Bab 4
Karena kesorean, akhirnya aku membatalkan rencana untuk berbelanja ke toko Asia. Sebagai gantinya, kami bertiga--aku, Thomas, dan Hang--pergi berbelanja ke ICA yang letaknya hanya beberapa blok dari apartemen baruku di Nerby.
"Tadi siapa yang menelpon?," tanya Thomas sambil membuntutiku ke deretan freezeer berisi makanan beku. Sementara Hang tampak sedang bersemangat memilih beraneka jenis permen di deretan camilan.
"Pengacara kakekku di Indonesia," jawabku malas-malasan. Aku mengambil sekantung ayam beku dan memasukkannya ke keranjang belanja yang dipegang Thomas.
Aku memang belum siap untuk menceritakan perihal sakitnya Kakek Frans pada siapapun. Bagiku, keluargaku di Indonesia adalah orang-orang dari antah berantah, yang tak ingin aku kenal.
Kenangan akan hari-hari terakhir bersama Mama begitu menyakitkan bagiku. Itulah sebabnya mengapa sepuluh tahun ini aku tidak tertarik untuk pulang ke Indonesia.
"Ada apa pengacara Kakekmu menelpon? Apa kamu akan mendapat warisan bernilai jutaan kronor?," tanya Thomas sambil menambahkan beberapa bungkus udang beku ke dalam keranjang belanja.
Thomas hanya satu dari sedikit orang yang tahu bahwa aku blasteran Swedia-Indonesia. Orang-orang yang pertama kali bertemu denganku memang sering bertanya-tanya, darimana kulit berwarna madu ini kudapat? Dan sering mereka menebak, bahwa warna kulitku ini berasal dari salon tanning, yaitu salon khusus untuk merubah warna kulit, dengan berjemur dibawah lampu khusus. Karena wajahku yang khas Eropa Utara dan rambutku yang pirang, kurang matching dengan warna kulitku yang kecoklatan.
Namun, sebenarnya aku juga tidak membenci Indonesia. Bagaimana pun, aku lahir di Indonesia dan pernah menghabiskan sebagian masa kecilku disana. Aku juga suka berteman dengan teman-teman dari Indonesia yang kuliah di kampusku. Lidahku juga sangat Indonesia, senang dengan memakan yang spicy dan pedas. Tapi untuk kembali ke Indonesia? Sepertinya aku harus berpikir ulang.
"Kakekku sakit," ujarku sambil berpindah kebagian susu dan yoghurt. Kuambil satu kotak karton besar susu UHT dan beberapa botol yoghurt. "Dia ingin semua keturunannya datang menjenguk."
"Apa salahnya datang? Mumpung kamu baru lulus kuliah dan belum punya pekerjaan," kata Thomas.
"Kamu tidak tahu Kakekku," ujarku sambil menghembuskan nafas. "Dulu dia sangat menentang kehadiranku. Dia juga tega membuang Mamaku, hanya karena menikah dengan Papaku yang dia sebut orang kafir!"
"Memang keterlaluan sih. Tapi bisa saja sekarang kakekmu sudah menyadari kekeliruannya. Makanya dia menyuruhmu datang, kan?"
"Nggak tahulah," gumamku dengan wajah mengkerut.
Aku memang tipikal cewek yang moody. Dalam kondisi normal, aku bakalan terlihat ceria, spontan, dan bersemangat. Tapi kalau ada yang mengganggu pikiran, langsung deh kayak kerupuk basah. Lemah, lesu, lunglai, dan tak bersemangat.
.
..Ini malam pertama aku menginap di apartemenku di Nerby. Thomas dan Hang ikut membantuku mendekorasi, alhasil apartemenku menjadi lebih cantik dan instagrammable. Apartemen yang kusewa ini tipe satu kamar, tapi memiliki dapur khusus. Luasnya hanya sekitar 26 meter persegi termasuk dapur dan kamar mandi. Kalau untuk mencuci dan menyetrika pakaian, ada ruangan bersama di basement.Namun, alih-alih ikut membantu mendekorasi apartemen, sebagian besar waktuku cuma melamun. Entah kenapa, pesan Kakek untuk menyuruhku pulang, tertanam terus di pikiranku.
Akibatnya aku tak bisa jadi tuan rumah yang baik malam ini. Jika ditanya, aku lebih banyak bengong. Aku tidak menyimak pembicaraan Thomas dan Hang, karena pikiranku mengembara ke mana-mana."Aku senang Feli tinggal disini. Jadi berasa seperti Rachel dan Monika di film Friends," kata Hang dengan gembira. Gadis itu dengan bersemangat menata seikat bunga yang tadi kami beli dalam perjalanan pulang. Hang menggunting tangkai bunga itu dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam vas.
"Friends? Itu mah film jaman Mamaku masih remaja," ledek Thomas sambil mencebik.
"Biarin, aku suka film jadul," kata Hang sambil duduk di kursi meja makanku yang mungil. Meja makan itu terlihat cantik dihiasi seikat bunga kroisan dalam vas kaca. Sepertinya Hang memang punya bakat artistik.
"Kalau Feli suka film sci-fi," balas Thomas sambil melirikku yang sedang melamun. "Dia selalu ikut pertemuan klub film sci-fi setiap Rabu di universitas."
"Oh. Aku juga punya klub film jadul. Pertemuannya setiap Jumat sore."
"Oh," komentar Thomas sambil menguap.
"Kalau kamu suka film apa?"
"Aku suka apa yang disukai Feli," jawab Thomas.
Hang terlihat berusaha keras menyembunyikan kekecewaannya, saat mendengar jawaban Thomas. Wajah mungilnya mendadak mendung.
"Apa kamu suka sama Feli?," tanya Hang dengan suara kecil dan lirih.
"Apa?" tanya Thomas.
"Nggak, lupain aja," jawab Hang sambil mengibaskan tangannya. Beberapa menit kemudian Hang bangkit berdiri.
"Fel, aku pulang ke kamar dulu ya? Kalau kamu butuh sesuatu, ketuk aja pintu apartemenku."
Aku cuma mengangguk, dan memaksakan seulas senyum.
"Terimakasih ya Hang. Maaf, kalau sambutanku kurang bersemangat," ujarku merasa bersalah.
"Mungkin kamu kecapekan membereskan apartemen dan belanja. Selamat beristirahat, Feli."
Aku berdiri di depan pintu, mengamati Hang memasuki kamarnya, di lorong yang sama tapi berjarak beberapa pintu dari kamarku. Hang melambaikan tangan, lantas menghilang masuk ke kamarnya.
"Thomas, aku mau tidur dulu. Kalau kamu mau pulang, tolong matikan lampu ya?," pintaku seraya menyusup ke balik selimut. Thomas hanya mengangguk, dan kembali sibuk dengan gawainya.
Aku berbaring menatap langit-langit kamar. Kenangan sebelas tahun yang silam kembali menari di benakku.
...."Kenapa kita harus pergi?," tanyaku pada Papa."Karena kita tidak bisa tinggal."
"Kenapa kita tidak bisa tinggal?"
"Karena Mama sudah tiada. Tidak ada lagi yang bisa menjamin visa tinggal kita di Indonesia. Kita berdua adalah warga negara Swedia."
"Tapi aku lahir disini!"
"Meskipun kamu lahir disini. Du är svensk. Kamu adalah orang Swedia. Jadi mau tidak mau kita harus pulang ke Boras."
"Ke rumah Mormor?", tanyaku antusias. Mormor adalah Nenekku di Swedia. Mormor sangat baik dan sayang padaku, walaupun aku hanya sesekali bertemu Mormor.
"Ja. Ke rumah Mormor," jawab Papa sambil mengepang rambut pirangku yang panjang. Biasanya Mama yang membantuku mengepang rambut, karena aku belum bisa melakukannya sendiri. Tapi itu dulu, sebelum Mama sakit.
"Mengapa Kakek Frans mengusir kita?," tanyaku sedih sambil memandang rumah kami. Rumah yang sudah kami huni bertahun-tahun lamanya. Rumah sarat kenangan bersama mendiang Mama.
"Kakek Frans tidak mengusir kita," Papa menjelaskan dengan sabar. "Dia hanya mengambil rumahnya kembali."
