Home / Romansa / Virginity For Sale / 5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Share

5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-07-08 08:31:04

'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu.

Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini??

"Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King.

Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu.

Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya.

Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya.

Bra yang ia gunakan adalah jenis yang tanpa tali, dan ternyata pilihan yang pas sekali karena bentuk kerah draperi lingerie itu hingga memperlihatkan kulit halus pundaknya yang telanjang.

Maura mengerjap, terkejut melihat pantulan dirinya yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumnya.

Ia tidak pernah mengenakan lingerie seksi sebelumnya, bahkan gaun terbuka merah seperti ini pun tidak pernah. Mungkin itu sebabnya ia merasa seperti bukan diri sendiri, karena Maura yang ada di cermin itu bukanlah dirinya.

Maura yang itu tampak terlalu sensual dan menggoda, tapi... rasanya itu bagus kan? Semoga saja ia bisa menyenangkan Raven agar semua pengorbanannya ini tidaklah sia-sia.

"Semangat, Maura. Demi impianmu untuk pergi menjauh dari keluarga dan pindah ke Grindelwald," gumannya sambil tersenyum membayangkan kota kecil di Swiss yang indah dalam kenangannya.

Semua uang yang akan ia terima setelah menyerahkan keperawanannya, akan ia gunakan untuk pergi ke Kota impiannya, dan memulai hidup baru di sana.

Huuft...

Maura berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar keras, sembari mengikat rambut panjangnya membentuk bun di atas kepala. Menyisakan helai-helai halus yang jatuh dengan lembut di pipi dan lehernya.

Ayunan kaki gemetarnya kini bergerak menuju kamar mandi, dimana Raven tengah menunggu dirinya. Tanpa sadar, Maura pun mengetuk pintunya, sebelum kemudian meringis malu sendiri.

Kenapa pula ia harus mengetuk pintu? Ish. Itu terlalu sopan untuk wanita jalang yang menjual tubuhnya sendiri.

Seharusnya Maura justru masuk ke dalam dengan penuh percaya diri dengan sikap yang seksi, bukannya malah seperti karyawan yang hendak bertemu dengan bosnya di kantor!

Lagipula, bukankah kehadirannya memang sudah dinanti?

Maura pun memutuskan untuk mendorong pintu itu dengan perlahan, dan seketika gadis itu pun tertegun.

"Akhirnya kamu datang juga," ucap suara berat yang sedang berdiri tepat di depan pintu, dan juga tepat di depannya.

Dengan mendongakkan kepalanya untuk bertatapan langsung dengan pria itu, Maura pun meneguk ludah.

Raven yang sebelumnya telah membuka bagian atas bajunya, yang terdiri dari kaus hitam tanpa lengan dan kemeja flanel di atasnya, menyisakan sebentuk tubuh kokoh dengan otot-otot luar biasa.

Pria ini tampak sangat kuat dengan tubuh yang tinggi, berbanding terbalik dengan tubuh Maura yang hanya sebatas dadanya.

Maura bersyukur karena pria itu ternyata belum membuka celana jeans-nya, namun pipi Maura pun mendadak merah muda ketika melihat kancing bagian atas celananya telah dilepas.

Raven mengamati lingerie putih yang membalut tubuh mungil namun sensual gadis di hadapannya. "Warna putih sangat cocok untukmu, Moora," komentarnya penuh kepuasan.

"Kemarilah."

Maura hanya diam dan menurut ketika Raven menarik tangannya dan menuntunnya menuju ke arah bath tub yang telah terisi air dan busa mandi.

Aroma tajam kayu-kayuan dan rerumputan bercampir musk dan citrus menyapa hidungnya, yang berasal dari buih sabun yang terapung di atas air.

Raven melepaskan tangan Maura, untuk membuka risleting celananya, lalu menurunkan material jeans itu hingga ke bawah kakinya.

Kini Raven hanya mengenakan pakaian dalam boxer brief, dan pipi Maura pun semakin menghangat dan diam-diam meringis takut, kala tatapannya secara tidak sengaja tertuju pada gundukan besar di baliknya.

Ya ampun. Pasti akan sangat menyakitkan jika dimasuki oleh entitas sebesar itu!

Raven tiba-tiba saja duduk di bagian pinggir bath tub, membuat Maura menatapnya bingung.

