Bab 1
Hallå!Hello semua, selamat datang di cerbung baruku. Walaupun aku sedikit kurang yakin apa cerita ini cocok dengan selera pembaca. But i will try. Aku akan coba. Mesti optimis! Walau sebagai penulis hatiku akan terluka jika tidak ada yang buka bab berbayarku nanti. Hehehe ... Peace!
Swedia atau Sweden adalah salah satu negara yang paling melekat di hatiku. Karena ini salah satu negara yang pernah aku tinggal lama, bukan hanya sebagai turis. Aku pernah mengikuti pertukaran pelajar di negara ini dulu, pada jaman dahulu kala. Hehehe, maksudnya sudah lumayan lama. Tahun 2009-2010.
Wow, berarti Mak Otor sudah tuir dong? Ya begitulah, sudah ada yang membuntuti di belakang. Tapi bukan ekor.
Selamat mengikuti kisah Felisya dalam perseteruan harta warisan Kakek Frans. Jangan lupa subscribe dan ratenya.
Tack så mycket.
Terima kasih banyak.Bab 1Pindah ke apartemen
"Är du säker på att du vill flytta in i en lägenhet? Apa kamu yakin mau pindah ke apartemen?", tanya Linda--tunangan Papaku-- sambil mengamatiku berkemas.
Kami sedang berada di kamarku. Kamar yang sudah kuhuni selama hampir sepuluh tahun ini, sejak aku dan Papa pindah dari Indonesia ke Swedia. Kamar mungil dan cantik dengan gorden dan seprai yang serasi, motif bunga-bunga dengan warna pink lembut, yang sekarang tenar dengan istilah 'shabby'. Mormor alias Nenekku yang mendekorasi kamar ini untukku--cucunya semata wayang--sepuluh tahun yang lalu. Dan dekorasi itu tetap kupertahankan sampai aku berusia 21 tahun sekarang, demi menghargai kenangan terhadap Mormor.
Mormor meninggal lima tahun yang lalu karena penyakit jantung. Kepergian Mormor yang mendadak sempat menimbulkan kesedihan yang mendalam bagiku, karena mengingatkanku akan kepergian Mama yang dramatis karena kanker lidah saat aku masih berusia sebelas tahun. Entah mengapa aku ditinggal mati oleh orang-orang tersayang? Hal itu sempat menimbulkan trauma bagiku.
Karena itu aku sempat overprotektif terhadap Papa. Bahkan aku sempat mengambil kuliah di bidang nutrisi selama setahun di Göteborg, sebelum transfer ke kampusku yang sekarang di Boras. Aku sangat menjaga pola makan Papa, supaya tetap sehat.
"Ja (ya). Aku sangat yakin!" jawabku bersemangat menganggukkan kepalaku kuat-kuat. " Aku tidak ingin mengganggu kalian, calon pengantin baru."
"Kami tidak merasa terganggu kok. Kalau kamu tinggal bersama kami, i am fine. Lagipula Papamu kan bolak-balik Boras-Göteborg untuk mengurusi bisnis. Aku juga sibuk kerja di universitas. Jadi rumah ini bakalan sunyi jika hanya dihuni kami berdua."
"Maka tugas kalian adalah membuatnya rame! Bikin adik-adik yang cantik dan ganteng buatku. Aku pesan dua!",seruku sambil mengangkat tanganku dalam pose 'V'.
Linda tertawa. "Lagakmu kayak lagi pesan Pizza di restoran aja, Fel. Memangnya bikin anak sama gampangnya seperti membuat Pizza? Tinggal kasih toping sesuai pesanan, masukkan ke microwave. Lalu ting! Selesai."
"Jangan lupa tambahkan mustard dan saos!"
"Dan sedikit bubuk oregano!"
"Yummyyy!!" seru kami serentak sambil mengerucutkan tangan dan mengecupnya di udara. Lalu tertawa terkekeh bersama.
Begitulah keseharianku dengan Linda. Tidak ada konflik ibu dan anak tiri, seperti yang banyak terjadi di novel-novel.
Linda Lynn adalah seorang tenaga administrasi di kampus tempat aku kuliah. Dia juga seorang penggemar film-film science fiction, karena itulah aku sering bertemu dengannya setiap Rabu sore di filmklassrum di kampus. Awalnya aku mengira dia juga seorang mahasiswa sepertiku, karena wajahnya yang imut dan perawakannya yang mungil, sampai suatu ketika aku melihatnya bekerja di balik loket studentbyrå (bagian kemahasiswaan) kampus.
Namun bagaimana dia bisa bertemu Papaku dan menjalin hubungan, itu masih merupakan misteri bagiku. Karena kalau kutanya pada mereka, jawabannya sering tidak sama. Papaku bilang, dia sering melihat Linda saat jogging di taman kota. Sering ketemu, jadinya jatuh cinta. Sedangkan versi Linda, dia berkenalan dengan Papa saat sedang antri belanja di Knalleland. Apapun itu, faktanya Linda dan Papaku sudah bersama-sama selama 2 tahun.
