Bre membantu anak-anak untuk memilih varian es krim. Sementara Bu Rika menyuruh Hilya dan kakaknya memilih menu. Mbak Asmi sampai sungkan dan bingung harus memilih apa. Yang ia kenal hanya masakan Nusantara. Sementara di daftar menu, ada beberapa pilihan western food. "Kamu yang pilih, Hil," ujarnya lirih."Ayo, Nak Asmi. Pilih menu yang kalian mau," ujar Bu Rika menyadari kecanggungan mereka.Tidak lama kemudian, seorang pramusaji datang mengambil catatan pesanan. Sambil menunggu, mereka berbincang. Suasana mulai santai seiring dengan percakapan mereka yang mulai mengalir. Anak-anak masih duduk anteng sambil makan snack dan es krim yang disuguhkan lebih dulu. Hilya tadi khawatir kalau Rifky tidak bisa duduk diam.Bu Rika, Mbak Asmi, dan Hilya berbincang untuk saling mengenal. Sementara Bre disibukkan dengan Rifky dan Yazid yang makan es krim.Meski sambil menanggapi ucapan Bu Rika, Mbak Asmi bisa merasakan ketulusan Bre pada anak-anak. Sikap yang natural, tidak dipaksakan.Tidak lam
Angin malam berhembus lembut menyapa Hilya dan Bre yang duduk berhadap-hadapan di meja bundar kecil. Lampu‐lampu kota berkilau di bawah sana, menciptakan latar yang romantis dan penuh harapan. Suasana sepi dan hangat mengelilingi mereka, sementara musik jazz mengalun dari speaker tersembunyi. "Maaf, Mbak Hilya. Kalau mama saya terlalu mendesak tadi." "Nggak apa-apa, Pak Bre. Saya mengerti perasaan seorang ibu," jawab Hilya dengan dada berdebar-debar. "Tapi saya memang serius. Saya harap Mbak Hilya mempercayai itu." Hilya menatap jauh ke langit malam. "Saya hidup bukan untuk diri saya sendiri dan Rifky. Tapi ada Mbak Asmi dan Yazid. Saya nggak bisa ninggalin mereka." "Saya tidak meminta Mbak Hilya untuk meninggalkan mereka. Saya tahu bagaimana Mbak mencintai Mbak Asmi dan anaknya. Saya bersedia merangkul semuanya. Saya akan menanggung juga kehidupan mereka." Sejenak Hilya merasakan napasnya terhenti. Meski keraguan membisiki, tapi ia melihat ketulusan lelaki itu. Mata Bre me
USAI KEPUTUSAN CERAI- Calon SuamiAuthor's POV Arham gelisah karena pesan yang dikirim pada mantan kakak iparnya belum di respon walaupun sudah dibaca. Ia melihat jam di layar ponselnya. Sudah hampir setengah sepuluh malam. Arham memandang langit yang kelam. Seolah mencerminkan perasaan yang terjebak dalam kenangan dan penyesalan.Sebenarnya mereka ke mana?Pasti sekarang pertemanan Hilya semakin luas karena jabatannya sudah bagus di perusahaan. Mungkin rekannya yang mengundang mereka malam itu. Hilya yang pernah dikhianati, kini bangkit dengan usahanya sendiri.Arham menatap kosong ke arah jalan yang sepi, berpikir tentang Rifky yang sudah hampir dua bulan tidak ia temui. Rindu itu begitu menyiksa, membuatnya ingin segera mengulurkan tangan memeluk sang anak.Perasaan Arham porak poranda. Hubungan dengan Atika semakin meruncing. Setiap hari adanya hanya pertempuran yang tiada habisnya.Di tengah kekacauan rumah tangganya dengan Atika, Arham mulai membayangkan sebuah kemungkinan me
"Aku tadi mengajukan persyaratan pada Bre. Aku bisa mempertimbangkan asalkan Mbak Asmi dan Yazid boleh ikut bersamaku.""Jangan begitu. Mbak akan baik-baik saja bersama Yazid. Kalian bisa mengunjungi kami kapan pun. Sebab mbak rasa, Bre pasti akan mengajakmu tinggal di Malang. Kami juga bisa mengunjungi kalian di sana."Hilya diam sejenak, menatap layar televisi yang menyala dengan hiburan ringan. Namun pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa pilihan hatinya tidaklah mudah. Di satu sisi, ada Bre yang menawarkan kebahagiaan dan kepastian setelah tiga bulan mereka saling kenal. Di sisi lain ada keterikatan emosional yang mendalam terhadap kakak dan keponakannya."Aku nggak akan mengambil keputusan apapun kalau Mbak nggak ikut kami."Mbak Asmi mengusap bahu adiknya dengan lembut. "Hilya, kamu harus pikirkan juga apa yang terbaik untukmu dan Rifky. Jangan bebani Bre dengan hal yang bukan tanggungjawabnya.""Nggak, Mbak. Ini memang syarat yang kuberikan. Sebab Mbak dan Yazid keluarga yang
Arham terhenyak sejenak. Siapa Om Ble yang dimaksud anaknya. Apakah kekasihnya Hilya? Perasaan Arham tak enak. Benarkah Hilya sudah membuka hati pada lelaki lain? Namun Rifky pasti belum mengerti kalau ditanya.Tidak lama kemudian, Hilya muncul dari dalam. Wanita itu tampak cantik dan anggun, memakai setelan kerja celana panjang abu-abu dan blouse warna putih. Parfumnya tercium dengan aroma lembut. Hilya tidak pernah mengganti wangi parfumnya."Rifky, bunda berangkat kerja, ya," pamitnya memandang sang anak di pangkuan papanya."Iya." Rifky turun lalu mencium tangan bundanya."Nggak boleh nakal sama budhe di rumah.""Iya, Unda."Hilya berjongkok, mencium kedua pipi putranya dan sejenak mata mereka saling pandang. Rifky tersenyum bersipandang dengan bundanya. Kemudian Hilya berdiri dan memandang Arham. "Mas, kutinggal dulu!" pamit Hilya.Arham mengangguk dan dari balik jendela kaca ruang tamu, ia memandangi mantan istrinya hingga pergi mengendarai motor. Ada cinta dan rindu yang membun
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sebuah Jawaban Author's POV Tidak hanya Pak RT, Hilya dan Mbak Asmi yang mendengarnya pun terkejut dengan jawaban Bre. Namun Mbak Asmi mendukung pria itu, agar Hilya tidak kelamaan berpikir. Dirinya memang pernah merasakan sakit dan kecewa, tapi dia tidak ingin Hilya terlalu lama dalam traumanya."Oh, Alhamdulillah kalau Nak Hilya sudah punya calon. Memang nggak baik juga kalau kelamaan sendiri. Nak Hilya masih muda." Pak RT memandang Hilya dan Bre bergantian. Memperhatikan mereka sampai selesai menata barang.Hilya tidak berkutik. Dia tidak mungkin membantah, tapi ucapan Bre bisa menjadi berita heboh di lingkungan mereka tak lama lagi. Perasaannya campur aduk. Duh senekat itu, Bre."Maaf, kami pergi dulu, Pak," pamit Bre pada Pak RT. Hilya juga mengangguk sopan. "Hati-hati di jalan!""Makasih, Pak."Hilya hendak membuka pintu belakang, tapi Bre menahannya. "Duduk di depan saja, Mbak Hilya." Pria itu membukakan pintu bagian depan.Tidak lama kemudian mobil me
"Kita sarapan dulu di rest area, ya? Kalian belum sarapan, kan?" tanya Bre memandang Hilya."Iya, Pak." Hilya mengangguk. Jarak beberapa meter kemudian Bre membelokkan mobilnya di rest area Singosari.Mereka turun dan langsung menuju sebuah rumah makan. Anak-anak turun dan berlarian lebih dulu. Mereka sungguh ceria. Mbak Asmi baru melihat, bagaimana anak-anak begitu bahagia. Ia yang mengawasi dua bocah lelaki itu, supaya Hilya dan Bre memiliki kesempatan untuk saling bicara. Namun sampai mereka melanjutkan perjalanan lagi, Bre tidak bicara apa-apa. Waktunya tidak pas untuk membahas hal yang serius.Setelah perjalanan beberapa lama, mereka tiba juga di Batu. Suasana di sana berbeda. Udara sejuk, pepohonan rindang, tidak seperti Surabaya yang membara dan berisik. "Kita mampir dulu ke rumah saya. Untuk menjemput Leon." Bre mengajak Hilya dan keluarganya mampir di rumahnya terlebih dahulu."Ya, Pak."Saat mereka tiba di depan sebuah rumah dua lantai dengan halaman luas dan taman yang te
