Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya.
"Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya."Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan begitu penuh dengan Aleta dan leukimia, serta ... Alya."Arfan habis ketemuan sama Alya, Ma, Pa," adu Meira yang kini dadanya serasa terbakar. Bagaimana tidak? Di depan keluarga besarnya pun Arfan seolah-olah mengganggapnya tidak ada. Sekadar senyum pun tak laki-laki itu berikan, apalagi permintaan maaf karena telah membuatnya menunggu dan akhirnya datang sendiri."Benar itu, Fan?" tanya Bu Fania dengan mata melebar. Arfan sudah berjanji untuk tidak akan pernah menemui Alya lagi, apapun alasannya. Akan tetapi, hari ini ia mengingkari. Bahkan sampai telat datang ke acara makan malam ulang tahun mamanya karena habis menemui mantan istrinya itu.Arfan mengangkat wajahnya. Ia menatap mamanya dengan tatapan sendu. "Nanti Arfan jelaskan semuanya, Ma."Acara makan malam itu akhirnya berlangsung dengan kaku. Apalagi saat ini semua orang telah tahu apa yang sebenarnya terjadi lima tahun yang lalu. Namun, dengan keberadaan Meira sebagai pengganti Alya, semua orang memilih bungkam. Kalaupun ada yang membicarakan peristiwa lima tahun yang lalu pun, hanya sekadarnya saja dan tidak pernah di hadapan Arfan, Meira, dan orang tua Arfan."Apa yang mau kamu bicarakan, Fan?" tanya Bu Fania saat menyusul Arfan yang duduk di teras belakang. Laki-laki itu memang lebih sering memilih menyendiri saat berada di acara keluarganya.Arfan menoleh sekilas, kemudian tatapannya kembali lurus ke depan menunggu Bu Fania duduk di sampingnya."Mama enggak ingin lihat cucu Mama?" tanya Arfan tanpa menoleh ke arah mamanya."Cu-cucu?" ulang Bu Fania.Arfan mengangguk. "Bukannya Mama ingin cucu?"Bu Fania menahan napas. Ia merasa karma itu benar ada. Mungkin lebih tepatnya bukan karma, tetapi balasan untuk semua perbuatan yang dilakukan manusia.Setelah pernikahan Arfan dengan Meira berlangsung, balasan dari perbuatan buruknya kepada Alya sepertinya mulai bekerja. Mulai dari adik perempuan Arfan. Ia tak mau menikah dengan laki-laki lain selain pacarnya. Sayangnya lelaki pilihannya itu berbeda keyakinan dengan keluarga Arfan.Orang tua Arfan menentang keras, sampai akhirnya Adik Arfan yang bernama Arumi itu nekat berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Akan tetapi, usaha Arumi gagal. Ia berhasil diselamatkan. Hanya saja, akibat ia melompat dari sebuah jembatan layang, membuatnya lumpuh dan cacat permanen.Kemudian pernikahan Arfan dan Meira pun tak berjalan sesuai harapan orang tua dan keluarga besar Arfan. Karena sudah lima tahun mereka menikah, tetapi Meira tidak kunjung hamil juga. Padahal berdasarkan pemeriksaan medis, kondisi Arfan dan Meira sama-sama baik.Usaha Meira untuk bisa hamil pun tak main-main selama lima tahun ini. Ia mengikuti berbagai program kehamilan. Mulai dengan inseminasi bahkan sampai bayi tabung. Akan tetapi sayangnya semua gagal dan Meira tak kunjung hamil juga."Kamu ... menemuinya?" tanya Bu Fania setelah terdiam cukup lama.Arfan mengangguk.Bu Fania menghela napas. Ada penyesalan besar di dadanya yang tidak bisa ia ungkapkan pada siapapun, meski Arfan sekalipun. Bu Fania ingat betul saat Arfan dan Alya datang ke rumahnya dan memberitahu kalau Alya telah hamil."Kamu pikir, dengan kamu hamil, kami akan nerima kamu sebagai menantu?" ketus Bu Fania saat itu. Arfan bahkan sampai berteriak tak terima dengan ucapan mamanya itu. Akan tetapi, Bu Fania tidak peduli."Aku masih punya anak lain selain Arfan. Aku enggak butuh anak dari perempuan seperti kamu meski itu anak Arfan!""Mama!" seru Arfan yang sangat kecewa dengan mamanya. Ia pikir dengan kehamilan Alya, keluarganya akan luluh dan mau menerima Alya, tetapi ternyata Arfan salah. Orang tuanya terlalu sombong dengan segala yang ada padanya."Mama enggak butuh cucu dari perempuan yang membuat anak mama berani menentang Mama!" tegas Bu Fania."Bawa dia pergi, Fan!" titah Pak Arya yang tidak ingin terjadi keributan di rumahnya.Arfan dan Alya akhirnya meninggalkan rumah megah milik kedua orang tua Arfan itu."Namanya Aleta." Arfan mengulurkan ponselnya pada Bu Fania untuk menunjukkan foto Aleta yang ia ambil tadi.Dengan ragu Bu Fania menerima ponsel putra sulungnya itu. Begitu melihat foto Aleta dalam ponsel Arfan, Bu Fania sampai lupa cara bernapas. Wajah anak perempuan dalam foto itu, persis Arfan saat seusia itu.Kini Bu Fania merasa sedang dihujani bongkahan batu penyesalan yang begitu besar. Di usianya yang sudah cukup senja, ia bahkan belum mendapatkan hal yang paling diidam-idamkan, yaitu cucu. Bu Fania ingin sebelum meninggal, ia bisa menimang cucunya. Memberikan segala yang ia bisa pada cucunya.Namun sayang, Meira dan Arumi tidak bisa mewujudkan keinginannya itu, justru Tuhan seolah-olah sedang mengolok-olok kesombongannya dengan kehadiran Aleta. Cucu dari perempuan yang telah ia hina dan bahkan tidak pernah ia terima keberadaannya."Mirip sekali sama kamu," lirih Bu Fania sembari tanpa sadar jari telunjuknya mengelus wajah Aleta."Mama ingin ketemu dia?"Bu Fania langsung menoleh pada Arfan. Ia sadar diri kalau dulu telah menolak Alya dan kehamilannya. Jadi, rasanya tidak mungkin Alya dan keluarganya akan mengizinkannya untuk bertemu dengan Aleta."Apa ... mungkin?"Arfan tersenyum miris. "Alya bahkan memberitahu Aleta kalau aku papanya sejak Aleta bayi. Padahal ...." Arfan tak bisa meneruskan ucapannya. Dadanya begitu sesak kalau mengingat selama ini ia sama sekali tidak pernah berusaha lebih keras untuk menemui Alya dan Aleta, hanya karena kesepakatannya dengan mamanya."Ceraikan Alya dan jangan pernah temui dia kalau kamu ingin Mama membujuk budhe buat cabut laporannya!" titah Bu Fania lima tahun lalu. Lebih tepatnya lima hari setelah kepergian Alya.Budhe Arfan yang berliannya ada di tas Alya, memutuskan untuk melaporkan Alya ke polisi. Betapapun Arfan memohon agar budhenya itu mencabut laporannya, tetapi suara Arfan seperti tidak terdengar. Sehingga Arfan memohon pada mamanya agar mau membujuk budhenya untuk mencabut laporannya. Arfan tidak bisa membayangkan kalau Alya harus dipenjara, apalagi istrinya itu sedang hamil.Bak memakan buah simalakama, Arfan sangat bingung saat itu. Bercerai atau membiarkan Alya dipenjara adalah pilihan yang sama sulitnya. Arfan sadar betul bahwa kekuatan uang bisa mengalahkan semuanya. Apalah dirinya jika dibanding budhenya yang kaya raya. Sampai habis darahnya untuk membela Alya di pengadilan nanti pun, ia tidak akan mungkin menang.Arfan akhirnya mengangguk setuju. "Arfan akan menceraikan Alya.""Apa jaminan kamu enggak akan menemuinya?" Ternyata tak cukup sampai disitu kesepakatan mereka."Maksud Mama?""Mama bukan orang bodoh, Fan. Bisa aja kalian sudah bercerai, tapi di belakang Mama kamu masih ketemu dia.""Enggak, Ma. Enggak akan," ucap Arfan meski dalam hati ia sendiri merasa ragu.Bu Fania menggelengkan kepalanya. "Mama enggak percaya.""Lalu mau Mama apa?""Nikahi Meira!""Ma!" bentak Arfan."Kalau kamu tidak mau, Mama juga tidak akan melakukan apapun.""Ma, tolong .... Cukup Arfan dan Alya bercerai, jangan minta Arfan melakukan hal yang lebih dari itu, Ma!""Keputusan ada di kamu. Mau liat pencuri itu dipenjara atau ... turuti kata-kata Mama."Kekuatan uang membuat laporan budhe Arfan lebih cepat diproses. Dua hari setelah negosiasi Arfan dengan mamanya, surat panggilan untuk Alya dari kepolisian Arfan terima. Arfan tidak bisa membayangkan kalau Alya akhirnya menjadi buronan dan berakhir di balik jeruji besi.Arfan benar-benar bingung dan putus asa. Ia ingin membawa Alya pergi sejauh mungkin, tetapi itu tidak mungkin. Alya pasti tidak akan mau melarikan diri. Apalagi jika tahu kalau ia telah dilaporkan ke polisi. Alya pasti lebih memilih untuk menghadapinya. Apapun resikonya.Karena tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan mamanya, Arfan akhirnya setuju. Karena memang apa yang Alya ucapkan dulu saat Arfan mengajak menikah benar adanya."Menikah itu bukan cuma soal aku dan kamu, tapi juga keluargamu dan keluargamu."Dan pada akhirnya keluarganyalah yang membuat pernikahannya dengan Alya hancur."Apa Mama ... pantas ketemu anak kamu?" tanya Bu Fania setelah ia dan Arfan terdiam cukup lama."Sebelum semua terlambat, Ma," ucap Arfan. Ia sebenarnya sangat takut kalau-kalau umur Aleta tidak akan lama lagi. Apalagi saat tadi ia menemui Aleta secara langsung. Aleta tidak bisa berjalan, kulitnya lebam-lebam, badannya kurus, dan wajahnya begitu pucat. Arfan sangat takut, meski ia mampu membawa Aleta berobat kemanapun, tetapi Arfan sadar ada satu hal yang ia tidak akan pernah mampu melawannya, garis takdir."Maksud kamu?" Bu Fania menatap wajah putranya."Aleta ... sakit. Dia ... mengidap leukimia."Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya."A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.Arfan mengangguk."Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun."Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan."Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun."Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."***"Pa! Papa!" Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali meras
"Dari mana aja kamu? Masih ingat pulang?" tegur Meira dengan sengit begitu Arfan membuka pintu rumahnya.Arfan mematung sejenak sembari menghela napas. Arfan merasa sangat lelah. Lima tahun sudah ia menjalani pernikahan dalam keterpaksaan, dan sampai detik ini tak sekalipun Meira bisa membuatnya merasa nyaman.Arfan merasa seperti berada dalam penjara yang diciptakan Meira. Semua aktivitasnya dipantau 24 jam. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Meira, maka sambutan Meira saat ia memasuki rumah pasti seperti sekarang ini.Arfan meneruskan langkah tanpa memedulikan Meira. Niatnya untuk memberitahu Meira bahwa besok pagi ia akan ke Jakarta, ia tunda. Karena jika ia paksa memberitahu Meira saat ini, Arfan takut tidak bisa mengendalikan diri karena tentu Meira akan menentangnya."Fan! Aku tanya sama kamu!" seru Meira sembari mengejar Arfan. Begitu tiba di depan pintu kamar, Meira berhasil menyusul Arfan. Wanita itu menarik kasar bahu Arfan sampai Arfan berbalik menghadapnya.
Hari masih sangat pagi ketika Arfan tiba di rumah orang tua Alya. Subuh tadi ia bahkan sudah bertengkar hebat dengan Meira. Meira masih tidak mengizinkan Arfan pergi ke Jakarta meski sudah dijelaskan kalau ia akan pergi bersama seluruh keluarga Alya, tidak hanya berdua dengan Alya.Namun, Meira masih tidak terima dan mengancam akan mengadukan itu pada mama Arfan. Jadi, sebelum Arfan meninggalkan rumah, Meira sudah terlebih dahulu pergi ke rumah mertuanya. Dia pikir Bu Fania belum tahu kalau Arfan akan membawa Aleta berobat ke Jakarta."Aleta masih tidur?" tanya Arfan saat Alya keluar dengan menyuguhkan secangkir teh."Iya, masih," jawab Alya sembari meletakkan cangkir teh tersebut di meja tepat di depan Arfan."Ehm ... aku ... boleh liat dia?" Alya mengangguk. "Silakan."Sebelum menemui Aleta Arfan melirik teh yang asapnya masih mengepul di depannya. Ia menatap Alya sekilas kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya perlahan. Begitu hangat teh tersebut menjalar ke tengg
Kontan tubuh Arfan menegang. "Calon suami Alya?" batin Arfan tidak terima. Akan tetapi, ia tetap menyambut jabatan tangan dari Prima.Tiga hari setelah proses pemeriksaan kecocokan sumsum tulang belakang Alya dan Arfan, akhirnya hasilnya keluar. Kali ini hanya Alya dan Arfan yang datang ke rumah sakit. Sementara Aleta dan kedua orang tua Alya menunggu di hotel dengan ditemani Prima. Prima sebenarnya ingin ikut ke rumah sakit karena melihat Alya tidak nyaman hanya pergi berdua dengan Arfan. Akan tetapi, Aleta tidak mau lepas dari laki-laki itu. Jadi, terpaksa Prima membiarkan Arfan dan Alya pergi berdua.Sepanjang berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Alya dan Arfan hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Alya harap-harap cemas karena teringat ucapan dokter, bahwa meskipun orang tua tetap ada kemungkinan hasilnya tidak cocok. Kalau sampai dirinya atau Arfan tidak cocok, Alya tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya membiarkan Aleta untuk menjalani pengobatan
Alya dan Arfan berjalan menuju parkiran rumah sakit dengan langkah gontai. Keduanya sama-sama diam dan sibuk dengan segala pikiran yang ada di kepala masing-masing. Sama-sama bingung dengan pilihan yang kini ada di depan mereka. Saat ini mereka seperti sedang memakan buah simalakama. Jika harus membiarkan Aleta menjalani kemoterapi, Alya dan Arfan teramat sangat takut dan juga tidak tega. Mereka berdua takut fisik Aleta tidak kuat menerima obat-obatan yang cukup keras itu. Apalagi jika memikirkan pada akhirnya justru hal buruk yang akan menimpa putri mereka. Alya dan Arfan tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi.Alya menghela napas panjang. Dadanya sangat sesak memikirkan hal itu. Apalagi jika mengingat ucapan Dokter Haikal tadi. "Jadi selain menggunakan sumsum tulang belakang, metode stem cell ini bisa juga menggunakan darah tali pusat dari saudara kandung pasien. Bahkan untuk pengobatan dengan darah tali pusat ini, tingkat keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan sumsum tu
"Aku ke kamar dulu," pamit Alya pada Arfan dan Bu Narti yang masih berdiri di depan pintu.Bu Narti kemudian mempersilakan Arfan untuk masuk. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Arfan kemudian menjelaskan hasil tesnya dan Alya kepada orang tua Alya dan juga Prima yang memang masih ada di sana."Terus sekarang gimana, Nak Arfan?" tanya Bu Narti yang kini hatinya kembali gerimis. Harapannya bahwa cucunya akan mendapatkan donor dari salah satu orang tuanya kini pupus. Dada Bu Narti teramat sesak jika membayangkan Aleta harus menjalani kemoterapi. Ia sangat tidak tega.Arfan menarik napas dalam. Ia menunduk kemudian memejamkan kedua matanya. Beberapa saat kemudian ia kembali mengangkat wajahnya. "Kita berdoa agar Aleta diberi jalan pengobatan yang terbaik, Bu. Karena sakit ini dari Allah, aku percaya Allah pasti udah siapin solusi yang terbaik."Tak lama setelah itu, Arfan kemudian pamit untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin segera menelepon mamanya. Ia masih ingat perkataan Alya dulu. "Sal
Suara ketukan pintu di kamar hotel Alya sore ini, entah mengapa membuat tubuh Alya gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Wajah Alya bahkan kini menjadi seputih kapas."Al, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Narti saat melihat wajah pucat putrinya serta butiran keringat berukuran cukup besar di keningnya."Enggak tahu, Bu. Tiba-tiba tubuh Alya gemetaran," jawab Alya sembari meremas jemarinya sendiri."Ya Allah, apa kamu masuk angin? Ya udah, kamu tiduran dulu aja. Biar ibu yang buka pintu.""Iya, Bu."Alya kemudian berbaring di sisi Aleta yang masih tertidur sejak jam dua tadi. Setelah semalam Arfan memberitahu bahwa mamanya akan datang, jantung Alya tiba-tiba berdebar-debar. Bahkan semalaman ia tidak bisa tidur.Selama ini Alya pikir dirinya baik-baik saja. Tidak ada trauma yang ia simpan di hati dan kepalanya. Ia bisa menjalani hari-hari dengan baik-baik saja meski terasa sulit. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa Bu Fania akan datang, tiba-tiba Alya seperti tak punya daya.Ia tidak
"Ma, jangan bahas itu dulu!" tegur Arfan sembari menerima secangkir teh hangat dari mamanya. "Loh, kenapa?" tanya Bu Fania. "Niat Mama ke sini kan, emang mau bahas itu.""Iya, tapi Mama liat dulu gimana kondisi Alya!" tegas Arfan.Bu Fania mendengus kesal. Ia tak berkata apa-apa lagi."Minum dulu, Al!" titah Arfan sembari mengangsurkan cangkir teh itu pada Alya.Alya pun menerimanya dan menyesap teh hangat tersebut."Udah?" tanya Arfan saat Alya menyerahkan cangkir itu kembali kepadanya.Alya mengangguk.Beberapa saat mereka berempat hanya terdiam di ruangan itu. Alya masih mencoba mengumpulkan ketenangannya yang sempat porak poranda. Alya akui, keberadaan Arfan di sisinya mampu memberikan pengaruh besar, sehingga kini ia merasa kembali baik-baik saja."Kemarin Arfan bilang sama Mama kalau katanya hasil tes kalian enggak ada yang cocok sama Aleta." Bu Fania kembali membuka suara. Ia sudah tidak sabar untuk berbicara pada Alya. Bahkan saking inginnya masalah ini cepat beres, ia sampai
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di