Home / Pernikahan / Usai Bercerai / Mengekang Raga

Share

Mengekang Raga

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Habis dari mana kamu, Fan?" Meira langsung mengejar Arfan yang baru saja membuka pintu rumah. Wanita itu sudah menunggu kepulangan suaminya itu cukup lama di sofa ruang tamu. Dan nyaris tengah malam Arfan baru saja tiba di rumah.

Namun, bukannya menjawab apalagi menjelaskan, yang ditunggu malah tidak menghiraukannya sama sekali. Arfan terus melangkah menuju kamar dan meninggalkan Meira yang masih berdiri di ruang tamu. Seolah-olah keberadaan Meira seperti mahluk tak kasat mata di mata Arfan.

"Fan! Aku tanya sama kamu!" teriak Meira putus asa. Akhirnya dengan menghentak-hentakan kaki, Meira menyusul Arfan ke kamar.

"Ngapain kamu ke rumah sakit?" tanya Meira lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya Arfan abaikan. Dan kali ini pun sama. Arfan masih bungkam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Meira, membuat wanita itu semakin kesal.

"Apa jangan-jangan keluarga Alya ada yang sakit?" tebak Meira.

"Benar? Gitu, Fan?" lanjut Meira karena Arfan masih mengabaikan pertanyaannya.

"Terus, ngapain dia nemuin kamu?" Meira memikirkan jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Ah, ya." Kini Meira menatap Arfan dengan yakin. Seolah-olah ia telah menemukan jawaban dari semua pertanyaannya. "Dia pasti minta kamu membiayai pengobatan keluarganya, kan?" tebak Meira.

"Iya, kan?" teriak Meira. Ia tidak terima jika sampai Alya meminta itu pada Arfan.

Namun, bukannya menjawab, Arfan justru balas membentak Meira lebih keras lagi. "Diam!"

Mata laki-laki itu melotot ke arah Meira. Tatapannya bahkan seperti hendak menerkam Meira dan menelan wanita itu bulat-bulat. Arfan sudah cukup menahan diri dengan diam. Ia lelah. Pikirannya kacau tidak karuan. Akan tetapi, bukannya membuatnya tenang, Meira malah seperti bensin yang sengaja mengguyurnya saat dirinya tengah terbakar.

Usai menatap Meira dengan tatapan seperti itu, Arfan memilih pergi dari kamar. Ia kembali mengunci diri di ruang kerjanya. Ia tidak mau sampai lepas kendali karena ucapan Meira.

***

"Jangan lupa nanti makan malam di rumah Mama," Meira mengingatkan Arfan yang tengah menikmati sarapannya. "Aku sudah pesan kadonya, jadi pulang kerja kita bisa langsung ke sana."

Arfan diam. Seolah-olah ia tidak mendengar Meira bicara. Ulang tahun mamanya kali ini tidak lebih penting dari Aleta. Saat ini yang ada dipikiran Arfan hanya Aleta. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan dokter yang menangani Aleta. Arfan mau pengobatan yang terbaik untuk Aleta. Kalau perlu, ia akan membawa anak itu ke luar negeri.

"Kamu dengar aku bicara, kan, Fan?" Meira menaruh sendoknya dengan keras sehingga menimbulkan bunyi suara sendok beradu piring dengan cukup keras.

Arfan langsung menatap Meira yang sedang menatapnya dengan kesal. "Bisa enggak pagi-pagi enggak usah ribut?"

"Kamu yang mancing aku, Fan! Aku ngomong sama kamu, tapi kamu cuekin terus! Siapa yang enggak kesal coba?"

Arfan memilih meletakkan sendoknya kemudian meninggalkan Meira. Laki-laki itu meraih tas kerjanya yang ia taruh di meja ruang keluarga, menyambar kontak mobil dan ponselnya kemudian pergi.

[Aku jemput kamu sekarang.]

Arfan mengirim pesan itu kepada Alya saat sudah berada di mobil. Perjalanan dari rumah Alya ke rumah sakit tempat periksa Aleta cukup jauh. Arfan tidak tega jika Alya harus bergonta ganti bus atau mengendarai sepeda motor sendiri. Arfan tahu betul bagaimana Alya, jika tidak dalam keadaan genting, ia tidak akan mau menggunakan jasa taksi online.

"Aku harus berhemat," ucap Alya dulu saat mereka masih kuliah.

Alya, Meira, dan Arfan berkuliah di tempat yang sama, angkatan yang sama, dan jurusan yang sama. Alya bersahabat dengan Meira karena orang tua Alya bekerja di rumah Meira. Ibu Alya ART dan bapak Alya supir keluarga Meira. Sehingga sejak kecil Alya dan Meira terbiasa bersama. Keluarga Meira mengizinkan orang tua Alya membawa Alya ke rumah mereka saat bekerja.

Berbeda dengan Meira dan Arfan yang berasal dari keluarga kaya raya, Alya kuliah dengan beasiswa dan bahkan harus bekerja paruh waktu demi bisa mencukupi biaya kuliahnya. Alya tidak tega jika seluruh biaya kuliahnya harus ditanggung orang tuanya. Apalagi saat Alya tengah menyusun skripsi, bapaknya menderita struk.

Itu sebabnya Alya tumbuh menjadi pribadi yang di mata Arfan sangat hemat.

Lama centang dua pada pesan Arfan tak kunjung berganti warna. Ia ingin menelepon Alya, tetapi sungkan. Alya pasti tidak akan mau mengangkat teleponnya.

Akhirnya Arfan memutuskan untuk melajukan mobilnya ke arah rumah Alya. Kemarin ia mengantar Alya pulang dengan alasan ingin bertemu Aleta, sehingga Arfan sudah mengetahui rumah Alya yang sekarang. Sayangnya Aleta sudah tidur saat Arfan tiba.

Arfan sudah tidak peduli lagi pada Meira yang pasti akan mengadu pada mamanya kalau ia menemui Alya. Karena Arfan memang berencana untuk memberitahu seluruh keluarganya mengenai Aleta.

Arfan menoleh saat mendengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dengan cepat ia meraih ponsel yang ditaruh di jok sebelahnya.

[Enggak usah repot-repot. Aku sudah di perjalanan.]

Arfan menjatuhkan bahunya saat membaca balasan dari Alya.

"Ya udah," gumamnya.

Arfan kemudian berputar balik menuju rumah sakit. Ia berniat untuk menunggu Alya di sana.

[Sudah sampai mana?]

Arvan mengirim pesan untuk Alya setelah satu jam menunggu dan ibu dari putrinya itu belum kunjung tiba.

[Sebentar lagi.]

Kali ini Arfan tidak perlu menunggu lama, Alya langsung membalas pesannya. Tanpa Arfan sadari bibirnya tertarik ke belakang. Segaris senyum yang sudah sangat lama tidak pernah terlihat dari wajah Arfan, kini tersungging dengan manis.

[Oke, aku tunggu. Hati-hati, ya.]

Berkali-kali Arfan membuka ponselnya, tetapi Alya tidak membalas lagi.

Entah sudah berapa kali Arfan menoleh ke arah pintu masuk, berharap segera bisa Alya lagi. Ia sudah tidak sabar ingin kembali bertemu mantan istrinya itu.

"Lama banget, sih?" gerutu Arfan. Meski ia tahu sebenarnya dirinyalah yang datang kepagian. Dokter yang menangani Aleta praktik pukul sembilan dan Arfan datang sekitar setengah delapan.

Akhirnya daripada bengong Arfan beranjak menuju food court untuk membeli camilan. Ia tadi belum menyelesaikan sarapannya sehingga perutnya masih sedikit lapar. Ia juga berjaga-jaga kalau-kalau Alya belum sempat sarapan di rumah.

Dipilihnya aneka kue cantik dan kelihatan enak. Tak lupa ia juga memesan satu cup capuccino dan satu cup latte. Setelah dirasa cukup, ia membayarnya dan kembali ke kursi yang ia duduki tadi.

Baru saja Arfan menyesap capuccinonya, Alya datang.

"Hei, u-udah sampai?" tanya Arfan sembari menengok ke atas menatap wajah Alya yang masih berdiri di sampingnya.

Alya mengangguk. "Maaf ya, lama."

"Ah, enggak apa-apa. Akunya aja yang kepagian." Arfan menggeser posisi duduknya. Ia takut Alya tida nyaman jika mereka duduk terlalu dekat. Jika melihat penampilan Alya sekarang, wanita itu pasti sangat menjaga dirinya dari laki-laki. Dalam hati, Arfan merasa sangat bangga pada Alya.

"Latte." Arfan mengangsurkan cup latte yang ia beli pada Alya.

"Ah, ya. Makasih." Alya tersenyum kaku sembari menerima cup tersebut.

"Udah sarapan? Dokternya masih sekitar setengah jam lebih datangnya."

"Udah, kok."

"Oh. Ini, kue." Arfan menggeser kue-kue yang ia beli ke arah Alya. Kini mereka berdua duduk bersama dan hanya terhalang satu kursi tunggu yang di atasnya terdapat beberapa kue.

"Makasih." Alya memegang cup latte tersebut dengan kedua tangannya. Ia merasa canggung duduk berdekatan dengan Arfan seperti ini. Meski di ruangan ini banyak sekali orang yang juga sedang menunggu seperti dirinya. Akan tetapi, tetap saja Alya merasa tidak nyaman karena Arfan bukan lagi suaminya.

"Aleta gimana? Kamu tinggal enggak minta ikut?" Arfan mencoba mencairkan suasana.

"Enggak, kok. Dia sama ibu."

"Oh. Enggak rewel kalau kamu tinggal lama kayak gini?"

"Enggak."

"Oh."

Karena jawaban Alya selalu singkat, Arfan bingung hendak bertanya apalagi.

Di saat Arfan dan Alya sama-sama terdiam, tiba-tiba Meira datang dan menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat.

"Oh, jadi kamu sampai enggak ke kantor karena ke sini?" seru Meira membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka menoleh melihatnya.

"Demi wanita ini?" lanjut Meira masih dengan nada bicara yang sama.

"Cukup, Mei!" tegas Arfan dengan suara rendah, tetapi penuh wibawa.

"Siapa yang sakit? Siapa? Hah?" Bukannya diam, Meira malah semakin menjadi-jadi. "Bapak kamu sakit lagi? Butuh uang lagi? Sampai kamu ngemis-ngemis minta ketemu sama suamiku?" tunjuk Meira kepada Alya.

"Cukup, Mei!" Kali ini Arfan membentak Meira dengan suara cukup keras. Laki-laki itu kini berdiri di hadapan istrinya. Keduanya kini saling bertatapan dengan sengit.

Tentu hal itu membuat orang-orang yang ada di sekitar mereka mulai berbisik-bisik dan menyimpulkan sesuatu.

Alya yang merasa sangat malu dengan peristiwa ini hanya menoleh kecil ke kanan dan ke kiri. Rasa-rasanya ia ingin masuk ke dalam tanah saat itu juga.

"Kamu bisa mengekang ragaku. Melacak dimanapun posisiku," desis Arfan tepat di depan wajah Meira. "Tapi tidak dengan hatiku! Ingat itu!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Arfan langsung meraih lengan Alya dan membawa wanita itu menjauh dari Meira.

"Arfan!" teriak Meira tanpa peduli saat ini ia ada dimana.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
Arfan km laki2 kok ya mu aja ya JD boneka..kalo gak cinta n.nyamn mbok ya di cerein tu maera
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Pelakor ketakutan sendiri...dulu mencuri suami orang skrg takut suami nya di curi mantan istrinya
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
rasain lo PERAMPOK suami orang enak nggak di anggap kasian deh lo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Usai Bercerai   Harapan Baru