Bre dengan tekadnya, terus berusaha membuka hati Hilya. Meski ada kemungkinan dia akan ditolak jika terus mendesak. Hilya yang telah melalui begitu banyak luka, sudah pasti penuh pertimbangan untuk membuat keputusan.Dia tidak bisa terus menunggu, sementara dalam diamnya dia tahu kalau Tristan menyukai wanita yang duduk di sebelahnya ini. Bre bisa menduganya, karena dia pun sudah cukup berpengalaman untuk memahami bahasa tubuh seseorang. "Hilya, setiap jiwa, betapapun terlukanya pasti masih mendambakan kebahagiaan."Hilya mengangguk pelan. Bre benar. Tidak dipungkiri kalau dia pun berharap bisa kembali merasakan kebahagiaan. Berharap di antara segala rintangan akan tumbuh sebuah cinta yang mampu menyembuhkan setiap luka. Cinta yang bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga menyatukan dua hati dalam kehangatan yang tulus.Hanya saja karena ketakutannya akan kembali dikecewakan, membuat Hilya mengabaikan itu semua."Saya masih ingat ucapanmu saat kita dinner seminggu yang la
Namun ia sudah terjebak ke dalam labirin yang tidak tahu di mana jalan keluarnya. Seumur hidup, sungguh terlalu lama. Sementara itu ponsel Tristan yang tergeletak di meja, layarnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Bre.[Kamu di mana, Bro? Jadi ke Semarang.][Ya. Aku di Semarang sekarang.][Semarangnya mana?][Aku nginap Hotel Mustika.][Aku juga ada di Semarang. Bisa kita ketemuan? Aku tidak jauh dari situ.]Tristan terdiam. Bagaimana ini bisa kebetulan sekali. Bertemu di tempat yang sama padahal Semarang begitu luasnya. Beberapa hari yang lalu, ia memang memberitahu Bre kalau ada pekerjaan di Semarang. Tapi kenapa bisa sama, padahal kemarin Bre tidak bilang apa-apa.Tristan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Hilya malam ini. Dia tidak ingin gangguan. Namun menolak Bre juga bukan pilihan. Sebab selama ini dia merahasiakan siapa wanita yang membuatnya mendua.Akhirnya Tristan mengiyakan.Setengah jam kemudian, seorang pria tinggi dengan kemeja na
Namun Bre kian resah karena belum ada pesan masuk dari Hilya. Yang pasti sekarang Hilya sudah ada di kantor yang mereka tuju. Apa sesibuk itu, hingga tidak sempat mengirimkan pesan padanya?"Hilya mau kan kamu ajak pindah ke Malang?""Kami akan membahasnya nanti. Masih banyak yang perlu kami bicarakan."Bu Rika manggut-manggut. "Kamu nggak ingin ketemu Hilya dulu sebelum berangkat ke Semarang?""Iya, nanti kami ketemuan." Bre tidak ingin menceritakan keresahannya pada sang mama. Daripada nanti jadi kepikiran. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan Hilya terlepas."Sebelum berangkat, kamu makan siang dulu. Bentar, mama siapin." Bu Rika beranjak ke belakang. Menghampiri ART-nya yang tengah memasak. Sedangkan Bre buru-buru meraih ponselnya di atas meja saat benda pipih itu berpendar. Keresahannya spontan berubah kelegaan saat Hilya mengirimkan nama dan alamat hotel tempat mereka menginap. Juga mengirimkan informasi alamat terkini.[Oke. Kita ketemu di situ ya.][Iya.] Jawaban singkat dar
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t
"Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na
Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli
USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn