Buat yang belum baca sinopsis dan jadi bingung, ibunya Maura itu pergi dan menghilang entaj kemana waktu Maura masih kecil, ya...
"Aku mengenal Helen, ibumu. Dan aku pun tahu dimana sekarang dia berada." *** Raven bisa merasakan pergerakan kaku dari tubuh lembut yang saat ini sedang ia gendong dengan gaya koala, setelah mendengar perkataan Daniel barusan. Manik asap kelabunya pun ikut mengamati wajah Maura yang tampak terpaku kepada Daniel. Kening gadis itu berkerut halus, maniknya pun mulai berkaca-kaca. Maura menelan ludah dengan susah payah. "Da-darimana Anda bisa tahu jika~~" "Aku akan memberitahumu segalanya, Maura. Segalanya tentang Helen. Kamu pasti sangat merindukan ibumu kan?" Potong Daniel seraya berdiri dan merapikan jasnya, diam-diam mulai merasa di atas angin karena berhasil merebut perhatian Maura. "Ikutlah bersamaku, dan semua informasi mengenai Helen akan kuberikan padamu," bujuk pria itu sambil tersenyum. Maura mengerjap pelan saat nama yang selalu ia rindukan itu kembali terucap. Helen, adalah ibu kandungnya. Wanita dengan senyum yang cerah, suara yang lembut dan pelukan hang
Maura menjerit sekuat tenaga saat Raven mengangkat tubuhnya dari atas lantai dengan begitu mudahnya. Monster. Pria ini adalah monster! Maura sungguh tak menyangka jika di balik sosoknya yang tenang, tampan dan sangat terkenal sebagai penulis yang berbakat, Raven King sesungguhnya sangat kejam layaknya monster. Yang dengan mudahnya mematahkan tulang atau mengambil nyawa seseorang tanpa merasa berdosa sama sekali! Raven meletakkan tubuh Maura di atas ranjang, dan gadis itu pun berusaha menepis tangan Raven yang semula hendak menyentuh dadanya. Perutnya mual sekali serasa diaduk, dan ia pun takkan membiarkan pria itu menyentuhnya lagi! Raven seketika diam terpaku ketika melihat Maura yang bergerak menjauhi dirinya. Gadis itu beringsut ke sudut ranjang dan meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang terlipat. Manik asap kelabu pria itu memicing, memindai sekujur tubuh Maura yang tampak gemetar. "Moora," panggilnya dengan suara p
Akhirnya saat ini tiba juga. Maura menatap bayangannya sendiri yang terpantul di cermin dengan wajah melamun. Akhirnya ia bisa menuntaskan tugasnya sebagai gadis perawan yang dibeli oleh Raven, karena pria itu akan meng-klaim dirinya malam ini. Sejak ia terbangun siang hari tadi, Maura sama sekali belum bertemu dengan pria itu. Hanya Alberto yang menemuinya untuk mengingatkan Maura agar bersiap. Alberto juga bilang kalau Raven sedang bekerja dan tidak ingin diganggu. Apa Raven sedang menulis buku barunya? Menulis tentang... Maura? Semula Maura sangat senang dan bangga karena dirinya telah menjadi inspirasi untuk pria itu, tapi sekarang... entahlah, ia tak begitu yakin lagi. Maura bahkan sudah memutuskan untuk takkan pernah lagi membaca buku pria itu dan tak lagi mengidolakannya. Perutnya masih terasa mual setiap kali mengingat betapa ringannya Raven memerintahkan untuk menyabotase helikopter Daniel, yang bisa berdampak sangat fatal pada nyawa Daniel dan pilotnya! Dan M
Tak perlu menunggu lama, Maura pun segera menjulurkan kedua tangannya untuk mengalung di leher Raven, sebelum ia memagut bibir pria itu dengan lembut. Raven membiarkan Maura yang lebih dulu bergerak, ingin tahu sejauh apa gadis ini bisa membuatnya terpikat. Maura menyambut perintah Raven dengan penuh suka cita. Kali ini Raven membiarkannya bebas bersikap, sesuai dengan dirinya yang memang seharusnya bersikap menggoda. Gadis itu menyesap bibir Raven dan menjilatinya, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Raven untuk merayu seluruh isinya. Satu tangannya yang semula berada di leher Raven, kini mulai merayap turun ke dada bidang yang dipenuhi otot keras, untuk diusap dengan lembut. "Aaah... Moora." Ledakan euforia mengisi benak Maura ketika mendengar alunan suara serak milik Raven yang telah diliputi oleh gairah. Gadis itu pun memutuskan untuk semakin berani bertindak. Ciumannya kini tak lagi lembut, namun menuntut. Maura telah banyak belajar dari Raven, dan kini saatnya ia
"Miss Maura... bangunlah." Maura merasakan sesuatu yang perlahan menyentuh lengannya, menyertai sebuah suara yang akhirnya membuatnya membuka kedua mata yang terasa berat. Berat sekali. Dan... sakit. Sekujur tubuhnya sakit. "Ah, syukurlah Anda akhirnya bangun juga." Maura menatap seorang pelayan yang sedang berdiri di samping tempat tidur dan tersenyum padanya. Manik gadis itu pun kembali mengerjap pelan. "Apakah Anda bisa bangun? Mari saya bantu untuk jalan ke kamar mandi." Maura mengangguk. Pelayan itu pun membantunya untuk bangun. Maura mendesis pelan saat ia berubah posisi menjadi duduk, dan tekanan di panggulnya memberikan tusukan nyeri di bagian bawah tubuhnya. "Maaf, saya sudah membuat Anda makin kesakitan ya?" Maura menggeleng. Tentu saja bukan pelayan ini yang membuatnya kesakitan, tapi... Raven. Yang ganas sekali saat melakukannya. Namun Maura tahu ia tak boleh mengeluh, karena sesungguhnya Maura sendiri yang memperbolehkan pria itu untuk lepas kendali.
