya pria yang jauh lebih tua pun mengeluarkan suara. "Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Raven. Terakhir kalinya mungkin... saat usiamu masih enam belas tahun?" Pria yang jauh lebih muda itu pun melengos. Sebenarnya ia malas sekali berbicara pria tua bangka mesum yang juga menginginkan Maura ini. "Mungkin justru masih kurang lama, Daniel," sahut Raven tanpa merasa perlu untuk menutupi nada sarkas di dalamnya. "Skip saja basa-basinya. Mau apa kemari?!" Daniel pun tersenyum licik. Hilang sudah wajah ramah bersahabat yang sebelumnya ia tampilkan sebagai topeng untuk menutupi sikap aslinya. "Maura." Pria tua itu pun berucap.
"Aku mengenal Helen, ibumu. Dan aku pun tahu dimana sekarang dia berada." *** Raven bisa merasakan pergerakan kaku dari tubuh lembut yang saat ini sedang ia gendong dengan gaya koala, setelah mendengar perkataan Daniel barusan. Manik asap kelabunya pun ikut mengamati wajah Maura yang tampak terpaku kepada Daniel. Kening gadis itu berkerut halus, maniknya pun mulai berkaca-kaca. Maura menelan ludah dengan susah payah. "Da-darimana Anda bisa tahu jika~~" "Aku akan memberitahumu segalanya, Maura. Segalanya tentang Helen. Kamu pasti sangat merindukan ibumu kan?" Potong Daniel seraya berdiri dan merapikan jasnya, diam-diam mulai merasa di atas angin karena berhasil merebut perhatian Maura. "Ikutlah bersamaku, dan semua informasi mengenai Helen akan kuberikan padamu," bujuk pria itu sambil tersenyum. Maura mengerjap pelan saat nama yang selalu ia rindukan itu kembali terucap. Helen, adalah ibu kandungnya. Wanita dengan senyum yang cerah, suara yang lembut dan pelukan hang
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang
Di dalam kamar yang diterangi cahaya remang dari lampu di sudut ruangan, Maura berbaring di atas ranjang dengan tubuhnya diselimuti dalam kehangatan Raven. Napas pria itu berhembus dan terasa panas di lehernya, sementara jemarinya dengan lembut mengusap kulitnya yang terasa seperti sutra. Setiap sentuhan Raven membuat Maura tersentak dalam sensasi yang membakar, dengan desahannya yang penuh mengisi ruang di antara mereka. Raven menatap wajah Maura yang merona karena tak berdaya dalam gairah, lalu bibirnya pun melengkung membentuk senyuman puas. "Apa kamu tahu, Moora? Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku hanya untuk memujamu seperti ini," bisiknya seraya mengecup lembut bibir Maura, yang dengan pasrah menerima ciumannya. Maura merintih lirih saat bibir panas Raven kini berpindah untuk mencium dadanya dengan penuh nafsu, lalu menggelitik lekukan lembut itu dengan usapan lidahnya. Ia sungguh tergila-gila oleh rasa manis serta aroma kulit Maura yang selalu terasa memabukkan.