Raven itu ganteng-ganteng tapi manipulatif ya gaes. jan jatuh cinta, cukup otornya aja yg jatuh cinta wkwkwk. Yg mau liat visual MauRaven mampirlah ke instaagraam*ku @blackauroranovels ya... feel free yg mau ngobrol or gibah di DM ;))
Pagi ini Raven bersama Maura bersama-sama sedang berada di ruang kerja, lokasi dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Raven sedang mengetik konsep naskah untuk novel barunya, sedangkan Maura diminta untuk menemani pria itu. Dan bagi Maura, ini adalah saat-saat yang paling menyenangkan selama ia berada di Pulau dan Mansion ini, karena Raven mengijinkan gadis itu membaca-baca semua buku yang ditulisnya. Dengan berbinar-binar, gadis itu langsung meraup lima buku karangan Raven King yang ia bawa sekaligus untuk ditaruh di atas meja, lalu dengan santainya ia pun berselonjor di sofa empuk. Tak ada yang bersuara di antara mereka, hanya dengung lembut pendingin ruangan serta ketukan pelan keyboard laptop Raven yang mengisi udara. Maura sendiri telah larut dan tenggelam dalam bacaannya. Kali ini ia memutuskan untuk membaca karya Raven yang berjudul "The Greedy", setelah beberapa saat bingung memutuskan buku mana yang akan lebih dulu ia baca. Setelah hampir dua jam duduk sa
BRAAAKK!! Suara meja yang dipukul dengan keras itu seketika mengagetkan wanita yang tengah duduk di sofa sambil merokok. Ia menatap pria tua dengan rambut putih karena uban, yang baru saja menggebrak meja yang ada di depannya dengan tongkat dari besi. "Mana janjimu, Jane?!" Bentak pria itu seraya melayangkan tatapan gusar. "Mana gadis yang kuminta, hah?! Kenapa kau malah memberiku gadis yang berbeda?!" Wanita yang dipanggil Jane itu pun hanya bisa mendesah berat. Ia mematikan rokoknya, lalu menatap kembali pria tua itu. "Maaf. Tapi aku bisa mengganti dengan gadis yang jauh lebih cantik dan seksi dibandingkan Maura, Tuan Daniel," sahut wanita itu. Ia benar-benar tak habis pikir dengan dua pelanggannya ini, Daniel dan Raven. Mereka itu tampak sama-sama tergiur dengan Maura, si gadis Asia Tenggara berambut hitam dengan bola mata yang sama hitamnya. Well, Maura memang cantik, tapi masih banyak gadis yang lebih cantik darinya. Bahkan Maura termasuk "biasa", jika dibandi
"Apa benar Tuan Raven-lah yang mematahkan jari tangannya, hanya karena karena Miss Rebecca telah mengintimidasi Miss Maura??" Maura sontak menutup mulutnya dengan tangan, untuk meredam teriakan terkejut yang hampir lolos dari bibirnya. Tubuhnya yang masih bersandar diam di dinding pun seketika terpaku. Dingin yang serta merta menyergap batinnya membuat gadis itu membeku. Raven... mematahkan jari Rebecca!? Apa itu benar?? Apa benar Raven telah melakukan hal mengerikan seperti itu??! ["Aku bukan cuma mengusir Rebecca, tapi juga memberikan sedikit hukuman agar dia jera."] Manik gelap Maura pun membelalak nanar sempurna, saat ingatannya memutar kembali perkataan Raven. Yaitu ketika Maura bertanya kemana gerangan Rebecca. Ya Tuhan. Rasanya ingin sekali Maura menyerbu masuk ke dalam ruangan santai itu, untuk menginterogasi dua orang pelayan yang telah membuatnya kembali menjadi sangat ketakutan kepada Raven! "Jangan menyebarkan gosip, Freya. Apa kamu ingin dipecat oleh Tuan R
"Apa kamu takut padaku, Moora?" Maura mengerjap pelan, berusaha mengusir efek membingungkan dari sorot kelabu Raven yang seperti telah menghipnotis dirinya. "Entahlah, Tuan Raven. Apakah aku harus takut padamu?" balas Maura akhirnya, pelan dan ragu. Senyum yang tercipta di wajah Raven kali ini agak lebih lebar dari sebelumnya, meskipun masih juga tetap samar dan tak terbaca seperti biasa. "Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kamu menggemaskan sekali, Sugar Cookie." Raven mendaratkan sebuah kecupan lembut dan sekilas di bibir Maura. Maura terkesiap saat merasakan tubuhnya yang melayang dan kedua kakinya yang tak lagi menyentuh tanah. Gadis itu baru menyadari bahwa Raven ternyata telah menggendongnya ala bridal. "Luka-luka di kakimu harus segera diobati agar tidak infeksi. Lain kali jika ingin bermain di pantai, pakailah sandal yang nyaman. Dan jangan lupa untuk meminta ijin padaku terlebih dulu." Maura pun akhirnya mengangguk, karena melihat Raven yang tampak masih mena
Dua pria berbeda usia itu sedang duduk saling berhadapan, hanya dibatasi oleh sebuah meja kopi dari kayu tebal dengan bagian atasnya dari kaca. Dua pasang mata yang berbeda warna saling beradu tatap, seakan sama-sama mengukur kekuatan dan mencari kelemahan masing-masing. Selama beberapa saat, tak ada yang berbicara di antara mereka. Hingga akhirnya pria yang jauh lebih tua pun mengeluarkan suara. "Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Raven. Terakhir kalinya mungkin... saat usiamu masih enam belas tahun?" Pria yang jauh lebih muda itu pun melengos. Sebenarnya ia malas sekali berbicara pria tua bangka mesum yang juga menginginkan Maura ini. "Mungkin justru masih kurang lama, Daniel," sahut Raven tanpa merasa perlu untuk menutupi nada sarkas di dalamnya. "Skip saja basa-basinya. Mau apa kemari?!" Daniel pun tersenyum licik. Hilang sudah wajah ramah bersahabat yang sebelumnya ia tampilkan sebagai topeng untuk menutupi sikap aslinya. "Maura." Pria tua itu pun berucap.
