Beranda / Romansa / Virginity For Sale / 5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Share

5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-08 08:31:04

'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu.

Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini??

"Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King.

Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu.

Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya.

Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya.

Bra yang ia gunakan adalah jenis yang tanpa tali, dan ternyata pilihan yang pas sekali karena bentuk kerah draperi lingerie itu hingga memperlihatkan kulit halus pundaknya yang telanjang.

Maura mengerjap, terkejut melihat pantulan dirinya yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumnya.

Ia tidak pernah mengenakan lingerie seksi sebelumnya, bahkan gaun terbuka merah seperti ini pun tidak pernah. Mungkin itu sebabnya ia merasa seperti bukan diri sendiri, karena Maura yang ada di cermin itu bukanlah dirinya.

Maura yang itu tampak terlalu sensual dan menggoda, tapi... rasanya itu bagus kan? Semoga saja ia bisa menyenangkan Raven agar semua pengorbanannya ini tidaklah sia-sia.

"Semangat, Maura. Demi impianmu untuk pergi menjauh dari keluarga dan pindah ke Grindelwald," gumannya sambil tersenyum membayangkan kota kecil di Swiss yang indah dalam kenangannya.

Semua uang yang akan ia terima setelah menyerahkan keperawanannya, akan ia gunakan untuk pergi ke Kota impiannya, dan memulai hidup baru di sana.

Huuft...

Maura berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar keras, sembari mengikat rambut panjangnya membentuk bun di atas kepala. Menyisakan helai-helai halus yang jatuh dengan lembut di pipi dan lehernya.

Ayunan kaki gemetarnya kini bergerak menuju kamar mandi, dimana Raven tengah menunggu dirinya. Tanpa sadar, Maura pun mengetuk pintunya, sebelum kemudian meringis malu sendiri.

Kenapa pula ia harus mengetuk pintu? Ish. Itu terlalu sopan untuk wanita jalang yang menjual tubuhnya sendiri.

Seharusnya Maura justru masuk ke dalam dengan penuh percaya diri dengan sikap yang seksi, bukannya malah seperti karyawan yang hendak bertemu dengan bosnya di kantor!

Lagipula, bukankah kehadirannya memang sudah dinanti?

Maura pun memutuskan untuk mendorong pintu itu dengan perlahan, dan seketika gadis itu pun tertegun.

"Akhirnya kamu datang juga," ucap suara berat yang sedang berdiri tepat di depan pintu, dan juga tepat di depannya.

Dengan mendongakkan kepalanya untuk bertatapan langsung dengan pria itu, Maura pun meneguk ludah.

Raven yang sebelumnya telah membuka bagian atas bajunya, yang terdiri dari kaus hitam tanpa lengan dan kemeja flanel di atasnya, menyisakan sebentuk tubuh kokoh dengan otot-otot luar biasa.

Pria ini tampak sangat kuat dengan tubuh yang tinggi, berbanding terbalik dengan tubuh Maura yang hanya sebatas dadanya.

Maura bersyukur karena pria itu ternyata belum membuka celana jeans-nya, namun pipi Maura pun mendadak merah muda ketika melihat kancing bagian atas celananya telah dilepas.

Raven mengamati lingerie putih yang membalut tubuh mungil namun sensual gadis di hadapannya. "Warna putih sangat cocok untukmu, Moora," komentarnya penuh kepuasan.

"Kemarilah."

Maura hanya diam dan menurut ketika Raven menarik tangannya dan menuntunnya menuju ke arah bath tub yang telah terisi air dan busa mandi.

Aroma tajam kayu-kayuan dan rerumputan bercampir musk dan citrus menyapa hidungnya, yang berasal dari buih sabun yang terapung di atas air.

Raven melepaskan tangan Maura, untuk membuka risleting celananya, lalu menurunkan material jeans itu hingga ke bawah kakinya.

Kini Raven hanya mengenakan pakaian dalam boxer brief, dan pipi Maura pun semakin menghangat dan diam-diam meringis takut, kala tatapannya secara tidak sengaja tertuju pada gundukan besar di baliknya.

Ya ampun. Pasti akan sangat menyakitkan jika dimasuki oleh entitas sebesar itu!

Raven tiba-tiba saja duduk di bagian pinggir bath tub, membuat Maura menatapnya bingung.

"Ayo, Moora. Mandikan aku sekarang."

Hah? Mandikan? Tapi... bagaimana caranya? Jujur saja Maura belum pernah memandikan seseorang sebelumnya, apalagi seorang pria!