    Alya menghempas cekalan tangan Arfan saat mereka sudah berada di dalam lift. "Apaan sih, kamu, Fan!" pekik Alya dengan suara tertahan. Tak mungkin ia berteriak di tempat umum."Maaf." Arfan mengangkat kedua tangannya dan mundur satu langkah. Ia paham Alya tidak suka ia menyentuhnya seperti itu. Apalagi saat ini Alya telah berhijab sempurna dan mereka bukan lagi suami istri."Aku cuma enggak mau Meira mempermalukan kamu seperti itu di tempat umum," jelas Arfan. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang singkat ini Alya sampai marah kepadanya."Aku bisa mengatasi dia," ucap Alya datar.Arfan mengangguk. Ia tahu itu benar. Alya bukan lawan bagi perempuan manja seperti Meira. Alya wanita kuat dan bisa mengatasi nyaris semua masalahnya. Meski ada satu hal yang pada akhirnya tidak bisa Alya atasi dan akhirnya ia memilih pergi. Karena dengan cara pergilah Alya mengatasi permasalahan itu. Meski sakit, Arfan menghargai keputusan Alya.Ting!Lift terbuka. Mereka berada di lantai lima karena tadi Arf

  • Usai Bercerai   Ingin Bersama Keduanya

    "Ta, itu di luar ada Papa," ucap Alya setengah berbisik pada Aleta yang sedang asyik bermain boneka di atas ranjangnya. Anak empat tahun itu menoleh dan menatap wajah mamanya. "Papa pulang?" tanyanya dengan mata berbinar.Alya mengangguk. Ia sebenarnya bingung sendiri dengan pilihan kata pulang yang diucapkan Aleta. Karena Arfan hanya datang untuk menemui Aleta. Bukan pulang seperti yang ada di pikiran Aleta.Alya jadi teringat malam sebelum paginya Aleta tiba-tiba tidak bisa berjalan, anak itu menangis tanpa suara. Saat Alya bertanya, "Aleta kenapa menangis?" Aleta menjawab, "Aleta kangen Papa. Aleta ingin ketemu Papa."Hati ibu mana yang tak hancur, saat mendengar anaknya merindukan papanya yang sudah bahagia dengan keluarga barunya? Apalagi keesokan harinya saat bangun tidur tiba-tiba Aleta menangis karena tidak bisa berjalan.Akhirnya dengan membuang semua ego yang ada pada dirinya, Alya kemudian memutuskan untuk bertemu Arfan. Alya takut, kalau sampai Aleta pergi, anak yang waj

  • Usai Bercerai   Cinta dan Bakti

    Pak Ihsan yang melihat Aleta merengek minta tidur dengan ditemani kedua orang tuanya, berjalan mendekat ke depan kamar cucunya itu."Ta, sekarang Aleta tidur sama papa dulu, ya? Mama sekarang masih harus masak buat makan malam papa," ucap laki-laki yang masih harus menggunakan alat bantu untuk berjalan itu. Struk yang dialami Pak Ihsan, membuat separuh tubuhnya susah bergerak. Bahkan setelah membaik seperti sekarang ini kaki sebelah kanannya masih tidak bisa digerakkan seperti semestinya."Tapi, kalau mama udah selesai masak nyusul ke kamar, ya?" pinta Aleta. Anak empat tahun itu memang sudah bisa berbicara dengan cukup jelas. Hanya saja memang ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari anak seusia dia.Alya mengangguk. "Sekarang Aleta bobo sama papa dulu, ya!" "Iya. Ayo, Pa!" ajak anak itu antusias.Sebelum masuk ke kamar Aleta, Arfan menatap Alya sembari tersenyum simpul. Ia merasa sangat bersyukur Alya mau mengenalkannya pada Aleta sejak Aleta bayi. Arfan sangat ingin berterima kasi

