“Dia adikku,” kata Caraline dengan nada datar, tetapi menusuk.
James sontak menegang. Rahangnya seakan lapuk hingga mulutnya menganga lebar bak terowongan. Sementara itu, Jeremy dan Jonathan dengan kompak meneguk saliva. Wajah ketiga bersaudara itu mendadak pucat pasi seperti susu basi.
James mengelus rambut beberapa kali, menunduk dalam, menjadikan sepatu sebagai objek pelarian. Ia tak berani menoleh sedikit pun pada kedua kakaknya, terlebih pada Caraline. Ia sudah tahu bagaimana nasibnya dipertaruhkan setelah ini. Jeremy dan Jonathan sudah dipastikan akan menghajarnya kembali.
Sementara itu, mendengar penuturan James, Caraline hanya bisa meremas ujung gaun kuat-kuat. Matanya memelotot tajam dengan genangan air mata yang tertahan. Udara seakan menipis hingga dirinya kesulitan untuk bernapas. Ia sama sekali tak berani membayangkan bagaimana kehidupan Carla di sekolah.
Caraline menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan pelan, lalu menoleh
Caraline kembali ke ruangan ketika dirasa siap. Bagaimanapun juga wanita itu tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Apa pun hasil dari pembicaraan ini, ia harus siap untuk menerima semua konsekuensinya.Caraline berusaha mencari posisi duduk ternyaman. Wanita itu menyugar rambut beberapa kali untuk mengesankan jika dirinya baik-baik saja. Meski begitu, atmosfer ruangan ini kembali menyudutkannya. Ia benar-benar merasa tak nyaman. Ayolah Caraline, batinnya.“Ceritakan padaku soal kecelakaan yang menimpa Deric,” kata Caraline dengan satu tarikan napas. Jemarinya sampai menarik gaun bawah dengan agak kuat.Jeremy dan Jonathan sontak saja tercekat. Keduanya saling bertukar pandangan cukup lama, diam untuk memastikan pertanyaan yang baru saja terlontar. Terkhusus James, ia hanya bisa menatap kedua kakaknya yang dilanda keterkejutan. Ia yang akan mengambil kue, kembali menarik tangannya.“Ke-kecelakaan?” tanya Jeremy m
Caraline mengembus napas panjang ketika baru saja keluar dari ruangan. “Awasi tiga pria itu selama berada di rumahku,” ujarnya pada para penjaga.“Baik, Nona,” balas tiga pria berseragam hitam dengan serempak.Caraline melangkah menuju kamar. Ketika memasuki ruangan, ia menemukan Grace dan beberapa maid tengah mengatur boks-boks kardus. Kamar ini tampak penuh dengan barang-barang Deric. “Keluar dari ruangan ini sekarang juga,” pintanya sembari menunjuk pintu.“Baik,” jawab para maid kompak.Setelah para asisten rumah tangga itu meninggalkan kamar, Caraline segera mengunci pintu, duduk di sofa yang berhadapan tak jauh dari tumpukan barang milik Deric. Wanita itu mengembus napas panjang, memijat dahi perlahan. Ketiga saudara Deric nyatanya tak serta-merta menjawab dahaga penasarannya. Masih ada rahasia tersembunyi tentang sosok Deric.Caraline beranjak dari sofa, mulai mengecek boks. J
Begitu keluar dari ruangan, Jeremy segera berjalan menuju tangga dengan langkah terburu-buru. Melihat sang kakak yang seperti tengah dikejar hantu menyeramkan, Jonathan segera mengikuti dari belakang.“Ada apa, Kak?” tanya Jonathan ketika keduanya berjalan sejajar di anak tangga, “apa ada sesuatu yang mengganggumu?”“Ikuti aku dan jangan banyak bicara,” balas Jeremy tanpa menoleh sedikit pun.Jonathan mengangguk singkat, lantas menoleh pada James yang tengah memandangi bangunan rumah ini dengan sorot penuh kekaguman. Sejujurnya, ia masih sebal dengan tingkah adiknya. James tampak tak acuh dengan masalah yang baru saja ditimbulkannya.“Terima kasih,” ujar Jeremy ketika seorang maid memberikan segelas minuman.Jonathan langsung tersadar jika dirinya sudah menapak di lantai bawah. Ia segera mengambil segelas minuman, kemudian menyusul Jeremy yang sudah lebih dahulu berjalan ke arah pintu keluar.
Jeremy memutuskan duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Satu tangannya memijat kening, sedang tatapannya tertuju pada kristal bening di mulut danau. Pria itu lebih memilih menyingkir dibanding harus larut dalam obrolan Jonathan dan James yang sama sekali tidak berguna.Jeremy tenggelam dalam lamunan. Jika dugaan soal Caraline yang merupakan pelaku penabrakan Deric itu benar, maka teka-teki yang menjejali pikirannya sedikit banyaknya akan menemukan jalan terang. Sejujurnya, dirinya dan kedua adiknya tak terlalu peduli dengan kecelakaan yang menimpa Deric, sehingga tak menaruh perhatian mendalam pada pelaku tabrak lari tersebut. Toh, cacat atau tidaknya Deric, hal itu tidak akan mengubah penilaian mereka tentang sosoknya.Akan tetapi, setelah Caraline bertanya mengenai hal itu dan merasa jika masalah itu penting, Jeremy justru menjadi penasaran akan kebenaran di balik tragedi itu.Apa Caraline sengaja mencari Deric selama ini untuk mempertanggun
“Apa yang sebenarnya kau lakukan, James?” tanya Jeremy ketika melihat adik bungsunya baru bergabung di halaman depan.“Kau benar-benar menguji kesabaranku hari ini,” timpal Jonathan dengan raut kesal, “apa kau merasa berat untuk pergi dari rumah mewah ini?”James sama sekali tak menggubris ucapan kedua kakaknya. Pria itu memilih masuk ke kendaraan lebih dahulu, kemudian mendaratkan punggung ke sandaran kursi dengan buru-buru. Ia mengusap rambut beberapa kali, lantas mengalihkan pandangan saat Jeremy dan Jonathan mengamati aksinya dengan wajah datar.Mobil mulai keluar dari gerbang rumah, lantas melumat jalanan dengan laju sedang. Kediaman Caraline perlahan mulai mengecil. James tampak memandang sisi jalan, mengetuk-ngetuk satu jari di kaca jendela. Jeremy mengamati tingkah adik bungsunya itu dari kaca depan, sedang Jonathan hanya menggeleng pelan.“Sepertinya wanita itu memang tidak memiliki mobil langka keluaran
Caraline mengumpulkan semua maid dan pengawal di ruang utama. Wanita itu berdiri dengan tangan terlipat di dada dan wajah datar yang biasa dirinya tampilkan. “Aku ingin pertemuanku dengan ketiga pria tadi tidak sampai bocor, terutama pada Deric. Kalian mengerti?”Para pengawal dan asisten rumah tangga yang berbaris rapi di depan Caraline sontak mengangguk.“Sekarang, kalian boleh bubar,” lanjut Caraline yang tak lama kemudian berbalik menuju tangga. Saat menaiki undakan tangga pertama, wanita itu menoleh ke belakang dan menemukan anak buahnya yang mulai menjauh dari tempat pertemuan barusan. Di saat kerumunan itu sudah menghilang dalam pandangan, ia melihat Helen baru saja masuk ke dalam kediaman.“Nona,” panggil Helen seraya berjalan maju. Pandangannya dengan segera memindai keadaan sekeliling. Wanita itu melihat kerumunan maid dan pengawal yang baru saja membubarkan diri dari ruangan ini. Ia menyadari keber
“Nona, Caraline,” panggil beberapa maid seraya berlari menuju beranda rumah. Wajah mereka meraut kekhawatiran yang begitu nyata.“Diam!” bentak Caraline dengan telapak tangan tertuju ke belakang. Pandangannya belum berubah sejak beberapa detik yang lalu. Deretan pepohonan masih menjadi objek tatapannya saat ini.Para asisten rumah tangga itu sontak berhenti ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal dari Caraline.“Berbalik!” perintah Caraline tanpa menoleh pada para maid itu. Ia berusaha bangkit meski bokongnya masih terasa sakit.Kumpulan wanita berseragam hitam dan putih itu segera menurut meski menampilkan raut bingung.“Berbarislah dengan rapi!” pinta Caraline kemudian.Grace yang berada di antara kumpulan maid itu dengan cepat mengatur barisan.“Sekarang, tutup pintu ini dan menjauh dariku!” tegas Caraline.Grace segera memerint
Caraline turun dari pijakan kursi roda dengan agak terburu-buru, lalu memosikan diri setengah memunggungi kedua sepupu menyebalkannya. Wajahnya tertekuk jengkel karena kesenangannya sore ini hancur saat melihat wajah jelek mereka. “Aku sama sekali tidak pernah mengundang kalian ke tempat ini,” ujar Caraline berusaha tenang. “Bukankah aku sudah memberitahumu kabar tentang kedatangku dan Wilson?” balas Catherine dengan senyum tipis. Ia melirik Deric sekilas, kemudian mengamati penampilannya. “Kau tahu, aku sungguh tak sabar menanti kehadiran hari ini.” “Harusnya kau menyambut kedatangan kami, Caraline,” timpal Wilson dengan kedua tangan tenggelam di saku celana, kemudian menoleh pada Deric dengan tatapan meremehkan. Catherine mendekat ke arah Caraline, menyamakan posisi. “Sejujurnya rumah ini terlalu bagus untuk orang sepertimu,” ujarnya sembari menoleh. Caraline tersenyum tipis ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Catherine. “Aku tahu