Share

Thomas

Bab 2

Aku sedang nongkrong di Pizzeria, bersama sahabatku Thomas. Maksudnya aku yang nongkrong, sedangkan Thomas bekerja. Lelaki berambut coklat dan bertubuh jangkung itu memang sudah beberapa bulan ini bekerja paroh waktu sebagai pelayan di cafe ini.

Aku meneliti kembali daftar perlengkapan apartemen yang kutulis di buka catatan. Kebiasaanku tanpa sadar saat sedang berpikir adalah menggigit-gigit ujung pensil, atau mengetuk-ngetukkannya ke meja. Tuk tuk tuk ....

1. Perlengkapan mandi : sabun, odol, sikat gigi, sabun cuci muka dan teman-temannya. Done.

2. Perlengkalan kebersihan  : sapu, sikat, tempat sampah, plastik daur ulang khusus tempat sampah, penyedot debu, dan teman-temannya. Done.

2. Perlengkapan dapur : panci, kuali, rice cooker, piring-piring, sendok dan garpu, pisau dapur, pisau roti, dan teman-temannya. Done.

Kemaren, Papa mengajakku ke Hemtex, salah satu toko perlengkapan rumah terbesar di Boras. Linda tidak ikut, karena walaupun hari Minggu,  dia mesti bekerja menjaga stand di pameran pendidikan di kampus. 

Aku sih senang-senang saja, karena sudah cukup lama juga aku dan Papa tidak pergi berdua. Akhir-akhir ini Papa memang sibuk, salah satu bisnisnya di Göteborg bermasalah dengan salah satu pekerja imigran. Entah bagaimana, toko Papa kecolongan mempekerjakan imigran yang resident permit-nya sudah kadaluarsa. Akibatnya Papa harus berurusan dengan polisi dan departemen imigrasi.

"Papa traktir kamu untuk beli semua kebutuhan apartemen. Anggap saja ini hadiah kelulusan dari Papa."

Aku memeluk Papa dengan terharu. Walau Papa memiliki uang banyak, sebelum ini Papa tidak pernah memanjakanku. Papa mendidikku menjadi anak yang sederhana, ramah dan rendah hati. Apa yang aku punya, semuanya standar aja, tidak ada yang mewah.

Mendiang Mormor juga begitu. Tidak akan ada yang menyangka kalau beliau termasuk dalam daftar seratus orang terkaya di Swedia. Karena penampilan Mormor begitu sederhana, tanpa pakaian bernilai ribuan dolar, dan tanpa make up tebal. Mormor biasa membeli pakaiannya di H&M, lini toko pakaian 'sejuta umat' di Swedia. Mobilnya pun cuma Volvo, mobil yang umum ditemui di jalan-jalan di Swedia.

Aku tidak punya mobil seperti anak-anak orang kaya di Indonesia. Aku terbiasa jalan kaki, atau naik bus. Lagipula, Boras hanyalah sebuah kota kecil yang berpenduduk tidak lebih dari seratus ribu jiwa. Satu-satunya kendaraan yang kupunya hanyalah sepeda bermerek Monark yang sudah kumiliki sejak berusia tujuh belas tahun.

Miris banget, kan? Anak-anak orang kaya di Indonesia, dapat hadiah mobil saat menginjak sweet seventeen. Sedangkan aku hanya mendapat sepeda!

Aku dan Papa berkeliling Hemtex selama dua jam lebih. Memenuhi trolli belanjaku dengan handuk, seprai, gorden, piring-piring, mangkuk, panci, kuali, sendok, garpu, dan segala macam perlengkapan rumah tangga. Untuk microwave, kulkas, pemanas ruangan, lemari, tempat tidur dan perabotan lainnya, aku tidak perlu membeli.

Karena sudah termasuk barang yang disediakan pemilik apartemen. Hanya saja aku memang perlu membayar sejumlah deposit, yang akan dikembalikan kelak jika aku mengembalikan barang-barang yang dipinjamkan itu tanpa kerusakan.

"Sudah?," tanya Papa sambil mengangkat alis, saat kami mengantri di depan kasir.

Aku tersenyum lebar dan mengangguk kuat-kuat. "Terima kasih, Papa!"

Papa membalas senyum dan mengacak rambutku. Kuperkirakan, Papa menghabiskan setidaknya dua puluh ribu Krona untuk membayar semua belanjaan ini.  Satu Swedia Krona atau biasa disingkat 1 SEK setara dengan seribu enam ratus rupiah. 

Setelah meninggalkan alamat apartemenku yang baru pada petugas toko, kami melangkah keluar. Nantinya, barang-barang yang kubeli akan dikirim ke apartemen, sehingga kami tidak perlu membawanya sekarang.

"Kamu yakin untuk tinggal sendiri di apartemen?," tanya Papa sambil memasang syal di lehernya. Cuaca bulan Maret memang masih terasa dingin, padahal sudah masuk musim semi.

Swedia memang termasuk salah satu negara skandinavia yang berada di belahan bumi Eropa Utara. Musim dingin disini memang lebih dingin dan lebih lama dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Sepuluh tahun hidup di negara ini, tubuhku mulai beradaptasi. Tidak lagi sering mimisan di setiap musim dingin, seperti saat dulu pertama kami pindah kesini.

"Aku ingin belajar mandiri, Pa," jawabku mantap. "Aku baru saja lulus universitas, jadi sudah waktunya keluar dari rumah. Ini saja sudah ketuaan untuk memulai. Teman-temanku rata-rata keluar dari rumah saat lulus High School."

Baru seminggu yang lalu aku mempertahankan thesisku dihadapan dosen pembimbing dan penguji. Tidak lama lagi aku berhak menyandang gelar sarjana. Tinggal menunggu pesta kelulusan. 

"Hanya saja kamu masih anak kecil di mata Papa. Papa akan kesepian di rumah tanpa kamu yang biasa main gitar di beranda," kata Papa dengan mimik sedih.

Aku memeluk Papa sambil tertawa. "Toh, tak lama lagi Linda akan pindah kesini. Dan kemudian menyusul anak-anak Papa yang lain, kelak."

Papa cuma tersenyum sambil mengangkat bahu. "Tak akan ada yang bisa menggantikanmu. Kamu tetap istimewa bagi Papa."

.

.

.

"Hayoo, melamun!", seru Thomas sambil mengetuk meja, mengagetkanku dari lamunan.

"Apaan sih?," tanyaku bersungut. "Aku lagi mikir, tahu!"

Thomas mengambil buku catatanku dan membacanya. "Hmmm sepertinya semua sudah lengkap. Kecuali bahan-bahan makanan pengisi kulkas."

Aku mengetukkan pensil ke kepalaku. "Benar juga. Pantesan aku merasa ada yang kurang."

"Kamu mau belanja ke mana? ICA?" tanya Thomas menyebut gerai toko harian terkenal di negara ini.

"Kemana lagi? Kecuali kamu mau mengantarku ke toko Asia," jawabku. "Aku kan juga butuh membeli mi instan favorit dari Indonesia."

"Kamu tu ya? Senang sekali makan mi instan," gerutu Thomas sambil cemberut. "Lama-lama rambutmu bisa keriting seperti mi"

Aku tertawa. Aku memang penggemar In**mie sih. "Kamu sudah selesai bekerja?"

Thomas mengangguk sambil melepas celemeknya. "Sebelum ke toko Asia, kita fika dulu yuk. Ada tempat fika yang lagi ngetrend di dekat sungai."

"Asyik! Kamu yang traktir kan, ya?," seruku gembira. Fika adalah kebiasaan minum teh sore-sore di Swedia. Walaupun tidak harus minum teh sih, boleh juga kopi, coke atau minuman yang lain. Kalau di Indonesia, fika itu seperti nongkrong di cafe sore-sore.

"Kamu kaya, tapi kok pelit sih?," gerutu Thomas. Tapi tangannya terulur juga, membantuku berdiri.

Aku tertawa. Kumasukkan buku catatanku ke dalam tote bag unik yang dikirimkan sepupuku Airin dari Bali. Lantas bergegas mengikuti Thomas yang sudah keluar dari Pizzeria.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status