"Aku mengenal Helen, ibumu. Dan aku pun tahu dimana sekarang dia berada." *** Raven bisa merasakan pergerakan kaku dari tubuh lembut yang saat ini sedang ia gendong dengan gaya koala, setelah mendengar perkataan Daniel barusan. Manik asap kelabunya pun ikut mengamati wajah Maura yang tampak terpaku kepada Daniel. Kening gadis itu berkerut halus, maniknya pun mulai berkaca-kaca. Maura menelan ludah dengan susah payah. "Da-darimana Anda bisa tahu jika~~" "Aku akan memberitahumu segalanya, Maura. Segalanya tentang Helen. Kamu pasti sangat merindukan ibumu kan?" Potong Daniel seraya berdiri dan merapikan jasnya, diam-diam mulai merasa di atas angin karena berhasil merebut perhatian Maura. "Ikutlah bersamaku, dan semua informasi mengenai Helen akan kuberikan padamu," bujuk pria itu sambil tersenyum. Maura mengerjap pelan saat nama yang selalu ia rindukan itu kembali terucap. Helen, adalah ibu kandungnya. Wanita dengan senyum yang cerah, suara yang lembut dan pelukan hang
Maura menjerit sekuat tenaga saat Raven mengangkat tubuhnya dari atas lantai dengan begitu mudahnya. Monster. Pria ini adalah monster! Maura sungguh tak menyangka jika di balik sosoknya yang tenang, tampan dan sangat terkenal sebagai penulis yang berbakat, Raven King sesungguhnya sangat kejam layaknya monster. Yang dengan mudahnya mematahkan tulang atau mengambil nyawa seseorang tanpa merasa berdosa sama sekali! Raven meletakkan tubuh Maura di atas ranjang, dan gadis itu pun berusaha menepis tangan Raven yang semula hendak menyentuh dadanya. Perutnya mual sekali serasa diaduk, dan ia pun takkan membiarkan pria itu menyentuhnya lagi! Raven seketika diam terpaku ketika melihat Maura yang bergerak menjauhi dirinya. Gadis itu beringsut ke sudut ranjang dan meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang terlipat. Manik asap kelabu pria itu memicing, memindai sekujur tubuh Maura yang tampak gemetar. "Moora," panggilnya dengan suara p
Akhirnya saat ini tiba juga. Maura menatap bayangannya sendiri yang terpantul di cermin dengan wajah melamun. Akhirnya ia bisa menuntaskan tugasnya sebagai gadis perawan yang dibeli oleh Raven, karena pria itu akan meng-klaim dirinya malam ini. Sejak ia terbangun siang hari tadi, Maura sama sekali belum bertemu dengan pria itu. Hanya Alberto yang menemuinya untuk mengingatkan Maura agar bersiap. Alberto juga bilang kalau Raven sedang bekerja dan tidak ingin diganggu. Apa Raven sedang menulis buku barunya? Menulis tentang... Maura? Semula Maura sangat senang dan bangga karena dirinya telah menjadi inspirasi untuk pria itu, tapi sekarang... entahlah, ia tak begitu yakin lagi. Maura bahkan sudah memutuskan untuk takkan pernah lagi membaca buku pria itu dan tak lagi mengidolakannya. Perutnya masih terasa mual setiap kali mengingat betapa ringannya Raven memerintahkan untuk menyabotase helikopter Daniel, yang bisa berdampak sangat fatal pada nyawa Daniel dan pilotnya! Dan M