Ada duda usia empat puluhan yang tinggal di ujung gang sana, seorang guru SMK. Pernah mencoba dekat dengan sang kakak, tapi berujung dengan keputusan untuk berteman saja. Dia pria yang baik, taat beribadah, tapi entahlah. Mungkin kakaknya juga masih menyimpan trauma seperti dirinya."Pergilah untuk menemuinya besok. Berdua saja, jangan bawa anak."Hilya tidak menjawab. Dia mengunyah nasi sambil mempertimbangkan perkataan kakaknya. Rasa takut gagal untuk yang kesekian kali memang ada, tapi masih ada keuntungan baginya. Dia bisa berteman dengan Bre dan menambah koneksinya. Siapa tahu suatu hari nanti, dia butuh bantuan untuk pergi dari Surabaya jika keadaan sudah tidak bisa berkompromi lagi. Bukankah Bre terlihat sangat baik dan sopan?🖤LS🖤"Hilya, kita berangkat sekarang." Tristan memanggilnya dari ambang pintu pagi itu."Ya, Pak." Hilya meraih tasnya, lantas tergesa menyusul. Masih sempat Hilya menghampiri Ani untuk pamitan."Hati-hati, Hilya."Hilya tersenyum lantas melangkah pergi
USAI KEPUTUSAN CERAI - Pertemuan Kala Senja Author's POV Bre memperhatikan wajah di hadapannya. Wajah yang beberapa hari terakhir sering menghantui pikirannya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya ingin tahu lebih dalam, lebih dari sekadar rekan kerja atau seorang ibu muda yang mandiri."Apa yang Pak Bre tahu tentang saya?""Kisah hidup, Mbak Hilya." Bre mengulas apa yang diceritakan oleh Ani beberapa hari yang lalu. Tentu dengan tidak membongkar siapa yang memberitahunya. Bre sudah berjanji pada Ani supaya merahasiakannya. Lagipula Bre juga belum tahu siapa mantan suaminya Hilya.Hilya terlihat agak tegang. Tatapannya beralih ke luar jendela, memperhatikan lalu lintas senja yang mulai padat meski gerimis turun. Semenjak bercerai dari Arham, dia bisa santai dan cuek terhadap laki-laki. Terlebih lelaki yang berusaha iseng terhadapnya. Tapi di depan Bre, dia bisa segemetar itu. Pria di depannya ini memiliki pesona yang berbeda. "Pak Bre, dapat cerita tentang saya dari m
"Saya tidak minta kepastian sekarang." Bre melanjutkan. "Saya tahu Mbak Hilya butuh waktu untuk percaya. Dan itu tidak mudah. Tidak mengapa, kita bisa berteman dulu. Jangan jauhi saya karena berprasangka kalau saya hanya lelaki iseng. Saya tidak seperti itu."Suasana menjadi sedikit tegang. Hilya menghela napas perlahan."Saya tidak akan memaksa. Tapi saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan pergi hanya karena Mbak Hilya meragukan niat baik saya."Hening sejenak. Di luar langit semakin gelap dan dingin. Tapi lampu-lampu di dalam kafe yang menyala, menghadirkan suasana hangat."Kita lanjutkan makan dulu, Mbak Hilya. Maaf, makanan jadi dingin karena kita tinggal ngobrol."Hilya tersenyum lantas memegang kembali sendoknya. Bre pun sama. Sesekali ia memandang pada wanita di depannya yang makan sambil sesekali memperhatikan di luar sana.Ia merasakan luka Hilya. Meski wanita itu tidak bercerita sama sekali. Juga melihat sebuah benteng pertahanan yang ia bangun cukup tangguh. Bre tidak a
"Tidak sama sekali. Saya yang mengajak Mbak Hilya ketemu. Semoga kita lanjutkan pada pertemuan-pertemuan berikutnya."Hilya termangu sejenak. Lantas keduanya melangkah keluar kafe. "Liburan nanti, ajak anak-anak ke Malang, Mbak. Saya bawa kalian keliling kota Malang. Anak-anak pasti suka dengan banyaknya permainan di sana. Bilang saja, perlu saya jemput atau ....""Nanti saya kabari, Pak Bre," potong Hilya dengan cepat."Saya tunggu. Setelah ini saya akan lebih sering ke Surabaya. Kita bisa ketemu lagi.""Insyaallah. Saya pulang dulu, Pak Bre. Gerimis sudah mulai reda. Sekali lagi, terima kasih banyak."Bre tersenyum seraya mengangguk. Saat Hilya masih memakai mantelnya, Bre menunggu. Pria itu juga mengikuti di belakang motornya Hilya hingga wanita itu berbelok di tikungan menuju rumahnya.Bre membunyikan klakson, lantas melaju pergi ke rumah mantan kakak iparnya. Tadi sang mama sudah berangkat ke sana bersama Ferry, istrinya, dan anak mereka.Untuk Hilya, Bre memang harus menunggu
USAI KEPUTUSAN CERAI- Gelisah Author's POV Hilya mengabaikan panggilan karena ada Tristan. Di gesernya ponsel ke tepi dan tidak lama kemudian berhenti deringnya. Tidak ada panggilan lagi setelah itu. Mungkin Bre pun paham kalau Hilya sedang sibuk. Hilya harus mementingkan bosnya, kan?"Kenapa nggak kamu jawab? Siapa yang telepon?" tanya Tristan pura-pura tidak tahu lalu duduk di kursi depan Hilya."Pak Bre, Pak. Beliau tadi ngabari kalau sudah perjalanan ke sini," jawab Hilya jujur. "Hmm," gumam Tristan seraya menatap Hilya dengan gelisah."Ada apa, Pak Tristan? Ada yang perlu kita bahas sebelum bertemu Pak Bre?" Hilya tetap bicara secara formal. Karena dia tidak tahu kalau Tristan sedang cemburu pada sahabatnya.Tristan diam sejenak. Apa yang hendak disampaikan pada Hilya mengenai pekerjaan, mendadak lenyap dari kepalanya setelah membaca nama yang tertera di layar ponsel wanita itu. Bre sebagai duda yang bebas, membawa bayang‑bayang persaingan yang tak bisa ia terima begitu saja.
Tristan dan Bre menyimak layar laptop yang menampilkan grafik, kemudian profit sharing. Yaitu pembagian hasil yang berasal dari total pendapatan dikurangi biaya operasional projek yang akan mereka jalani. Dengan begitu baik investor dan pemilik bisnis dapat memeriksa laporan keuangan secara rinci, supaya mengetahui total hasil bisnis yang bisa dibagi dalam pekerjaan yang akan mereka lakukan. Bre juga bisa menganalisis laporan keuangan bisnis yang akan didanaiPercakapan itu berjalan sepanjang pagi. Berulangkali tanpa disadari, Tristan dan Bre saling bertukar pandang setiap kali Hilya menjelaskan. Bre semakin tertarik, sementara Tristan semakin takut kehilangan."Ada yang belum jelas, Pak Tristan dan Pak Bre?""Saya rasa sudah cukup, Mbak Hilya," jawab Bre.Sementara Tristan hanya manggut-manggut. Pikirannya saat itu bukan pada pekerjaan. Di antara diskusi strategi dan target keuangan, benih-benih persaingan mulai tumbuh secara diam-diam, tersembunyi di balik senyum ramah dan percakapa
Hilya kembali fokus ke berkas dan layar laptopnya. Pekerjaan itu tidak akan selesai dengan cepat. Dia mulai gelisah. Pasti kakak dan anak-anak sudah bersiap karena tadi siang sudah diberitahu. "Nggak apa-apa, Hilya. Nggak ada salahnya menyambut niat baiknya. Mbak kan bilang, kalau kalian nggak bisa bersama, setidaknya bisa berteman. Anak-anak biar seneng, kalau sesekali di undang dinner di luar. Biar bisa seperti anak-anak lainnya." Hilya terharu dengan kalimat terakhir sang kakak.Selama ini, anak-anak memang jarang sekali diajak jalan lalu makan di tempat istimewa. Paling setelah dari taman kota di akhir pekan, mereka mampir ke warung bakso pinggir jalan atau di gerobak yang ada di pinggiran taman. Padahal dengan posisi dan gajinya sekarang ini, Hilya bisa sesekali memanjakan mereka. Namun kebutuhan di depan begitu banyak. Rumah yang mereka tempati, perlu di renovasi karena kayu untuk atapnya dah banyak yang lapuk.Di helanya napas panjang. Apa niat untuk membahagiakan mereka denga
USAI KEPUTUSAN CERAI- SeriusAuthor's POV "Diterima nggak?" Mbak Asmi memandang Hilya."Mbak, angkat dulu nggak apa-apa."Mbak Asmi mundur agak menjauh untuk menerima telepon agar tidak terdengar oleh Rifky."Halo. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Mbak, saya di depan rumah. Mbak Asmi dan anak-anak ke mana?""Kami ada acara di luar.""Di mana?""Ada acara dengan temannya Hilya.""Oh, jam berapa pulang?""Belum tahu.""Saya tunggu, ya, Mbak.""Jangan, Ham. Kami nggak tahu jam berapa sampai di rumah. Besok atau lusa saja datang lagi.""Saya kangen Rifky." Suara Arham terdengar berat."Besok saja.""Ya, baiklah, Mbak."Selesai menelepon Mbak Asmi kembali menghampiri Hilya. "Dia di depan rumah. Mbak bilang kalau kita keluar. Dia rindu sama anaknya, Hil. Sudah hampir dua bulan nggak ketemu, kan. Cuman video call saja."Hilya diam mendengarkan kakaknya bicara. Dia tidak menanggapi karena takut di dengar Rifky. "Dia masih berusaha menjadi ayah yang bertanggungjawab. Dia masih memiliki
Namun ia sudah terjebak ke dalam labirin yang tidak tahu di mana jalan keluarnya. Seumur hidup, sungguh terlalu lama. Sementara itu ponsel Tristan yang tergeletak di meja, layarnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Bre.[Kamu di mana, Bro? Jadi ke Semarang.][Ya. Aku di Semarang sekarang.][Semarangnya mana?][Aku nginap Hotel Mustika.][Aku juga ada di Semarang. Bisa kita ketemuan? Aku tidak jauh dari situ.]Tristan terdiam. Bagaimana ini bisa kebetulan sekali. Bertemu di tempat yang sama padahal Semarang begitu luasnya. Beberapa hari yang lalu, ia memang memberitahu Bre kalau ada pekerjaan di Semarang. Tapi kenapa bisa sama, padahal kemarin Bre tidak bilang apa-apa.Tristan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Dia ingin menghabiskan waktu dengan Hilya malam ini. Dia tidak ingin gangguan. Namun menolak Bre juga bukan pilihan. Sebab selama ini dia merahasiakan siapa wanita yang membuatnya mendua.Akhirnya Tristan mengiyakan.Setengah jam kemudian, seorang pria tinggi dengan kemeja na
Namun Bre kian resah karena belum ada pesan masuk dari Hilya. Yang pasti sekarang Hilya sudah ada di kantor yang mereka tuju. Apa sesibuk itu, hingga tidak sempat mengirimkan pesan padanya?"Hilya mau kan kamu ajak pindah ke Malang?""Kami akan membahasnya nanti. Masih banyak yang perlu kami bicarakan."Bu Rika manggut-manggut. "Kamu nggak ingin ketemu Hilya dulu sebelum berangkat ke Semarang?""Iya, nanti kami ketemuan." Bre tidak ingin menceritakan keresahannya pada sang mama. Daripada nanti jadi kepikiran. Yang jelas, dia tidak akan membiarkan Hilya terlepas."Sebelum berangkat, kamu makan siang dulu. Bentar, mama siapin." Bu Rika beranjak ke belakang. Menghampiri ART-nya yang tengah memasak. Sedangkan Bre buru-buru meraih ponselnya di atas meja saat benda pipih itu berpendar. Keresahannya spontan berubah kelegaan saat Hilya mengirimkan nama dan alamat hotel tempat mereka menginap. Juga mengirimkan informasi alamat terkini.[Oke. Kita ketemu di situ ya.][Iya.] Jawaban singkat dar
USAI KEPUTUSAN CERAI- Tiga Hati di Semarang Author's POV "Pak Bre, saya sudah pesankan tiketnya. Penerbangan jam tiga sore ini." Seorang asisten pribadinya memberitahu Bre di ruangannya."Oke, makasih banyak," jawab Bre seraya menutup laptop. Dilihatnya jam tangan. Baru jam delapan pagi. Tadi Hilya berangkat ke Semarang jam tujuh.Dia harus berangkat sekarang dari Malang ke Juanda. Nanti mampir sebentar ke rumah mamanya. Tadi sengaja berbohong pada Hilya kalau dia sudah ada di Solo, padahal baru mau berangkat dari Malang dan naik pesawat ke Semarang dari Juanda. Jujur saja dia khawatir dengan Hilya yang pergi bersama Tristan. Walaupun Bre kenal baik sama pria itu, tapi dia tidak percaya karena sahabatnya sedang dimabuk kepayang oleh Hilya. Perempuan yang sama-sama mereka cintai.Akan ada cerita berbeda saat Tristan sudah tahu semuanya. Namun ia berharap, persahabatan dan kerjasamanya dengan pria itu tidak akan bermasalah setelah ini. Makanya lebih baik ia berpura-pura tidak tahu t
"Mbak, lusa aku jadi ke Semarang. Sebenarnya ini sudah dijadwalkan Minggu kemarin, tapi di undur lusa. Mungkin dua sampai tiga hari aku di sana. Rifky kira-kira rewel nggak, ya?""Nggak. Kamu tenang saja. Dia manut sama Mbak."Hilya kepikiran Rifky saja kalau dia pergi ke luar kota. Biasanya hanya dua hari saja dia pergi, sekarang tiga hari."Untuk Bre, kalau menurut mbak. Jangan ragu, pandang dia yang sekarang, jangan lihat masa lalunya. Ayo, tidur. Mbak sudah ngantuk."Keduanya bangkit dari karpet dan masuk ke kamar masing-masing. Hilya berbaring menghadap Rifky yang memeluk guling. Diusapnya pelan pipi halusnya. Dialah cinta sejati bagi Hilya. Yang bisa mengobati rasa lelah hanya dengan tatapan matanya yang bening. Hilya bergerak pelan untuk mengecup kening Rifky. Kemudian memeluk kaki kecil itu dan dia pun memejam.🖤LS🖤"Hilya, ada pesan dari Arham." Mbak Asmi menunjukkan ponselnya pada Hilya.[Mbak, maaf kalau dalam beberapa waktu ke depan saya nggak datang menjenguk Rifky. Na
Omongan Pak Ardi yang ngelantur membuat Tristan menghela nafas panjang. "Saya tegaskan, Pa. Hubungan saya dengan Hilya, hanya sebatas tentang pekerjaan."Aruna yang sejak tadi diam saja, akhirnya juga ikut bicara. "Sudah, Pa. Jangan membahas hal ini lagi. Kami baik-baik saja, Papa nggak perlu khawatir." "Kamu tahu apa, Runa. Jangan sampai suamimu direbut perempuan lain, baru kamu nangis-nangis.""Aku nggak mau membahas ini lagi, Pa," sangkal Aruna. Dia ingat ucapan suaminya, kalau sampai mengusik Hilya, maka hubungan mereka yang menjadi taruhannya. "Lihat ini, Pa. Mas Tristan barusan ngasih hadiah." Aruna menunjukkan cincin berlian di jari manisnya. Pak Ardi dan istrinya memperhatikan.Selesai bicara, Aruna bangkit dari duduknya dan mengajak suaminya pamitan. "Kami pulang dulu, Pa. Aku lega Papa sudah jauh lebih baik." Aruna mencium tangan papa dan mamanya. Begitu juga dengan Tristan. Lantas mereka melangkah keluar kamar.Pak Ardi tampak kecewa. Anak yang dibelanya agar tidak diseli
USAI KEPUTUSAN CERAI - Cincin di Mobil Author's POV "Mas, beli ini untukku?" Aruna terbeliak kaget, sekaligus berbinar menemukan kotak perhiasan berbentuk hati warna merah jambu yang terletak di dasbor mobilnya Tristan.Senyumnya lebar saat ia membuka dan melihat ada sebentuk cincin berlian di dalamnya.Tristan yang baru duduk dan menutup pintu pun terkejut. Tidak mengira kalau istrinya membuka dasbor mobil, di mana ia menyimpan hadiah ulang tahun yang akan diberikan pada Hilya."Ini untukku, kan? Atau untuk selingkuhanmu?" tanya Aruna yang mulai tidak yakin kalau itu dibeli Tristan untuknya. Karena Tristan jarang memberikan kejutan. Kalau menginginkan sesuatu, Aruna hanya memberitahu suaminya, setelah itu pergi beli sendiri. Tristan berdecak jengkel. "Aku nggak punya selingkuhan. Nggak usah mengada-ada, Runa. Itu kubeli untukmu. Pas nggak di jarimu?" jawab Tristan seraya menyalakan mesin mobil dan bergerak pelan meninggalkan garasi. Mereka hendak ke rumah orang tua Aruna. Menjeng
