janjinya malam hari up bab ke 2, ternyata sore jam 5 udah tayang dong ♡♡♡
"Apa benar Tuan Raven-lah yang mematahkan jari tangannya, hanya karena karena Miss Rebecca telah mengintimidasi Miss Maura??" Maura sontak menutup mulutnya dengan tangan, untuk meredam teriakan terkejut yang hampir lolos dari bibirnya. Tubuhnya yang masih bersandar diam di dinding pun seketika terpaku. Dingin yang serta merta menyergap batinnya membuat gadis itu membeku. Raven... mematahkan jari Rebecca!? Apa itu benar?? Apa benar Raven telah melakukan hal mengerikan seperti itu??! ["Aku bukan cuma mengusir Rebecca, tapi juga memberikan sedikit hukuman agar dia jera."] Manik gelap Maura pun membelalak nanar sempurna, saat ingatannya memutar kembali perkataan Raven. Yaitu ketika Maura bertanya kemana gerangan Rebecca. Ya Tuhan. Rasanya ingin sekali Maura menyerbu masuk ke dalam ruangan santai itu, untuk menginterogasi dua orang pelayan yang telah membuatnya kembali menjadi sangat ketakutan kepada Raven! "Jangan menyebarkan gosip, Freya. Apa kamu ingin dipecat oleh Tuan R
"Apa kamu takut padaku, Moora?" Maura mengerjap pelan, berusaha mengusir efek membingungkan dari sorot kelabu Raven yang seperti telah menghipnotis dirinya. "Entahlah, Tuan Raven. Apakah aku harus takut padamu?" balas Maura akhirnya, pelan dan ragu. Senyum yang tercipta di wajah Raven kali ini agak lebih lebar dari sebelumnya, meskipun masih juga tetap samar dan tak terbaca seperti biasa. "Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kamu menggemaskan sekali, Sugar Cookie." Raven mendaratkan sebuah kecupan lembut dan sekilas di bibir Maura. Maura terkesiap saat merasakan tubuhnya yang melayang dan kedua kakinya yang tak lagi menyentuh tanah. Gadis itu baru menyadari bahwa Raven ternyata telah menggendongnya ala bridal. "Luka-luka di kakimu harus segera diobati agar tidak infeksi. Lain kali jika ingin bermain di pantai, pakailah sandal yang nyaman. Dan jangan lupa untuk meminta ijin padaku terlebih dulu." Maura pun akhirnya mengangguk, karena melihat Raven yang tampak masih mena
Dua pria berbeda usia itu sedang duduk saling berhadapan, hanya dibatasi oleh sebuah meja kopi dari kayu tebal dengan bagian atasnya dari kaca. Dua pasang mata yang berbeda warna saling beradu tatap, seakan sama-sama mengukur kekuatan dan mencari kelemahan masing-masing. Selama beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara mereka. Hingga akhirnya pria yang jauh lebih tua pun mengeluarkan suara. "Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Raven. Terakhir kalinya mungkin... saat usiamu masih enam belas tahun?" Pria yang jauh lebih muda itu pun melengos. Sebenarnya ia malas sekali berbicara pria tua bangka mesum yang juga menginginkan Maura ini. "Mungkin justru masih kurang lama, Daniel," sahut Raven tanpa merasa perlu untuk menutupi nada sarkas di dalamnya. "Skip saja basa-basinya. Mau apa kemari?!" Daniel pun tersenyum licik. Hilang sudah wajah ramah bersahabat yang sebelumnya ia tampilkan sebagai topeng untuk menutupi sikap aslinya. "Maura." Pria tua itu pun berucap.
