"Sepertinya ada beberapa tugas yang perlu aku selesaikan terkait pekerjaanku. Apakah kalian akan makan lebih cepat? Aku harus pergi. Nanti aku akan langsung mengantarmu pulang," kata Hafidz sambil memasukkan ponselnya ke saku kemejanya.
"Kalau Ayah sibuk, lebih baik biarkan kami berdua saja. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Tante cantik. Ayah selalu saja sibuk bekerja tanpa memikirkan waktu untuk bersamaku," protes Putri, sudah menduga bahwa ayahnya akan bersikap seperti ini lagi."Maafkan Ayah, sayang. Tapi nanti, jika Ayah punya waktu lebih, Ayah akan mengajakmu berlibur. Ayah tidak akan meninggalkan kalian. Sebaiknya kalian pulang bersama asisten Ayah, dia akan segera datang."Hafizah memahami pekerjaan Hafidz, namun perhatian matanya tertuju pada Putri yang tampak kecewa terhadap ayahnya."Tidak apa-apa, Hafidz. Kamu pergi saja, aku akan menjaga Putri. Dia anak yang baik dan pasti akan mengerti bahwa ayahnya bekerja keras untuknya."<"Baiklah, tetapi tolong jawab pertanyaan ku, Hafidz. Mengapa kamu begitu ingin Hafizah bertemu dengan anaknya? Bukankah jika Hafizah tidak bertemu dengan anaknya, kamu bisa bersamanya dan dia bisa mencintai hanya anakmu yang dianggap haram itu?""Tutup mulut, Ibu!"Hafidz semakin marah pada Lestari yang terus-menerus menyebut anaknya sebagai anak haram, padahal dia sudah berusaha membantu Lestari di saat tidak ada seorang pun yang mau membantu, termasuk Hafizah."Hafidz, tenanglah. Kamu boleh marah padaku, tetapi perlu kamu ingat bahwa aku tidak bisa menganggap anak Hafizah sebagai cucuku. Ibunya sering kali bertindak bodoh dan membawa malapetaka bagi orang-orang terdekatnya, termasuk suaminya yang telah meninggal, yang juga merupakan anakku. Aku tidak bisa melupakan semua itu. Jadi, pikirkanlah dengan matang jika kamu berniat untuk menikahi Hafizah.""Aku tidak ingin meminta pendapat Ibu tentang anak dan calon istriku. Di sini, aku ingin membantu
Setelah Hafidz tiba di depan rumah Hafizah, tampak jelas bahwa Hafizah langsung mengenali kedatangannya. "Hafidz, kamu kemana saja? Kenapa sulit sekali dihubungi? Aku dan Putri sudah menunggu kamu seharian ini," ucap Hafizah tanpa henti, sehingga Hafidz tidak sempat memberikan jawaban. Meskipun waktu sudah hampir pagi, Hafizah tampak sama sekali tidak mengantuk. "Tenanglah, Hafizah. Aku sudah ada di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir. Di mana Putri? Aku harus membawanya pulang sekarang, tidak baik jika dia merepotkan mu.""Bagian mana yang membuatku repot? Hafidz, aku sudah hampir seperti ibunya, jadi aku akan menjaganya. Apakah kamu tidak berniat untuk menginap di sini?"Hafidz menggelengkan kepala, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Putri di rumah Hafizah."Kalau begitu, aku akan tidur di luar," kata Hafidz."Kenapa harus di luar? Aku bisa menyiapkan kamar lain untukmu, karena di sini ada cukup ruang untuk beberapa or
Hari ketika Hafizah sibuk mengantar Putri ke sekolah, Hafidz ternyata memiliki rencana lain untuk mencari anak Hafizah yang hilang."Kamu bisa mencari informasi tentang anak kecil yang hilang lima tahun lalu. Tentu saja dia tidak menghilang begitu saja, dan aku tidak ingin mendengar tentang kegagalan," perintah Hafidz kepada orang yang ada di depannya."Baik, Bos. Jika begitu, saya pamit untuk mencarinya," jawab orang itu."Ya, silakan," balas Hafidz sebelum orang itu pergi dari ruangan kerjanya.Sementara itu, Hafidz mulai mendapatkan informasi terbaru mengenai anak Hafizah, sedikit demi sedikit, termasuk tanggal di mana anak itu dibuang oleh Ibu Lestari dan Dera."Apa ini? Tanggalnya sama dengan saat aku mengadopsi Putri di panti asuhan itu. Aku juga tidak tahu asal-usul orang tua Putri. Apakah ada hubungannya dengan semua ini? Atau mungkin Putri adalah anak Hafizah yang hilang? Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan semua ini?"
"Aku langsung pulang. Jangan lupa istirahat hari ini, nanti aku akan kabari lagi setelah sampai di rumah," ucapnya dengan nada yang masih dingin, membuatku semakin penasaran dengan sikapnya.Hafidz berhasil mendapatkan sehelai rambut Hafizah saat dia memasang sabuk pengaman di mobil tadi."Ini dia, aku tidak akan pulang sebelum mendaftarkan tes DNA antara Hafizah dan Putri. Jika mereka memang Ibu dan anak, aku tidak akan bisa memisahkan mereka. Hafizah akan menikah denganku, dan itu berarti dia tidak akan menjauhkan aku dari Putri. Rasanya mungkin akan jauh lebih bahagia jika kami bisa bersatu."Hafidz bersedia melakukan apa pun demi kebahagiaan Putri dan Hafizah. Mereka adalah alasan utama yang membuatnya tetap hidup, meskipun ia dikelilingi oleh harta yang sebenarnya tidak ingin diambilnya saat diwariskan kepadanya.Sementara itu, di dalam rumah, Hafizah merasa penasaran. Ia segera keluar malam-malam dan mengendarai mobilnya dengan cepat, mengikuti mobil Hafidz yang baru saja mening
Hafidz berada di ruang rumah sakit bersama seorang dokter yang telah menyelesaikan analisis tes DNA. Ia merasa cemas menunggu hasilnya, meskipun ia tahu bahwa ini adalah taruhan besar terkait anaknya sendiri.Saat hasilnya sudah keluar, dokter sudah menyerahkan kertas hasil tes DNA tersebut. "Rasanya aku sangat takut, tapi aku harus segera membuka hasilnya. Aku harus memastikan tidak ada orang lain yang mengikuti ku," pikirnya.Ketika Hafidz membuka hasil tes tersebut, ia terkejut melihat bahwa Putri ternyata adalah anak dari Hafizah. Ia tidak bisa langsung mempercayai informasi itu."Ini tidak mungkin! Kenapa aku tidak menyadarinya sebelumnya? Apakah selama ini kedekatan mereka disebabkan oleh ikatan batin antara ibu dan anak? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku memberi tahu Hafizah tentang semua ini atau lebih baik aku menyimpannya? Aku khawatir jika Hafizah tahu bahwa Putri adalah anaknya, dia akan mengambilnya, sementara status hubungan kami berdua masih belum jelas
Hafizah sudah tiba lebih dulu di kantor polisi dan melihat Hafidz memasuki ruangan yang sama."Hafidz, ada urusan apa kamu di sini?" Hafidz tampak terkejut saat melihat Hafizah juga hadir, mungkin dalam pikirannya ia mengira Hafizah akan menemui ibu mertua mereka."Aku ingin bertemu dengan Ibu. Lalu, kamu sendiri ke sini untuk apa?" tanyanya sambil berpura-pura tidak mengerti maksud Hafizah."Aku ingin bertemu Ibu juga. Jadi, kita memiliki tujuan yang sama. Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya bahwa kamu akan ke sini? Kita bisa pergi bersama. Aku ke sini untuk menanyakan tentang anakku, lalu kamu ingin bertanya apa kepada Ibu?""Aku ... hanya ingin menjenguk Ibu. Meskipun Ibu telah berbuat jahat, dia tetap mertuaku, dan aku masih memiliki tanggung jawab untuk mengurusnya."Hafizah memperhatikan bahwa Hafidz menghindari kontak mata dengannya, sepertinya ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh Hafidz."Kalau begitu, kita bisa masuk bersama untuk menemui Ibu. Apakah kamu keberatan?""O