"Aku seolah bisa 'melihat' perasaanmu kepada Moora ini. Kamu seperti sedang jatuh cinta pada 'Moora' yang ada di dunia nyata, lalu mencoba melukiskannya dalam rangkaian kata di dalam buku. Apa aku benar, Raven?" Shailene tak sadar bahwa ia telah melemparkan sebuah pertanyaan kritis yang telah membuat kehebohan bagi para penggemar Raven King, terutama para wanita. Pertanyaan yang juga membuat Stefan, pria berkacamata yang menjadi Manajer sekaligus editor Raven ikut meradang. Stefan juga berada di studio, ikut mendengarkan talk show dengan perasaan geram. Padahal sebelumnya ia telah mewanti-wanti Shailene agar tidak menanyakan hal pribadi kepada Raven! Untuk beberapa saat yang sangat sangat singkat, pertanyaan Shailene itu membuat ekspresi Raven sempat berubah. Namun karena pria itu terlalu lihai menyembunyikannya, bahkan Shailene yang berada di dekatnya pun sama sekali tidak menyadari perubahan itu. Raven masih tampak berwajah datar seperti biasa. "Wow, Shailene. Bukankah
Maura membuka mulutnya bermaksud untuk menjerit, namun salah satu tangan pria itu yang semula mencengkram pinggangnya kini telah berpindah ke mulutnya. Hingga membuat suara gadis itu teredam oleh telapak tangan yang besar. Maura hanya bisa membelalakkan maniknya yang beradu dengan pria yang wajahnya mirip dengan Raven. "Ssstt... jangan berisik," guman pelan pria itu. "Raven sangat posesif dengan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Dia akan sangat murka jika mengetahui kita berduaan di tempat yang sepi ini, Nona. Kamu pasti sudah tahu kelakuannya jika sedang kesal kan?" Maura mengerjap dengan kelopak matanya yang bergetar, antara takut dengan pria asing di depannya, tapi juga memikirkan perkataannya yang tepat sekali menggambarkan sifat seorang Raven King. "Jika kamu berjanji tidak akan berteriak, maka aku akan melepaskan tanganku dari mulutmu," ucap pria itu lagi. Maura menganggukkan kepala, dan sedetik kemudian tangan besar itu pun lepas dari bibirnya. Untuk beberapa
"Hm? Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan, Sugar Cookie?" Maura menggeleng pelan dengan kedua bibirnya yang terkatup rapat. Di dalam benaknya terngiang kembali perkataan Rhexton saat mereka masih di dalam gudang. [Ingat, pertemuan kita ini adalah rahasia. Jangan sampai Raven tahu jika kamu tidak ingin melihatnya benar-benar murka...] Ya, Maura merasa harus tetap merahasiakan pertemuannya dengan Rhexton dari Raven. "Begitu ya? Jadi kamu benar-benar telah menjadi gadis yang penurut selama kutinggalkan?" Raven terus bertanya dengan satu tangannya yang masih tetap meremas lembut dada Maura. "Uuh-huum...." Tak sengaja Maura mengiyakan dengan desahan. Gadis itu menggigit bibirnya saat ibu jari Raven mulai menggoda bagian puncak dadanya dari balik bajunya. Munafik sekali. Maura merasa menjadi wanita hipokrit, yang akan melakukan apa saja agar bisa menjauh dari Raven, namun juga tak mampu mengelak bahwa sentuhan pria ini membuat sekujur tubuhnya panas dingin. Momen perci