Seminggu yang lalu mereka mengadakan pesta pertunangan di halaman belakang rumah kami di tepi danau. Rumah Mormor, lebih tepatnya. Tapi karena Mormor sudah meninggal, Papa yang mewarisi rumah besar ini. Begitu juga dengan semua bisnis-bisnis warisan Mormor.
Mormorku memang kaya raya. Selain punya beberapa franchise restoran Mc Donald, Mormor juga punya bisnis percetakan di beberapa kota besar di Swedia.
Pertunangan itu dirayakan dengan sebuah pesta kebun kecil yang dihadiri keluarga dan kolega. Dengan acara barbeque ala Swedia. Lengkap dengan ikan salmon, ikan hering, salad dan acar. Berkrat-krat bir ditumpuk di mana-mana. Serta gunungan kue-kue kecil, permen dan coklat, yang diam-diam kuselundupkan ke sudut kebun, tempat persembunyianku selama pesta berlangsung.
Dan mereka akan menikah di musim panas yang akan datang.
Itu artinya tiga bulan lagi Papa resmi melepas status duda yang disandangnya selama sepuluh tahun ini. Sepuluh tahun yang kami habiskan berdua, setelah Mama meninggal dunia. Sepuluh tahun melarikan diri dari Indonesia. Atau lebih tepatnya melarikan diri dari kenangan pahit kematian Mamaku.
"Apa yang kamu butuhkan untuk apartemen baru?," tanya Linda sambil duduk di depan meja belajar. "Gorden yang cantik mungkin? Atau perlengkapan dapur?"
"Perlengkapan dapur oke juga," jawabku. "Aku dapat apartemen yang punya dapur sendiri. Biaya sewanya tentu lebih mahal dari yang share kitchen. Hanya saja aku tidak ingin menimbulkan aroma spicy yang kuat di dapur yang dipakai bersama, saat aku memasak makanan ala Indonesia. Bagi sebagian orang Swedia yang masakannya minim rempah-rempah, hal itu terkadang menganggu. Aku tak mau mendapat komplen hanya gara-gara itu."
"Perlengkapan dapur. Noted!", kata Linda sambil memberi isyarat ceklis dengan jarinya.
Aku terkekeh melihat gaya Linda yang karikaturis. Umur Linda baru dua puluh tujuh tahun, tujuh belas tahun lebih muda dari Papaku. Bagiku, Linda memang lebih mirip seperti kakak perempuan. Entah bagaimana ceritanya dia bisa berakhir dengan lelaki setua Papaku.
Papaku sudah berusia empat puluh empat tahun, sebulan lagi empat puluh lima. Memang sih Papa masih terlihat gagah. Tapi tetap aja ... tua! Awalnya terasa aneh mengetahui Papa berkencan dengan gadis yang usianya tidak beda jauh dariku. Awalnya kupikir, Linda hanya mengincar uang Papa, yang saat itu baru saja mengembangkan bisnis-bisnis besar.
Aku memang belum pernah jatuh cinta sih. Jadi aku belum bisa mengambil kesimpulan apakah Linda tulus mencintai Papaku, atau tidak. Tapi setidaknya, Linda dan aku bisa menjadi teman baik.
Bab 2Aku sedang nongkrong di Pizzeria, bersama sahabatku Thomas. Maksudnya aku yang nongkrong, sedangkan Thomas bekerja. Lelaki berambut coklat dan bertubuh jangkung itu memang sudah beberapa bulan ini bekerja paroh waktu sebagai pelayan di cafe ini.Aku meneliti kembali daftar perlengkapan apartemen yang kutulis di buka catatan. Kebiasaanku tanpa sadar saat sedang berpikir adalah menggigit-gigit ujung pensil, atau mengetuk-ngetukkannya ke meja. Tuk tuk tuk ....1. Perlengkapan mandi : sabun, odol, sikat gigi, sabun cuci muka dan teman-temannya. Done.2. Perlengkalan kebersihan : sapu, sikat, tempat sampah, plastik daur ulang khusus tempat sampah, penyedot debu, dan teman-temannya. Done.2. Perlengkapan dapur : panci, kuali, rice cooker, piring-piring, sendok dan garpu, pisau dapur, pisau roti, dan teman-temannya. Done.Kemaren, Papa mengajakku ke Hemtex, salah satu toko perlengkapan rumah terbesar di Boras. Linda tidak ikut, karena w
"Hej Feli!", seseorang memanggil saat kami memasuki kafe kecil yang menghadap sungai itu.Kota Boras memang dialiri sungai kecil yang indah. Terkadang malah ada burung-burung yang bermain-main air disana. Di pinggir sungai banyak bertebaran kafe-kafe. Salah satunya adalah kafe kecil yang kami datangi ini."Hej Hang!" aku balas melambai dengan heboh. Hang Huang adalah cewek Vietnam bertubuh mungil yang kukenal dari seorang teman Indonesiaku. Kebetulan Hang-lah yang mempromosikan apartemen yang akan kutempati sekarang.Di Swedia, untuk mendapatkan apartemen memang susah-susah gampang. Pertama, kita harus mengisi formulir pendaftaran dulu. Kedua, mesti menunggu sampai tipe apartemen yang kita inginkan tersedia. Artinya penghuni harus menunggu dulu penghuni sebelumnya pindah dari apartemen itu. Ketiga, menunggu sampai apartemen itu dibersihkan dan direfasilitisasi. Sehingga pada saat penghuni baru masuk, apartemen itu berada dalam keadaan p
Bab 4Karena kesorean, akhirnya aku membatalkan rencana untuk berbelanja ke toko Asia. Sebagai gantinya, kami bertiga--aku, Thomas, dan Hang--pergi berbelanja ke ICA yang letaknya hanya beberapa blok dari apartemen baruku di Nerby."Tadi siapa yang menelpon?," tanya Thomas sambil membuntutiku ke deretan freezeer berisi makanan beku. Sementara Hang tampak sedang bersemangat memilih beraneka jenis permen di deretan camilan."Pengacara kakekku di Indonesia," jawabku malas-malasan. Aku mengambil sekantung ayam beku dan memasukkannya ke keranjang belanja yang dipegang Thomas.Aku memang belum siap untuk menceritakan perihal sakitnya Kakek Frans pada siapapun. Bagiku, keluargaku di Indonesia adalah orang-orang dari antah berantah, yang tak ingin aku kenal.Kenangan akan hari-hari terakhir bersama Mama begitu menyakitkan bagiku. Itulah sebabnya mengapa sepuluh tahun ini aku tidak tertarik untuk pulang ke Indonesia."Ada apa
Tiga alasan mengapa tinggal di Swedia itu menyenangkan.1. Mendapatkan tunjangan pengangguran dari pemerintah.2. Mendapatkan diskon special jika kamu bisa menunjukkan kartu pelajar saat naik transportasi umum dan membeli makanan/minuman di restoran3. Kuliah gratis, air minum gratis, berobat di rumah sakit juga gratis.“Tau nggak sih?”“Enggak!”“Wew, dengerin dulu dong!”, teriakku sewot sambil mendorong punggung Thomas yang berjalan di depanku.Kami sedang berada di selasar kampus, berkeliling mengamati barang-barang gratisan yang sedang ditumpuk di suatu sudut. Lumayan, aku mendapat satu tempat lilin yang bagus untuk dekorasi apartemenku. Aku memang suka sekali lilin aromaterapi. Apalagi yang beraroma peppermint.
“Hmmm…jadi begitu,” komentar Papa manggut-manggut mendengar ceritaku. Kami sedang berada di halaman belakang rumah Mormor yang luas. Saking luasnya, bagian belakang memiliki dermaga pribadi di pinggir danau. Papa senang sekali memancing. Dulu, setiap kali pulang ke Swedia, Papa sering menghabiskan waktu berjam-jam di demaga ini. Dan aku dengan senang hati membantu Papa membersihkan ikan trout yang didapat, kemudian membakarnya untuk makan siang. Sejak dulu, aku memang selalu menjadi asisten Papa yang paling diandalkan. Papaku dulu seorang penulis, fotografer, dan pemilik sebuah blog travelling yang lumayan terkenal pada jamannya. Sebuah pekerjaan yang dianggap Kakek Frans bukan pekerjaan, sehingga dianggap tidak pantas untuk menjadi menantunya. Kakek Frans memang tidak pernah bertemu dengan Mormor, sehingga menganggap Papa hanyalah seorang turis miskin yang kehabisan duit ketika berada di Indonesia.
"Jadi kamu mau pergi ke Indonesia?," tanya Thomas sambil memandangiku berkemas. Wajah lelaki muda berusia sembilan belas tahun itu tampak mendung.Aku mengangguk lemah. "Papa menyuruhku pergi menjenguk Kakek. Mungkin ini adalah pertemuan terakhirku dengan saudara-saudara di Indonesia. Lagipula, aku kangen mengunjungi makam Mamaku.""Aku ingin ikut ke Indonesia," kata Thomas tiba-tiba, membuatku menoleh padanya dengan sebelah alis terangkat."Serius?"Thomas menganggukkan kepalanya kuat-kuat."Tapi mengapa? Aku bukan pergi liburan, lho.""Tak apa, aku pergi liburan sendiri. Kamu selesaikan saja urusanmu dengan Kakekmu."Aku memandang Thomas tak percaya. Bukannya apa-apa, aku tahu betul Thomas tak punya banyak tabungan untuk dihabiskan pergi travelling ke luar negeri. Keluarganya hanya golongan berpenghasilan menengah ke bawah. Ayahnya sudah meninggal, sedangkan Ibunya bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan