[Meski pada akhirnya pernikahan kita berakhir atau bahkan kita tidak akan pernah lagi bertemu. Aku cuma mau bilang, aku merasa ... aku sangat beruntung pernah ketemu kamu, menjadi istri kamu, bagian hidup kamu, menghabiskan seluruh waktuku bersamamu. Makasih udah hadir di hidupku, memberi warna hari-hariku, menjadi orang paling lucu, galak, cerewet. Aku enggak pernah nyesel pernah tulus sama kamu. Karena aku sadar, enggak selamanya ... tulus jadi pemenangnya. Makasih laki-laki baik. See you.
Alya]Usai menulis pesan itu pada selembar kertas, Alya melipatnya. Menyusun kertas berwarna putih bersih itu bersama buku nikah dan cincin kawinnya di meja kamarnya."Aku pergi ...." Alya berkata lirih seolah-olah sedang berpamitan dengan Arfan. Dengan dada nyeri ia kemudian menyeret koper yang telah ia siapkan menuju taksi online yang telah ia pesan untuk mengantarnya ke terminal.Entah sudah kali ke berapa Alya menyeka air matanya. Buliran bening itu terus mengalir membuat pandangannya buram. Namun, ia tetap memadang bangunan dan pepohonan yang terus berlalu seiring dengan lajunya bus yang ia tumpangi.Persis seperti hidupnya saat ini.Alya tetap harus melangkah walaupun ada hal yang sangat ingin ia tahan untuk tidak berlalu. Namun pada kenyataannya, garis takdir membuatnya harus menerima bahwa melepaskan adalah satu-satunya pilihan yang ia punya."Maafin aku ...." Alya tidak bisa membayangkan bagaimana nanti reaksi Arfan saat menemukan surat yang ia tinggalkan itu. Juga buku nikah dan cincin kawin yang ia susun di meja kamar mereka bersama surat itu. Alya tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya Arfan kepadanya karena dirinya akhirnya memilih pergi.***Lima tahun sudah Alya meninggalkan kota ini. Dan siang ini, dengan dada begitu sesak ia harus menginjakkan kaki kembali di sini. Bahkan saat ini ia sedang duduk di sebuah rumah makan yang dulu selalu menjadi tempatnya menghabiskan akhir pekan bersama Arfan, mantan suaminya.Alya tidak heran kalau kota ini banyak berubah. Banyak bangunan baru yang dulu saat Alya masih tinggal di sini belum ada. Banyak ruko-ruko yang yang berubah, yang dulunya toko mainan menjadi toko baju, yang dulunya toko tas menjadi toko sepeda, dan masih banyak yang lainnya. Hanya saja, tidak dengan rumah makan ini. Dari luar bangunan sampai semua yang ada di dalam bangunan bergaya klasik ini tidak berubah sama sekali. Persis seperti perasaan Alya terhadap Arfan.Tanpa Alya sadari, matanya kini mengembun. Ia seperti melihat dirinya dan Arfan yang sedang asyik berbincang hangat sembari menunggu makanan disiapkan di sebuah bangku yang terletak di pojok. Tatapan mata Arfan, senyum lebarnya, gestur tubuhnya, semua bisa Alya lihat dengan baik. Lima tahun telah berlalu, tetapi kenyataannya waktu tidak mampu menghapus kenangan itu."Maaf terlambat."Alya menoleh saat mendengar suara wanita yang sudah berdiri di sampingnya."Ah, iya. Enggak apa-apa." Sejurus kemudian Alya menunduk menyembunyikan matanya yang dipenuhi kaca-kaca. Bayangan masa lalu serasa meremas jantungnya begitu kuat.Jika bukan karena ada nyawa yang harus ia perjuangkan, tak mungkin Alya menemui wanita ini dan datang ke kota yang paling tidak ingin ia kunjungi. Namun, ada kalanya ia harus mengabaikan dirinya sendiri demi seseorang yang paling penting dalam hidupnya saat ini.Alya menghela napas dan menghembuskan perlahan. Kilasan peristiwa yang terjadi di masa lalu membuat dada Alya teramat sesak."Ada apa?" tanya Meira dengan nada ketus. "Ada yang bisa aku bantu?Alya mengangguk ragu. Sebenarnya kalau bisa memilih, dia benar-benar tak ingin bertemu wanita itu lagi. Sudah cukup selama ini luka yang ditorehkan karena berebut sesuatu yang sudah jelas-jelas milik siapa."Mungkin ... ini bakal buat kamu enggak nyaman. Tapi ... aku perlu ketemu sama Arfan."Meira memicingkan mata. "Ada perlu apa?""Tolong ...." Leher Alya mendadak sakit. Kalau bukan karena anaknya, tak ingin dia menghiba seperti ini. "Aku mau bertemu Arvan. Sampaikan padanya kalau ....""Sampaikan aja keperluan kamu apa sama aku! Nanti aku sampaikan sama dia," potong Meira dengan ketus. Ia memang tidak suka jika Arfan harus bertemu dengan mantan istrinya ini. Bahkan selama ini kalau Arfan ingin menemui mantan istri dan anaknya, Meira selalu mengancam akan memberitahu mama mertuanya. Meira tahu betul kalau mama mertuanya sangat tidak menyukai Alya.Alya cukup terkejut mendengar perkataan Meira. Ia tidak menyangka kalau istri mantan suaminya itu ternyata seposesif itu. Sejak Alya pergi, ia memang tidak pernah sama sekali mengetahui informasi apapun tentang kehidupan Arfan. Alya hanya tahu kalau Arfan telah menikah lagi sebulan setelah kepergiannya dari teman yang masih berkomunikasi dengannya. Selebihnya Alya tidak ingin mengetahuinya.Alya tahu diri. Lebih tepatnya ia tidak ingin lebih sakit lagi dengan mengetahui kehidupan Arfan dengan Meira. Bagi Alya, hidupnya cukup fokus membesarkan putri semata wayangnya dengan baik. Tidak ada yang lebih penting dari putrinya, Aleta."Aku harus mengatakan langsung sama Arfan, Mei." Alya masih berusaha membujuk Meira."Sampaikan aja sama aku! Kalau memang penting, aku pasti sampaikan sama dia," ketus Meira.Alya terperangah. Ia benar-benar tidak menyangka kalau respon Meira seperti itu. Ia hanya ingin bicara dengan Arfan tentang Aleta. Tidak lebih. Akan tetapi, Meira bahkan tidak mengizinkannya."Apa setakut itu kamu sama aku?" Jika dengan cara baik-baik tidak membuat Meira terketuk, Alya pun bisa menggunakan cara kasar."Maksud kamu?" Meira menatap Alya tidak suka."Aku enggak nyangka. Ternyata kamu setidak percaya diri ini, Mei." Alya tersenyum sinis. Ia masih ingat betul bagaimana dulu Meira dengan kepercayaan dirinya."Jaga bicara kamu, Al!" bentak Meira sembari menatap tajam kepada Alya."Aku cuma mau ketemu Arfan, Mei. Aku harus bicara sama dia." Alya kembali mencoba melunak. Ia tidak suka berdebat. Jika bukan karena nyawa Aleta, tidak akan ia menemui Meira dan meminta izin pada wanita itu untuk bertemu kembali dengan mantan suaminya."Kamu bisa ngomong sama aku! Aku pasti sampaiin ke dia." Meira masih bersikeras.Alya menggeleng. "Enggak sesederhana itu. Aku harus ngomong sama Arfan secara langsung.""Terserah!" Meira berdiri dari kursinya. Ia hendak meninggalkan Alya."Kamu setakut itu Arfan ketemu sama aku?" Alya mengernyitkan dahinya. Meski perasaannya pada Arfan tidak berubah sedikitpun, tetapi ia benar-benar tidak berniat untuk mengambil Arfan kembali dari Meira.Meira menoleh dengan menatap tajam pada Alya. "Hah? Takut? Kamu pikir kamu siapa?"Alya hanya menjawab dengan senyuman sinis."Aku istri Arfan. Arfan suamiku. Buat apa aku takut sama perempuan seperti kamu?" lanjut Meira dengan mata hendak keluar dari tempatnya."Apa kamu lupa semudah mudah apa hubungan suami istri berakhir?"Bibir Meira membuka, kemudian mengatup kembali."Aku cuma mau bicara langsung sama Arfan. Ini mengenai Aleta. Bagaimanapun hubunganku dan Arfan, Arfan tetap ayah Aleta. Selamanya kamu enggak bisa memutus hubungan anak dan ayah di antara mereka."Alya menjeda ucapannya. Ia menatap tajam mata Meira yang tak berkedip menatapnya."Kamu enggak usah khawatir, Mei. Aku bukan kamu. Kita berbeda. Aku enggak akan merampas suami orang lain, apalagi sahabat sendiri. Seperti yang kamu lakukan sama aku dulu."Entah kali keberapa Arfan menghela napas. Dadanya begitu sesak. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kemana-mana. Sejak Meira menyampaikan kalau Alya meminta bertemu dengannya, pikiran Arfan tidak bisa sejenak pun terlepas dari mantan istrinya itu.Lima tahun sudah mereka berpisah, dan tidak sekalipun Alya menghubunginya. Bahkan saat Alya melahirkan. Karena dulu saat Alya meninggalkan rumah, kondisinya sedang hamil lima bulan. Dan sekarang, Alya meminta untuk bertemu dengannya. Arfan yakin, pasti ada hal besar sehingga wanita yang masih sangat ia cintai itu sampai meminta bertemu dengannya.Arfan beranjak dari ranjang setelah meraup kasar wajahnya."Mau kemana?" Arfan menoleh saat mendengar Meira bertanya."Kamu belum tidur?"Meira menggelengkan kepalanya. "Belum.""Aku ... mau cari udara segar."Tanpa menunggu respon Meira, Arfan meninggalkan tempat tidur mereka. Tempat tidur yang dulu begitu hangat saat Alya masih ada di sisinya. Dan kini
"Habis dari mana kamu, Fan?" Meira langsung mengejar Arfan yang baru saja membuka pintu rumah. Wanita itu sudah menunggu kepulangan suaminya itu cukup lama di sofa ruang tamu. Dan nyaris tengah malam Arfan baru saja tiba di rumah.Namun, bukannya menjawab apalagi menjelaskan, yang ditunggu malah tidak menghiraukannya sama sekali. Arfan terus melangkah menuju kamar dan meninggalkan Meira yang masih berdiri di ruang tamu. Seolah-olah keberadaan Meira seperti mahluk tak kasat mata di mata Arfan."Fan! Aku tanya sama kamu!" teriak Meira putus asa. Akhirnya dengan menghentak-hentakan kaki, Meira menyusul Arfan ke kamar."Ngapain kamu ke rumah sakit?" tanya Meira lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya Arfan abaikan. Dan kali ini pun sama. Arfan masih bungkam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Meira, membuat wanita itu semakin kesal."Apa jangan-jangan keluarga Alya ada yang sakit?" tebak Meira. "Benar? Gitu, Fan?" lanjut Meira karena Arfan masih mengabaikan pertanyaannya. "Terus, ngap
Alya menghempas cekalan tangan Arfan saat mereka sudah berada di dalam lift. "Apaan sih, kamu, Fan!" pekik Alya dengan suara tertahan. Tak mungkin ia berteriak di tempat umum."Maaf." Arfan mengangkat kedua tangannya dan mundur satu langkah. Ia paham Alya tidak suka ia menyentuhnya seperti itu. Apalagi saat ini Alya telah berhijab sempurna dan mereka bukan lagi suami istri."Aku cuma enggak mau Meira mempermalukan kamu seperti itu di tempat umum," jelas Arfan. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang singkat ini Alya sampai marah kepadanya."Aku bisa mengatasi dia," ucap Alya datar.Arfan mengangguk. Ia tahu itu benar. Alya bukan lawan bagi perempuan manja seperti Meira. Alya wanita kuat dan bisa mengatasi nyaris semua masalahnya. Meski ada satu hal yang pada akhirnya tidak bisa Alya atasi dan akhirnya ia memilih pergi. Karena dengan cara pergilah Alya mengatasi permasalahan itu. Meski sakit, Arfan menghargai keputusan Alya.Ting!Lift terbuka. Mereka berada di lantai lima karena tadi Arf
"Ta, itu di luar ada Papa," ucap Alya setengah berbisik pada Aleta yang sedang asyik bermain boneka di atas ranjangnya. Anak empat tahun itu menoleh dan menatap wajah mamanya. "Papa pulang?" tanyanya dengan mata berbinar.Alya mengangguk. Ia sebenarnya bingung sendiri dengan pilihan kata pulang yang diucapkan Aleta. Karena Arfan hanya datang untuk menemui Aleta. Bukan pulang seperti yang ada di pikiran Aleta.Alya jadi teringat malam sebelum paginya Aleta tiba-tiba tidak bisa berjalan, anak itu menangis tanpa suara. Saat Alya bertanya, "Aleta kenapa menangis?" Aleta menjawab, "Aleta kangen Papa. Aleta ingin ketemu Papa."Hati ibu mana yang tak hancur, saat mendengar anaknya merindukan papanya yang sudah bahagia dengan keluarga barunya? Apalagi keesokan harinya saat bangun tidur tiba-tiba Aleta menangis karena tidak bisa berjalan.Akhirnya dengan membuang semua ego yang ada pada dirinya, Alya kemudian memutuskan untuk bertemu Arfan. Alya takut, kalau sampai Aleta pergi, anak yang waj
Pak Ihsan yang melihat Aleta merengek minta tidur dengan ditemani kedua orang tuanya, berjalan mendekat ke depan kamar cucunya itu."Ta, sekarang Aleta tidur sama papa dulu, ya? Mama sekarang masih harus masak buat makan malam papa," ucap laki-laki yang masih harus menggunakan alat bantu untuk berjalan itu. Struk yang dialami Pak Ihsan, membuat separuh tubuhnya susah bergerak. Bahkan setelah membaik seperti sekarang ini kaki sebelah kanannya masih tidak bisa digerakkan seperti semestinya."Tapi, kalau mama udah selesai masak nyusul ke kamar, ya?" pinta Aleta. Anak empat tahun itu memang sudah bisa berbicara dengan cukup jelas. Hanya saja memang ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari anak seusia dia.Alya mengangguk. "Sekarang Aleta bobo sama papa dulu, ya!" "Iya. Ayo, Pa!" ajak anak itu antusias.Sebelum masuk ke kamar Aleta, Arfan menatap Alya sembari tersenyum simpul. Ia merasa sangat bersyukur Alya mau mengenalkannya pada Aleta sejak Aleta bayi. Arfan sangat ingin berterima kasi
Terkadang Arfan merasa kalau perjalanan hidupnya bersama Alya itu seperti sebuah sinetron di televisi. Akan tetapi, pada kenyataannya itu nyata mereka alami. Betapapun ia ingin menolaknya, tetapi nyatanya garis takdir tetap membawanya ke sana.Hari itu Arfan sebenarnya tidak ingin datang ke acara arisan di rumah budhenya itu. Hanya saja Alya memaksa karena tidak tega melihat Arfan terus-menerus dihina dan dijadikan bahan olok-olokan di WAG keluarga besarnya karena saat ada acara besar, mereka berdua tidak datang.Alya merasa tidak tega dan tidak terima Arfan dihina seperti itu. Sehingga seperti apapun keluarga besar Arfan memperlakukannya, Alya tetap meminta untuk datang."Tapi aku enggak mau kamu cuma di dapur, Al," pinta Arfan saat tak bisa menolak permintaan Alya lagi."Aku lebih nyaman di dapur, Fan. Aku lebih nyaman ngobrol sama mbak-mbak di sana," ucap Alya sembari tersenyum. Ia tidak mau membuat suaminya merasa bersalah. Selama ini Arfan selalu merasa bersalah karena tidak mamp
Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya."Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya."Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan be
Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya."A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.Arfan mengangguk."Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun."Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan."Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun."Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."***"Pa! Papa!" Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali meras
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di