Share

Thomas Naksir Aku?

"Jadi kamu mau pergi ke Indonesia?," tanya Thomas sambil memandangiku berkemas. Wajah lelaki muda berusia sembilan belas tahun itu tampak mendung. 

Aku mengangguk lemah. "Papa menyuruhku pergi menjenguk Kakek. Mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengan saudara-saudara di Indonesia. Lagipula, aku kangen mengunjungi makam Mamaku."

"Aku ingin ikut ke Indonesia," kata Thomas tiba-tiba, membuatku menoleh padanya dengan sebelah alis terangkat. 

"Serius?"

Thomas menganggukkan kepalanya kuat-kuat.

"Tapi mengapa? Aku bukan pergi liburan, lho."

"Tak apa, aku pergi liburan sendiri. Kamu selesaikan saja urusanmu dengan Kakekmu."

Aku memandang Thomas tak percaya. Bukannya apa-apa, aku tahu betul Thomas tak punya banyak tabungan untuk dihabiskan pergi travelling ke luar negeri. Keluarganya hanya golongan berpenghasilan menengah ke bawah. Ayahnya sudah meninggal, sedangkan Ibunya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan penyedia jasa cleaning service. Dan dia masih punya adik perempuan berumur empat belas tahun. 

"Maaf, aku tidak bisa mengajakmu kali ini. Aku sendiri masih belum tahu apa yang terjadi nanti saat aku disana," ujarku hati-hati memberi penjelasan. "Aku pasti merasa tidak nyaman dan terbebani jika kamu ikut."

Wajah Thomas mendadak muram, bibirnya tertarik ke atas, membentuk rengutan. Entah kenapa aku mendadak tertawa melihat ekspresi Thomas. Sumpah, dia kelihatan imut sekali dengan raut wajah begitu!

"Gemeesss!!," seruku sambil menarik pipi Thomas. "Jelek tahu, merengut kayak gini."

Thomas mencekal tanganku dan menahannya tetap di pipinya yang ditumbuhi cambang tipis. Tatapan matanya instens menyelami mataku. Tajam dan serius, membuatku mendadak menghentikan senyum lebarku.

"Aku tak mau kehilangan kamu, Fel," bisiknya sambil terus menatap mataku.

"Hmmm," aku kehilangan kata-kata. Hatiku mendadak  bergetar. Bahkan untuk mengerjapkan mataku saja rasanya sulit untuk dilakukan. Seolah-olah Thomas tengah menghipnotisku untuk memandangnya terus-terusan.

'Astaga, ini Thomas loh,' batinku. 'Cowok yang sudah menjadi sahabatku sejak aku berusia sebelas tahun dan dia sembilan tahun. Dulu Thomas kecil sering mengikuti ibunya yang bekerja membersihkan rumah Mormor tiga kali seminggu. Aku yang kesepian karena baru datang dari Indonesia, langsung akrab dengan cowok kurus berambut pirang itu. Sejak saat itu dia selalu mengikuti kemana aku pergi. Aku pun senang-senang saja menghabiskan waktu bersamanya. Thomas baik, sedikit pendiam,  dan memiliki suara yang bagus, sehingga cocok denganku yang senang bermain gitar.

Namun, untuk jatuh cinta padanya? Sungguh tak pernah terlintas di benakku.

"Aku tak akan pergi lama," ujarku dengan nada membujuk. "Musim panas mendatang, Papaku dan Linda akan menikah. Tak mungkin dong aku tak datang?"

"Aku takut mereka menahanmu disana," ujar Thomas pelan. 

"Siapa? Kakekku? Dia dulu sangat membenci kehadiranku!"

"Bisa saja Kakekmu sudah berubah kan? Bisa saja dia menyesal sudah menyia-nyiakanmu dulu, dan ingin menebusnya sekarang?"

"Kurasa tidak", ujarku mantap, sambil mencoba melepaskan tanganku dari cekatan Thomas.

 Rasanya risih juga, kami berpegang tangan seperti ini. Aku takut salah paham dalam menafsirkan sikap Thomas kali ini. Aku takut hatiku mengkhianatiku. Demi apapun, kami cuma  bersahabat kan?

Namun keinginan dan tindakan memang sering tidak sejalan. Alih-alih melepaskan tanganku, Thomas malah menggenggamnya makin erat. Dan perlahan tubuhnya mencondong ke arahku, sehingga tatapanku terkunci di bola matanya yang biru.

"Aku sayang kamu, Feli. Sejak dulu," bisiknya dengan bibir sangat dekat dengan wajahku.

Lidahku mendadak kelu. Akal sehatku mengembara entah kemana. Dan aku seperti tidak sadar saat bibir ini berlabuh di bibirnya.

Sedetik. Atau cuma setengah detik? Karena saat berikutnya kami belingsatan menjauh saat pintu kamarku mendadak terbuka, dan Hang berdiri di depan pintu dengan mata terbelalak.

"Sorry, aku...," gadis mungil itu geragapan mencari kata. Dari ekspresi wajahnya aku tahu, Hang pasti melihat adegan aku mencium Thomas.

"Masuk Hang, kami cuma sedang mengobrol biasa," ujarku setelah terbengong beberapa saat.

Tapi gadis itu menggeleng, matanya tampak berkaca-kaca. "Nanti saja aku balik lagi," ujarnya sambil  membanting pintu kamarku dengan keras.

Aku dan Thomas saling pandang. "Kejar dia, gih! Hang naksir kamu, tahu!" suruhku.

Tapi Thomas hanya menggeleng, tangannya masih erat memegang tanganku. "Aku lelah bersikap biasa, Feli. Aku cuma mau jujur, jag älskar dig.  Aku mencintaimu, Felisya Hanson!"

.

.

.

Aku memandang buku tabungan di tanganku. Disana tertulis saldo sebesar SEK 300.000 atau sekitar empat ratus juta rupiah. Jumlah yang sangat fantastis buat gadis sederhana sepertiku. Begitu gampangnya Kakek Frans memberiku uang sebanyak ini. Apa itu sebagai penebus kesalahannya karena pernah menyia-nyiakan aku dan Mama?

Tadinya aku memang agak ragu untuk menguangkan cek yang dikirimkan pengacara Kakek. Tapi setelah aku pikir-pikir, aku berhak atas uang itu. Anggap saja itu sebagai kompensasi dari kekecewaanku di masa silam, atas perlakuan Kakek yang tidak adil pada keluargaku.

Pikiranku melayang pada masa silam, pada momen-momen dimana aku diundang pada pesta ulang tahun sepupu-sepuku--Airin atau pun Mas Keanu. Pada hari ulang tahun, mereka selalu mendapat hadiah istimewa dari Kakek. Rumah boneka yang diimpor dari Belanda untuk pesta ulang tahun Airin yang kelima. Sepeda BMX yang ngetrend di zamannya untuk hadiah ulang tahun Mas Keanu yang ke tujuh. Jam tangan mahal untuk hadiah ulang tahun Airin yang ke sembilan. Game box seri teranyar untuk hadiah ulang tahun Mas Keanu yang ke tiga belas. Mereka berdua memang sering dihujani hadiah-hadiah mahal oleh Kakek. Karena mereka berdua adalah cucu kesayangan Kakek. Tante Tika, kakak Mama yang sulung, memang tidak memiliki anak. Sedangkan aku, adalah cucu yang tak dianggap, sehingga tak pernah diberikan hadiah ulang tahun oleh Kakek Frans.

Dulu  sewaktu umurku masih empat atau lima tahun, aku sering menangis iri setiap kali Airin--sepupu yang sebaya denganku --memamerkan hadiah ulang tahun yang didapatnya dari Kakek. Tapi lama kelamaan aku jadi mati rasa,  dan tidak lagi menganggap hadiah ulang tahun adalah sesuatu hal yang penting. Untuk mengobati kekecewaanku, setiap ulang tahunku di bulan Juni, Papa mengajakku dan Mama terbang ke Swedia. Kami menghabiskan musim panas di Boras, di rumah Mormor yang besar dengan halaman yang super duper luas. Kebiasaan itu sempat terhenti saat ulang tahunku yang ke sepuluh, saat Mama divonis menderita kanker lidah yang cukup ganas. Setahun itu kami lewatkan dalam kesedihan, dalam kekhawatiran akan kehilangan Mama. Sehingga aku tidak sempat lagi meributkan ritual di ulang tahunku yang ke sebelas.

Kami bertahan di Bogor selama setahun, menemani Mama berjuang memerangi penyakitnya. Hingga akhirnya Mama meninggal di bulan Agustus, dua bulan setelah ulang tahunku yang kesebelas. Setelah pemakaman Mama, aku dan Papa pergi jauh melintasi sebagian dunia, tak pernah lagi menoleh ke belakang.

 Sampai hari ini, saat aku mempertimbangkan untuk pulang.

.

.

.

Dari bank, aku berjalan kaki menuju sebuah biro perjalanan untuk memvalidasi tiket pesawat yang dikirim Pak Herman, pengacara kakek.

 Boras hanyalah sebuah kota kecil yang bisa dikelilingi dengan berjalan kaki. Apalagi semua biro pelayanan umum, kantor polisi, toko-toko, kantor walikota, dan universitas, letaknya berdekatan satu sama lain.

Aku memesan tiket pulang pergi dari Bandara Lanverter di kota Göteborg, menuju Jakarta, dengan transit di Amsterdam, Belanda, untuk tanggal 22 April dan kembali tanggal 22 Mei. Satu bulan di Indonesia kurasa sudah lebih dari cukup. Lagipula aku harus membantu Papa mempersiapkan pernikahannya di musim panas di bulan Juni nanti.

Wetryfebrina

Ikuti dan like cerita ini ya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status