Malam telah tiba, sekitar pukul tujuh Upik bergegas ke dapur, perutnya sudah lapar betul.
Pintu dapur rumah pak Bowo belum dibuka, dan nampan yang biasa berisi makanan sisapun belum kelihatan di bawah pintu. Upik menunggu di luar, tepat di samping pintu dapur.Sudah sejam, tak kunjung ada yang membukakan pintu. Biasanya buk Laila istri pak Bowo atau Sukiyem pembantu di rumah itu akan memanggil manggil Upik untuk mengambil jatah makannya.Lapar yang ia rasakan memaksanya mencoba mengetuk pintu dapur.Tok, tok, tok!Upik menunggu, berharap ketukannya disambut terbukanya pintu. Namun, tak ada respon sama sekali.Sudah dua jam lebih Upik menunggu, ia memutuskan melihat ke arah depan rumah. Biasanya pak Bowo ataupun istrinya akan marah jika Upik memperlihatkan dirinya di halaman depan rumah pak Bowo. Namun kini, ia betul betul kelaparan.Ia melangkah ragu ke depan rumah, ia perhatikan pintu dan jendela semuanya tertutup. Sepertinya, keluarga pak Bowo sedang tidak ada di rumah.Upik melangkah gontai, ia benar-benar kelaparan. Ia remas perutnya, matanya mengitari sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia makan.Upik masuk ke rumahnya, sebuah bangunan bekas kandang ayam yang berdinding papan jarang-jarang. Upik berbaring di lapisan tumpukan jerami, kakinya ia tekuk dan ia peluk. Lapar sekali ia malam ini.Samar ia mendengar suara decitan tikus di kakinya. Upik menghentak- hentakkan kakinya, ia beranjak ke sebuah peti usang kemudian membuka tutup peti dan merogoh sesuatu.Ctak!Sebuah korek api gas ia nyalakan. Ia kemudian mengambil sebuah lampu cemprong yang tersangkut di dinding dan menyalakannya, tikus yang ia cari tak terlihat lagi.Tapi belum berapa lama, kembali tikus itu menggigit kakinya. Kali ini Upik melihat seekor tikus berwarna putih bersih diam bergeming di kakinya. Upik berjongkok perlahan, kali ini ia harus bisa menangkap tikus ini, pikirnya. Namun sayang, tikus itu meloncat begitu tangan Upik hendak meraihnya."Aiisssh!" kesal Upik.Tikus itu tampak berlari keluar, ia seperti mengejek Upik yang tak bisa mengejarnya. Ejekan tikus itu seperti dipahami oleh Upik, ia berlari keluar mengikuti kemana tikus itu berlari.Mengejar dan terus mengejar, tak sadar Upik sudah berada cukup jauh dari area kandang ayam pak Bowo. Ia menyadari dirinya tengah berdiri di kebun singkong milik warga. Matanya mengitari sekitar, hanya sinar bulan yang menerangi.Suara tikus terdengar lagi, Upik memasang mata betul betul, membiaskan matanya dengan cahaya temaram bulan untuk dapat melihat keberadaan tikus yang mengganggunya.Tikus itu berada di atas tumpukan ubi kayu. Ia berdecit-decit seolah memanggil-manggil. Upik mendekati tikus itu, ia seperti mengerti tikus itu menyuruhnya mengambil ubi itu untuk dijadikan pengganjal perutnya malam ini.Mata Upik berbinar, mulutnya terbuka melebar. Ia segera mengambil dua-tiga ubi kayu dan ia rangkul seolah mendapatkan rezeki nomplok. Ia julurkan tangannya ke arah tikus itu, tikus itu seolah mengerti, meloncat di atas telapak tangan upik dan berdecit-decit.Ubi kayu di tangannya ia rangkul, tikus itu kemudian bertengger di bahunya. Saat Upik hendak beranjak, seberkas cahaya berwarna ungu menyeruak dari dalam tumpukan ubi-ubi tersebut. Upik menoleh, ia bingung dengan cahaya yang ia saksikan. Kembali ia berjongkok di depan tumpukan ubi tersebut, tangannya membongkar tumpukan ubi sampai dasar. Ia temukan sebuah benda bulat hitam sebesar bola kasti dengan retakan-retakan di permukaannya. Retakan-retakan itu mengeluarkan cahaya ungu dari dalam."Cantik." Upik berbisik.Tikus menimpali dengan decitannya seolah memperhatikan juga benda itu."Ini apa?" tanya Upik pada tikus itu, disahut decitan tikus."Yaaah, ini mungkin bola ajaib?" Upik mendekatkan bola itu ke tikus seolah menunjukkannya dan disahut decitan kembali.Upik mengambil benda bulat itu, ia mencoba mengantonginya. Namun benda bulat itu seperti besi, berat dan kokoh. Saku usang dari celana gembrong Upik tiba-tiba jebol, benda itu jatuh menimpa jari kelingking kaki Upik."Aduh!" Upik meringis. Jari kakinya sakit sekali tertimpa benda berat seperti besi itu.Upik memutuskan untuk membawa benda bulat itu beserta dengan ubi-ubi tadi bersamaan. Tak lupa ia meraih tikus tadi dan meletakkannya di bahunya. Ia berlari menuju rumahnya terpincang-pincang.Sampai di rumahnya, ia mengambil segenggam jerami kering, ia bakar kemudian menumpuk beberapa kayu bakar di atas api yang ia nyalakan. Ubi-ubi tadipun dimasukkan ke dalam bara api, malam ini Upik akhirnya bisa tidur dengan kenyang.***Larut malam bekisar pukul satu. Suara jangkrik dan binatang malam bersahut-sahutan. Seorang perempuan muda tertidur di dekat perapian. Seolah abai dengan dengungan nyamuk yang berusaha menancapkan suntikannya.Sesekali tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang berkutu, siku dan lehernya yang penuh daki dan punggungnya yang gatal akibat tidur sembarang.Sebuah benda bulat hitam bergerak menggelinding mendekati tubuh yang terlelap itu. Tikus yang menyadari pergerakan benda itu, keluar menyembul dari balik baju perempuan itu. Memperhatikan bola itu dan berdecit-decit pelan.Bola itu tampak mengeluarkan cahaya yang terang. Fokus cahaya itu mengarah pada kaki perempuan itu. Cukup lama cahaya itu menyinari kakinya, dan kemudian kembali padam. Bola itu kembali menggelinding ke tempatnya semula. Melihat itu, tikuspun berdecit kencang.Upik terbangun, mengucek matanya dan ia duduk menanyai tikus itu."Kenapa?"Tikus itu mematuk-matuk jari kaki Upik, meminta Upik melihatnya.Upik heran, jari kelingking kakinya tak sakit lagi, tak ada lebam bekas timpaan benda berat lagi di sana."Kok bisa?"Tikus berlari menuju benda bulat hitam itu, dan mematuk-matuk benda tersebut seolah mengatakan benda itu telah menyembuhkan kakinya.____________________Endang, pekerja wanita yang kemarin dipergokin Upik berduaan di bilik kamar mandi bersama pak Bowo, kembali masuk bekerja. Pekerjaannya adalah memberi pakan ayam dan memeriksa telur-telur ayam. Pekerja di peternakan ayam pak Bowo tidaklah banyak, hanya bekisar enam orang tidak termasuk Upik. Empat orang adalah pria dan dua orang wanita. Satu orang wanita lagi adalah Sukiyem, pembantu rumah pak Bowo yang bekerja mengawasi para Pekerja. Pekerja wanita kerap berganti. Kebanyakan diberhentikan sepihak oleh pak Bowo. Alasannya beragam, mulai dari tak becus, sampai karna tak mau melayani pak Bowo. Ibu Laila istri pak Bowo tidak tahu sama sekali ulah nakal suaminya, ia keseringan berada di rumah orangtuanya. Alasannya, karna tak tahan dengan aroma tak enak dari kandang-kandang ayam itu. Sementara para pekerja lainnya, hapal betul kebiasaan pak Bowo. Para pekerja laki-laki kerap diam diam menonton adegan panas antara pak Bowo dan Pekerja wanitanya. Endang berjalan menunduk ke arah kandang
Mendapati hal tersebut, buk Laila langsung naik pitam. Emosinya membara, ia mengambil sekop dan melangkah lebar-lebar hendak menghantamkan sekop tersebut ke arah mereka berdua. Kepanikan terjadi, pak Bowo sontak menghindar, demikian Endang. Sekop tertancap di tengah-tengah antara pak Bowo dan Endang. "Kurang ajar! laki-laki iblis! lacurrr!!" teriak buk Laila menggelegar. Ia melempar apapun yang ia dapati di gudang itu ke arah mereka berdua. Endang yang menyadari posisinya sedang tak aman segera menyelamatkan diri, berlari keluar sambil menyambar pakaiannya. Ia berpakaian sambil berlari. Pak Bowo tak kalah panik. Ia berusaha menghindar sambil tetap berusaha menenangkan istrinya. "Buuuuk, tenang Buuuk! ini tidak seperti yang Ibuk fikirkan.""Kau menelfonku dengan alasan sakit, tapi kau malah pijat-pijatan dengan Pelacur itu!""Siapa yang menelfon? aku gak pernah menelfon Ibuk.""Sialaaan! kau rasakan ini!" bu Laila melempar sebuah ember ke arah kepala pak Bowo, dan tepat sasaran. "
Banyak orang mengerumuni jenazah pak Bowo. Tak ada usaha penyelamatan dilakukan, karna korban sudah meninggal. Mereka membopong tubuh pak Bowo masuk ke dalam rumah. Upik masih berdiri di teras gudang, ia menyaksikan sendiri bagaimana benda bulat hitam itu mengeluarkan cahaya ungunya, saat terjadi angin, mendung dan kilat. Upik berlari mengejar benda bulat itu, ia sembunyikan di balik bajunya. Seolah tak perduli keributan yang terjadi, ia berlari menuju rumahnya. Sampai di rumahnya, ia keluarkan benda bulat itu dari bajunya. Ia perhatikan betul-betul, benda itu tampak tak mengeluarkan cahaya ungu lagi dari celah-celah retakannya. Digoncang-goncangkannya benda tersebut, namun benda itu tetap tak mengeluarkan cahayanya. "Kau ini apa?"Benda bulat itu tampak mengeluarkan cahaya redup keunguan tidak seperti biasanya, lantas padam kembali. "Apa kau hidup?"Kembali benda bulat itu mengeluarkan cahaya redupnya seolah menyahuti pertanyaan Upik. "Kau mengenalku?"Kembali mengeluarkan caha
"Aku tak mau berpisah denganmu Bowo! kau sudah berjanji menikahiku!""Aku tak bisa Ainun. Jika kita menikah, kita mau makan apa? aku sama sekali tak punya pekerjaan.""Lantas kau memilih Laila karna ia memiliki Peternakan Ayam?""Ini kesempatanku untuk merubah hidup Ainun. Mengertilah! Peternakan ayam milik keluarga Laila itu sangat besar, orangtuanya berjanji akan memberikan seperempat dari ternak ayam itu menjadi hak milikku jika aku menikahi putrinya.""Lantas bagaimana nasibku Bowo? kau lupa, aku mengandung anakmu sekarang? sudah memasuki empat minggu Bowo!""Aku mencintaimu Ainun, hanya saja kau harus ikuti rencanaku. Aku takkan membiarkanmu sendirian.""Apa rencanamu?""Kau akan kubawa ke rumah kami setelah aku menikahinya nanti. Akan kuperkenalkan kau sebagai sepupuku yang hamil di luar nikah.""Bagaimana kau bisa meyakinkannya?""Dia cinta mati padaku Ainun, dia akan menurutiku."***Rencana Bowo benar-benar terjadi. Ia menguasai seperempat dari ternak ayam milik keluarga Lail
Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu. Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus, "Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya. Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya. "Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini.""Jati diri?""Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saa
***Aliran sungai yang tenang perlahan membawa sampan menuju pinggiran sungai. Tak begitu jauh terlihat aktifitas warga setempat seperti menyuci pakaian, menyuci piring, mandi dan beberapa anak-anak yang bermain air. Awalnya Upik sumringah, ia sudah membayangkan perubahan hidupnya akan di mulai dari pinggir sungai ini. Bayangan bisa berdampingan dengan masyarakat, beraktifitas seperti orang-orang kebanyakan, dan bercengkrama dengan sesama layaknya manusia, kian membuatnya bersemangat. Tubuhnya ia bungkukkan, kepalanya ia condongkan ke depan, seolah tak sabar menyapa mereka yang berada di pinggiran sungai tersebut. Namun sayang, saat sampan mendekati orang-orang tersebut, respon ketakutan yang ia dapat. Orang-orang yang sedang beraktifitas di pinggir sungai mendadak beringsut, menunjukkan gestur mengusir. Tangan mereka dipukul-pukulkan ke air menghalau sampan mendekat. "Orang gilaaa...! orang gilaa...!" sorakan dari anak-anak yang mengiringi halauan orang tua mengusir Upik untuk men
***Mereka melihat Upik sendirian di atas sampan, penampilan yang tak wajar atau lebih tepatnya seperti orang tak waras, dengan tas karung usang di tangannya. Tiga orang laki-laki tersebut mendadak tertawa, meledek dan ada pula yang menyiram-nyiramkan air ke arah Upik. Salah seoerang yang memegang botol minuman meludah ke arah Upik, yang memegang alat dayung, memukul-mukulkan dayungnya ke sampan yang dinaiki Upik, dan yang berdiri sambil memegang Jala meniru-nirukan gestur kera dengan suara khas keranya. Upik beringsut menjauhkan posisi duduknya dari mereka, dia ketakutan, tas karungnya ia pegang erat-erat, ia tutup matanya sambil berharap Mpus merubah dirinya seketika menjadi manusia bersih dan terlihat normal, agar tiga orang tersebut berhenti membulinya. Berapa kalipun Upik menutup matanya sambil berharap Mpus merubahnya, atau memperlihatkan keajaibannya, saat Upik membuka mata, keadaan tetap sama saja. Hingga sampan milik tiga orang laki-laki tersebut perlahan menjauhinya. Upi
***Sore menjelang petang, Mpus dan Upik sudah berjalan jauh dari tepian sungai. Mereka bertemu beberapa orang yang berlalu lalang yang selalu melihat mereka dengan tatapan heran, terutama melihat Mpus. Dari sekian orang yang mereka lalui, ada beberapa yang menyempatkan menyapa. "Dari mana ini ya Mbak dan Masnya?""Kita dari Desa sebelah pak." Mpus yang menjawab. "Ooo, pantas terlihat asing. Mas dan Mbaknya mau kemana?"Mpus dan Upik saling berpandangan, sampai saat ini mereka belum memiliki tujuan. "Kami baru saja di usir oleh orangtua kami Pak, dia adik saya. Ayah kami menikah lagi dengan perempuan jahat." Mpus mulai mengarang sebuah kisah. "Aduuh, kasihan sekali. Padahal kalian terlihat cantik dan tampan. Bahkan pakaian Mas terlihat sangat berbeda dengan pemuda-pemuda yang biasa saya lihat.""Pakaian saya kenapa Pak?" Mpus memperhatikan pakaiannya dari bawah. "Seperti Pemuda Pengembara saja yang saya lihat di filem-filem, hehehhe..." Mpus dan Upik saling berpandangan. Upik t
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber
Liom sudah ada di ranjangnya, ia masih belum sadar juga, Santi duduk di sebelah kanan Liom, sementara Upik berada di sisi sebelah kiri. Santi menatap Upik sinis, "Namamu siapa?" tanya Santi. "Namaku, Upik.""Ha? kampungan sekali, cocok dengan dirimu.""Aku memang berasal dari kampung." jawab Upik tersenyum. Santi melihat senyum Upik seolah risih, ia berdiri beranjak dari duduknya. Rian masuk ke dalam ruangan bersama Mpus, "Upik, bisakah kau ikut denganku keluar sebentar?""Kemana?" tanya Upik. "Kau tak sendiri, Mpus juga ikut denganku.""Apa? nama pria aneh ini, Mpus? dan kau, Upik? hahahahahah!" santi tiba-tiba menertawakan Mpus dan Upik. "Kenapa dengan nama kami?" tanya Upik memperlihatkan wajah tak senangnya. "Menggelikan!" jawab Santi malah mendekatkan wajahnya ke arah Upik, seolah menyeringai. "Siapa namamu?" tanya Upik, tanpa terlihat gentar. "Namaku, Santi! Santi Purwita Sari. Cukup terdengar bangsawan bukan?" "Ya! tapi tidak dengan dirimu." jawab Upik. "Apa maksudmu
***Liom dibawa ke ruang Operasi. Mpus dan Upik duduk menunggu di ruang tunggu, tiba-tiba dua orang seperti terburu-buru berlari ke arah Mpus dan Upik. Seorang pria berpakaian rapi yang kemarin berbicara dengan Liom adalah Pengacara pak Bambang, dengan seorang wanita yang sedang hamil besar. Pria dan wanita itu tanpak ngos-ngosan saat sampai di dekat Mpus dan Upik, "Hah, hah, hah, apa Julian sudah di dalam?" tanya Pengacara itu masih dengan nafas tersengal-sengal. "Ya, baru saja." jawab Upik. "Kenalkan saya Rian, Pengacara pak Bambang. Dan ini Santi, Sepupu Liom satu-satunya." Mpus dan Upik membalas jabat tangan Pengacara itu. "Dimana keluarga Liom yang lain?" tanya Upik. "Mereka sama sekali tak tahu, bahkan tentang meninggalnya pak Bambang sekalipun. Ini adalah permintaan dari pak Bambang selagi hidup." jawab Rian sambil menoleh ke arah Santi. "Dan dia, kenapa dia di sini?" tanya Mpus. "Dia di sini, permintaan dari Julian." jawab Rian. Sementara itu, Santi hanya diam duduk
***Bambang dilarikan segera ke ruang ICU, jantungnya masih berdenyut, namun ia sudah kehilangan kesadarannya. Liom, Mpus dan Upik mengejar sampai ke pintu, namun dihalangi oleh beberapa orang Perawat. Satu jam kemudian, Dokter keluar dari ruangan tersebut, meminta Liom untuk masuk ke ruangannya. Sesampainya di ruangan Dokter, "Sepertinya, pak Bambang sudah memiliki firasat, bahwa beliau akan pergi meninggalkan kita semua, Julian.""Apa maksud Dokter?"Pak Dokter menyerahkan beberapa berkas yang ditandatangani oleh Bambang. Di sana tertulis, jika kapanpun ia sekarat, jangan mengusahakan untuk menyelamakan nyawanya, namun usahakan mengambil organ hatinya, untuk diberikan pada anaknya Julian."Bbaa, bagaimana bisa saya atau kalian tim Dokter tidak mengusahakan Bapak saya untuk selamat, Dokter?""Julian, waktu kita tidak banyak. Sekarang pak Bambang sedang koma. Potensi untuknya bisa hidup kembalipun sangat kecil. Selagi organ tubuhnya seperti hati dan jantung masih berfungsi, segera