"Tapi Mas Keanu bilang, rumah ini rumah Mama. Berarti ini rumah kita dong?," tanyaku lagi.
Sepupuku Keanu, memang pernah bilang begitu. Katanya, semua anak Kakek sudah dibuatkan rumah sendiri-sendiri sejak kecil. Om Nial-Kakak Mama yang merupakan Papi Keanu, dibuatkan sebuah rumah di Pondok Indah, Jakarta. Tante Tika, Kakak Mama yang satu lagi, dibuatkan rumah yang sama besarnya di Bandung. Sedangkan Mama dibuatkan rumah di Parung, Bogor. Rumah inilah yang kami tempati selama ini, walau sering juga kami pulang ke Swedia.
"Rumah Mama tidak berarti rumah kita. Setidaknya menurut Kakek Frans begitu. Karena Mama mendapatkan rumah ini dari Kakek Frans, jadi begitu Mama meninggal, rumahnya kembali menjadi milik Kakek Frans."
"Kakek Frans tidak adil," seruku sambil bersungut-sungut. "Dia hanya sayang pada Mas Keanu dan Airin. Apa salahku sehingga aku dibenci?"
"Kamu tidak dibenci, hanya saja Kakek masih sedih. Sudahlah, kita berkemas lagi ya? Lusa kita kembali ke Swedia. Mormor bilang, dia akan membuatkanmu cokokaka yang sangaaaat besar saat kamu pulang nanti," ujar Papa menghiburku.
"Iya, Pa?" tanyaku bersemangat. Cokokaka alias keik coklat buatan Mormorku memang paling lezat sedunia. Coklatnya diimpor khusus dari Belgia, sehingga rasanya sangat lezat.
Papa mengikatkan pita berwarna biru dan kuning di ujung kepanganku. Lantas memelukku kuat-kuat. "Papa janji akan membuatmu bahagia, min älskling."
Tiga alasan mengapa tinggal di Swedia itu menyenangkan.1. Mendapatkan tunjangan pengangguran dari pemerintah.2. Mendapatkan diskon special jika kamu bisa menunjukkan kartu pelajar saat naik transportasi umum dan membeli makanan/minuman di restoran3. Kuliah gratis, air minum gratis, berobat di rumah sakit juga gratis.“Tau nggak sih?”“Enggak!”“Wew, dengerin dulu dong!”, teriakku sewot sambil mendorong punggung Thomas yang berjalan di depanku.Kami sedang berada di selasar kampus, berkeliling mengamati barang-barang gratisan yang sedang ditumpuk di suatu sudut. Lumayan, aku mendapat satu tempat lilin yang bagus untuk dekorasi apartemenku. Aku memang suka sekali lilin aromaterapi. Apalagi yang beraroma peppermint.
“Hmmm…jadi begitu,” komentar Papa manggut-manggut mendengar ceritaku. Kami sedang berada di halaman belakang rumah Mormor yang luas. Saking luasnya, bagian belakang memiliki dermaga pribadi di pinggir danau. Papa senang sekali memancing. Dulu, setiap kali pulang ke Swedia, Papa sering menghabiskan waktu berjam-jam di demaga ini. Dan aku dengan senang hati membantu Papa membersihkan ikan trout yang didapat, kemudian membakarnya untuk makan siang. Sejak dulu, aku memang selalu menjadi asisten Papa yang paling diandalkan. Papaku dulu seorang penulis, fotografer, dan pemilik sebuah blog travelling yang lumayan terkenal pada jamannya. Sebuah pekerjaan yang dianggap Kakek Frans bukan pekerjaan, sehingga dianggap tidak pantas untuk menjadi menantunya. Kakek Frans memang tidak pernah bertemu dengan Mormor, sehingga menganggap Papa hanyalah seorang turis miskin yang kehabisan duit ketika berada di Indonesia.