"Ayo, Moora. Mandikan aku sekarang."

Hah? Mandikan? Tapi... bagaimana caranya? Jujur saja Maura belum pernah memandikan seseorang sebelumnya, apalagi seorang pria!

'Tak bisakah Raven langsung meniduriku saja alih-alih menyuruhku melakukan tugas yang tidak jelas seperti ini??' Erang Maura dalam hati.

Tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan, dan Maura pun bertekad untuk sesegera mungkin menyelesaikannya. Semakin cepat, semakin baik.

"Uhm, apa kamu bisa masuk saja ke dalam air?" Kali ini Maura memutuskan untuk lebih berinisiatif dan tidak lagi pasif seperti sebelumnya, dengan memberikan saran.

"Bisa, tapi aku harus memelukmu terlebih dulu," sahut Raven, yang membuat Maura lagi-lagi menatapnya bingung.

Namun belum juga ia bertanya lebih lanjut tentang korelasinya, tiba-tiba saja Raven sudah mendekapnya dengan erat!

Dan Maura pun memekik kaget, ketika merasakan kakinya yang tidak lagi menjejak lantai dingin kamar mandi. Ternyata Raven bukan hanya memeluknya, tapi juga telah menggendongnya!

Maura pun kembali menelan ludahnya yang terasa berat saat wajahnya berada begitu dekat dengan Raven.

Pria ini benar-benar tampan dan bugar. Ia tampak sama sekali tidak kesulitan menggendong Maura, dan membawanya masuk ke dalam bath tub berisi air hangat penuh busa.

Manik abu-abu gelap itu seperti memiliki daya magis yang dapat menghipnotis, membuatmu patuh dan tunduk serta tak berani bergerak bahkan hanya satu jari sekali pun.

Rasanya Maura masih tak percaya jika ia akan memandikan seorang Raven King, si novelis idola yang sama misteriusnya dengan karya-karyanya.

Kini tubuh Maura telah diturunkan oleh Raven hingga mereka berdua sama-sama tenggelam di dalam lautan busa putih yang lembut.

Raven memposisikan dirinya duduk di dasar bath tub, sementara Maura berada tepat di hadapannya.

Bath tub itu cukup lebar dengan bentuk sepertiga lingkaran yang menempel di dinding. Air hangat yang menyapa kulitnya seharusnya membuat Maura rileks, namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh gadis itu.

"Tunggu apa lagi? Mulailah, Moora."

"Uhm, iya." Maura pun semakin gugup karena manik Raven yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip sedikit pun, dengan tatapan yang sangat tajam namun sulit diartikan.

'Argh, kenapa dia harus menatapku seperti itu sih??' keluh Maura dalam hati.

Alih-alih seperti seorang pria yang berhasrat, Raven lebih mirip seperti seorang guru yang sedang mengawasi muridnya yang sedang mengerjakan soal ujian, memastikan tak ada kesalahan bodoh yang akan Maura perbuat.

Intensitas tatapan dari manik abu-abu itu terlalu kuat, terlalu mengintimidasi, namun juga sangat memukau di saat yang bersamaan.

Maura sendiri merasa takut, gugup tapi juga sekaligus terpesona pada bola mata berkilau yang serupa kabut asap itu.

Gadis itu lalu mengubah posisinya menjadi setengah berlutut, sehingga ia pun kini lebih tinggi dari Raven yang masih duduk di dasar bath tub.

"Aku akan mulai dengan mencuci rambutmu," ucap Maura pelan.

Gadis itu meraih shower yang posisinya terletak tak jauh dari kepala Raven, lalu menyalakan keran air hangatnya. Dengan perlahan, ia pun mulai membasahi rambut coklat gelap pria itu.

Maura sedikit terkejut ketika merasakan jemarinya menyusuri rambut pria itu, dan menyadari bahwa ternyata helai-helainya sangatlah halus. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis, yang tak lepas dari perhatian Raven.

"Kenapa kamu tersenyum?" Tanya pria itu tiba-tiba, yang telah memindahkan tatapannya dari mata Maura ke lengkung indah bibir gadis itu.

"Hm? Oh, tidak apa-apa... aku cuma... sangat menyukai tekstur rambutmu," sahut Maura sedikit gelagapan karena dipergoki oleh Raven.

"Apa kamu bisa berciuman, Moora?"

Maura mengerjap kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba yang tak disangka itu. Pasti Raven bertanya karena statusnya yang masih perawan, maka pria itu pun berasumsi bahwa ia pum tidak mahir berciuman.

Dan itu pun bukanlah praduga yang salah.

Maura menggelengkan kepalanya dengan kaku. Ia hanya pernah berciuman satu kali dan rasanya sangatlah payah.

Sebaiknya ia berkata jujur saja kepada Raven daripada pria itu berharap terlalu tinggi dan kecewa pada akhirnya.

"Kalau begitu, aku yang akan mengajarimu."

Suara rendah yang mengalun di telinganya itu membuat Maura merinding. Dan sedetik kemudian, gadis itu pun tak bisa mengelak ketika dua tangan kekar merengkuh dan mencengkram kuat pinggangnya, lalu menarik tubuhnya dengan kasar.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Kang Ade
bagus aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Ellen Porloy
bagus , aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Sulinda Aritonang
baca dulu lebih lanjut nnt komentat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Virginity For Sale    6. Karena Dia Terlalu Nikmat

    "Mmh..." Maura hanya bisa mendesah, saat jemari panjang Raven telah merengkuh bulatan lembut di dadanya, dan meremasnya dengan lembut. Pria itu masih menyesap bibirnya, dan perpaduan dari kedua perbuatannya itu membuat Maura serasa melayang. Begitu cepatnya Maura terhanyut dalam cumbuan bibir dan godaan jemari mahir Raven, tak bisa untuk tak mengakui bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah berdenyut dan hidup. "Buka bibirmu," titah Raven dengan suara berat dan serak yang telah dipenuhi oleh letupan gairah. Dan pria itu pun menggeram puas kala dua bibir ranum Maura yang lezat itu kini telah terpisah, memberinya akses untuk menjulurkan lidah ke dalam kehangatan dunia Maura. Maura pun sadar jika dia tidak bisa lagi menjadi pihak yang pasif, karena pria yang ada di depannya ini sangat mahir berciuman. Gadis itu pun meniru gerakan lidah Raven, membelit lidahnya dengan lidah pria itu dengan gerakan yang provokatif dan sama intensnya "Not bad," komentar Raven sambil meny

    Last Updated : 2024-07-08
  • Virginity For Sale    7. Milikku

    "Aahh... there you go. Kamu pintar sekali, Moora." Raven memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya mendesahkan pujian untuk Maura yang sedang duduk berlutut di bawahnya. Tak sulit mengajarkan gadis itu bagaimana cara untuk memuaskannya, karena Maura tipe yang cepat belajar dan mudah mengerti. Gadis itu juga pintar berimprovisasi, jika Raven boleh menambahkan. Ah, damned! Mulut Maura yang mungil itu ternyata terasa sungguh nikmat sekali ketika sedang memanjakan miliknya seperti ini. "Fuck. This is so good..." Kembali Raven meracau dengan suara berat yang telah sesak dan membara oleh gelora. Pria itu pun merenggut rambut panjang Maura yang dicepol hingga helai-helainya berantakan mencuat kesana kemari, lalu menyentak kepala gadis itu lebih kuat hingga miliknya pun semakin terbenam sempurna ke dalam mulutnya yang lembut dan manis. Meskipun merasakan sulit bernapas serta tenggorokannya seperti disumbat oleh benda yang sangat besar, namun Maura tetap berusaha untuk tet

    Last Updated : 2024-07-13
  • Virginity For Sale    8. Jangan Menggodaku

    Dengan mata yang masih terpejam antara setengah sadar, Maura sedikit mengernyit ketika merasakan seseorang mengusap-usap tali bra yang melintang di punggungnya. Gerakan provokatif itu rasanya tidak mungkin dilakukan oleh Emma, terutama juga karena Maura dapat merasakan tangan yang sedang merayap di punggungnya sekarang terasa jauh lebih besar dan kekar dibandingkan tangan Emma Dan Maura pun makin terkesiap serta sontak membuka kedua matanya, saat tangan tersebut tiba-tiba saja menarik kaitan bra-nya hingga terbuka. Gadis itu membalikkan wajah ke sisi kanan, lalu seketika bertemu tatap dengan manik kelabu serupa kabut asap tipis yang kini memandangnya balik dengan sorot datar tak terbaca. Emily sudah pergi entah kemana, dan kini hanya ada pria bersurai coklat yang hanya mengenakan swimming trunks (sejenis celana untuk renang dengan bahan yang tidak menyerap air, namun tidak terlalu ketat) di sana. Pria itu kini berbaring menyamping di samping Maura, bersempit-sempitan di ku

    Last Updated : 2024-07-14
  • Virginity For Sale    9. Kenapa Dia Tidak Melakukannya?

    Dengan langkah pasti dan penuh keyakinan, Maura pun berjalan mengikuti Raven yang telah lebih dulu menghilang masuk ke dalam Mansion. Gadis itu bahkan sudah tak peduli lagi dengan kondisinya saat ini, yang hanya mengenakan pakaian dalam dengan bra yang kaitan di punggungnya telah terlepas dan hanya ia tahan dengan tangannya agar tidak melorot dan jatuh. Maura bahkan juga mengabaikan lirikan diam-diam para pelayan di Mansion ini yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Persetan. Bukankah semua orang pun sudah tahu siapa sebenarnya dirinya? Cuma seorang wanita jalang yang menjual kegadisannya demi uang yang banyak! Sesampainya di kamar Raven di lantai dua, Maura mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ternyata Raven sudah menunggu di sana... Baiklah. Saatnya untuk bersikap lebih agresif dan lebih menggoda. Meskipun Maura juga sadar diri jika sosoknya tak lebih cantik dari Rebecca, gadis sebelumnya yang bersama Raven, tapi ia yakin jika bisa memberikan pelayanan

    Last Updated : 2024-07-15
  • Virginity For Sale    10. Raven Yang Selalu Menghindar

    "Tuan Raven?" Maura menatap Raven dengan maniknya yang sayu karena bayangan gairah yang masih nyata tersemat di dalamnya. Ia benar-benar bingung saat pria itu tiba-tiba saja mematikan shower, lalu meraih handuk lebar dari rak marmer di dinding, dan mengeringkan tubuh Maura. Bukankah seharusnya justru Maura yang mengeringkan tubuh Raven? "Kemarilah." Setelah menyelesaikan tugasnya, Raven menarik tangan Maura untuk berjalan mengikutinya keluar dari kamar mandi. Namun langkah mereka pun belum sampai di ranjang besar yang tampaknya menjadi tujuan Raven, dan pria itu sudah kembali menyerang bibir Maura dengan ganas. "Umm..." Maura tak sengaja mengguman pelan ketika ciuman itu terasa semakin panas. Foreplay yang diberikan Raven sebelumnya telah menyalakan kobaran api di dalam dirinya. Sensasi tubuh mereka yang sama-sama masih lembab dan beraroma sabun wangi, menambah intensitas gelora yang membuat Maura merinding di sekujur tubuhnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda di momen

    Last Updated : 2024-07-18
  • Virginity For Sale    11. Alasan

    "Kenapa? Apa kamu tidak suka hidangannya? Aku bisa meminta juru masak untuk membuatkan makanan kesukaanmu." Maura mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk menatap isi dalam piringnya yang hanya ia aduk-aduk. Maniknya seketika beradu tatap dengan bola mata kelabu serupa kabut asap tipis milik Raven yang menghujam wajahnya. "Eh? Tidak... tidak perlu. Aku suka steak dan mashed potato ini," sahut Maura, yang kemudian menyuapkan kentang tumbuk ke dalam mulutnya dengan terburu-buru. Sebenarnya kentangnya enak dan lembut, pun dengan steak-nya. Hanya saja, Maura-lah yang memang sedang tidak bernafsu untuk mengunyah apa pun, setelah berkali-kali Raven menolak untuk bercinta. Pertama, pria itu bilang kalau Maura bukanlah tipe gadis yang ia sukai. Lalu kedua, Raven juga pernah mengatakan ingin mencari tahu kenapa ia memilih Maura, alih-alih memilih tipe idealnya yang berambut pirang dan bermata biru seperti Rebecca. Aargh, apa karena Raven adalah seorang penulis? Hingga hanya

    Last Updated : 2024-07-19
  • Virginity For Sale    12. Sebagai Bukti

    "Raven, kenapa dia juga dibawa ke sini?!" tuntut Rebecca yang menatap kesal ke arah Maura, serta jemari gadis itu yang digenggam oleh Raven. Rebecca tengah asyik berbaring di ranjang mewah berukuran kingsize menunggu pria itu, dan ternyata malah kejutan yang tak menyenangkan yang ia dapati. Seringai tipis penuh arti terlukis di wajah Raven melihat ekspresi kecewa yang kentara di wajah Rebecca. "Aku membawa Moora, karena kita akan memainkan sebuah permainan yang sangat seru," sahutnya sambil kembali menarik tangan Maura dan berjalan mendekat ke arah ranjang. "Aku tidak mau, Tuan Raven. Lepaskan aku!" Maura pun sontak berusaha melepaskan diri dari cengkraman Raven, menolak untuk menjadi bagian permainan entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu. "Diamlah, Moora!" Raven memerangkap tubuh Maura dalam pelukan erat, hingga gadis itu pun menjadi tak berkutik. "Kamu ingin pergi dari Mansion ini kan? Baik, aku akan ijinkan asalkan kamu mau ikut dalam permainan." Maura pun se

    Last Updated : 2024-07-22
  • Virginity For Sale    13. Aku Mau Kamu Yang Melakukannya

    "Hei, Sugar Cookie? Sampai kapan kamu mau terus tertidur, hm?" Suara berat yang mengalun pelan di telinganya serta bibir lembut yang mengecup dadanya, membuat Maura mulai membuka mata dengan sangat perlahan. Uh, kepalanya masih terasa berat dan pusing sekali. Untuk beberapa saat, batin Maura masih berusaha keras untuk mencerna semuanya, dan juga untuk mencerna yang telah terjadi sebelumnya. Maniknya yang masih sayu pun serta merta menoleh ke bawah, dimana kepala bersurai coklat lebat itu tampak asyik bergerilya di dadanya. "Tuan Raven..." Raven mendongak ketika mendengar nada lirih yang memanggil namanya. "Ah, akhirnya kamu sadar juga," cetusnya dengan tersenyum samar. Pria itu merayap di atas tubuh Maura, untuk memindahkan kecupan yang semula mendarat dada Maura, kini ke bibir gadis itu. Namun karena kepalanya yang masih pusing dan sekujur tubuhnya terasa lemas, Maura tak ikut membalas ciuman Raven seperti biasa. Terutama ketika sebuah kilasan memori tiba-tiba s

    Last Updated : 2024-07-23

Latest chapter

  • Virginity For Sale    107. Lompat

    Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu

  • Virginity For Sale    106. Berharap Tidak Kembali

    Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri

  • Virginity For Sale    105. Lebih Berhati-hati

    "Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada

  • Virginity For Sale    104. Tinggal Bersama

    Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “

  • Virginity For Sale    103. Jalan Yang Gelap

    Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa

  • Virginity For Sale    102. Tak Membiarkannya Terluka

    "Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,

  • Virginity For Sale    101. Sasaran

    Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura

  • Virginity For Sale    100. Pertemuan Di Mansion Keluarga King

    Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang

  • Virginity For Sale    99. Hilang

    Di dalam kamar yang diterangi cahaya remang dari lampu di sudut ruangan, Maura berbaring di atas ranjang dengan tubuhnya diselimuti dalam kehangatan Raven. Napas pria itu berhembus dan terasa panas di lehernya, sementara jemarinya dengan lembut mengusap kulitnya yang terasa seperti sutra. Setiap sentuhan Raven membuat Maura tersentak dalam sensasi yang membakar, dengan desahannya yang penuh mengisi ruang di antara mereka. Raven menatap wajah Maura yang merona karena tak berdaya dalam gairah, lalu bibirnya pun melengkung membentuk senyuman puas. "Apa kamu tahu, Moora? Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku hanya untuk memujamu seperti ini," bisiknya seraya mengecup lembut bibir Maura, yang dengan pasrah menerima ciumannya. Maura merintih lirih saat bibir panas Raven kini berpindah untuk mencium dadanya dengan penuh nafsu, lalu menggelitik lekukan lembut itu dengan usapan lidahnya. Ia sungguh tergila-gila oleh rasa manis serta aroma kulit Maura yang selalu terasa memabukkan.

DMCA.com Protection Status