'Tak bisakah Raven langsung meniduriku saja alih-alih menyuruhku melakukan tugas yang tidak jelas seperti ini??' Erang Maura dalam hati.

Tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan, dan Maura pun bertekad untuk sesegera mungkin menyelesaikannya. Semakin cepat, semakin baik.

"Uhm, apa kamu bisa masuk saja ke dalam air?" Kali ini Maura memutuskan untuk lebih berinisiatif dan tidak lagi pasif seperti sebelumnya, dengan memberikan saran.

"Bisa, tapi aku harus memelukmu terlebih dulu," sahut Raven, yang membuat Maura lagi-lagi menatapnya bingung.

Namun belum juga ia bertanya lebih lanjut tentang korelasinya, tiba-tiba saja Raven sudah mendekapnya dengan erat!

Dan Maura pun memekik kaget, ketika merasakan kakinya yang tidak lagi menjejak lantai dingin kamar mandi. Ternyata Raven bukan hanya memeluknya, tapi juga telah menggendongnya!

Maura pun kembali menelan ludahnya yang terasa berat saat wajahnya berada begitu dekat dengan Raven.

Pria ini benar-benar tampan dan bugar. Ia tampak sama sekali tidak kesulitan menggendong Maura, dan membawanya masuk ke dalam bath tub berisi air hangat penuh busa.

Manik abu-abu gelap itu seperti memiliki daya magis yang dapat menghipnotis, membuatmu patuh dan tunduk serta tak berani bergerak bahkan hanya satu jari sekali pun.

Rasanya Maura masih tak percaya jika ia akan memandikan seorang Raven King, si novelis idola yang sama misteriusnya dengan karya-karyanya.

Kini tubuh Maura telah diturunkan oleh Raven hingga mereka berdua sama-sama tenggelam di dalam lautan busa putih yang lembut.

Raven memposisikan dirinya duduk di dasar bath tub, sementara Maura berada tepat di hadapannya.

Bath tub itu cukup lebar dengan bentuk sepertiga lingkaran yang menempel di dinding. Air hangat yang menyapa kulitnya seharusnya membuat Maura rileks, namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh gadis itu.

"Tunggu apa lagi? Mulailah, Moora."

"Uhm, iya." Maura pun semakin gugup karena manik Raven yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip sedikit pun, dengan tatapan yang sangat tajam namun sulit diartikan.

'Argh, kenapa dia harus menatapku seperti itu sih??' keluh Maura dalam hati.

Alih-alih seperti seorang pria yang berhasrat, Raven lebih mirip seperti seorang guru yang sedang mengawasi muridnya yang sedang mengerjakan soal ujian, memastikan tak ada kesalahan bodoh yang akan Maura perbuat.

Intensitas tatapan dari manik abu-abu itu terlalu kuat, terlalu mengintimidasi, namun juga sangat memukau di saat yang bersamaan.

Maura sendiri merasa takut, gugup tapi juga sekaligus terpesona pada bola mata berkilau yang serupa kabut asap itu.

Gadis itu lalu mengubah posisinya menjadi setengah berlutut, sehingga ia pun kini lebih tinggi dari Raven yang masih duduk di dasar bath tub.

"Aku akan mulai dengan mencuci rambutmu," ucap Maura pelan.

Gadis itu meraih shower yang posisinya terletak tak jauh dari kepala Raven, lalu menyalakan keran air hangatnya. Dengan perlahan, ia pun mulai membasahi rambut coklat gelap pria itu.

Maura sedikit terkejut ketika merasakan jemarinya menyusuri rambut pria itu, dan menyadari bahwa ternyata helai-helainya sangatlah halus. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis, yang tak lepas dari perhatian Raven.

"Kenapa kamu tersenyum?" Tanya pria itu tiba-tiba, yang telah memindahkan tatapannya dari mata Maura ke lengkung indah bibir gadis itu.

"Hm? Oh, tidak apa-apa... aku cuma... sangat menyukai tekstur rambutmu," sahut Maura sedikit gelagapan karena dipergoki oleh Raven.

"Apa kamu bisa berciuman, Moora?"

Maura mengerjap kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba yang tak disangka itu. Pasti Raven bertanya karena statusnya yang masih perawan, maka pria itu pun berasumsi bahwa ia pum tidak mahir berciuman.

Dan itu pun bukanlah praduga yang salah.

Maura menggelengkan kepalanya dengan kaku. Ia hanya pernah berciuman satu kali dan rasanya sangatlah payah.

Sebaiknya ia berkata jujur saja kepada Raven daripada pria itu berharap terlalu tinggi dan kecewa pada akhirnya.

"Kalau begitu, aku yang akan mengajarimu."

Suara rendah yang mengalun di telinganya itu membuat Maura merinding. Dan sedetik kemudian, gadis itu pun tak bisa mengelak ketika dua tangan kekar merengkuh dan mencengkram kuat pinggangnya, lalu menarik tubuhnya dengan kasar.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Kang Ade
bagus aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Ellen Porloy
bagus , aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Sulinda Aritonang
baca dulu lebih lanjut nnt komentat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Virginity For Sale    6. Karena Dia Terlalu Nikmat

    "Mmh..." Maura hanya bisa mendesah, saat jemari panjang Raven telah merengkuh bulatan lembut di dadanya, dan meremasnya dengan lembut. Pria itu masih menyesap bibirnya, dan perpaduan dari kedua perbuatannya itu membuat Maura serasa melayang. Begitu cepatnya Maura terhanyut dalam cumbuan bibir dan godaan jemari mahir Raven, tak bisa untuk tak mengakui bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah berdenyut dan hidup. "Buka bibirmu," titah Raven dengan suara berat dan serak yang telah dipenuhi oleh letupan gairah. Dan pria itu pun menggeram puas kala dua bibir ranum Maura yang lezat itu kini telah terpisah, memberinya akses untuk menjulurkan lidah ke dalam kehangatan dunia Maura. Maura pun sadar jika dia tidak bisa lagi menjadi pihak yang pasif, karena pria yang ada di depannya ini sangat mahir berciuman. Gadis itu pun meniru gerakan lidah Raven, membelit lidahnya dengan lidah pria itu dengan gerakan yang provokatif dan sama intensnya "Not bad," komentar Raven sambil meny

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-08
  • Virginity For Sale    7. Milikku

    "Aahh... there you go. Kamu pintar sekali, Moora." Raven memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya mendesahkan pujian untuk Maura yang sedang duduk berlutut di bawahnya. Tak sulit mengajarkan gadis itu bagaimana cara untuk memuaskannya, karena Maura tipe yang cepat belajar dan mudah mengerti. Gadis itu juga pintar berimprovisasi, jika Raven boleh menambahkan. Ah, damned! Mulut Maura yang mungil itu ternyata terasa sungguh nikmat sekali ketika sedang memanjakan miliknya seperti ini. "Fuck. This is so good..." Kembali Raven meracau dengan suara berat yang telah sesak dan membara oleh gelora. Pria itu pun merenggut rambut panjang Maura yang dicepol hingga helai-helainya berantakan mencuat kesana kemari, lalu menyentak kepala gadis itu lebih kuat hingga miliknya pun semakin terbenam sempurna ke dalam mulutnya yang lembut dan manis. Meskipun merasakan sulit bernapas serta tenggorokannya seperti disumbat oleh benda yang sangat besar, namun Maura tetap berusaha untuk tet

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-13
  • Virginity For Sale    8. Jangan Menggodaku

    Dengan mata yang masih terpejam antara setengah sadar, Maura sedikit mengernyit ketika merasakan seseorang mengusap-usap tali bra yang melintang di punggungnya. Gerakan provokatif itu rasanya tidak mungkin dilakukan oleh Emma, terutama juga karena Maura dapat merasakan tangan yang sedang merayap di punggungnya sekarang terasa jauh lebih besar dan kekar dibandingkan tangan Emma Dan Maura pun makin terkesiap serta sontak membuka kedua matanya, saat tangan tersebut tiba-tiba saja menarik kaitan bra-nya hingga terbuka. Gadis itu membalikkan wajah ke sisi kanan, lalu seketika bertemu tatap dengan manik kelabu serupa kabut asap tipis yang kini memandangnya balik dengan sorot datar tak terbaca. Emily sudah pergi entah kemana, dan kini hanya ada pria bersurai coklat yang hanya mengenakan swimming trunks (sejenis celana untuk renang dengan bahan yang tidak menyerap air, namun tidak terlalu ketat) di sana. Pria itu kini berbaring menyamping di samping Maura, bersempit-sempitan di ku

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-14
  • Virginity For Sale    9. Kenapa Dia Tidak Melakukannya?

