"Baik loh Pak Guru itu, Mbak. Selama ini nggak pernah ada gosip aneh-aneh walaupun dia duda," ujar Hilya."Iya," jawab Mbak Asmi singkat. Tentu saja Izam menjaga citra baiknya sebagai guru dan ustadz."Mbak, aku mau nanya serius. Beneran Mbak dekat lagi sama Mas Izam?"Mbak Asmi duduk seraya meletakkan sepiring ubi rebus di meja depan mereka. "Sebenarnya sejak dua mingguan yang lalu, dia ngirimi pesan ke mbak, Hil. Awalnya ya hanya basa-basi ngomongin Yazid yang akan diikutsertakan lomba azan sama menulis kaligrafi.""Lalu ...." Hilya tak sabar."Dia ngajak ta'aruf."Mata Hilya sontak membulat dan berbinar. Ini kabar yang ia tunggu-tunggu. Jadi dia bisa tenang ikut Bre pindah ke Malang kalau kakaknya dalam penjagaan pria yang tepat. Izam duda cerai mati. Istri pria itu meninggal sudah tiga tahun yang lalu tanpa meninggalkan seorang anak. Istrinya sakit kanker semenjak sebelum mereka menikah. Namun Izam tidak meninggalkannya. Tetap menikahi wanita itu hingga pada akhirnya juga meningga
USAI KEPUTUSAN CERAI - Hadiah Terindah Author's POV "Paket atas nama siapa, Mas?" tanya Mbak Asmi."Atas nama Mbak Hilya. Bener kan di sini alamatnya, Mbak?" Kurir itu menunjukkan alamat yang tertera di kotak paket."Iya," jawab Mbak Asmi setelah membaca alamat. Saat itu Hilya berdiri dan menghampiri sang kakak."Dari Arham, Hil," ujar Mbak Asmi setelah membaca siapa pengirimnya.Mereka menerima paket itu dan langsung membukanya setelah kurir pergi. Rifky yang 'kepo' meninggalkan mainannya dan mendekati sang mama. Mata beningnya langsung berbinar saat melihat ada mobil mainan dikeluarkan budhenya dari dalam kotak."Hmm, aku syuka," ujarnya lucu sambil mengangkat mainannya. Tidak hanya mainan, tapi juga tiga pasang pakaian, dan snack. Pada saat yang bersamaan, ponsel Mbak Asmi berdenting. Ada pesan masuk dari Arham.[Paket untuk Rifky sudah sampai, Mbak? Maaf, saya belum bisa datang menjenguk. Saya masih ada urusan. Salam buat Rifky, Mbak.]Hilya ikut membaca pesan yang disampaikan
Atika mencengkeram sisi rok lusuhnya. Dia nekat menemui Hilya dengan membanting harga diri, menepikan rasa malu karena bingung dengan cara apalagi yang bisa membuat Arham membatalkan perceraian mereka. Pikiran Atika buntu, karena besok sidang perdana perceraiannya. Untuk membayar pengacara pun keuangannya sudah menipis. Arham tidak sebanyak dulu memberinya uang."Tolong aku, Hil. Mungkin Mas Arham mau mendengarmu, karena kamu ibu dari anaknya."Hilya menatapnya lama. "Kalau kamu bisa dengan mudah menghancurkan hidup orang lain, kenapa sekarang kamu takut hidupmu hancur?"Atika terisak, bahunya bergetar hebat.Akan tetapi Hilya sama sekali tidak terpengaruh. Ia sudah jauh melangkah meninggalkan luka yang dulu mereka tinggalkan di hidupnya."Aku tidak bisa membantumu." Hilya berkata tegas agar wanita itu secepatnya pergi dari sana. Hilya khawatir kalau dia nekat memanfaatkan Rifky.Tanpa pamitan dan dengan langkah gontai, Atika meninggalkan depan toko. Mbak Asmi yang tengah menggendong
"Terima saja, Mbak. Nggak akan ada kesempatan kedua mendapatkan pria seperti Pak Guru," ujar Hilya malam itu. Setelah anak-anak tidur dan mereka duduk ngobrol di depan televisi."Seorang ustadz seperti Pak Guru, tentu tidak akan sembarangan mengambil sikap dan keputusan. Pasti sudah istikharah, berdoa minta petunjuk sama Allah, berbincang juga dengan keluarga. Coba mulai malam ini pun Mbak sholat istikharah."Mbak Asmi mengangguk. Hatinya adem setelah mendengar pendapat adiknya. Lebih baik dia juga salat istikharah untuk minta petunjuk dan memantapkan hati.Saat keduanya terdiam, ponsel Hilya berdering. Bre menelepon. Hilya bilang pada sang suami kalau Mbak Asmi dan Yazid tidak bisa mengantarkan mereka pindahan akhir pekan ini karena hari Seninnya Yazid ulangan kenaikan kelas. Selesai menelepon, Hilya memandang sang kakak. "Mas Bre bilang, kalau Mbak Asmi dan Yazid nggak bisa ikut akhir pekan ini, kami mau diajak langsung pulang ke Malang besok, Mbak.""Ya, nggak apa-apa. Daripada Br
USAI KEPUTUSAN CERAI- Posesif Author's POVSaat Bre kembali duduk, ia meraih tangan istrinya dan mengecupnya penuh kelembutan. Matanya yang kemerahan menatap perut Hilya yang masih rata. Dengan hati-hati ia menunduk, mengecup perut itu dengan penuh cinta."Terima kasih, Sayang. Sudah menghadiahkan mas kebahagiaan ini," ucapnya lirih.Hilya tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya di dada Bre. Ia terharu sekaligus bahagia. Kehamilannya kali ini disambut luar biasa oleh seorang suami. Ingat bagaimana dia hamil Rifky, perjalanan sembilan bulan sepuluh hari dilaluinya sendirian. Penuh luka dan air mata. Tekanan mental dan fisik karena harus tetap bekerja.Dua kali keguguran pun disambut biasa dan berduka seperlunya. Kala itu kehidupannya masih susah bersama Arham. Penuh perjuangan yang berakhir kandas.Bre kembali mengusap perut istrinya yang masih rata. Seolah ingin memastikan bahwa kebahagiaan itu bukan sekadar mimpi. Belum pernah ia sebahagia ini. Sesuatu terasa begitu berbeda dalam bena
Hilya tersenyum kecil. "Saya cuma mau ambil air, Mak.""Duduk aja, biar saya yang ambilin." Tidak lama kemudian Mak As kembali dengan segelas air putih. Hilya menerimanya dengan senyum geli. "Mas Bre nyuruh Mak As ngawasin saya?"Mak As ikut tersenyum. "Iya, Mbak. Katanya kalau Mbak terlalu banyak gerak, Mas Bre bakal marah."Hilya menghela napas, antara terharu dan gemas dengan suami sendiri. Berlebihan kekhawatiran Bre. "Mas Bre berlebihan, Mak.""Saya belum pernah melihat Mas Bre sebahagia itu, Mbak. Beneran. Mas Bre selalu bilang nggak sabar pengen segera ngajak Mbak Hilya dan Mas Rifky pulang ke sini. "Waktu beli tempat tidurnya Mas Rifky, saya yang diajak milih. Untuk mobilan itu, baru tiga hari lalu dikirim." Mak As menunjuk pojok ruangan. Di mana terparkir mobil Jeep remote yang bisa dikendarai anak-anak.Hilya terdiam menahan haru. Begitu besar effort seorang Bre Surya Hutama pada dirinya dan Rifky. Padahal anak itu bukan darah dagingnya sendiri. Hilya tidak tahu, kalau suam
Memiliki Hilya, Rifky, lalu calon bayi mereka membuatnya menjadi pria paling beruntung di dunia.Sementara Hilya yang baru saja menidurkan Rifky beranjak ke balkon kamar. Langit di luar begitu cerah, awan putih melayang lembut di atas kota Malang. Seakan ikut merayakan kebahagiaannya. Ia benar-benar diratukan di istana suaminya."I love you," bisik Bre tadi pagi sesaat setelah mereka bangun tidur. Kata itu berulang-ulang berputar dalam benaknya, menimbulkan sensasi hangat yang menyebar ke seluruh tubuh.Lamunan Hilya terhenti saat ponsel di dalam kamar berdering. Apa itu Bre lagi? Entah sudah berapa kali suaminya menelepon dan mengirim pesan setengah hari ini.Oh, rupanya bukan. Hilya kembali ke Balkon untuk menerima telepon dari Mbak Asmi."Assalamu'alaikum, Mbak.""Wa'alaikumsalam. Kamu longgar nggak, mbak mau ngomong.""Aku nggak ngapa-ngapain selain jagain Rifky, Mbak. Itu pun dibantu sama Mak As.""Kamu jadi ratu di tangan pria yang tepat, Hilya. Rifky mana?""Masih tidur. Mbak A
USAI KEPUTUSAN CERAI- Hampir MenyerahAuthor's POV Hati Hilya berdesir nyeri saat ikut membaca isi pesan. Isinya biasa saja mungkin. Tapi ia tahu yang tertera di layar itu nomer luar negeri. Foto profilnya seorang wanita cantik. Hilya ingat, mantan istri kedua Bre bekerja di Singapura."Pesan dari Agatha." Bre memberitahu sambil menunjukkan isi pesannya pada sang istri. Hilya mengangguk. Bersikap sebiasa mungkin.Bre mengetik balasan, tidak menutupinya dari Hilya. Agar Hilya tidak salah paham.[Maaf, kami hanya mengadakan resepsi sederhana.][Di Hyatt kamu bilang sederhana? Okelah tiga bulan lagi aku pulang. Nanti ketemuan, ya. Aku pengen kenalan sama Nyonya Bre Surya Hutama. Akhirnya kamu menemukan tambatan hatimu. Sekali lagi selamat ya, Bre. Bahagia selalu dengan pernikahanmu.]Setelah membaca pesan, Bre memasukkan ponsel ke dalam saku celananya."Nggak dibalas, Mas?" tanya Hilya. Mereka saling pandang. Ada sesuatu di dada Hilya yang mengusik, karena rumah tangganya pernah hancur
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda
"Kita masuk dulu dan lihat-lihat di dalam. Nanti beliin juga buat adek."Rifky mengangguk. Arham menggandengnya masuk ke dalam. Berjalan melihat mainan yang dipajang. Akhirnya Rifky mengambil dua mobilan untuk dirinya dan Rafka.Setelah puas berkeliling dan bermain, mereka menuju food court. Arham membiarkan Rifky memilih sendiri apa yang ingin dia makan. Bocah itu menunjuk chicken nugget, bakso, dan kentang goreng. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati makanan sambil bercakap ringan.Arham bahagia, tapi Rifky berusaha menyesuaikan dengan kondisi. Belum lama berpisah dari adik, bunda, dan Papa Bre, ia sudah merasa kangen. Dia belum pernah berjauhan dari mereka. Bocah itu agak terhibur karena Arham terus mengajaknya bicara dan bercanda.Setelah itu Arham mengajak putranya pulang. Kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu ke rumah Bu Rida."Kita mampir ke rumah nenek dulu, ya!""Ini rumah nenek, Pa?""Ya. Rumah Nenek Rida. Ayo, kita ketemu nenek dulu sebelum pul
Dua anak itu tidur dalam satu kamar, di kamar berbeda dari kedua orang tuanya. Dijaga oleh Mak As. Tapi Hilya juga berperan penuh menjaga anak-anaknya. Dia belum kembali ke kantor seperti harapannya. Mungkin nanti jika anak-anak sudah sekolah semua. Bre pun memberikan kebebasan Hilya untuk menentukan. Dia senang kalau bisa setiap waktu bersama sang istri di kantor, tapi dia juga lega karena anak-anak dijaga bundanya sendiri dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada pengasuh."Kak, mau ana?" Rafka yang sudah terbangun heran melihat sang kakak yang sedang digantikan baju rapi oleh bundanya. Bocah yang berusia dua tahun setengah itu mendekat dan memandangi sang kakak."Kak Rifky mau ke Surabaya. Besok kakak sudah pulang lagi." Sambil menyisir rambutnya Rifky, Hilya menjawab pertanyaan anak keduanya."Ikut," celetuk Rafka."Adek sama bunda dan papa di rumah. Kalau adek sudah besar, baru boleh ikut." Hilya memberikan pengertian.Bukannya mengerti, Rafka malah merengek. Rifky menangkupkan kedua
USAI KEPUTUSAN CERAI- IzinAuthor's POV Pagi itu langit di sepanjang jalan menuju Malang masih menyisakan kabut tipis. Di kejauhan terlihat seperti tirai putih yang menampilkan bayang pepohonan di latar belakang. Hawa pastinya masih terasa begitu dingin.Arham sengaja berangkat sehabis salat subuh tadi agar sampai kota Malang masih pagi. Dia sangat antusias ketika mendapatkan izin untuk mengajak Rifky ke Surabaya selama dua hari.Ini untuk pertama kalinya Arham diberi kesempatan membawa putranya menginap. Itu pun setelah Rifky sendiri ditanyai oleh bundanya, bersedia ikut papanya apa tidak. Ternyata Rifky mau. Akhirnya Bre yang menelepon Arham untuk bicara.Kebahagiaan Arham tidak terlukiskan dengan kata-kata. Dia harus berterima kasih pada Bre, telah begitu pengertian dan bijaksana menyikapi hubungan antara dirinya dengan Rifky. Walaupun ayah tiri, Bre menjadi ayah yang luar biasa. Mereka mendidik putranya begitu baik.Ketika mobil Arham sampai di depan pagar rumah Bre, suasana ma