"Kita sarapan dulu di rest area, ya? Kalian belum sarapan, kan?" tanya Bre memandang Hilya."Iya, Pak." Hilya mengangguk. Jarak beberapa meter kemudian Bre membelokkan mobilnya di rest area Singosari.Mereka turun dan langsung menuju sebuah rumah makan. Anak-anak turun dan berlarian lebih dulu. Mereka sungguh ceria. Mbak Asmi baru melihat, bagaimana anak-anak begitu bahagia. Ia yang mengawasi dua bocah lelaki itu, supaya Hilya dan Bre memiliki kesempatan untuk saling bicara. Namun sampai mereka melanjutkan perjalanan lagi, Bre tidak bicara apa-apa. Waktunya tidak pas untuk membahas hal yang serius.Setelah perjalanan beberapa lama, mereka tiba juga di Batu. Suasana di sana berbeda. Udara sejuk, pepohonan rindang, tidak seperti Surabaya yang membara dan berisik. "Kita mampir dulu ke rumah saya. Untuk menjemput Leon." Bre mengajak Hilya dan keluarganya mampir di rumahnya terlebih dahulu."Ya, Pak."Saat mereka tiba di depan sebuah rumah dua lantai dengan halaman luas dan taman yang te
Bre dengan tekadnya, terus berusaha membuka hati Hilya. Meski ada kemungkinan dia akan ditolak jika terus mendesak. Hilya yang telah melalui begitu banyak luka, sudah pasti penuh pertimbangan untuk membuat keputusan.Dia tidak bisa terus menunggu, sementara dalam diamnya dia tahu kalau Tristan menyukai wanita yang duduk di sebelahnya ini. Bre bisa menduganya, karena dia pun sudah cukup berpengalaman untuk memahami bahasa tubuh seseorang. "Hilya, setiap jiwa, betapapun terlukanya pasti masih mendambakan kebahagiaan."Hilya mengangguk pelan. Bre benar. Tidak dipungkiri kalau dia pun berharap bisa kembali merasakan kebahagiaan. Berharap di antara segala rintangan akan tumbuh sebuah cinta yang mampu menyembuhkan setiap luka. Cinta yang bukan hanya memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga menyatukan dua hati dalam kehangatan yang tulus.Hanya saja karena ketakutannya akan kembali dikecewakan, membuat Hilya mengabaikan itu semua."Saya masih ingat ucapanmu saat kita dinner seminggu yang la
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hari Spesial Author's POV "Ayo, masuk!" Bu Rika dengan suka cita mempersilakan Hilya, Mbak Asmi, dan anak-anak untuk masuk ke rumah. Wanita yang memakai gamis warna putih tulang itu menggandeng dua bocah masuk ke dalam rumahnya."Hilya, Mbak Asmi, silakan!" ujar Bre.Hilya dan Mbak Asmi melangkah masuk dengan canggung. Mereka duduk di sofa ruang tamu dan memperhatikan sekeliling ruangan yang luas dan mewah. Di sana deretan guci antik dan vas bunga yang terbuat dari keramik mahal menghiasi sudut ruangan. Mbak Asmi menjaga Rifky dan Yazid agar tidak berlarian di sana. Mereka anteng makan kukis yang disuguhkan oleh ART.Rumah itu sungguh megah, dengan lantai berlapis marmer, jendela besar yang berkilau di bawah sinar matahari, dan halaman luas yang tertata rapi. Hilya merasa tidak ada artinya. Dia bisa beradu argumentasi dalam setiap pertemuan, meeting, atau berhadapan dengan relasi perusahaan. Namun untuk berhadapan dengan kemegahan seperti ini, dia menyerah. P
"Minumlah!" Bu Rida meletakkan kopi di meja teras, di depan Arham. Wanita itu kemudian duduk di kursi kosong samping putranya."Aku ingin bercerai saja, Ma. Hubunganku dengan Atika semakin memburuk. Berapa kali kuajak datang ke sini saja menolak. Kami selalu berakhir dengan pertengkaran. Apalagi jika membicarakan tentang Rifky." Arham terlihat sangat lelah. Bu Rida menghela nafas panjang. Dia sendiri merasa sangat lelah mendengar cerita sang anak. Hendak bilang kalau itu kesalahan Arham sendiri, tapi sudah tidak tega. Berulang kali ia menyalahkan anaknya."Mama nggak tahu lagi harus bilang bagaimana. Terserah kamu, Ham. Sebenarnya mama nggak ingin kamu kawin cerai. Tapi kamu yang jalanin. Sekuat mana, kamu yang lebih tahu. Mama bisanya hanya mendoakan yang terbaik buatmu, buat rumah tanggamu."Arham menekan ujung rokoknya di asbak. Kemudian menerawang memandang hujan. Dia belum mengirim pesan lagi pada mantan kakak iparnya, apakah sudah pulang dari Malang atau belum.Perasaannya tak
Beberapa hari setelah pengakuan Bre di depan Pak RT, kabar itu segera menyebar ke lingkungan tempat tinggal Hilya. Heboh dan bisik‑bisik pun mulai terdengar. Tetangga-tetangga saling bertanya satu sama lain. "Kau dengar belum? Hilya itu hendak menikah!""Iya, Pak RT yang bilang.""Padahal mantan suaminya juga masih sering datang mengunjungi anaknya. Tapi nggak mungkin mereka rujuk. Kalau aku jadi Hilya, juga nggak sudi. Memberikan kesempatan pada pengkhianat itu, seperti menggiring kita untuk disakiti lagi."Begitu bisik-bisik tetangga.Mbak Asmi pun sibuk menjawab pertanyaan mereka. Sebab dia yang selalu ada di rumah. Apalagi ada toko yang setiap hari orang datang ke sana untuk belanja. Kabar itu membuat suasana di lingkungan semakin ramai, sebagian orang mendukung, ada yang terlalu ingin tahu, dan sebagian lagi hanya bersikap biasa aja. Yang ingin tahu, karena mereka mendapatkan cerita dari Pak RT dan tetangga dekat rumah Hilya, kalau calon suami Hilya sangat gagah dan tampan, juga
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda
"Kita masuk dulu dan lihat-lihat di dalam. Nanti beliin juga buat adek."Rifky mengangguk. Arham menggandengnya masuk ke dalam. Berjalan melihat mainan yang dipajang. Akhirnya Rifky mengambil dua mobilan untuk dirinya dan Rafka.Setelah puas berkeliling dan bermain, mereka menuju food court. Arham membiarkan Rifky memilih sendiri apa yang ingin dia makan. Bocah itu menunjuk chicken nugget, bakso, dan kentang goreng. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati makanan sambil bercakap ringan.Arham bahagia, tapi Rifky berusaha menyesuaikan dengan kondisi. Belum lama berpisah dari adik, bunda, dan Papa Bre, ia sudah merasa kangen. Dia belum pernah berjauhan dari mereka. Bocah itu agak terhibur karena Arham terus mengajaknya bicara dan bercanda.Setelah itu Arham mengajak putranya pulang. Kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu ke rumah Bu Rida."Kita mampir ke rumah nenek dulu, ya!""Ini rumah nenek, Pa?""Ya. Rumah Nenek Rida. Ayo, kita ketemu nenek dulu sebelum pul
Dua anak itu tidur dalam satu kamar, di kamar berbeda dari kedua orang tuanya. Dijaga oleh Mak As. Tapi Hilya juga berperan penuh menjaga anak-anaknya. Dia belum kembali ke kantor seperti harapannya. Mungkin nanti jika anak-anak sudah sekolah semua. Bre pun memberikan kebebasan Hilya untuk menentukan. Dia senang kalau bisa setiap waktu bersama sang istri di kantor, tapi dia juga lega karena anak-anak dijaga bundanya sendiri dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada pengasuh."Kak, mau ana?" Rafka yang sudah terbangun heran melihat sang kakak yang sedang digantikan baju rapi oleh bundanya. Bocah yang berusia dua tahun setengah itu mendekat dan memandangi sang kakak."Kak Rifky mau ke Surabaya. Besok kakak sudah pulang lagi." Sambil menyisir rambutnya Rifky, Hilya menjawab pertanyaan anak keduanya."Ikut," celetuk Rafka."Adek sama bunda dan papa di rumah. Kalau adek sudah besar, baru boleh ikut." Hilya memberikan pengertian.Bukannya mengerti, Rafka malah merengek. Rifky menangkupkan kedua
USAI KEPUTUSAN CERAI- IzinAuthor's POV Pagi itu langit di sepanjang jalan menuju Malang masih menyisakan kabut tipis. Di kejauhan terlihat seperti tirai putih yang menampilkan bayang pepohonan di latar belakang. Hawa pastinya masih terasa begitu dingin.Arham sengaja berangkat sehabis salat subuh tadi agar sampai kota Malang masih pagi. Dia sangat antusias ketika mendapatkan izin untuk mengajak Rifky ke Surabaya selama dua hari.Ini untuk pertama kalinya Arham diberi kesempatan membawa putranya menginap. Itu pun setelah Rifky sendiri ditanyai oleh bundanya, bersedia ikut papanya apa tidak. Ternyata Rifky mau. Akhirnya Bre yang menelepon Arham untuk bicara.Kebahagiaan Arham tidak terlukiskan dengan kata-kata. Dia harus berterima kasih pada Bre, telah begitu pengertian dan bijaksana menyikapi hubungan antara dirinya dengan Rifky. Walaupun ayah tiri, Bre menjadi ayah yang luar biasa. Mereka mendidik putranya begitu baik.Ketika mobil Arham sampai di depan pagar rumah Bre, suasana ma