    Dengan langkah pasti dan penuh keyakinan, Maura pun berjalan mengikuti Raven yang telah lebih dulu menghilang masuk ke dalam Mansion. Gadis itu bahkan sudah tak peduli lagi dengan kondisinya saat ini, yang hanya mengenakan pakaian dalam dengan bra yang kaitan di punggungnya telah terlepas dan hanya ia tahan dengan tangannya agar tidak melorot dan jatuh. Maura bahkan juga mengabaikan lirikan diam-diam para pelayan di Mansion ini yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Persetan. Bukankah semua orang pun sudah tahu siapa sebenarnya dirinya? Cuma seorang wanita jalang yang menjual kegadisannya demi uang yang banyak! Sesampainya di kamar Raven di lantai dua, Maura mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ternyata Raven sudah menunggu di sana... Baiklah. Saatnya untuk bersikap lebih agresif dan lebih menggoda. Meskipun Maura juga sadar diri jika sosoknya tak lebih cantik dari Rebecca, gadis sebelumnya yang bersama Raven, tapi ia yakin jika bisa memberikan pelayanan

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-15
  • Virginity For Sale    10. Raven Yang Selalu Menghindar

    "Tuan Raven?" Maura menatap Raven dengan maniknya yang sayu karena bayangan gairah yang masih nyata tersemat di dalamnya. Ia benar-benar bingung saat pria itu tiba-tiba saja mematikan shower, lalu meraih handuk lebar dari rak marmer di dinding, dan mengeringkan tubuh Maura. Bukankah seharusnya justru Maura yang mengeringkan tubuh Raven? "Kemarilah." Setelah menyelesaikan tugasnya, Raven menarik tangan Maura untuk berjalan mengikutinya keluar dari kamar mandi. Namun langkah mereka pun belum sampai di ranjang besar yang tampaknya menjadi tujuan Raven, dan pria itu sudah kembali menyerang bibir Maura dengan ganas. "Umm..." Maura tak sengaja mengguman pelan ketika ciuman itu terasa semakin panas. Foreplay yang diberikan Raven sebelumnya telah menyalakan kobaran api di dalam dirinya. Sensasi tubuh mereka yang sama-sama masih lembab dan beraroma sabun wangi, menambah intensitas gelora yang membuat Maura merinding di sekujur tubuhnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda di momen

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-18
  • Virginity For Sale    11. Alasan

    "Kenapa? Apa kamu tidak suka hidangannya? Aku bisa meminta juru masak untuk membuatkan makanan kesukaanmu." Maura mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk menatap isi dalam piringnya yang hanya ia aduk-aduk. Maniknya seketika beradu tatap dengan bola mata kelabu serupa kabut asap tipis milik Raven yang menghujam wajahnya. "Eh? Tidak... tidak perlu. Aku suka steak dan mashed potato ini," sahut Maura, yang kemudian menyuapkan kentang tumbuk ke dalam mulutnya dengan terburu-buru. Sebenarnya kentangnya enak dan lembut, pun dengan steak-nya. Hanya saja, Maura-lah yang memang sedang tidak bernafsu untuk mengunyah apa pun, setelah berkali-kali Raven menolak untuk bercinta. Pertama, pria itu bilang kalau Maura bukanlah tipe gadis yang ia sukai. Lalu kedua, Raven juga pernah mengatakan ingin mencari tahu kenapa ia memilih Maura, alih-alih memilih tipe idealnya yang berambut pirang dan bermata biru seperti Rebecca. Aargh, apa karena Raven adalah seorang penulis? Hingga hanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-19
  • Virginity For Sale    12. Sebagai Bukti

    "Raven, kenapa dia juga dibawa ke sini?!" tuntut Rebecca yang menatap kesal ke arah Maura, serta jemari gadis itu yang digenggam oleh Raven. Rebecca tengah asyik berbaring di ranjang mewah berukuran kingsize menunggu pria itu, dan ternyata malah kejutan yang tak menyenangkan yang ia dapati. Seringai tipis penuh arti terlukis di wajah Raven melihat ekspresi kecewa yang kentara di wajah Rebecca. "Aku membawa Moora, karena kita akan memainkan sebuah permainan yang sangat seru," sahutnya sambil kembali menarik tangan Maura dan berjalan mendekat ke arah ranjang. "Aku tidak mau, Tuan Raven. Lepaskan aku!" Maura pun sontak berusaha melepaskan diri dari cengkraman Raven, menolak untuk menjadi bagian permainan entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. "Diamlah, Moora!" Raven memerangkap tubuh Maura dalam pelukan erat, hingga gadis itu pun menjadi tak berkutik. "Kamu ingin pergi dari Mansion ini kan? Baik, aku akan ijinkan asalkan kamu mau ikut dalam permainan." Maura pun se

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-22
  • Virginity For Sale    13. Aku Mau Kamu Yang Melakukannya

    "Hei, Sugar Cookie? Sampai kapan kamu mau terus tertidur, hm?" Suara berat yang mengalun pelan di telinganya serta bibir lembut yang mengecup dadanya, membuat Maura mulai membuka mata dengan sangat perlahan. Uh, kepalanya masih terasa berat dan pusing sekali. Untuk beberapa saat, batin Maura masih berusaha keras untuk mencerna semuanya, dan juga untuk mencerna yang telah terjadi sebelumnya. Maniknya yang masih sayu pun serta merta menoleh ke bawah, dimana kepala bersurai coklat lebat itu tampak asyik bergerilya di dadanya. "Tuan Raven..." Raven mendongak ketika mendengar nada lirih yang memanggil namanya. "Ah, akhirnya kamu sadar juga," cetusnya dengan tersenyum samar. Pria itu merayap di atas tubuh Maura, untuk memindahkan kecupan yang semula mendarat dada Maura, kini ke bibir gadis itu. Namun karena kepalanya yang masih pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas, Maura tak ikut membalas ciuman Raven seperti biasa. Terutama ketika sebuah kilasan memori tiba-tiba s

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-23

Bab terbaru

  • Virginity For Sale    132. Hidup

    Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias menatap Rav

  • Virginity For Sale    131. Pembuktian

    "Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan

  • Virginity For Sale    130. Kudeta

    Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai mel

  • Virginity For Sale    129. Yang Seharusnya Hanya Milikku

    Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah ber

  • Virginity For Sale    128. Belum Selesai

    Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya h

  • Virginity For Sale    127. Pengakuan

    “Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau

  • Virginity For Sale    126. The Bigger Plan

    "Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l

  • Virginity For Sale    125. Yang Pernah Menjadi Milikku

    "Rhexton, tunggu!" Maura berseru, suaranya bergetar dengan nada penuh desakan saat melihat suaminya membalikkan badan. Langkah kakinya terdengar tergesa di lantai marmer yang dingin ketika ia mendekat. Cahaya lampu gantung yang mewah memantulkan bayangannya di sekitar ruangan, namun perhatian Maura hanya tertuju pada sosok pria tegap di depannya. Rhexton berhenti melangkah. Bahunya yang lebar terlihat tegang di bawah setelan mahal yang melekat sempurna di tubuhnya. Ia menatap Maura dalam diam dan wajah tetap tanpa ekspresi, begitu tak terbaca hingga membuat dada Maura semakin sesak oleh rasa cemas. Manik kelabu Rhexton tampak menyelidik, seperti menembus ke relung pikirannya yang paling dalam. "Apa yang akan terjadi pada Leona?" tanya Maura, tak mampu lagi menahan rasa penasaran dan ketakutan yang membelenggu pikirannya sejak kejadian tadi. Suaranya terdengar lembut, tetapi jelas memancarkan kecemasan. Ia menggigit bibir bawahnya, bayangan tentang Leona yang diika

  • Virginity For Sale    124. Seberapa Baik Kamu Mengenalnya?

    Leona berdiri di ambang pintu ruang kerja Rhexton, mengenakan gaun merah tua yang menempel sempurna di tubuhnya, memperlihatkan lekuk yang sengaja ia tonjolkan. Sesuai perintah Raven, malam itu ia membawa sebotol anggur mahal untuk menyajikan minuman kepada Rhexton King. Namun kali ini, bukan sekadar anggur yang ia bawa. Di dalam saku gaunnya, terselip botol kecil obat perangsang yang baru saja ia terima dari tangan Raven. Tugas ini membuat keringat dingin mengalir di tengkuknya, meskipun senyum tenang tetap menghiasi wajahnya. Rhexton duduk di kursi besar di dekat jendela, pandangannya tajam dan fokusmemantau berkas-berkas yang berserakan di mejanya. “Selamat malam, Tuan King,” suara Leona terdengar lembut namun menggoda. Ia menutup pintu dengan satu gerakan anggun dan membawa nampan dengan dua gelas anggur. Rhexton melirik sekilas dengan mata yang penuh kecurigaan. “Malam. Ada keperluan apa?” Leona tersenyum, langkahnya perlahan menuju meja tempat Rhexton duduk. “

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status