Tristan menoleh pada Aruna yang menunduk. Biasa dibantah, diprotes, sekarang menjadi terasa asing dengan perubahan itu. Tristan sendiri merasa tak enak hati, sudah terlalu mengungkapkan semuanya pada konselor. "Aku minta maaf karena sudah mengungkapkan semuanya di hadapan Bu Lestari.""Nggak apa-apa." Dada Aruna terasa sesak. Dia tahu betapa Tristan merasa tak nyaman dan tersiksa selama pernikahan mereka. Walaupun Tristan sendiri yang menyetujui menikahinya.Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Mereka turun dan mencari tempat duduk paling tepi. Makanan yang dipesan cepat sekali disajikan karena suasana restoran memang agak sepi. Sudah terlewat jam makan siang."Makan dulu!" Tristan bicara saat melihat Aruna masih mematung memandang ke luar jendela kaca."Eh, iya," jawab Aruna gugup.Tristan menyuap nasi rames yang dipesannya. Sedangkan Aruna menunduk, mengaduk-aduk nasi tanpa niat menyuapkannya ke mulut. Rasa lapar yang tadi ada di perjalanan, kini menguap entah ke mana.Sebenarnya
Arham duduk diam di kursi kerjanya, membiarkan layar laptop menyala tanpa ia pedulikan. Tangannya bertaut di depan wajah, siku bertumpu di meja kerja. Ada sesuatu yang begitu mengganggunya, menghantui pikirannya sejak beberapa hari ini.Pikirannya melayang pada sosok kecil yang akhir-akhir ini selalu hadir dalam mimpinya. Rifky.Ia kangen anaknya. Namun belum sanggup untuk bertemu Hilya dan suami barunya. Ia merasa seperti seorang pengecut. Arham menghela napas panjang, jari-jarinya mengusap wajah dengan frustasi.Ponselnya bergetar di atas meja. Arham melirik sekilas. Nama yang tertera membuatnya menghela napas berat. Meski ragu, akhirnya tetap dijawab panggilan itu."Kamu di mana?" Suara Atika terdengar pelan."Di kantor.""Kita bisa bicara?"Arham menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit ruangan. "Ada apa lagi?""Mas, aku tahu banyak salah, tapi kasih kesempatan untuk memperbaikinya. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini. aku masih mencintaimu."Arham terdiam.
USAI KEPUTUSAN CERAI- Ingin Bertemu Author's POV Angin menjelang tengah hari berembus sejuk. Menyapu wajah Arham yang berdiri diam di luar pagar rumah megah itu. Pandangannya tertuju pada carport, di mana sebuah mobil warna susu putih terparkir rapi. Ia mengerutkan dahi. Seingatnya Bre mengendarai mobil SUV warna hitam.Berbagai perasaan berkecamuk dalam dada Arham. Mau tidak mau, ini yang harus dihadapinya. Arham menghampiri pagar berornamen klasik, mengamati halaman luas yang dipenuhi hamparan rumput Jepang yang tertata rapi. Di sudut ada taman kecil dengan berbagai bunga warna-warni, lengkap dengan pancuran air mancur kecil yang gemericiknya terdengar lembut. Suasana asri itu jauh dari kesan dingin yang biasa tergambar dari rumah besar milik seorang pengusaha.Arham menekan bel yang menempel di bagian dalam dinding, di dekat pintu pagar. Di halaman sudut sebelah kiri, ia melihat CCTV tersembunyi.Langkah tergesa terdengar dari arah dalam. Seorang wanita paruh baya dengan daster
"Ma, kami istirahat dulu di kamar, ya," ujar Bre."Iya. Mama mau nyiapin kek untuk kalian bawa nanti," jawab Bu Rika kemudian masuk ke dapur menemui asisten rumah tangganya.Sementara Bre yang sudah masuk kamar, menyalakan air conditioner. Kalau di Malang, AC jarang digunakan. Hawa dingin di sana sudah cukup membuat nyaman.🖤LS🖤Suasana di rumah Mbak Asmi hari itu begitu riuh. Suara ibu-ibu tetangga bercampur dengan dentingan peralatan dapur yang beradu. Dapur dipenuhi aroma rempah yang menggoda.Di sudut ruangan, Mbak Asmi berdiri dengan wajah bahagia. Setiap kali mendengar namanya disebut dalam obrolan para ibu, ia hanya bisa tersenyum malu."Mbak Asmi ini memang beruntung banget, ya," ujar Bu Harti, salah satu tetangga yang sedang mengiris bawang. "Nggak pernah kelihatan dekat sama Ustadz Izam, tahu-tahu langsung menikah."Bu Yuni yang sedang mengupas kentang ikut menimpali. "Iya, lho. Selama ini kita cuma lihat Pak Ustadz kalau ngajar anak-anak di TPQ. Ternyata diam-diam ada hat
Bapak telah melukai ibu dan kalian. Maafkan bapak.Asmi, kamu anak sulung yang selalu berusaha kuat. Bapak yakin kamu pasti mengambil banyak tanggung jawab sejak bapak pergi. Kamu menjadi tulang punggung meski usiamu masih terlalu muda. Maafkan bapak, Nak. Karena membuatmu dewasa terlalu cepat.Hilya, saat bapak pergi, kamu masih kecil. Bapak menyesal, Nak. Menyesal karena telah mengkhianati ibu dan meninggalkan kalian. Bapak tidak ingin mencari pembenaran atas apa yang bapak lakukan, karena tidak ada alasan yang cukup untuk meninggalkan anak-anak sendiri tanpa kabar. Bapak hanya ingin kalian tahu bahwa selama dua puluh satu tahun ini, bapak hidup dalam penyesalan yang terus menghantui. Bapak ingin kembali, bapak ingin bertemu, tapi bapak tidak pernah punya keberanian. Bapak takut kalian membenciku. Bapak hanya bisa berharap suatu hari nanti bisa menebus kesalahan ini.Bapak benar-benar kehilangan kesempatan untuk meminta maaf pada ibu kalian. Bapak tahu, ibu telah tiada.Kalo ini,
USAI KEPUTUSAN CERAI- Aruna Author's POV Suasana lalu lintas agak sepi. Tristan melihat mobil silver yang dikendarai istrinya ada di hadapan dengan kecepatan tinggi dan berjarak beberapa mobil dari kendaraannya. Pria itu semakin cemas.Jam terbang Aruna mengendarai mobil sudah banyak. Dia bisa nyetir semenjak SMA. Namun Tristan sangat cemas melihat caranya berkendara kali ini. Ini bukan sekadar ulah manjanya, tapi apa yang ia lakukan sangat berbahaya.Tristan makin panik, saat di depan matanya melihat mobil itu limbung dan kehilangan arah, hingga menghantam pembatas jalan dan terhenti karena menabrak tiang lampu jalan. "RUNA!" Tristan berteriak sekuat tenaga memanggil nama istrinya.Bunyi klakson bertalu-talu. Beberapa kendaraan mulai memperlambat laju mereka, dan sebagian pengendara bahkan berhenti mendadak untuk melihat apa yang terjadi. Jalanan mulai macet, Tristan sejenak terpaku menatap mobil silver yang hancur di bagian depan, terjepit di antara pembatas jalan dan tiang lam
Tidak lama kemudian datang Pak Fadlan dan sang istri yang langsung menghampiri mereka. Bu Fadlan memeluk sang besan."Apa yang terjadi?" tanya Pak Fadlan lirih pada Tristan.Setelah diam beberapa lama, Tristan menceritakan kronologinya pada sang papa.Setengah jam berlalu. Tristan duduk dengan kepala tertunduk, sementara Bu Ardi tidak berhenti berdoa. Saat pintu ruang IGD terbuka, mereka semua sontak berdiri.Seorang dokter pria berjalan mendekat. "Suami dan keluarga pasien dari Saudari Aruna?""Saya suaminya, Dok." Tristan langsung menyahut. "Bagaimana keadaan istri saya?"Dokter menghela napas, lalu menjelaskan dengan hati-hati. "Kondisinya sangat kritis saat tiba tadi, tapi untungnya sekarang sudah mulai stabil. Ada pendarahan di bagian kepala dan luka dalam yang perlu kami observasi lebih lanjut. Kami akan membawanya ke ICU untuk perawatan intensif. Pihak medis akan memantaunya dalam dua puluh empat jam ke depan. Jika tidak ada komplikasi lebih lanjut, peluangnya sangat besar untu
Bu Ardi terdiam sejenak, lantas menyeka air matanya. "Dia bilang ... ingin cerai, Tris."Tristan terperanjat. Nyeri menusuk ulu hati."Akhirnya dia sadar, kamu nggak bahagia bersamanya. Dia bilang, sudah ikhlas melepasmu. Walaupun kamu nggak bisa kembali pada Zara, tapi kamu akan punya kesempatan untuk bertemu dengan wanita lain yang mungkin akan membuatmu jatuh cinta dan nyaman." Bu Ardi terisak. Ini sangat menyakitkan dan mengecewakannya. Namun ia pun sadar, pernikahan mereka karena keterpaksaan.Dada Tristan terasa sesak. Matanya memanas. Dia memandang ke hadapan sana. Pada lalu lintas jalan raya yang ramai."Saya mengajaknya untuk konseling, karena ingin mempertahankan pernikahan kami, Ma.""Dari situ Runa menyadari, kalau selama ini dia egois. Yang penting dirinya bahagia bisa bersamamu. Setelah kamu mengatakan semuanya, dia baru sadar. Apa artinya dia bahagia tapi kamu tidak."Dia bilang, segala yang dipaksakan nggak akan bahagia selamanya. Kebersamaan hanya bentuk tanggungjawab
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda