Saat memasuki ruangan Erlan, mata Laura hanya tertuju pada satu titik, Erlan yang tengah duduk di kursi kebesarannya, pria itu tersenyum lebar saat melihat Laura yang langsung menghambur ke arahnya tanpa memperhatikan sekitarnya lagi.
“Kenapa kamu membekukan asetku? Itu milikku bukan milikmu!” raung Laura, ia tersentak kaget saat suara berikutnya bukan berasal dari Erlan, melainkan papanya,
“Laura, jaga sikapmu!” bentak papanya.
Seketika itu juga Laura baru menyadari kalau tidak hanya ada orangtuanya saja yang sedang duduk di sofa ruang kerja Erlan itu, tapi juga orangtua Erlan.
“Papa … Mama …”
“Memalukan! Kami tidak pernah mengajarkanmu bersikap tidak sopan seperti itu pada suamimu!” Potong papanya dengan amarah yang terlihat jelas di matanya.
Ada apa ini sebenarnya?
“Laura, kemarilah … ” mamanya menepuk kursi kosong di sebelahnya. Alih-alih duduk, Laura malah kembali menatap tajam suaminya,
“Rencana apa lagi ini, Lan?” desisnya dengan penuh kebencian. Senyum licik nampak jelas di wajah Erlan,
“Sebaiknya kamu turuti saja perintah Mama.”
Laura menatap bergantian ke orangtuanya, lalu ke orangtua Erlan. Mereka sama-sama memasang wajah serius, pertanda ada sesuatu yang membuat mereka tidak senang. Tapi apa?
Tidak mau membuat mereka semakin marah, Laura pun akhirnya duduk di samping mamanya, yang langsung menepuk pelan punggung tangannya,
“Kami sudah membuat janji dengan salah satu psikiater, dan Mama akan menemanimu selama proses konsultasi berjalan.”
“Psikiater? Untuk apa?” tanya Laura.
“Mama tahu kamu memiliki kecemasan yang berlebihan, meski tanpa sebab yang jelas. Kamu butuh bantuan ahli untuk mengatasinya, Sayang.”
Sekali lagi Laura menatap mama dan papanya, lalu kedua mertuanya serta suaminya yang semuanya tengah memberikan perhatian penuh padanya, seolah mereka semua peduli padanya
“Kecamasan tanpa sebab? Maksud Mama?”
“Dengar, Erlan tidak pernah selingkuh, Laura. Kamu yang selalu memiliki kecemasan berlebihan kalau Erlan akan selingkuh, tapi pada kenyataannya Erlan sangat setia padamu,” jelas mama.
Setia?
Laura menatap jijik Erlan. Tanpa orang tua dan mertuanya sadarani, suaminya itu tengah memberikan senyuman mengejeknya pada Laura.
“Erlan memang selingkuh, Ma! Itu kenyataannya, bukan hanya sekedar halusinasi dan kecemasan aku saja!” tegas Laura.
Tidak mau tinggal diam putranya disebut selingkuh, mama mertuanya pun membantah keras,
“Tidak ada satupun di keluarga kami yang mengkhianati pernikahan mereka. Pun demikian dengan Erlan, putraku itu pasti akan sama setianya dengan para leluhurnya. Jadi, hentikan kegilaan kamu ini!”
“Erlan memang selingkuh, Ma! Aku memiliki buktinya!”
“Oh ya? Mana? Coba perlihatkan pada kami semua bukti-bukti yang kamu miliki!” tantang mama mertuanya.
Kalau Laura mengeluarkan semua bukti-buktinya, maka Erlan akan tahu senjata apa yang sudah Laura miliki untuk menyerangnya. Jadi, Laura tidak akan mau memperlihatkannya.
“Pokoknya aku memiliki bukti kuat untuk itu, Ma. Dan pastinya akan aku gunakan untuk di pengadilan nanti.”
“Jangan lupa katakan pada mereka kalau tujuanmu itu untuk mengalihkan semua sahamku padamu!” Celetuk Erlan dengan nada sedihnya. Pintar sekali suaminya itu bermain drama di depan orang tua mereka.
“Ya Tuhan Laura! Kamu benar-benar sudah kelewat batas! Kenapa kamu menjadi serakah seperti ini? Apa yang sudah Mama dan Papa berikan masih kurang?”
Melihat raut terluka di wajah dan nada suara mamanya, Laura semakin bingung dengan sandiwara yang sedang mereka mainkan itu. Yang pastinya semua bertujuan untuk menjatuhkannya. Setidaknya pastilah itu yang menjadi tujuan Erlan.
“Serakah? Bukankah sudah tertulis jelas di surat perjanjian pranikah kalau salah satu di antara kami selingkuh, maka yang lainnya boleh mengajukan perceraian dengan kompensasi seluruh saham yang selingkuh akan beralih ke pasangannya. Apa perlu aku perlihatkan lagi surat perjanjian itu?”
“Tapi masalahnya Erlan tidak selingkuh, Laura! Kamu jangan mengada-ada masalah yang tidak ada hanya karena ambisimu untuk menjadi seoramg CEO!” geram mama mertuanya.
Hanya papa mertuanya saja yang masih terlihat tenang. Namun sama halnya dengan air sungai, hanya permukaannya saja yang terlihat tenang, namun arus bawahnya menghanyutkan.
“Bukan itu yang menjadi tujuanku, Ma!” sanggah Laura.
“Bukan itu tujuanmu? Lalu apa tujuanmu memfitnah Erlan dengan perbuatan yang tidak pernah dia lakukan sementara kamu tidak mengantongi bukti yang kuat. Atau kamu tidak mau memperlihatkannya Kalau memang kamu memilikinya!”
“Sudah aku bilang, aku akan memperlihatkannya saat di pengadilan nanti!”
“Apa ini bukti yang kamu maksud?” secara tiba-tiba papa mertuanya menyerahkan map coklat pada Laura, yang menerimanya dengan kening mengkerut bingung,
“Bukalah!” perintah papa mertuanya.
Perlahan Laura membuka dan mengeluarkan isinya. Netranya membola saat ia Melihat foto-foto Erlan bersama dengan wanita lain, yang beberapa di antaranya akan menjadi bukti kuat saat di persidangan nantinya.
“Jangan bilang foto-foto seperti itu yang membuatmu mengambil kesimpulan kalau Erlan telah selingkuh darimu!”
Laura Hanya membisu. Ia harus jawab apa? Karena kenyataannya memang foto itulah yang menjadi bukti perselingkuhan Erlan.
Papa mertuanya menghela napas panjang sebelum kembali berkata,
“Laura dengarkan Papa, para wanita itu hanyalah rekan kerja Erlan saja. Papa bahkan mengenal para wanita itu, karena saaat mereka memasuki hotel, Papa sudah ada di dalamnya menunggu mereka. Kami hanya sekedar membahas masalah proyek, itu saja tidak lebih.”
Dengan berpakaian super minim seperti itu? Klien macam apa yang harus bergelayutan manja pada rekan kerjanya?
Laura kalah. Ya benar, untuk saat ini ia telah kalah dari mereka. Terlepas benar atu tidaknya penjelasan papa mertuanya itu bukanlah hal yang penting.
Karena dengan demikian Laura menyadari satu hal, apa yang pengacaranya khawatirkan memang benar adanya. Selembar foto tidak akan bisa dijadikan bukti kuat, karena akan banyak alibi untuk menyanggah itu semua, seperti halnya yang tengah mertuanya itu lakukan.
Kenapa Laura merasa, meski ia memiliki orangtua, tapi ia seperti menghadapi masalah itu seorang diri? Kenapa orantuanya sama sekali tidak mempercayainya?
“Dengan diamnya Laura itu menandakan kalau Laura telah menyadari kekeliruannya. Tidak ada perselingkuhan, Laura. Yang ada hanya masalah mentalmu saja yang memiliki kecemasan berlebihan. Dengan masalah kejiwaan seperti itu, Erlan memiliki hak untuk membekukan asetmu sementara waktu, sampai hasil konsultasi nantinya menunjukkan kalau kamu tidak memiliki masalah kejiwaan!” tegas mama mertuanya.
“Dan … Mengingat surat perjanjian itu dapat menjadi senjata untuk kalian saling menjatuhkan, maka kami membuat peraturan baru, yang akan menganulir peraturan lama. Dengan demikian, hanya peraturan ini saja yang berlaku!” lanjutnya.
“Tidak bisa mengubah kontrak begitu saja, Ma. Karena …”
“Kamu tahu laura? Semakin kamu menolaknya maka semakin meyakinkan kami tentang ambisimu itu untuk menguasai perusahaan! Apa kurangnya Erlan untukmu? Kurang baik apa kami pada keluargamu?” potong mama mertuanya dengan tajam.
Jika benar demikian, sia-sia sudah usaha Laura selama ini untuk bisa terlepas dari jerat Erlan. Ternyata perceraian tidak semudah yang ia kira, setidaknya perceraiannya dengan Erlan.
“Laura, sudah hentikan kegilaan ini,’ pinta mamanya.
“Ma, Kenapa Mama tidak percaya padaku?” tanya Laura lirih.
“Kamu masih saja bersikeras kalau Erlan selingkuh. Baiklah, untuk mencegah ambisimu itu, kami harus bersikap tegas padamu. Sudah benar Erlan membekukan semua asetmu, dengan demikian kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa.” mama mertuanya kembali murka.
Mungkin, Laura hanya harus mengalah untuk sementara waktu ini. Bukan karena mereka membekukan asetnya, tapi karena tanpa sepengatahuan Erlan, Laura memiliki rekening atas nama salah satu sepupunya, yang Laura menaruh kepercayaan lebih padanya daripada orangtuanya. Dan jumlahnya, jauh melebihi saldo di rekeningnya sendiri.
Ya, Laura telah mengantisipasi semuanya. Berhadapan dengan keluarga suaminya yang sangat berkuasa itu, ia harus bersiap dengan segala kemungikan yang akan terjadi nantinya.
Yang terpenting sekarang adalah, ia harus menunjukkan pada mereka semua kalau mentalnya masih jauh dari kata sakit. Erlan lah yang seharusnya melakukan konsultasi itu, bukannya malah dirinya.
“Apa isi surat kontrak yang baru?” tanyanya.
Berdiri dari kursi kebesarannya, Erlan melangkah pelan mendekati mereka lalu memberikan selembar kertas padanya,
“Tandatangani setelah kamu selesai membacanya!’ serunya.
Inti dari surat kontrak itu menegaskan kalau kontrak lama tidak berlaku lagi. Tidak ada lagi pasangan yang kehilangan semua sahamnya jika selingkuh. Tapi salah satu dari mereka akan kehilangan tidak hanya sahamnya, tapi juga seluruh asetnya bagi yang mengajukan perceraian.
Dengan kata lain, jika Laura tetap menuntut perceraian dari Erlan, maka seluruh hartanya akan beralih pada Erlan. Baik yang dihasilkan selama pernikahan mereka, maupun yang bukan.
Laura harus menahan dirinya untuk tidak merobek surat kontrak itu. Meski ia yakin sekali mengenai perselingkuhan Erlan, namun kemungkinan besar tidak dengan kedua orangtuanya. Dan Laura tidak mau mereka mengira itu hanyalah ambis Laura saja untuk mengejar posisi tertinggi di perusahaan mereka.
Jadi, kalau Laura tidak bisa menceraikan Erlan, maka ia yang akan membuat Erlan menceraikannya. Genderang perang telah ditabuhkan, dan Laura tidak akan pernah berhenti sebelum menang.
Bab 10 - Dasar Psiko!Laura berderap keluar menuju mobilnya, dimana Rendra sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. Ia baru akan masuk ketika Erlan menahan tangannya,“Mau ke mana kamu?”“Lepaskan!” Laura menghentak lepas tangan Erlan. Namun hanya untuk mendapatkan Erlan mencengkram kedua bahunya dengan kasar,“Kamu pikir bisa meninggalkanku begitu saja, hah? Kamu tidak boleh pergi tanpa izin dariku!” geramnya.Tatapan penuh kebencian Laura terus mengarah pada Erlan, ia tidak dapat menyembunyikannya lagi, dan memang tidak ingin meyembunyikan kebenciannya pada suaminya itu,“Kamu sudah mendapatkan semuanya, termasuk juga dukungan dari orangtuaku! Apa lagi yang kamu mau dariku? Nyawaku?”“Nyawamu? Ya nyawa balas nyawa! Tapi tenang saja aku belum akan mengambil nyawamu Sekarang, aku masih ingin terus bermain-main denganmu!” “Cih, seolah aku saja yang membunuh calon anakmu itu!”Sebelah tangan Erlan kini beralih ke Leher Laura untuk menekannya, “Apakah aku harus menjabarkan lagi ke
Bab 11 - Menyusun RencanaLaura baru saja menikmati hangatnya matahari sore sambil menyeruput teh hangatnya ketika matanya menangkap sosok Rendra yang sedang melangkah ke arahnya.Laura pun segera memalingkan wajahnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapun, terutama dengan anak buah Erlan yang jelas-jelas ditugaskan untuk menjadi mata dan juga telinganya.Angin sepoi-sepoi meniup rambut panjang Laura, hingga ia memutuskan untuk mengikatnya saja menjadi kuncir kuda, meski sedikit risih karena tatapan Rendra terus saja tertuju padanya."Apa kamu tidak punya kegiatan lain selain dari mengikuti aku even aku sedang di rumah sekalipun?" tanya Laura dengan dongkol."Itu sudah menjadi tugas saya," jawab Rendra dengan santai."Entah sudah berapa banyak uang yang Erlan keluarkan untuk membayarmu sampai kamu begitu setia seperti seekor anjing!" cibir Laura.Ia tidak menyesali dirinya yang sudah berkata kasar pada orang lain, karena orang itu adalah kaki tangan Erlan, pria yang sangat Lau
"Aku tidak mau memperlihatkan lekuk tubuhku pada bodyguard sialan aku itu! Tidak bisakah aku menikmati waktuku sendiri tanpa keberadaanya?" elak Laura sambil menatap galak Rendra."Rendra, kau menjauhlah saat Laura ingin berenang! Dan pastikan, tidak ada satupun orang yang memasuki area ini!" perintah Erlan pada Rendra.Setelah mengangguk mengerti, Erlan pun meninggalkan mereka.Namun ternyata hal itu menjadi boomerang untuk Laura. Karena Erlan memiliki rencana lain untuknya di kolam renang itu."Tanggalkan pakaianmu sekarang!"Apakah Erlan akan mengajaknya bercinta di sana? Di kolam renang? Tidak mungkin kan?Jangankan di tempat dimana orang lain dapat melihat mereka, di kamar yang lebih private pun Laura tidak akan mau melayani hasrat Erlan lagi.“Jangan gila kamu!” sungut Laura sebelum berenang menuju handrailing pool. Lebih baik ia menyudahi renangnya, dan bergegas menjauh dari suaminya itu.Tapi baru saja kaki Laura menginjak tangga ketiga, Erlan sudah menariknya naik dengan kasa
Pagi harinya, langkah Laura menuju ruang makan dihadang Rendra, tatapan pria itu tak terbaca saat menyarankan,"Sebaiknya anda jangan ke ruang makan, Bu Laura. Kalau anda lapar, saya bisa mengambilkan makanan untuk anda."Laura melipat kedua tangannya di depan dadanya, "Apa ada alasan untuk ini?" tanyanya dengan ketus.Rendra baru akan menjawab ketika terdengar kikikan nyaring seorang wanita, disusul dengan gelak tawa Erlan. Laura paham betul dengan apa yang tengah terjadi di ruang makan keluarganya itu, ia pun tersenyum sinis karenanya,"Hanya karena itu?"Tidak mendapatkan respon dari Rendra, Laura mendorong pria itu ke samping dan melewatinya begitu saja. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti saat Rendra menahan lengannya,"Jangan buat keributan, Bu Laura. Jangan membuat Tuan Erlan murka lagi," cegahnya, dan Laura langsung menghentak lepas tangannya sebelum mendaratkan tamparan kerasnya di pipi Rendra,"Berani kamu menyentuh saya!" geramnya, Rendra sedikit membungkuk saat mengucapk
"Bisa tinggalkan saya sendiri?" pinta Laura pada Rendra.Wanita itu baru bersuara setelah lebih dari satu jam mereka menyusuri tepian pantai dalam keheningan. Hanya suara riuh dari pengunjung lain dan deburan ombak saja yang mengisi keheningan di antara mereka itu."Maaf, saya tidak bisa, Bu Laura. Tuan Erlan menegaskan saya untuk tidak meninggalkan anda dalam kondisi apapun."Lebih tepatnya, Rendra tidak akan membiarkan Laura yang tengah terluka itu sendirian. Ia takut Laura akan memilih cara ekstrim untuk melarikan diri dari Erlan."Saya hanya menyusuri pantai ini saja, Rendra. Saya tidak akan kabur!""BIar saya temani anda, saya tidak akan bersuara jika anda tidak bicara pada saya."Dengan wajah ketusnya, Laura berpaling ke arah lautan lepas, ia membiarkan begitu saja angin pantai merusak tatanan rambut cantiknya.Nampaknya Rendra sulit untuk diajak bekerjasama. Pupus sudah harapan Laura yang berniat mencuri waktu untuk bertemu dengan Chintya, wanita yang akan ia pekerjakan sebagai
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
Sama halnya dengan Laura, Rendra pun tidak kalah kagetnya dengan pesta yang sangat tiba-tiba itu. Dengan Erlan yang tidak memberitahunya perihal pesta kejutan yang pria itu siapkan untuk Laura, itu berarti Erlan belum sepenuhnya percaya pada Rendra. Dan akan sulit bagi Rendra menyelidiki kebusukan Erlan jika ia belum sepenuhnya menjadi orang kepercayaan Etlan.Setelah Laura turun, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk parkir di tempat biasanya. Ia menarik salah seorang bodyguard Rendra untuk bertanya,"Kenapa banyak sekali tamu? Ada pesta apa? Kenapa aku tidak diberitahu?""Aku juga baru tahu setelah kalian pergi tadi. Tuan Erlan meminta kami mendekor rumah ini dalam waktu singkat," jawab pria itu dengan keringat yang masih terlihat membasahi keningnya."Dalam rangka apa pesta ini?""Menurut yang aku dengar, hari ini adalah Anniversary Tuan Erlan dan Bu Laura. Tuan ingin memberikan kejutan untuk Bu Laura, manis sekali bukan? Nampaknya Tuan Erlan memang tergila-gila dengan Bu Laura."
"Jangan pergi Ra, pria itu hanya akan memanfaatkan kepolosan kamu saja, setelah dia puas kamu akan dibuang begitu saja seperti sampah!" cegah Rendra saat adik perempuan satu-satunya itu berniat melarikan diri dengan kekasihnya yang sama sekali tidak direstui keluarganya karena skandalnya dengan banyak wanita."Erlan mencintaiku dengan tulus, Rendra. Dia tidak akan menyakiti aku! Kenapa kamu dan Papa tidak mempercayainya sama sekali?""Karena aku dan Papa kenal betul pria seperti apa Erlan itu! Apa kedua mata kamu itu buta, Ra? Berapa banyak wanita yang sudah menjadi korbannya?""Aku tahu itu. Tapi denganku berbeda, Erlan sendiri yang memberitahuku. Jika kami menikah nanti, Erlan sudah berjanji akan berubah. Dia hanya akan menjadi milikku untuk selamanya.""Kamu menerimanya begitu saja setelah banyak wanita yang tersakiti olehnya?""Mereka hanya akan menjadi masa lalu Erlan, sementara aku masa depannya. Aku hanya akan peduli pada yang terjadi kedepannya, bukan di belakangnya, bukan pad
"Lan, aku tidak mau!" Laura menepis tangan Erlan yang ingin menarik lepas dressnya. Sekuat tenaga ia menolak keinginan Erlan yang ingin bercinta dengannya. Selain karena Laura tidak membawa pil kontrasepsinya, ia juga terlalu jijik untuk bersentuhan lagi dengan pria itu.Namun bukan Erlan namanya kalau tidak memaksakan kehendaknya, pria itu seketika geram dengan penolakan Laura, tampara keras pun mendarat di pipi Laura,"Berani kamu menolakku!""Aku sedang datang bulan, Lan!" elak Laura sambil mengusap pipinya yang luar biasa nyeri. Ia melangkah mundur saat Erlan perlahan maju semakin mendekatinya."Alasan! Aku tahu benar ini bukan tanggalnya."Laura mengelak saat Erlan bersiap meraih tangannya, ia berlindung di balik sofa panjang kamar suite itu,"Tanggalnya memang bisa maju bisa mundur juga, Lan. Untuk apa aku membohongimu.""Untuk apa? Bukannya kamu sudah sering membohongiku? Aku tidak akan pervaya sebelum aku melihatnya langsung dengan mata kepala aku sendiri!" desisnya. Laura m
"Apa aku tidak tahu kado itu juga palsu?" desisnya dengan penuh kebencian.Laura terkulai lemah, bukan karena cengkraman tangan Erlan di lehernya yang menyebabkan Laura sulit bernapas. Tapi karena satu-satunya tempat Laura menggantungkan harapan kini telah punah. Dan ia harus menghadapi Erlan seorang diri lagi.'Rendra, kenapa kamu setega ini padaku?' tanyanya dalam hati, dan ia menitikkan airmata untuk satu lagi pria yang menyakiti dan mengecewakannya.Laura memejamkan kedua matanhya dengan pasrah. Apakah tidak ada satu pun yang menyayanginya dengan tulus selain dari sahabat-sahabatnya? Tidak orangtuanya, tidak juga seseorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya.JIka Laura memang harus ditakdirkan mati saat itu juga di tangan Erlan, maka itu akan jauh lebih baik untuknya. Persetan dengan balas dendamnya."Untuk siapa sebenarnya kamu siapkan kado itu? Karena aku sudah tahu pasti, kamu tidak akan peduli dengan hari Anniversary kita, apalagi peduli padaku hingga membelikanku jam
Sama halnya dengan Laura, Rendra pun tidak kalah kagetnya dengan pesta yang sangat tiba-tiba itu. Dengan Erlan yang tidak memberitahunya perihal pesta kejutan yang pria itu siapkan untuk Laura, itu berarti Erlan belum sepenuhnya percaya pada Rendra. Dan akan sulit bagi Rendra menyelidiki kebusukan Erlan jika ia belum sepenuhnya menjadi orang kepercayaan Etlan.Setelah Laura turun, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk parkir di tempat biasanya. Ia menarik salah seorang bodyguard Rendra untuk bertanya,"Kenapa banyak sekali tamu? Ada pesta apa? Kenapa aku tidak diberitahu?""Aku juga baru tahu setelah kalian pergi tadi. Tuan Erlan meminta kami mendekor rumah ini dalam waktu singkat," jawab pria itu dengan keringat yang masih terlihat membasahi keningnya."Dalam rangka apa pesta ini?""Menurut yang aku dengar, hari ini adalah Anniversary Tuan Erlan dan Bu Laura. Tuan ingin memberikan kejutan untuk Bu Laura, manis sekali bukan? Nampaknya Tuan Erlan memang tergila-gila dengan Bu Laura."
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb
"Bisa tinggalkan saya sendiri?" pinta Laura pada Rendra.Wanita itu baru bersuara setelah lebih dari satu jam mereka menyusuri tepian pantai dalam keheningan. Hanya suara riuh dari pengunjung lain dan deburan ombak saja yang mengisi keheningan di antara mereka itu."Maaf, saya tidak bisa, Bu Laura. Tuan Erlan menegaskan saya untuk tidak meninggalkan anda dalam kondisi apapun."Lebih tepatnya, Rendra tidak akan membiarkan Laura yang tengah terluka itu sendirian. Ia takut Laura akan memilih cara ekstrim untuk melarikan diri dari Erlan."Saya hanya menyusuri pantai ini saja, Rendra. Saya tidak akan kabur!""BIar saya temani anda, saya tidak akan bersuara jika anda tidak bicara pada saya."Dengan wajah ketusnya, Laura berpaling ke arah lautan lepas, ia membiarkan begitu saja angin pantai merusak tatanan rambut cantiknya.Nampaknya Rendra sulit untuk diajak bekerjasama. Pupus sudah harapan Laura yang berniat mencuri waktu untuk bertemu dengan Chintya, wanita yang akan ia pekerjakan sebagai
Pagi harinya, langkah Laura menuju ruang makan dihadang Rendra, tatapan pria itu tak terbaca saat menyarankan,"Sebaiknya anda jangan ke ruang makan, Bu Laura. Kalau anda lapar, saya bisa mengambilkan makanan untuk anda."Laura melipat kedua tangannya di depan dadanya, "Apa ada alasan untuk ini?" tanyanya dengan ketus.Rendra baru akan menjawab ketika terdengar kikikan nyaring seorang wanita, disusul dengan gelak tawa Erlan. Laura paham betul dengan apa yang tengah terjadi di ruang makan keluarganya itu, ia pun tersenyum sinis karenanya,"Hanya karena itu?"Tidak mendapatkan respon dari Rendra, Laura mendorong pria itu ke samping dan melewatinya begitu saja. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti saat Rendra menahan lengannya,"Jangan buat keributan, Bu Laura. Jangan membuat Tuan Erlan murka lagi," cegahnya, dan Laura langsung menghentak lepas tangannya sebelum mendaratkan tamparan kerasnya di pipi Rendra,"Berani kamu menyentuh saya!" geramnya, Rendra sedikit membungkuk saat mengucapk
"Aku tidak mau memperlihatkan lekuk tubuhku pada bodyguard sialan aku itu! Tidak bisakah aku menikmati waktuku sendiri tanpa keberadaanya?" elak Laura sambil menatap galak Rendra."Rendra, kau menjauhlah saat Laura ingin berenang! Dan pastikan, tidak ada satupun orang yang memasuki area ini!" perintah Erlan pada Rendra.Setelah mengangguk mengerti, Erlan pun meninggalkan mereka.Namun ternyata hal itu menjadi boomerang untuk Laura. Karena Erlan memiliki rencana lain untuknya di kolam renang itu."Tanggalkan pakaianmu sekarang!"Apakah Erlan akan mengajaknya bercinta di sana? Di kolam renang? Tidak mungkin kan?Jangankan di tempat dimana orang lain dapat melihat mereka, di kamar yang lebih private pun Laura tidak akan mau melayani hasrat Erlan lagi.“Jangan gila kamu!” sungut Laura sebelum berenang menuju handrailing pool. Lebih baik ia menyudahi renangnya, dan bergegas menjauh dari suaminya itu.Tapi baru saja kaki Laura menginjak tangga ketiga, Erlan sudah menariknya naik dengan kasa