Laura pikir mereka akan menggunakan mobil yang sama dengan yang mengantar mereka ke kafe, tapi ternyata Laura salah. Alih-alih mobil, Rendra malah menggunakan motor untuk sampai ke kantor. Entah darimana pria itu mendapatkannya.
"Naik ini?" tanya Laura dengan nada tidak percaya.
"Pakai helm dulu, Bu Laura!"
Laura menepis helm yang diserahkan Rendra padanya. Seandainya pria itu tidak memegang helmnya dengan kuat, benda bulat itu pasti sudah akan menggelinding di jalan.
“Saya tidak biasa naik motor!” tolak Laura dengan nada dongkol.
Naik motor di siang hari bolong? Kulitnya akan menjadi kusam dan rambut indahnya akan berantakkan. Sementara selama ini Laura selalu tampil rapi dan stylish, Tanpa adanya cela sedikitpun, baik dari segi pakaian, aksesoris, hingga ke rambut panjangnya.
“Hanya ini kendaraan tercepat menuju ke kantor, Bu Laura. Ayo naik sekarang!” seru Rendra, Laura langsung menoleh ke arah lain saat matanya menangkap otot keras paha Rendra yang tercetak jelas di balik celana panjangnya saat pria itu menaiki motor besarnya.
"Bu Laura ... " Rendra kembali menyerahkan helm ken Laura, dengan enggan Laura pun mengambil kasar helm dari tangan pria itu.
“Helm siapa ini? Saya tidak mau menggunakan bekas orang!” ketusnya.
“Tidak ada pilihan lain, kenakan helm itu dan segera naik, atau kita akan datang terlambat dan anda akan mendapatkan hukuman dari Pak Erlan!”
Hukuman dari Erlan? Laura sudah kebal dengan semua hukuman itu hingga ia tidak merasa takut sama sekali. Jadi, Laura tetap bersikeras untuk tidak naik ke atas motor. Ia pun melipat kedua tangannya didepan dadanya, helm pemberian Rendra tergantung di salah satu tangannya.
“Saya tidak mau!”
Sambil mengumpat pelan, Rendra turun dari motornya lalu mengambil paksa helm di tangan Laura. Rendra baru akan memasangkannya di kepala Laura saat wanita itu bergerak mendorongnya,
“Jangan sentuh saya! Jauhkan helm bau itu dari saya!” geramnya.
“Ok, tidak ada cara lain kalau begitu!”
Tanpa basa-basi lagi, dengan cepat Rendra memanggul Laura di pundaknya dan melangkah menjauh dari motor dan mengabaikan Laura yang berontak keras dengan teriakan yang tidak kalah kerasnya,
“Turunkan saya sialan! Tolong! Siapapun tolong pria ini mau menculik saya!”
Namun mau sekeras apapun Laura berteriak, tidak ada satupun yang datang membantunya, malah mereka mengira kalau Laura dan Rendra hanyalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar,
“Lihatlah, manis sekali mereka.”
“Wanita itu menolak naik motor, dan kekasihnya memanggulnya di pundaknya. Aaahh, sweet sekali sih!”
"Bertengkar pun masih terlihat sweet!"
Itulah ucapan samar-samar yang Laura dengar, membuatnya semakin kesal dan luar biasa marah. Tapi mau bergerak sekuat apapun tangan pria itu terlalu kuat menahannya.
Belum pernah sebelumnya ada pria lain yang menyentuhnya selain Erlan. Tapi sekarang, pria itu berani menyentuhnya, dan bahkan salah satu tangannya berada di atas bokongnya, memalukan sekali!
“Dasar penjahat mesum! Cepat jauhkan tanganmu dari bokong saya! Kamu sudah melakukan pelecehan pada saya! Saya tidak akan tinggal diam! Saya akan laporkan perbuatanmu ke pihak berwajib! Ke Erlan sekalian!” ancam Laura.