"Jadi kamu mau pergi ke Indonesia?," tanya Thomas sambil memandangiku berkemas. Wajah lelaki muda berusia sembilan belas tahun itu tampak mendung.Aku mengangguk lemah. "Papa menyuruhku pergi menjenguk Kakek. Mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengan saudara-saudara di Indonesia. Lagipula, aku kangen mengunjungi makam Mamaku.""Aku ingin ikut ke Indonesia," kata Thomas tiba-tiba, membuatku menoleh padanya dengan sebelah alis terangkat."Serius?"Thomas menganggukkan kepalanya kuat-kuat."Tapi mengapa? Aku bukan pergi liburan, lho.""Tak apa, aku pergi liburan sendiri. Kamu selesaikan saja urusanmu dengan Kakekmu."Aku memandang Thomas tak percaya. Bukannya apa-apa, aku tahu betul Thomas tak punya banyak tabungan untuk dihabiskan pergi travelling ke luar negeri. Keluarganya hanya golongan berpenghasilan menengah ke bawah. Ayahnya sudah meninggal, sedangkan Ibunya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan
Bab 1Hallå!Hello semua, selamat datang di cerbung baruku. Walaupun aku sedikit kurang yakin apa cerita ini cocok dengan selera pembaca. But i will try. Aku akan coba. Mesti optimis! Walau sebagai penulis hatiku akan terluka jika tidak ada yang buka bab berbayarku nanti. Hehehe ... Peace!Swedia atau Sweden adalah salah satu negara yang paling melekat di hatiku. Karena ini salah satu negara yang pernah aku tinggal lama, bukan hanya sebagai turis. Aku pernah mengikuti pertukaran pelajar di negara ini dulu, pada jaman dahulu kala. Hehehe, maksudnya sudah lumayan lama. Tahun 2009-2010.Wow, berarti Mak Otor sudah tuir dong? Ya begitulah, sudah ada yang membuntuti di belakang. Tapi bukan ekor.Selamat mengikuti kisah Felisya dalam perseteruan harta warisan Kakek Frans. Jangan lupa subscribe dan ratenya.Tack så mycket.Terima kasih banyak.Bab 1Pindah ke apartemen"Är du sä
Bab 2Aku sedang nongkrong di Pizzeria, bersama sahabatku Thomas. Maksudnya aku yang nongkrong, sedangkan Thomas bekerja. Lelaki berambut coklat dan bertubuh jangkung itu memang sudah beberapa bulan ini bekerja paroh waktu sebagai pelayan di cafe ini.Aku meneliti kembali daftar perlengkapan apartemen yang kutulis di buka catatan. Kebiasaanku tanpa sadar saat sedang berpikir adalah menggigit-gigit ujung pensil, atau mengetuk-ngetukkannya ke meja. Tuk tuk tuk ....1. Perlengkapan mandi : sabun, odol, sikat gigi, sabun cuci muka dan teman-temannya. Done.2. Perlengkalan kebersihan : sapu, sikat, tempat sampah, plastik daur ulang khusus tempat sampah, penyedot debu, dan teman-temannya. Done.2. Perlengkapan dapur : panci, kuali, rice cooker, piring-piring, sendok dan garpu, pisau dapur, pisau roti, dan teman-temannya. Done.Kemaren, Papa mengajakku ke Hemtex, salah satu toko perlengkapan rumah terbesar di Boras. Linda tidak ikut, karena w
"Hej Feli!", seseorang memanggil saat kami memasuki kafe kecil yang menghadap sungai itu.Kota Boras memang dialiri sungai kecil yang indah. Terkadang malah ada burung-burung yang bermain-main air disana. Di pinggir sungai banyak bertebaran kafe-kafe. Salah satunya adalah kafe kecil yang kami datangi ini."Hej Hang!" aku balas melambai dengan heboh. Hang Huang adalah cewek Vietnam bertubuh mungil yang kukenal dari seorang teman Indonesiaku. Kebetulan Hang-lah yang mempromosikan apartemen yang akan kutempati sekarang.Di Swedia, untuk mendapatkan apartemen memang susah-susah gampang. Pertama, kita harus mengisi formulir pendaftaran dulu. Kedua, mesti menunggu sampai tipe apartemen yang kita inginkan tersedia. Artinya penghuni harus menunggu dulu penghuni sebelumnya pindah dari apartemen itu. Ketiga, menunggu sampai apartemen itu dibersihkan dan direfasilitisasi. Sehingga pada saat penghuni baru masuk, apartemen itu berada dalam keadaan p