USAI KEPUTUSAN CERAI- Gelisah Author's POV Hilya mengabaikan panggilan karena ada Tristan. Di gesernya ponsel ke tepi dan tidak lama kemudian berhenti deringnya. Tidak ada panggilan lagi setelah itu. Mungkin Bre pun paham kalau Hilya sedang sibuk. Hilya harus mementingkan bosnya, kan?"Kenapa nggak kamu jawab? Siapa yang telepon?" tanya Tristan pura-pura tidak tahu lalu duduk di kursi depan Hilya."Pak Bre, Pak. Beliau tadi ngabari kalau sudah perjalanan ke sini," jawab Hilya jujur. "Hmm," gumam Tristan seraya menatap Hilya dengan gelisah."Ada apa, Pak Tristan? Ada yang perlu kita bahas sebelum bertemu Pak Bre?" Hilya tetap bicara secara formal. Karena dia tidak tahu kalau Tristan sedang cemburu pada sahabatnya.Tristan diam sejenak. Apa yang hendak disampaikan pada Hilya mengenai pekerjaan, mendadak lenyap dari kepalanya setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel wanita itu. Bre sebagai duda yang bebas, membawa bayang‑bayang persaingan yang tak bisa ia terima begitu saja.
Tristan dan Bre menyimak layar laptop yang menampilkan grafik, kemudian profit sharing. Yaitu pembagian hasil yang berasal dari total pendapatan dikurangi biaya operasional projek yang akan mereka jalani. Dengan begitu baik investor dan pemilik bisnis dapat memeriksa laporan keuangan secara rinci, supaya mengetahui total hasil bisnis yang bisa dibagi dalam pekerjaan yang akan mereka lakukan. Bre juga bisa menganalisis laporan keuangan bisnis yang akan didanaiPercakapan itu berjalan sepanjang pagi. Berulangkali tanpa disadari, Tristan dan Bre saling bertukar pandang setiap kali Hilya menjelaskan. Bre semakin tertarik, sementara Tristan semakin takut kehilangan."Ada yang belum jelas, Pak Tristan dan Pak Bre?""Saya rasa sudah cukup, Mbak Hilya," jawab Bre.Sementara Tristan hanya manggut-manggut. Pikirannya saat itu bukan pada pekerjaan. Di antara diskusi strategi dan target keuangan, benih-benih persaingan mulai tumbuh secara diam-diam, tersembunyi di balik senyum ramah dan percakapa
Hilya kembali fokus ke berkas dan layar laptopnya. Pekerjaan itu tidak akan selesai dengan cepat. Dia mulai gelisah. Pasti kakak dan anak-anak sudah bersiap karena tadi siang sudah diberitahu. "Nggak apa-apa, Hilya. Nggak ada salahnya menyambut niat baiknya. Mbak kan bilang, kalau kalian nggak bisa bersama, setidaknya bisa berteman. Anak-anak biar seneng, kalau sesekali di undang dinner di luar. Biar bisa seperti anak-anak lainnya." Hilya terharu dengan kalimat terakhir sang kakak.Selama ini, anak-anak memang jarang sekali diajak jalan lalu makan di tempat istimewa. Paling setelah dari taman kota di akhir pekan, mereka mampir ke warung bakso pinggir jalan atau di gerobak yang ada di pinggiran taman. Padahal dengan posisi dan gajinya sekarang ini, Hilya bisa sesekali memanjakan mereka. Namun kebutuhan di depan begitu banyak. Rumah yang mereka tempati, perlu di renovasi karena kayu untuk atapnya dah banyak yang lapuk.Di helanya napas panjang. Apa niat untuk membahagiakan mereka denga
USAI KEPUTUSAN CERAI- SeriusAuthor's POV "Diterima nggak?" Mbak Asmi memandang Hilya."Mbak, angkat dulu nggak apa-apa."Mbak Asmi mundur agak menjauh untuk menerima telepon agar tidak terdengar oleh Rifky."Halo. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mbak, saya di depan rumah. Mbak Asmi dan anak-anak ke mana?""Kami ada acara di luar.""Di mana?""Ada acara dengan temannya Hilya.""Oh, jam berapa pulang?""Belum tahu.""Saya tunggu, ya, Mbak.""Jangan, Ham. Kami nggak tahu jam berapa sampai di rumah. Besok atau lusa saja datang lagi.""Saya kangen Rifky." Suara Arham terdengar berat."Besok saja.""Ya, baiklah, Mbak."Selesai menelepon Mbak Asmi kembali menghampiri Hilya. "Dia di depan rumah. Mbak bilang kalau kita keluar. Dia rindu sama anaknya, Hil. Sudah hampir dua bulan nggak ketemu, kan. Cuman video call saja."Hilya diam mendengarkan kakaknya bicara. Dia tidak menanggapi karena takut di dengar Rifky. "Dia masih berusaha menjadi ayah yang bertanggungjawab. Dia masih memiliki
Bre membantu anak-anak untuk memilih varian es krim. Sementara Bu Rika menyuruh Hilya dan kakaknya memilih menu. Mbak Asmi sampai sungkan dan bingung harus memilih apa. Yang ia kenal hanya masakan Nusantara. Sementara di daftar menu, ada beberapa pilihan western food. "Kamu yang pilih, Hil," ujarnya lirih."Ayo, Nak Asmi. Pilih menu yang kalian mau," ujar Bu Rika menyadari kecanggungan mereka.Tidak lama kemudian, seorang pramusaji datang mengambil catatan pesanan. Sambil menunggu, mereka berbincang. Suasana mulai santai seiring dengan percakapan mereka yang mulai mengalir. Anak-anak masih duduk anteng sambil makan snack dan es krim yang disuguhkan lebih dulu. Hilya tadi khawatir kalau Rifky tidak bisa duduk diam.Bu Rika, Mbak Asmi, dan Hilya berbincang untuk saling mengenal. Sementara Bre disibukkan dengan Rifky dan Yazid yang makan es krim.Meski sambil menanggapi ucapan Bu Rika, Mbak Asmi bisa merasakan ketulusan Bre pada anak-anak. Sikap yang natural, tidak dipaksakan.Tidak lam
Angin malam berhembus lembut menyapa Hilya dan Bre yang duduk berhadap-hadapan di meja bundar kecil. Lampu‐lampu kota berkilau di bawah sana, menciptakan latar yang romantis dan penuh harapan. Suasana sepi dan hangat mengelilingi mereka, sementara musik jazz mengalun dari speaker tersembunyi. "Maaf, Mbak Hilya. Kalau mama saya terlalu mendesak tadi." "Nggak apa-apa, Pak Bre. Saya mengerti perasaan seorang ibu," jawab Hilya dengan dada berdebar-debar. "Tapi saya memang serius. Saya harap Mbak Hilya mempercayai itu." Hilya menatap jauh ke langit malam. "Saya hidup bukan untuk diri saya sendiri dan Rifky. Tapi ada Mbak Asmi dan Yazid. Saya nggak bisa ninggalin mereka." "Saya tidak meminta Mbak Hilya untuk meninggalkan mereka. Saya tahu bagaimana Mbak mencintai Mbak Asmi dan anaknya. Saya bersedia merangkul semuanya. Saya akan menanggung juga kehidupan mereka." Sejenak Hilya merasakan napasnya terhenti. Meski keraguan membisiki, tapi ia melihat ketulusan lelaki itu. Mata Bre me
USAI KEPUTUSAN CERAI- Calon SuamiAuthor's POV Arham gelisah karena pesan yang dikirim pada mantan kakak iparnya belum di respon walaupun sudah dibaca. Ia melihat jam di layar ponselnya. Sudah hampir setengah sepuluh malam. Arham memandang langit yang kelam. Seolah mencerminkan perasaan yang terjebak dalam kenangan dan penyesalan.Sebenarnya mereka ke mana?Pasti sekarang pertemanan Hilya semakin luas karena jabatannya sudah bagus di perusahaan. Mungkin rekannya yang mengundang mereka malam itu. Hilya yang pernah dikhianati, kini bangkit dengan usahanya sendiri.Arham menatap kosong ke arah jalan yang sepi, berpikir tentang Rifky yang sudah hampir dua bulan tidak ia temui. Rindu itu begitu menyiksa, membuatnya ingin segera mengulurkan tangan memeluk sang anak.Perasaan Arham porak poranda. Hubungan dengan Atika semakin meruncing. Setiap hari adanya hanya pertempuran yang tiada habisnya.Di tengah kekacauan rumah tangganya dengan Atika, Arham mulai membayangkan sebuah kemungkinan me
"Aku tadi mengajukan persyaratan pada Bre. Aku bisa mempertimbangkan asalkan Mbak Asmi dan Yazid boleh ikut bersamaku.""Jangan begitu. Mbak akan baik-baik saja bersama Yazid. Kalian bisa mengunjungi kami kapan pun. Sebab mbak rasa, Bre pasti akan mengajakmu tinggal di Malang. Kami juga bisa mengunjungi kalian di sana."Hilya diam sejenak, menatap layar televisi yang menyala dengan hiburan ringan. Namun pikirannya melayang jauh. Ia tahu bahwa pilihan hatinya tidaklah mudah. Di satu sisi, ada Bre yang menawarkan kebahagiaan dan kepastian setelah tiga bulan mereka saling kenal. Di sisi lain ada keterikatan emosional yang mendalam terhadap kakak dan keponakannya."Aku nggak akan mengambil keputusan apapun kalau Mbak nggak ikut kami."Mbak Asmi mengusap bahu adiknya dengan lembut. "Hilya, kamu harus pikirkan juga apa yang terbaik untukmu dan Rifky. Jangan bebani Bre dengan hal yang bukan tanggungjawabnya.""Nggak, Mbak. Ini memang syarat yang kuberikan. Sebab Mbak dan Yazid keluarga yang
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda