Setelah Hafidz tiba di depan rumah Hafizah, tampak jelas bahwa Hafizah langsung mengenali kedatangannya.
"Hafidz, kamu kemana saja? Kenapa sulit sekali dihubungi? Aku dan Putri sudah menunggu kamu seharian ini," ucap Hafizah tanpa henti, sehingga Hafidz tidak sempat memberikan jawaban. Meskipun waktu sudah hampir pagi, Hafizah tampak sama sekali tidak mengantuk."Tenanglah, Hafizah. Aku sudah ada di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir. Di mana Putri? Aku harus membawanya pulang sekarang, tidak baik jika dia merepotkan mu.""Bagian mana yang membuatku repot? Hafidz, aku sudah hampir seperti ibunya, jadi aku akan menjaganya. Apakah kamu tidak berniat untuk menginap di sini?"Hafidz menggelengkan kepala, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Putri di rumah Hafizah."Kalau begitu, aku akan tidur di luar," kata Hafidz."Kenapa harus di luar? Aku bisa menyiapkan kamar lain untukmu, karena di sini ada cukup ruang untuk beberapa or"Aku bukan pembunuh!" seru seorang wanita yang mulai bangkit di dekat batu nisan yang selesai di peluknya, air matanya pun masih belum mengering karena peristiwa yang baru dialaminya bersama mendiang suaminya yang baru meninggal dunia. "Bagiku kamulah pembunuh Hamid! Perempuan pembawa sial!" pekiknya berteriak lantang menunjukkan kemarahan di depan menantunya yang menurutnya menjadi penyebab anak laki-lakinya meninggalkan dunia ini. "Bukan! Aku tidak pernah membunuh Mas Hamid. Ibu salah paham padaku," balas Hafizah membela dirinya dari tuduhan mertua. "Tutup mulutmu! Jelas-jelas anakku yang sekarang meninggal, kuburannya masih belum kering dan kamu masih mengelak? Aku tidak akan memaafkan kamu, Hafizah! Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi." Hafizah mencoba melepaskan diri dari tangan Lestari yang menariknya sangat kuat, tetapi Lestari tidak terkalahkan menarik tangan Hafizah sampai bisa menjauh dari kuburan Hamid. "Lepas, Bu!" "Diam!" Lestari tetap pada pendiriannya un
"Di mana anakku, Bu?" Suara Hafizah terdengar oleh Lestari dan Dera yang duduk di sofa karena baru menghabiskan satu hari dengan membelanjakan uang Hamid sesuka hati mereka. "Hafizah?" Lestari kaget tidak percaya ada Hafizah di dalam rumah mewah anaknya Hamid. Begitupun Dera sama kagetnya kakak iparnya sudah ada di dalam rumah bahkan di ruang keluarga. "Iya, ini aku, sekarang aku sudah bebas. Jadi, apa boleh aku mengetahui di mana panti asuhan itu? Aku merindukan anakku." Hafizah tidak mungkin melupakan pengakuan ibu mertuanya yang telah membuang anaknya. Lima tahun menjadi penantian untuk bisa bertemu kembali dengan buah hatinya. Lestari dan Dera berdiri mendekati Hafizah yang tidak membawa apa-apa ditangannya, karena Hafizah memang tidak membawa barangnya ketika masuk penjara. "Enak saja mau tau anakmu! Kamu pikir aku bodoh sembarangan cerita di mana panti asuhan itu? Jangan harap, Hafizah!" "Bu, aku mohon. Anakku tidak bersalah sama sekali. Sekarang aku bebas, biarkan
"Lepas!" Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak
Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
Setelah Hafidz tiba di depan rumah Hafizah, tampak jelas bahwa Hafizah langsung mengenali kedatangannya. "Hafidz, kamu kemana saja? Kenapa sulit sekali dihubungi? Aku dan Putri sudah menunggu kamu seharian ini," ucap Hafizah tanpa henti, sehingga Hafidz tidak sempat memberikan jawaban. Meskipun waktu sudah hampir pagi, Hafizah tampak sama sekali tidak mengantuk. "Tenanglah, Hafizah. Aku sudah ada di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir. Di mana Putri? Aku harus membawanya pulang sekarang, tidak baik jika dia merepotkan mu.""Bagian mana yang membuatku repot? Hafidz, aku sudah hampir seperti ibunya, jadi aku akan menjaganya. Apakah kamu tidak berniat untuk menginap di sini?"Hafidz menggelengkan kepala, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Putri di rumah Hafizah."Kalau begitu, aku akan tidur di luar," kata Hafidz."Kenapa harus di luar? Aku bisa menyiapkan kamar lain untukmu, karena di sini ada cukup ruang untuk beberapa or
"Baiklah, tetapi tolong jawab pertanyaan ku, Hafidz. Mengapa kamu begitu ingin Hafizah bertemu dengan anaknya? Bukankah jika Hafizah tidak bertemu dengan anaknya, kamu bisa bersamanya dan dia bisa mencintai hanya anakmu yang dianggap haram itu?""Tutup mulut, Ibu!"Hafidz semakin marah pada Lestari yang terus-menerus menyebut anaknya sebagai anak haram, padahal dia sudah berusaha membantu Lestari di saat tidak ada seorang pun yang mau membantu, termasuk Hafizah."Hafidz, tenanglah. Kamu boleh marah padaku, tetapi perlu kamu ingat bahwa aku tidak bisa menganggap anak Hafizah sebagai cucuku. Ibunya sering kali bertindak bodoh dan membawa malapetaka bagi orang-orang terdekatnya, termasuk suaminya yang telah meninggal, yang juga merupakan anakku. Aku tidak bisa melupakan semua itu. Jadi, pikirkanlah dengan matang jika kamu berniat untuk menikahi Hafizah.""Aku tidak ingin meminta pendapat Ibu tentang anak dan calon istriku. Di sini, aku ingin membantu
"Sepertinya ada beberapa tugas yang perlu aku selesaikan terkait pekerjaanku. Apakah kalian akan makan lebih cepat? Aku harus pergi. Nanti aku akan langsung mengantarmu pulang," kata Hafidz sambil memasukkan ponselnya ke saku kemejanya."Kalau Ayah sibuk, lebih baik biarkan kami berdua saja. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Tante cantik. Ayah selalu saja sibuk bekerja tanpa memikirkan waktu untuk bersamaku," protes Putri, sudah menduga bahwa ayahnya akan bersikap seperti ini lagi."Maafkan Ayah, sayang. Tapi nanti, jika Ayah punya waktu lebih, Ayah akan mengajakmu berlibur. Ayah tidak akan meninggalkan kalian. Sebaiknya kalian pulang bersama asisten Ayah, dia akan segera datang."Hafizah memahami pekerjaan Hafidz, namun perhatian matanya tertuju pada Putri yang tampak kecewa terhadap ayahnya. "Tidak apa-apa, Hafidz. Kamu pergi saja, aku akan menjaga Putri. Dia anak yang baik dan pasti akan mengerti bahwa ayahnya bekerja keras untuknya."
"Tante cantik, aku mau pilih cincin yang ini. Cincinnya cantik seperti Tante dan aku. Ayah pasti juga akan suka dengan pasangannya. Aku tahu selera Ayah pasti begini."Putri akhirnya memutuskan pilihannya, menatap cincin di depannya dengan penuh keyakinan. Hafidz dan Hafizah tak mungkin keberatan dengan pilihan Putri."Iya, pilihanmu bagus. Ayah pasti suka," ujar Hafidz."Tante juga suka sama cincinnya. Pintar sekali kamu menemukan cincin sebagus ini. Kalau begitu, Tante pilih cincin ini, ya. Tinggal tugas Ayahmu untuk mencocokkannya buat anaknya," sahut Hafizah dengan senyum lembut.Hafizah melirik Hafidz, yang terlihat sedikit gelisah. Ini pertama kalinya dia membeli cincin bersama seorang wanita."Ayah," panggil Putri sambil menarik tangan ayahnya."Eh? Iya. Nanti Ayah usahakan setelah pembayarannya. Kamu tenang saja. Tempat ini cukup bagus untuk membuat cincin yang sama, tapi mungkin butuh beberapa hari. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Hafidz penuh perhatian.Hafidz sempat bingung
Hafizah menerima telepon dari pihak kepolisian tentang suatu hal, yang ternyata masih berkaitan dengan ibu mertuanya."Siapa yang menelepon, Hafizah? Kamu terlihat kaget setelah menerima telepon tadi," tanya Hafidz yang memperhatikan perubahan ekspresi calon istrinya. Hafidz tahu ada sesuatu yang tidak beres, terlihat dari raut wajah Hafizah yang sudah tidak seceria sebelumnya."Ibu ditangkap polisi atas dugaan kasus pencurian. Ini sepertinya ada hubungannya dengan teman-temannya sendiri. Aku masih sulit percaya, apalagi tanpa campur tangan kita berdua, Ibu akhirnya ditahan," ujar Hafizah, suaranya terdengar berat dan penuh perasaan campur aduk. Menghadapi ibu mertuanya memang selalu menjadi tantangan untuk mereka berdua, tetapi sekarang keadaannya telah berubah, ibu mertuanya harus menghadapi konsekuensi atas tindakannya sendiri."Dengan begitu, mungkin dia akan punya waktu untuk merenungkan semua yang pernah dia lakukan, bukan cuma soal masalah kita atau anak-anaknya. Tak bisa dipu
"Apa rencanamu setelah ini, Hafizah?" Hafidz membuka percakapan lagi setelah mereka berbincang cukup panjang. Nada suara dan sorot matanya memancarkan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap wanita di hadapannya.Hafizah menatap balik, dalam dan penuh makna. Perasaannya—yang sejujurnya telah berubah sepenuhnya terhadap Hafidz—tak memberi ruang sedikit pun untuk kebimbangan. Ia telah yakin dengan keputusannya, meski jalan yang harus dilaluinya tak mudah."Aku ingin menikah denganmu, Hafidz," katanya. "Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan proses perceraian dengan Mas Hamid. Kamu tahu tujuan hidupku sekarang. Awalnya, niatku keluar dari penjara hanyalah untuk bertemu anakku. Tapi ternyata anakku tidak di sini. Jadi, daripada terus terkungkung dalam penyesalan, lebih baik aku melanjutkan hidup tanpa beban dan berusaha bahagia."Perkataan Hafizah membuat hati Hafidz terasa berat. Sebab ia tahu betapa pentingnya anak Hafizah baginya. Ia juga tahu bagaimana H
"Tenanglah, Hafizah. Kamu tidak perlu menangis sendirian. Sekarang ikutlah bersamaku ke villa untuk bertemu Putri," ujar Hafidz, berniat membawa kembali calon istrinya untuk berkumpul bersama dalam satu rumah. Namun, Hafizah tampaknya tidak begitu senang dengan ajakan itu. Dia enggan terlihat lemah karena terus-menerus mengandalkan Hafidz dan Putri untuk menghiburnya. "Mungkin lain kali. Sebenarnya aku ingin bertemu Putri, tapi hari ini aku harus bekerja. Kamu tahu, aku tidak mungkin meninggalkan tugas pentingku. Ini hari pertamaku mengambil alih perusahaan orang tuaku." Hafidz terdiam mendengar pernyataan itu. Ia baru menyadari bahwa Hafizah kini juga memilih jalan yang sama dengannya, yaitu fokus pada perusahaan. "Benarkah, Hafizah?" "Iya," jawab Hafizah singkat. "Sejak kapan ini terjadi? Kamu tidak pernah menceritakannya padaku. Aku benar-benar terkejut mengetahui kamu memiliki perusahaan sendiri. Tidak heran suamimu ing
Hafizah dan Lestari tiba di panti asuhan, tempat yang selama ini Hafizah yakini bisa memberinya harapan untuk menemukan anaknya. Perasaan campur aduk menghantui Hafizah, namun keyakinannya tetap kuat."Anakmu ada di sini," ujar Lestari sambil mengarahkan pandangannya ke sekelompok anak yang berlarian di taman panti asuhan. "Aku dan Dera meletakkan anakmu di depan pintu panti ini waktu itu. Aku yakin ibu panti asuhan mengambilnya. Mungkin salah satu dari mereka adalah anakmu." Degup jantung Hafizah semakin kencang mendengar pernyataan itu. Matanya menerawang, mencari sosok yang mungkin adalah buah hatinya. "Benarkah, Bu? Aku tidak sabar ingin memeluknya. Sebagai ibunya, aku yakin akan mengenalinya. Aku harus segera bertemu dengan ibu panti." Tanpa basa-basi, Hafizah melangkah terburu-buru. Janji kepada Lestari untuk memberikan uang hampir terlupakan."Tunggu dulu, Hafizah!" panggil Lestari dengan nada menuntut. "Ada apa, Bu?"
Hafizah akhirnya tiba di rumahnya sendiri. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mertuanya jika mengetahui dirinya pulang tanpa pendamping. Namun, saat Hafizah melangkah masuk, matanya sempat menangkap keberadaan orang-orang suruhan Hafidz yang berjaga di luar gerbang.Dalam hati, dia merasa bahwa hal terbaik sekarang adalah mandi dan beristirahat. Esok pagi, dia berencana menemui Ibu Lestari lagi untuk bertanya tentang keberadaan anaknya.Setelah mengambil handuk dari lemari, Hafizah segera menuju kamar mandi. Malam itu adalah waktu yang dia perlukan untuk menenangkan diri setelah hari yang penuh tekanan.Di tempat lain, Lestari sedang berjalan sambil memikirkan Hafizah. Dia menduga Hafizah mungkin berada di rumah Hafidz. Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya—untuk pergi ke rumah Hafizah demi menyusup dan menginap di kamar lamanya.Namun, saat Lestari sampai di depan rumah Hafizah, dia melihat dua penjaga tengah berjaga dengan waspada di gerbang. Kehadiran mereka membuatnya