“Maaf, Bu Laura. Saya hanya mencegah anda jatuh saja.”
“Erlan akan membunuhmu karena sudah berani menyentuh saya!”
“Tidak akan. Justru Pak Erlan akan membunuh saya kalau saya tidak berhasil membawa anda tepat waktu!" sanggah Rendra dengan santai, sesantai pria itu membopong Laura tanpa kesulitan sama sekali, bahkan tidak terdengar juga napas memburu pria itu akibat dari kegiatan fisiknya.
Bagi pria tinggi besar itu, berat Laura hanya seringan bulu sepertinya.
“Oh bagus! Dengan matinya kamu saya jadi bebas bergerak kemanapun tanpa ada yang membuntuti saya sepanjang hari!”
“Semua demi kebaikan anda, Bu Laura.”
“Kebaikan saya apa? Kamu tidak tahu apa-apa!”
“Terkadang menjadi tidak tahu itu lebih baik, Bu Laura.”
Laura yang berapi-api beradu kata dengan Rendra yang dingin, malah membuat Laura bertambah panas lagi karenanya. Terutama saat dunianya tengah terbalik sekarang ini, ia menjadi pusing karenanya.
“Ok, kita naik motor! Kepala saya pusing! Turunkan saya!”
“Terlambat untuk kembali, Bu Laura.”
“Kamu akan membawa saya ke mana? Kenapa menyeberangi jalan?” tanya Laura saat melihat zebra cross yang melintang di tengah jalan.
“Kita akan potong arah. Melalui jalan ini akan lebih dekat ke kantor Pak Erlan ,” jawab Rendra dengan santai.
Setelah sampai di tepi jalan, Rendra menghentikan sebuah taksi. Pria itu menyebutkan tujuannya sebelum mendudukkan Laura di kursi penumpang dan ia duduk di sampingnya.
Laura baru akan membuka pintu di sebelahnya ketika tangan Rendra menahannya,
“Jangan lakukan itu, Bu Laura. Tolong bekerjasama lah.”
“Bekerjasama dengan antek Erlan? Cih, tidak akan! Berapa Erlan memebayarmu? Saya akan membayarmu dua kali lipat!”
Rendra tertawa hambar mendengarnya,
“Dengan apa anda akan membayar saya, Bu Laura? Karena Pak Erlan telah membekukan semua aset anda.”
Pertanyaan Rendra sontak saja membuat Laura berhenti berontak. Wanita itu menatap penuh tanya pada pria di sebelahnya?
“Apa maksudmu? Rendra membekukan seluruh aset saya?”
“Begitulah yang saya curi dengar. Dan itulah tujuan Tuan Erlan meminta anda datang ke kantornya sekarang juga.”
“Tidak. Erlan tidak memiliki hak untuk membekukan semua aset saya!” sangkal Laura.
“Memiliki hak atau tidak, pada kenyataannya sekarang ini anda memang tidak memiliki apa-apa, Bu Laura. Bahkan anda tidak bisa mengambil uang sepeser pun tanpa izin dari suami anda.”
Untuk membuktikan pada Rendra kalau ucapannya salah, Laura pun mengeluarkan ponselnya. Ia mencoba transfer uang ke Zevanya, namun tidak bisa. Rendra pun kembali mendapatkan tatapan tajam darinya,
“Kenapa tidak bilang dari tadi?”
“Saya hanya tidak mau membuat anda malu di depan teman-teman anda, Bu Laura.”
“Persetan denganmu dan rasa malu itu!” sungut Laura lalu beralih menatap supir taksinya dari kaca spion tengah mobil,
“Kenapa lama sekali! Bisa lebih cepat lagi tidak?” Kali ini Laura yang tidak sabar ingin segera sampai ke kantor Erlan. Ia akan bertanya langsung pada Erlan, bagaimana bisa suaminya itu membekukan aset dan memblokir keuangannya?
Saat memasuki ruangan Erlan, mata Laura hanya tertuju pada satu titik, Erlan yang tengah duduk di kursi kebesarannya, pria itu tersenyum lebar saat melihat Laura yang langsung menghambur ke arahnya tanpa memperhatikan sekitarnya lagi. “Kenapa kamu membekukan asetku? Itu milikku bukan milikmu!” raung Laura, ia tersentak kaget saat suara berikutnya bukan berasal dari Erlan, melainkan papanya, “Laura, jaga sikapmu!” bentak papanya. Seketika itu juga Laura baru menyadari kalau tidak hanya ada orangtuanya saja yang sedang duduk di sofa ruang kerja Erlan itu, tapi juga orangtua Erlan. “Papa … Mama …” “Memalukan! Kami tidak pernah mengajarkanmu bersikap tidak sopan seperti itu pada suamimu!” Potong papanya dengan amarah yang terlihat jelas di matanya. Ada apa ini sebenarnya? “Laura, kemarilah … ” mamanya menepuk kursi kosong
Bab 10 - Dasar Psiko!Laura berderap keluar menuju mobilnya, dimana Rendra sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. Ia baru akan masuk ketika Erlan menahan tangannya,“Mau ke mana kamu?”“Lepaskan!” Laura menghentak lepas tangan Erlan. Namun hanya untuk mendapatkan Erlan mencengkram kedua bahunya dengan kasar,“Kamu pikir bisa meninggalkanku begitu saja, hah? Kamu tidak boleh pergi tanpa izin dariku!” geramnya.Tatapan penuh kebencian Laura terus mengarah pada Erlan, ia tidak dapat menyembunyikannya lagi, dan memang tidak ingin meyembunyikan kebenciannya pada suaminya itu,“Kamu sudah mendapatkan semuanya, termasuk juga dukungan dari orangtuaku! Apa lagi yang kamu mau dariku? Nyawaku?”“Nyawamu? Ya nyawa balas nyawa! Tapi tenang saja aku belum akan mengambil nyawamu Sekarang, aku masih ingin terus bermain-main denganmu!” “Cih, seolah aku saja yang membunuh calon anakmu itu!”Sebelah tangan Erlan kini beralih ke Leher Laura untuk menekannya, “Apakah aku harus menjabarkan lagi ke
Bab 11 - Menyusun RencanaLaura baru saja menikmati hangatnya matahari sore sambil menyeruput teh hangatnya ketika matanya menangkap sosok Rendra yang sedang melangkah ke arahnya.Laura pun segera memalingkan wajahnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapun, terutama dengan anak buah Erlan yang jelas-jelas ditugaskan untuk menjadi mata dan juga telinganya.Angin sepoi-sepoi meniup rambut panjang Laura, hingga ia memutuskan untuk mengikatnya saja menjadi kuncir kuda, meski sedikit risih karena tatapan Rendra terus saja tertuju padanya."Apa kamu tidak punya kegiatan lain selain dari mengikuti aku even aku sedang di rumah sekalipun?" tanya Laura dengan dongkol."Itu sudah menjadi tugas saya," jawab Rendra dengan santai."Entah sudah berapa banyak uang yang Erlan keluarkan untuk membayarmu sampai kamu begitu setia seperti seekor anjing!" cibir Laura.Ia tidak menyesali dirinya yang sudah berkata kasar pada orang lain, karena orang itu adalah kaki tangan Erlan, pria yang sangat Lau
"Aku tidak mau memperlihatkan lekuk tubuhku pada bodyguard sialan aku itu! Tidak bisakah aku menikmati waktuku sendiri tanpa keberadaanya?" elak Laura sambil menatap galak Rendra."Rendra, kau menjauhlah saat Laura ingin berenang! Dan pastikan, tidak ada satupun orang yang memasuki area ini!" perintah Erlan pada Rendra.Setelah mengangguk mengerti, Erlan pun meninggalkan mereka.Namun ternyata hal itu menjadi boomerang untuk Laura. Karena Erlan memiliki rencana lain untuknya di kolam renang itu."Tanggalkan pakaianmu sekarang!"Apakah Erlan akan mengajaknya bercinta di sana? Di kolam renang? Tidak mungkin kan?Jangankan di tempat dimana orang lain dapat melihat mereka, di kamar yang lebih private pun Laura tidak akan mau melayani hasrat Erlan lagi.“Jangan gila kamu!” sungut Laura sebelum berenang menuju handrailing pool. Lebih baik ia menyudahi renangnya, dan bergegas menjauh dari suaminya itu.Tapi baru saja kaki Laura menginjak tangga ketiga, Erlan sudah menariknya naik dengan kasa
Pagi harinya, langkah Laura menuju ruang makan dihadang Rendra, tatapan pria itu tak terbaca saat menyarankan,"Sebaiknya anda jangan ke ruang makan, Bu Laura. Kalau anda lapar, saya bisa mengambilkan makanan untuk anda."Laura melipat kedua tangannya di depan dadanya, "Apa ada alasan untuk ini?" tanyanya dengan ketus.Rendra baru akan menjawab ketika terdengar kikikan nyaring seorang wanita, disusul dengan gelak tawa Erlan. Laura paham betul dengan apa yang tengah terjadi di ruang makan keluarganya itu, ia pun tersenyum sinis karenanya,"Hanya karena itu?"Tidak mendapatkan respon dari Rendra, Laura mendorong pria itu ke samping dan melewatinya begitu saja. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti saat Rendra menahan lengannya,"Jangan buat keributan, Bu Laura. Jangan membuat Tuan Erlan murka lagi," cegahnya, dan Laura langsung menghentak lepas tangannya sebelum mendaratkan tamparan kerasnya di pipi Rendra,"Berani kamu menyentuh saya!" geramnya, Rendra sedikit membungkuk saat mengucapk
"Bisa tinggalkan saya sendiri?" pinta Laura pada Rendra.Wanita itu baru bersuara setelah lebih dari satu jam mereka menyusuri tepian pantai dalam keheningan. Hanya suara riuh dari pengunjung lain dan deburan ombak saja yang mengisi keheningan di antara mereka itu."Maaf, saya tidak bisa, Bu Laura. Tuan Erlan menegaskan saya untuk tidak meninggalkan anda dalam kondisi apapun."Lebih tepatnya, Rendra tidak akan membiarkan Laura yang tengah terluka itu sendirian. Ia takut Laura akan memilih cara ekstrim untuk melarikan diri dari Erlan."Saya hanya menyusuri pantai ini saja, Rendra. Saya tidak akan kabur!""BIar saya temani anda, saya tidak akan bersuara jika anda tidak bicara pada saya."Dengan wajah ketusnya, Laura berpaling ke arah lautan lepas, ia membiarkan begitu saja angin pantai merusak tatanan rambut cantiknya.Nampaknya Rendra sulit untuk diajak bekerjasama. Pupus sudah harapan Laura yang berniat mencuri waktu untuk bertemu dengan Chintya, wanita yang akan ia pekerjakan sebagai
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
"Jangan pergi Ra, pria itu hanya akan memanfaatkan kepolosan kamu saja, setelah dia puas kamu akan dibuang begitu saja seperti sampah!" cegah Rendra saat adik perempuan satu-satunya itu berniat melarikan diri dengan kekasihnya yang sama sekali tidak direstui keluarganya karena skandalnya dengan banyak wanita."Erlan mencintaiku dengan tulus, Rendra. Dia tidak akan menyakiti aku! Kenapa kamu dan Papa tidak mempercayainya sama sekali?""Karena aku dan Papa kenal betul pria seperti apa Erlan itu! Apa kedua mata kamu itu buta, Ra? Berapa banyak wanita yang sudah menjadi korbannya?""Aku tahu itu. Tapi denganku berbeda, Erlan sendiri yang memberitahuku. Jika kami menikah nanti, Erlan sudah berjanji akan berubah. Dia hanya akan menjadi milikku untuk selamanya.""Kamu menerimanya begitu saja setelah banyak wanita yang tersakiti olehnya?""Mereka hanya akan menjadi masa lalu Erlan, sementara aku masa depannya. Aku hanya akan peduli pada yang terjadi kedepannya, bukan di belakangnya, bukan pad
"Lan, aku tidak mau!" Laura menepis tangan Erlan yang ingin menarik lepas dressnya. Sekuat tenaga ia menolak keinginan Erlan yang ingin bercinta dengannya. Selain karena Laura tidak membawa pil kontrasepsinya, ia juga terlalu jijik untuk bersentuhan lagi dengan pria itu.Namun bukan Erlan namanya kalau tidak memaksakan kehendaknya, pria itu seketika geram dengan penolakan Laura, tampara keras pun mendarat di pipi Laura,"Berani kamu menolakku!""Aku sedang datang bulan, Lan!" elak Laura sambil mengusap pipinya yang luar biasa nyeri. Ia melangkah mundur saat Erlan perlahan maju semakin mendekatinya."Alasan! Aku tahu benar ini bukan tanggalnya."Laura mengelak saat Erlan bersiap meraih tangannya, ia berlindung di balik sofa panjang kamar suite itu,"Tanggalnya memang bisa maju bisa mundur juga, Lan. Untuk apa aku membohongimu.""Untuk apa? Bukannya kamu sudah sering membohongiku? Aku tidak akan pervaya sebelum aku melihatnya langsung dengan mata kepala aku sendiri!" desisnya. Laura m
"Apa aku tidak tahu kado itu juga palsu?" desisnya dengan penuh kebencian.Laura terkulai lemah, bukan karena cengkraman tangan Erlan di lehernya yang menyebabkan Laura sulit bernapas. Tapi karena satu-satunya tempat Laura menggantungkan harapan kini telah punah. Dan ia harus menghadapi Erlan seorang diri lagi.'Rendra, kenapa kamu setega ini padaku?' tanyanya dalam hati, dan ia menitikkan airmata untuk satu lagi pria yang menyakiti dan mengecewakannya.Laura memejamkan kedua matanhya dengan pasrah. Apakah tidak ada satu pun yang menyayanginya dengan tulus selain dari sahabat-sahabatnya? Tidak orangtuanya, tidak juga seseorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya.JIka Laura memang harus ditakdirkan mati saat itu juga di tangan Erlan, maka itu akan jauh lebih baik untuknya. Persetan dengan balas dendamnya."Untuk siapa sebenarnya kamu siapkan kado itu? Karena aku sudah tahu pasti, kamu tidak akan peduli dengan hari Anniversary kita, apalagi peduli padaku hingga membelikanku jam
Sama halnya dengan Laura, Rendra pun tidak kalah kagetnya dengan pesta yang sangat tiba-tiba itu. Dengan Erlan yang tidak memberitahunya perihal pesta kejutan yang pria itu siapkan untuk Laura, itu berarti Erlan belum sepenuhnya percaya pada Rendra. Dan akan sulit bagi Rendra menyelidiki kebusukan Erlan jika ia belum sepenuhnya menjadi orang kepercayaan Etlan.Setelah Laura turun, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk parkir di tempat biasanya. Ia menarik salah seorang bodyguard Rendra untuk bertanya,"Kenapa banyak sekali tamu? Ada pesta apa? Kenapa aku tidak diberitahu?""Aku juga baru tahu setelah kalian pergi tadi. Tuan Erlan meminta kami mendekor rumah ini dalam waktu singkat," jawab pria itu dengan keringat yang masih terlihat membasahi keningnya."Dalam rangka apa pesta ini?""Menurut yang aku dengar, hari ini adalah Anniversary Tuan Erlan dan Bu Laura. Tuan ingin memberikan kejutan untuk Bu Laura, manis sekali bukan? Nampaknya Tuan Erlan memang tergila-gila dengan Bu Laura."
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb
"Bisa tinggalkan saya sendiri?" pinta Laura pada Rendra.Wanita itu baru bersuara setelah lebih dari satu jam mereka menyusuri tepian pantai dalam keheningan. Hanya suara riuh dari pengunjung lain dan deburan ombak saja yang mengisi keheningan di antara mereka itu."Maaf, saya tidak bisa, Bu Laura. Tuan Erlan menegaskan saya untuk tidak meninggalkan anda dalam kondisi apapun."Lebih tepatnya, Rendra tidak akan membiarkan Laura yang tengah terluka itu sendirian. Ia takut Laura akan memilih cara ekstrim untuk melarikan diri dari Erlan."Saya hanya menyusuri pantai ini saja, Rendra. Saya tidak akan kabur!""BIar saya temani anda, saya tidak akan bersuara jika anda tidak bicara pada saya."Dengan wajah ketusnya, Laura berpaling ke arah lautan lepas, ia membiarkan begitu saja angin pantai merusak tatanan rambut cantiknya.Nampaknya Rendra sulit untuk diajak bekerjasama. Pupus sudah harapan Laura yang berniat mencuri waktu untuk bertemu dengan Chintya, wanita yang akan ia pekerjakan sebagai
Pagi harinya, langkah Laura menuju ruang makan dihadang Rendra, tatapan pria itu tak terbaca saat menyarankan,"Sebaiknya anda jangan ke ruang makan, Bu Laura. Kalau anda lapar, saya bisa mengambilkan makanan untuk anda."Laura melipat kedua tangannya di depan dadanya, "Apa ada alasan untuk ini?" tanyanya dengan ketus.Rendra baru akan menjawab ketika terdengar kikikan nyaring seorang wanita, disusul dengan gelak tawa Erlan. Laura paham betul dengan apa yang tengah terjadi di ruang makan keluarganya itu, ia pun tersenyum sinis karenanya,"Hanya karena itu?"Tidak mendapatkan respon dari Rendra, Laura mendorong pria itu ke samping dan melewatinya begitu saja. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti saat Rendra menahan lengannya,"Jangan buat keributan, Bu Laura. Jangan membuat Tuan Erlan murka lagi," cegahnya, dan Laura langsung menghentak lepas tangannya sebelum mendaratkan tamparan kerasnya di pipi Rendra,"Berani kamu menyentuh saya!" geramnya, Rendra sedikit membungkuk saat mengucapk
"Aku tidak mau memperlihatkan lekuk tubuhku pada bodyguard sialan aku itu! Tidak bisakah aku menikmati waktuku sendiri tanpa keberadaanya?" elak Laura sambil menatap galak Rendra."Rendra, kau menjauhlah saat Laura ingin berenang! Dan pastikan, tidak ada satupun orang yang memasuki area ini!" perintah Erlan pada Rendra.Setelah mengangguk mengerti, Erlan pun meninggalkan mereka.Namun ternyata hal itu menjadi boomerang untuk Laura. Karena Erlan memiliki rencana lain untuknya di kolam renang itu."Tanggalkan pakaianmu sekarang!"Apakah Erlan akan mengajaknya bercinta di sana? Di kolam renang? Tidak mungkin kan?Jangankan di tempat dimana orang lain dapat melihat mereka, di kamar yang lebih private pun Laura tidak akan mau melayani hasrat Erlan lagi.“Jangan gila kamu!” sungut Laura sebelum berenang menuju handrailing pool. Lebih baik ia menyudahi renangnya, dan bergegas menjauh dari suaminya itu.Tapi baru saja kaki Laura menginjak tangga ketiga, Erlan sudah menariknya naik dengan kasa