  • Usai Bercerai   Hujan

    Terkadang Arfan merasa kalau perjalanan hidupnya bersama Alya itu seperti sebuah sinetron di televisi. Akan tetapi, pada kenyataannya itu nyata mereka alami. Betapapun ia ingin menolaknya, tetapi nyatanya garis takdir tetap membawanya ke sana.Hari itu Arfan sebenarnya tidak ingin datang ke acara arisan di rumah budhenya itu. Hanya saja Alya memaksa karena tidak tega melihat Arfan terus-menerus dihina dan dijadikan bahan olok-olokan di WAG keluarga besarnya karena saat ada acara besar, mereka berdua tidak datang.Alya merasa tidak tega dan tidak terima Arfan dihina seperti itu. Sehingga seperti apapun keluarga besar Arfan memperlakukannya, Alya tetap meminta untuk datang."Tapi aku enggak mau kamu cuma di dapur, Al," pinta Arfan saat tak bisa menolak permintaan Alya lagi."Aku lebih nyaman di dapur, Fan. Aku lebih nyaman ngobrol sama mbak-mbak di sana," ucap Alya sembari tersenyum. Ia tidak mau membuat suaminya merasa bersalah. Selama ini Arfan selalu merasa bersalah karena tidak mamp

  • Usai Bercerai   Bongkahan Penyesalan

    Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya."Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya."Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan be

  • Usai Bercerai   Terkubur Rasa Bersalah

    Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya."A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.Arfan mengangguk."Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun."Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan."Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun."Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."***"Pa! Papa!" Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali meras

  • Usai Bercerai   Tak Peduli

    "Dari mana aja kamu? Masih ingat pulang?" tegur Meira dengan sengit begitu Arfan membuka pintu rumahnya.Arfan mematung sejenak sembari menghela napas. Arfan merasa sangat lelah. Lima tahun sudah ia menjalani pernikahan dalam keterpaksaan, dan sampai detik ini tak sekalipun Meira bisa membuatnya merasa nyaman.Arfan merasa seperti berada dalam penjara yang diciptakan Meira. Semua aktivitasnya dipantau 24 jam. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Meira, maka sambutan Meira saat ia memasuki rumah pasti seperti sekarang ini.Arfan meneruskan langkah tanpa memedulikan Meira. Niatnya untuk memberitahu Meira bahwa besok pagi ia akan ke Jakarta, ia tunda. Karena jika ia paksa memberitahu Meira saat ini, Arfan takut tidak bisa mengendalikan diri karena tentu Meira akan menentangnya."Fan! Aku tanya sama kamu!" seru Meira sembari mengejar Arfan. Begitu tiba di depan pintu kamar, Meira berhasil menyusul Arfan. Wanita itu menarik kasar bahu Arfan sampai Arfan berbalik menghadapnya.

  • Usai Bercerai   Calon Suami

    Hari masih sangat pagi ketika Arfan tiba di rumah orang tua Alya. Subuh tadi ia bahkan sudah bertengkar hebat dengan Meira. Meira masih tidak mengizinkan Arfan pergi ke Jakarta meski sudah dijelaskan kalau ia akan pergi bersama seluruh keluarga Alya, tidak hanya berdua dengan Alya.Namun, Meira masih tidak terima dan mengancam akan mengadukan itu pada mama Arfan. Jadi, sebelum Arfan meninggalkan rumah, Meira sudah terlebih dahulu pergi ke rumah mertuanya. Dia pikir Bu Fania belum tahu kalau Arfan akan membawa Aleta berobat ke Jakarta."Aleta masih tidur?" tanya Arfan saat Alya keluar dengan menyuguhkan secangkir teh."Iya, masih," jawab Alya sembari meletakkan cangkir teh tersebut di meja tepat di depan Arfan."Ehm ... aku ... boleh liat dia?" Alya mengangguk. "Silakan."Sebelum menemui Aleta Arfan melirik teh yang asapnya masih mengepul di depannya. Ia menatap Alya sekilas kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya perlahan. Begitu hangat teh tersebut menjalar ke tengg

Latest chapter

  • Usai Bercerai   Selamat Tinggal

    Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo

  • Usai Bercerai   Sepasang Mata

    Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin

  • Usai Bercerai   Dua Minggu Lalu

    Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya

  • Usai Bercerai   Langkah Selanjutnya

    "Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya

  • Usai Bercerai   Harapan

    Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa

  • Usai Bercerai   Percayalah

    "F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya

  • Usai Bercerai   Malaikat Pencabut Nyawa

    [Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me

  • Usai Bercerai   Resah

    Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal

  • Usai Bercerai   Layu dan Berguguran

    Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di

DMCA.com Protection Status