“Nona, Caraline,” panggil beberapa maid seraya berlari menuju beranda rumah. Wajah mereka meraut kekhawatiran yang begitu nyata.
“Diam!” bentak Caraline dengan telapak tangan tertuju ke belakang. Pandangannya belum berubah sejak beberapa detik yang lalu. Deretan pepohonan masih menjadi objek tatapannya saat ini.
Para asisten rumah tangga itu sontak berhenti ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal dari Caraline.
“Berbalik!” perintah Caraline tanpa menoleh pada para maid itu. Ia berusaha bangkit meski bokongnya masih terasa sakit.
Kumpulan wanita berseragam hitam dan putih itu segera menurut meski menampilkan raut bingung.
“Berbarislah dengan rapi!” pinta Caraline kemudian.
Grace yang berada di antara kumpulan maid itu dengan cepat mengatur barisan.
“Sekarang, tutup pintu ini dan menjauh dariku!” tegas Caraline.
Grace segera memerint
Caraline turun dari pijakan kursi roda dengan agak terburu-buru, lalu memosikan diri setengah memunggungi kedua sepupu menyebalkannya. Wajahnya tertekuk jengkel karena kesenangannya sore ini hancur saat melihat wajah jelek mereka. “Aku sama sekali tidak pernah mengundang kalian ke tempat ini,” ujar Caraline berusaha tenang. “Bukankah aku sudah memberitahumu kabar tentang kedatangku dan Wilson?” balas Catherine dengan senyum tipis. Ia melirik Deric sekilas, kemudian mengamati penampilannya. “Kau tahu, aku sungguh tak sabar menanti kehadiran hari ini.” “Harusnya kau menyambut kedatangan kami, Caraline,” timpal Wilson dengan kedua tangan tenggelam di saku celana, kemudian menoleh pada Deric dengan tatapan meremehkan. Catherine mendekat ke arah Caraline, menyamakan posisi. “Sejujurnya rumah ini terlalu bagus untuk orang sepertimu,” ujarnya sembari menoleh. Caraline tersenyum tipis ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Catherine. “Aku tahu
Caraline mendengkus sebal ketika melihat Catherine dan Wilson berjalan di belakangnya. Dua sepupu menyebalkannya itu tanpa tahu malu memasuki rumah ini tanpa seizinnya. Benar-benar menjengkelkan, terlebih karena mereka mengganggu waktunya dengan Deric.“Ah, ini rumah yang cukup bagus untuk dimiliki orang sepertimu,” kata Catherine sembari memindai keadaan sekeliling. Ia melirik Caraline yang kini tengah berada di undakan tangga. Sesuai dugaan, sepupu sombongnya itu menghentikan langkah, lalu berbalik ke arahnya.“Aku sudah menduga jika kau akan terkejut melihat rumah ini, Catherine,” sahut Caraline dengan tangan yang sudah terlipat di depan dada. Senyum tipis dengan cepat mengembang dari bibir. Wanita itu kemudian menuruni tangga dengan gerakan anggun. “Kau tahu, untuk ukuran orang yang dibesarkan di lingkungan mewah, kau punya respons yang buruk. Tingkahmu seperti orang desa yang baru saja menginjak kota.”“Sayang sekal
Caraline mengamati penampilan selama beberapa saat di depan cermin. Tubuh rampingnya dibalut gaun selutut berwarna biru tua dengan sepatu berwarna senada. Wajahnya dipoles dengan riasan sederhana, tetapi mampu memancarkan kecantikannya lebih dari biasanya.Caraline mengembus napas panjang, berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan. Meski wanita itu tampak begitu sempurna, tetapi ia merasa masih ada hal yang membuatnya merasa kurang. Setelah berpikir, Caraline beranjak menuju ruangan koleksi, lalu kembali ke depan cermin.“Aku akan mengejutkan Deric dengan memakai anting pemberiannya,” ujar Caraline dengan senyum tipis. Wanita itu meraut wajah jengkel ketika memasangkan anting-anting itu ke telinga. Sungguh kebetulan perhiasan itu memiliki warna yang senada dengan busananya saat ini. “Deric harus berterima kasih padaku karena perhiasan murahnya kupakai di momen ini.”Caraline mundur beberapa langkah, tersenyum ketika melihat penampilannya saat
Wilson berdecak kesal saat tahu jika Deric berhasil menangkap gelas dengan sempurna. Giginya bergemelatuk hingga kedua tangannya terkepal kuat di atas paha. Jelas saja ia tak terima dengan perlakuan Caraline yang berbuat kurang ajar padanya. “Ajari wanita di sampingmu sopan santun jika kau tak ingin melihat dia celaka,” ujarnya sembari menatap Deric dan Caraline bergantian.“Itu juga berlaku untukmu, Wilson.” Caraline duduk dengan setengah menjatuhkan tubuh, meraut wajah jengkel.“Sejujurnya, aku terkesan dengan kesigapanmu, Deric,” ujar Catherine dengan senyum tipis. Tangannya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga dengan tatapan yang terus tertuju pada Deric.“Aku cukup percaya diri dengan tanganku, Nona,” ujar Deric.Wilson berdecak, tertawa meremehkan. “Kau benar-benar pria menyedihkan.”“Tapi tidak semenyedihkan pria yang berani melukai wanita dengan tangan lemahnya,&
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Deric saat melihat Caraline terdiam, “wajahmu memerah.”“Hah?” Caraline segera menyentuh pipi yang terasa sangat panas. Pandangannya dengan cepat teralih ke sisi lain. “I-ini ... pasti karena cuaca dingin.”“Apa kau tidak keberatan jika aku meminjamimu jasku?” tawar Deric seraya mendekat.“Berhenti!” Caraline tiba-tiba berdiri, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku ... tidak butuh hal itu, terlebih dari pria sepertimu.”“Baiklah,” sahut Deric yang kemudian kembali fokus pada bola basket.Melihat hal itu, Caraline sontak mendengkus sebal. Matanya menajam seiring dengan kakinya yang mengentak rumput dengan agak kuat. Wanita itu menarik-narik ujung gaun, mencengkeramnya dengan kuat. “Deric benar-benar tidak peka. Aku ... tidak akan mendukungnya,” gumamnya.“Apa kau baru saja mengatakan s
“Astaga,” gumam Caraline dan Catherine bersamaan. Keduanya sontak memelotot, melepas pelukan. Pandangan dua wanita itu bertemu di satu titik, dan tak lama setelahnya saling merenggangkan jarak. Kecanggungan dengan cepat meruang.“Catherine!” pekik Wilson dengan pandangan tak percaya. Kedua tangannya kontan berkacak pinggang. Rahangnya mengetat hingga giginya bergemelatuk. Apa yang sebenarnya terjadi pada sepupunya? Dibanding mendukungnya, Catherine justru bersorak bahagia saat Deric memenangkan pertandingan.Catherine terpejam sesaat, mengalihkan pandangan dari Wilson. Ia sendiri tak tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Tubuhnya seolah bergerak sendiri.Di sisi lain, Caraline refleks memutar bola malas, melirik Catherine dengan pandangan jengkel. “Kenapa Catherine justru ikut senang ketika Deric menang? Apa mungkin dia ....”“Catherine!” Wilson menarik tangan sepupunya dengan kuat, setengah menyeretnya. “
Kawanan burung tampak berputar-putar di langit pagi yang cerah. Caraline baru saja terbangun dari tidurnya. Wanita itu menggeliat, meneguk minuman, kemudian berjalan ke arah balkon kamar. Ia kontan berjongkok ketika melihat Deric baru saja keluar dari kediamannya. Selepas peristiwa tadi malam, ia mengutuk pria itu hingga tak sadar terlelap di kasur.“Deric berani sekali menolak tawaranku.” Caraline berdecak kesal. Tatapannya mengikuti ke mana Deric melaju. Sepertinya pria itu akan pergi ke tempat biasa dirinya berolahraga.Caraline kembali ke kamar dengan cara berjalan bebek. Begitu sampai di dalam, dengan cepat ia menutup pintu balkon, mencuci wajah, lalu berganti pakaian dengan busana olahraga. Setelahnya ia keluar dari kamar, menuruni tangga dengan agak terburu-buru. Ia harus menemui Deric untuk menanyakan alasan di balik tindakannya selama beberapa hari ke belakang yang terus-menerus bersembunyi di kediamannya.“Kau tampak terburu-buru, Car
“Harus kuakui jika kau punya selera yang bagus dalam olahraga,” kekeh Wilson dengan kedua tangan tenggelam di saku celana.“Bagaimana jika kita membawa seorang penumpang?” saran Deric, “kita juga bisa meminta para maid dan pengawal di rumah ini untuk menjadi penontoton. Hadiah pemenangnya masih sama seperti pertandingan kemarin. Bagaimana?”“Aku setuju. Jadi kapan kita mulai?”“Baiklah, aku akan mempersiapkan semua persiapannya. Kita akan bertemu satu jam kemudian di tempat itu,” tunjuk Deric pada tempat di mana dua sampan berada.“Lakukan sesukamu, tapi pastikan kau tidak berbuat curang karena aku tidak akan segan menghajarkanmu sampai kau merasa mati adalah pilihan yang lebih baik,” ancam Wilson.Wilson kemudian menarik tangan Catherine dengan sedikit paksaan, dan tak lama kemudian keduanya meninggalkan lokasi.Caraline melirik Deric sekilas, maju beberapa lan