"Aku mengenal Helen, ibumu. Dan aku pun tahu dimana sekarang dia berada." *** Raven bisa merasakan pergerakan kaku dari tubuh lembut yang saat ini sedang ia gendong dengan gaya koala, setelah mendengar perkataan Daniel barusan. Manik asap kelabunya pun ikut mengamati wajah Maura yang tampak terpaku kepada Daniel. Kening gadis itu berkerut halus, maniknya pun mulai berkaca-kaca. Maura menelan ludah dengan susah payah. "Da-darimana Anda bisa tahu jika~~" "Aku akan memberitahumu segalanya, Maura. Segalanya tentang Helen. Kamu pasti sangat merindukan ibumu kan?" Potong Daniel seraya berdiri dan merapikan jasnya, diam-diam mulai merasa di atas angin karena berhasil merebut perhatian Maura. "Ikutlah bersamaku, dan semua informasi mengenai Helen akan kuberikan padamu," bujuk pria itu sambil tersenyum. Maura mengerjap pelan saat nama yang selalu ia rindukan itu kembali terucap. Helen, adalah ibu kandungnya. Wanita dengan senyum yang cerah, suara yang lembut dan pelukan hang
Maura menjerit sekuat tenaga saat Raven mengangkat tubuhnya dari atas lantai dengan begitu mudahnya. Monster. Pria ini adalah monster! Maura sungguh tak menyangka jika di balik sosoknya yang tenang, tampan dan sangat terkenal sebagai penulis yang berbakat, Raven King sesungguhnya sangat kejam layaknya monster. Yang dengan mudahnya mematahkan tulang atau mengambil nyawa seseorang tanpa merasa berdosa sama sekali! Raven meletakkan tubuh Maura di atas ranjang, dan gadis itu pun berusaha menepis tangan Raven yang semula hendak menyentuh dadanya. Perutnya mual sekali serasa diaduk, dan ia pun takkan membiarkan pria itu menyentuhnya lagi! Raven seketika diam terpaku ketika melihat Maura yang bergerak menjauhi dirinya. Gadis itu beringsut ke sudut ranjang dan meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang terlipat. Manik asap kelabu pria itu memicing, memindai sekujur tubuh Maura yang tampak gemetar. "Moora," panggilnya dengan suara p
Akhirnya saat ini tiba juga. Maura menatap bayangannya sendiri yang terpantul di cermin dengan wajah melamun. Akhirnya ia bisa menuntaskan tugasnya sebagai gadis perawan yang dibeli oleh Raven, karena pria itu akan meng-klaim dirinya malam ini. Sejak ia terbangun siang hari tadi, Maura sama sekali belum bertemu dengan pria itu. Hanya Alberto yang menemuinya untuk mengingatkan Maura agar bersiap. Alberto juga bilang kalau Raven sedang bekerja dan tidak ingin diganggu. Apa Raven sedang menulis buku barunya? Menulis tentang... Maura? Semula Maura sangat senang dan bangga karena dirinya telah menjadi inspirasi untuk pria itu, tapi sekarang... entahlah, ia tak begitu yakin lagi. Maura bahkan sudah memutuskan untuk takkan pernah lagi membaca buku pria itu dan tak lagi mengidolakannya. Perutnya masih terasa mual setiap kali mengingat betapa ringannya Raven memerintahkan untuk menyabotase helikopter Daniel, yang bisa berdampak sangat fatal pada nyawa Daniel dan pilotnya! Dan M
Tak perlu menunggu lama, Maura pun segera menjulurkan kedua tangannya untuk mengalung di leher Raven, sebelum ia memagut bibir pria itu dengan lembut. Raven membiarkan Maura yang lebih dulu bergerak, ingin tahu sejauh apa gadis ini bisa membuatnya terpikat. Maura menyambut perintah Raven dengan penuh suka cita. Kali ini Raven membiarkannya bebas bersikap, sesuai dengan dirinya yang memang seharusnya bersikap menggoda. Gadis itu menyesap bibir Raven dan menjilatinya, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Raven untuk merayu seluruh isinya. Satu tangannya yang semula berada di leher Raven, kini mulai merayap turun ke dada bidang yang dipenuhi otot keras, untuk diusap dengan lembut. "Aaah... Moora." Ledakan euforia mengisi benak Maura ketika mendengar alunan suara serak milik Raven yang telah diliputi oleh gairah. Gadis itu pun memutuskan untuk semakin berani bertindak. Ciumannya kini tak lagi lembut, namun menuntut. Maura telah banyak belajar dari Raven, dan kini saatnya ia
"Miss Maura... bangunlah." Maura merasakan sesuatu yang perlahan menyentuh lengannya, menyertai sebuah suara yang akhirnya membuatnya membuka kedua mata yang terasa berat. Berat sekali. Dan... sakit. Sekujur tubuhnya sakit. "Ah, syukurlah Anda akhirnya bangun juga." Maura menatap seorang pelayan yang sedang berdiri di samping tempat tidur dan tersenyum padanya. Manik gadis itu pun kembali mengerjap pelan. "Apakah Anda bisa bangun? Mari saya bantu untuk jalan ke kamar mandi." Maura mengangguk. Pelayan itu pun membantunya untuk bangun. Maura mendesis pelan saat ia berubah posisi menjadi duduk, dan tekanan di panggulnya memberikan tusukan nyeri di bagian bawah tubuhnya. "Maaf, saya sudah membuat Anda makin kesakitan ya?" Maura menggeleng. Tentu saja bukan pelayan ini yang membuatnya kesakitan, tapi... Raven. Yang ganas sekali saat melakukannya. Namun Maura tahu ia tak boleh mengeluh, karena sesungguhnya Maura sendiri yang memperbolehkan pria itu untuk lepas kendali.