Bre juga menceritakan sekilas tentang berbagai kecurangan dan permusuhan dengan keluarga Livia. Kemudian hubungan mereka kembali membaik setelah beberapa tahun kemudian. Pria itu juga menceritakan pernikahan keduanya dengan Agatha. Ini yang mengejutkan bagi Hilya. Karena ia berpikir, Bre hanya pernah menikah sekali saja."Saya tidak pernah menyentuh Agatha selama menikah. Biar dia bisa merasakan kebahagiaan dengan lelaki yang akan mencintainya setulus hati. Agar Agatha tidak seperti mama, yang diperlakukan seperti istri tapi tidak diberi hati sama sekali."Kalau ikutkan nafsu, lelaki pasti bernafsu. Tapi saya tidak ingin melakukan itu. Supaya dia bisa bahagia dengan pasangan barunya.""Sekarang Mbak Agatha sudah menikah?""Belum. Dia tinggal di Singapura hanya sesekali pulang ke Surabaya. Tapi kamu tidak usah khawatir, saya dan Agatha benar-benar sudah berakhir di saat putusan cerai dari pengadilan agama. Hubungan kami membaik, tapi tidak akrab juga. Dengan Livia, Hutama Jaya ada hubu
Dari jendela taksi yang membawanya malam itu, Hilya memperhatikan sepanjang perjalanan menuju kafe tempat ia akan bertemu Bre. Hanya berdua saja."Yakinkan hatimu, bahwa langkah yang kamu ambil ini tepat. Mbak 100% mendukungmu. Budhe juga mendukung. Mbak sudah cerita pada beliau tadi pagi." Mbak Asmi yang menungguinya bersiap berkata seperti itu tadi."Sebenarnya aku juga pengen Mbak Asmi juga menikah lagi." Hilya memandang sang kakak."Jangan tunggu mbak. Pokoknya kamu jangan abaikan kesempatan ini. Pria seperti Bre nggak akan datang dua kali, Hilya."Hilya sebenarnya tidak sampai hati kalau harus menikah lebih dulu. Namun kakaknya yang justru mendesak agar Hilya segera menerima Bre.Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah kafe dua lantai di salah satu sudut kota Surabaya. Bre sudah menunggunya di teras. Kemudian langsung mengajaknya naik ke lantai dua. Mereka disambut dengan lampu-lampu redup yang menciptakan nuansa romantis. Dinding interior dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hanya Berdua Author's POV "Bagaimana rasanya diperjuangkan, Hilya? Selama ini kamu yang selalu berjuang dan bertahan. Dengan Arham sebagai suami atau dengan mantan pacarmu yang sama-sama nggak tahu diri itu. Sekarang kamu tahu bagaimana seorang laki-laki itu berjuang untuk mendapatkanmu. Bahkan sepaket dengan keluargamu juga, bisa diterima dia apa adanya."Hilya tersenyum sambil mengunyah nasi. Kalau dibilang 100% ia percaya Bre, tidak juga. Sudah berulang kali terluka, membuat Hilya tidak segampang itu memberikan semua kepercayaannya. Namun ia tetap berusaha untuk menghargai seseorang yang telah berupaya memperjuangkannya."Tapi kita akan berpisah, Hil," ujar Ani memicu kesedihan mereka lagi."Nggak mungkin kamu akan bertahan di Global, sedangkan Mas Bre juga memiliki perusahaan sendiri," lanjut Ani."Tapi sesekali kita masih bisa bertemu, An. Kita kan bisa berkunjung ke Malang atau sebaliknya. Via tol kan cepat," kata Ika."Arham bakalan berjauhan sama anakn