"Mas! Mas Hamid, apakah kamu membawa uang untuk belanja hari ini?"Hafizah berdiri di depan rumah, melihat suaminya pulang saat ia melirik ke arah jendela."Uang, uang, terus yang ada di pikiranmu, Hafizah! Kamu terus meminta tanpa memikirkan bagaimana aku mendapatkan uang itu."Alih-alih memberikan uang kepada istrinya, Hamid justru memarahi Hafizah di depan ibunya, Lestari, yang tinggal bersama mereka. Tentu saja, hal ini membuat Lestari semakin marah pada Hafizah karena merasa anaknya dijadikan mesin pencetak uang."Hafizah! Sejak anakku menikah denganmu, kenapa dia harus selalu memberikanmu uang? Bukankah kamu juga bekerja? Gunakanlah uangmu sendiri, jangan terus-menerus mengandalkan uang anakku. Uang anakku seharusnya juga untuk ibunya, aku juga butuh uangnya."Lestari sudah berani mencampuri urusan rumah tangga anaknya dan tidak ragu untuk memarahi Hafizah ketika merasa anaknya terpojok."Ibu, aku hanya ingin memasak, dan i
"Tutup mulutmu, Hafizah! Jangan sekali lagi berani bicara seolah Ayahmu lebih baik darimu! Aku tidak mau tahu, sekarang minta maaf kepada Ibuku atau aku akan melakukan sesuatu padamu."Ancaman itu dilontarkan Hamid kepada Hafizah, yang merasa terinjak-injak oleh sikap Hafizah, sementara sikap Hafizah sendiri sudah kurang pantas pada ibunya, itu yang membuat emosi Hamid membara. "Mas Hamid, aku tidak mau. Kamu tahu aku tidak bersalah di sini, tetapi kamu selalu membela Ibumu meskipun dia salah. Apa yang salah dariku? Aku hanya membela diriku sendiri, dan Ibu juga yang memulai. Aku rasa Ibu terlalu ikut campur dalam pernikahan kita. Seharusnya kamu bisa tegas sebagai suami. Apakah kamu ingin pernikahan ini hancur?"Hafizah berusaha menyadarkan suaminya agar menegur ibunya, setidaknya memberikan ketegasan bahwa ibunya sudah terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka."Jadi, menurutmu, ibuku adalah orang yang akan merusak rumah tangga kita? Apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu
Saat mereka berdua sedang menikmati waktu bersama sambil makan, tiba-tiba Hafidz menerima panggilan. "Kenapa tidak kamu angkat, Hafidz?" tanya Hafizah.Hafizah melihat dengan jelas bahwa Hafidz menatap ponselnya, tetapi ia enggan mengangkatnya di hadapannya. "Tidak terlalu penting, nanti aku akan menghubungi balik," jawab Hafidz.Hafizah merasa penasaran dengan pernyataan Hafidz, seolah ada sesuatu yang disembunyikannya dari calon suaminya. "Kalau begitu, lanjutkan makan. Aku tidak ingin kamu sakit. Lagipula, jika memang tidak penting, kenapa wajahmu terlihat panik seperti tadi?" Hafidz langsung menghentikan makannya dan menatap mata Hafizah yang penuh rasa ingin tahu tentang penelepon yang dianggapnya tidak penting itu. "Apa yang ada di pikiranmu, Hafizah? Apakah kamu meragukan kejujuranku?" tanyanya dengan serius."Aku penasaran dengan apa yang kamu sembunyikan dariku. Apakah salah jika aku ingin tahu leb
Saat Hafizah merasa ketakutan akan kemarahan Hamid yang sudah tak terkendali, ia menutup mata, enggan melihat tatapan suaminya yang penuh kebencian. "Buka mata kamu, Hafizah! Aku sedang bicara sama kamu!" suara Hamid menggelegar, sembari tangannya menggenggam lengan Hafizah yang gemetar di hadapannya. Hafizah berusaha melepaskan diri, meski kesulitan, tetap berjuang keras untuk bebas. "Lepaskan! Lepaskan aku!" teriak Hafizah, teringat kembali saat-saat dirinya perlahan membuka mata karena genggaman Hamid tak kunjung longgar. Saat ia menatap di depannya, ternyata yang ada adalah seseorang yang duduk di sampingnya, menatap dengan penuh perhatian. "Hafidz, apa yang kamu lakukan di sini?" "Hafizah, kamu sudah lama tertidur. Aku tidak mau menjelaskan panjang lebar sekarang, lebih baik kamu istirahat saja. Aku bisa pergi kalau kamu mau.""Apa maksudmu, Hafidz? Mengapa aku di sini bersamamu? Bisa jelaskan sebelum pergi?""Kamu terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mu, meski seperti
"Baiklah, aku serahkan pada Ibu. Tapi, apakah Ibu akan menghabiskan semuanya?" tanyanya."Ya, tentu saja aku akan menghabiskannya. Lagipula, kamu tidak boleh meminta uangku yang diberikan oleh Hamid. Sekarang, aku harus pergi. Sebelum aku kembali, semuanya harus sudah selesai.""Iya, Ibu."Hafizah sudah melihat Ibu mertuanya menjauh dari pandangannya. Dia tidak menyangka masih diberi kesempatan untuk bernapas tanpa kehadiran ketiga orang yang selalu membuatnya stres."Mereka semua pergi, jadi aku bebas di rumahku sendiri tanpa harus berperan sebagai pembantu. Lebih baik aku menghubungi seseorang untuk menyelesaikan semua ini, dan aku bisa bersantai."Hafizah hampir mengeluarkan ponselnya ketika tiba-tiba ada yang memanggilnya lagi."Hafizah!"Suara keras itu berasal dari arah pintu. Ternyata, yang berteriak adalah Dera yang sedang menatapnya."Dera, ternyata kamu sudah pulang. Aku ingin berbicara berdua denganmu," kata Hafizah sambil mendekati Dera yang menyilangkan tangan di pinggang
Hafizah berdiri dengan kaki gemetar saat ibu mertuanya mendekat dalam kemarahan besar. "Jawab, Hafizah!" Lestari menegur Hafizah yang masih terdiam, dengan tangan yang terluka akibat memanjat jendela sebelumnya."Maaf, Bu. Aku pergi karena takut jika Mas Hamid mencari ku dan aku tidak ada di sampingnya, itu bisa membuat nama Ibu menjadi buruk jika Mas Hamid tahu semuanya. Aku keluar juga untuk menyiapkan semua kebutuhan Mas Hamid, karena tidak mungkin Ibu atau Dera yang melakukannya."Hafizah sudah berusaha menjelaskan agar mertuanya memahami, tetapi Lestari semakin marah. "Kamu pikirkan anakku! Dia anakku! Jadi, jangan khawatirkan dia, biar aku yang urus, lagipula sebelum menikah denganmu, Hamid selalu menerima perlakuan dariku. Aku ini ibunya, jangan beralasan tentang semua itu. Aku kecewa padamu, Hafizah. Kamu ingin merusak Hamid supaya menjauh dariku? Atau kamu mengincar hartanya sebelum menikah dengannya?"Tuduhan menyudutkan itu tak menghentikan air mata Hafizah di hadapan me
Tangan Lestari menarik lengan Hafizah dengan kuat, membawa dia ke tempat yang sebenarnya tidak ingin dimasukinya. "Masuklah! Jangan harap kamu bisa keluar dari ruangan ini sebelum aku yang membukakannya. Ini adalah hukuman karena kamu terus melawan mertuamu," tegas Lestari.Hafizah pun dimasukkan ke dalam gudang penyimpanan barang-barang di belakang rumah. "Bu, tolong jangan lakukan ini. Keluarkan aku dari gudang kotor ini. Aku tidak ingin berada di sini. Aku tidak bisa mengikuti semua yang kalian lakukan padaku. Aku juga ingin menjelaskan sesuatu kepada Ibu dan Detail tentang Mas Hamid, tetapi belum bisa sekarang karena ada kesepakatan antara aku dan Mas Hamid yang tidak bisa dilanggar," pinta Hafizah dengan penuh harap kepada mertuanya agar tidak menguncinya di dalam gudang.Lestari mengabaikan ucapan Hafizah dan segera mendorongnya menjauh dari pintu, lalu menutupnya rapat-rapat. Dalam keadaan panik, Hafizah mendekati pintu dan mulai mengetuknya, memohon untuk dibebaskan."Bu, to
"Cukup, Hafizah! Apakah kamu masih belum bisa menerima aku dan keluargaku? Aku sudah memperkenalkanmu sebelum kita menikah, tetapi kamu tetap ingin bersamaku. Aku dan Dera tidak bisa dipisahkan, dan jika kamu bersikap keras padanya, aku tidak akan membiarkannya. Lagipula, aku telah berjanji kepada ibuku untuk bertanggung jawab penuh atas adik perempuanku yang satu-satunya."Hafizah menghela napas panjang mendengar suaminya yang masih membela adik kesayangannya. Dera, adik kandungnya, tidak pernah memikirkan dari mana kakaknya mendapatkan uang tersebut. Yang Dera tahu hanyalah bahwa Hamid selalu memberikannya sesuai permintaannya setiap kali dia membutuhkan bantuan dari kakaknya."Mas Hamid, tolong pahami situasi ini. Aku tahu kita sudah sepakat sebelum menikah, tetapi aku tidak bisa terus bertahan dengan sikap Dera yang terlalu boros dalam menghabiskan uang. Apakah kamu tidak pernah mempertimbangkan bahwa Dera bisa hidup mandiri? Dia mampu melakukannya, atau kamu bisa membantunya untu
Hamid menyentuh kaki Hafizah yang terjulur tanpa selimut. Selimut itu memang tak pernah dipakai Hafizah karena Hamid melarang. Bagi Hamid, selimut tersebut miliknya semata. “Hafizah!” serunya mencoba membangunkan istrinya, tetapi Hafizah tetap tertidur. Saat panggilan kedua tidak membuahkan hasil, Hamid menarik tangan Hafizah dengan kasar hingga hampir membuatnya terjatuh dari tempat tidur. “Bangun kamu!” bentaknya tajam. Hafizah membuka mata dengan pandangan kebingungan dan nada lemah bertanya, “Mas Hamid, kenapa Mas seperti ini?” Ia lelah, baik fisik maupun hatinya. Beban dari sikap mertua yang terus-menerus menyalahkannya serta suami yang jarang berpihak sudah cukup menguras emosinya. Namun, jawaban Hamid jauh dari kata meredakan. “Masih tanya kenapa? Kamu itu istri! Tugas kamu membahagiakan aku dan ibu aku! Kamu tuh siapa? Hanya seorang wanita sebatang kara yang soalnya beruntung bisa masuk ke keluarga kami. Tapi apa yang kamu lakukan? Bukan cuma nggak membuat ibuku senang,
"Bu, kenapa Ibu selalu meminta uang dari Mas Hamid? Kami juga memiliki banyak kebutuhan yang belum terpenuhi setiap bulannya. Aku berusaha menghemat untuk semua itu, tetapi Ibu dengan mudahnya berbelanja untuk kebutuhan pribadi dan uangnya cepat habis. Aku tidak suka jika Ibu terus-menerus melakukan hal ini kepada Mas Hamid. Aku adalah istrinya, dan aku berhak untuk tidak setuju mengenai masalah keuangan dalam rumah tangga kami."Hafizah berusaha menegur mertuanya yang tampaknya tidak mempertimbangkan kehidupan Hamid dan istrinya. Mereka masih memiliki banyak cicilan yang harus dibayar setiap bulan, dan situasi keuangan mereka semakin memburuk, ditambah lagi dengan permintaan uang dari mertuanya hanya untuk bersenang-senang."Diam lah, Hafizah! Jangan berani menegur aku tanpa sepengetahuan anakku. Kamu tahu bahwa anakku sendiri memberikan uangnya padaku, jadi kenapa kamu yang harus pusing? Uang itu adalah uang anakku, dan kamu tidak berhak mengatur, meskipun kamu adalah istrinya. Seor
"Tutup mulutmu, Hafizah! Jangan sekali lagi berani bicara seolah Ayahmu lebih baik darimu! Aku tidak mau tahu, sekarang minta maaf kepada Ibuku atau aku akan melakukan sesuatu padamu."Ancaman itu dilontarkan Hamid kepada Hafizah, yang merasa terinjak-injak oleh sikap Hafizah, sementara sikap Hafizah sendiri sudah kurang pantas pada ibunya, itu yang membuat emosi Hamid membara. "Mas Hamid, aku tidak mau. Kamu tahu aku tidak bersalah di sini, tetapi kamu selalu membela Ibumu meskipun dia salah. Apa yang salah dariku? Aku hanya membela diriku sendiri, dan Ibu juga yang memulai. Aku rasa Ibu terlalu ikut campur dalam pernikahan kita. Seharusnya kamu bisa tegas sebagai suami. Apakah kamu ingin pernikahan ini hancur?"Hafizah berusaha menyadarkan suaminya agar menegur ibunya, setidaknya memberikan ketegasan bahwa ibunya sudah terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka."Jadi, menurutmu, ibuku adalah orang yang akan merusak rumah tangga kita? Apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu