Caraline tidur nyenyak tadi malam. Ia juga terbangun dalam keadaan bugar. Senyumnya mengembang semenjak pagi hingga kini ia berada di meja makan untuk sarapan. Wanita itu makan dengan sangat lahap.
Caraline meneguk minuman hingga tandas, lalu menoleh pada sebotol jus yang berada di atas meja. Setelah mendapat dua botol jus yang dikirimkan Deric, wanita itu sama sekali tidak langsung meminumnya, melainkan menyimpan minuman itu ke lemari pendingin untuk dinikmati nanti.
Caraline menuangkan jus itu ke dalam gelas, lalu mengangkat benda itu seraya mengamatinya. “Aku ... hanya sekadar menghargai pemberian Deric. Itu saja. Ini ... bukan berarti aku menyukai minuman ini,” gumamnya.
Caraline meneguk jus itu dengan perlahan, menikmati kelezatan yang ditawarkan. Rasanya masih sama seperti kemarin, dan ia benar-benar menyukainya. Wanita itu menuangkan sedikit demi sedikit jus dari botol ke gelas, lalu meminumnya dengan perlahan seakan tengah menikmati minuman m
Setelah kepergian Helen, Caraline kembali membuka boks pemberian Diego, lalu mengeluarkan empat botol minuman dari dalam sana. Wanita itu kemudian bergerak ke tempat penghangat minuman, lalu menyimpan satu botol susu cokelat pemberian Deric di samping benda-benda kiriman Diego.Caraline mengembus napas panjang ketika tubuhnya kembali mendarat di sofa. Wanita itu memindai satu per satu botol di atas meja. Tak hanya sekali, tetapi beberapa kali. Hanya dalam satu kali lihat, semua orang bahkan anak kecil sekalipun bisa menilai jika benda-benda lonjong pemberian Diego adalah sebuah minuman berharga tinggi. Hal ini bisa dilihat dari merek minuman yang terpampang di leher botol, juga tampilan yang menarik. Hal itu tampak kontras dengan milik Deric yang tampak biasa.“Aku tidak tahu jika memberikan minuman pada seorang wanita sedang tren akhir-akhir ini,” ujar Caraline seraya mulai menyingkirkan botol pemberian Deric. Ia tersenyum puas ketika melakukannya.
Sudah beberapa hari ini Caraline tidak melihat Deric. Setiap kali ia pergi ke kantor dan kembali ke rumah, ia tidak mendapati pria itu berada di pinggiran danau. Mulanya, Caraline menyambut baik kejadian itu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ia justru curiga dan sedikit merasa rindu untuk bertatap wajah secara langsung.Seperti saat ini, Caraline lagi-lagi tidak mendapati Deric di pinggiran danau ketika pulang dari kantor. Ia menunggu selama beberapa menit di halaman belakang, menelisik keadaan sekitar. Akan tetapi, pria itu nyatanya tak kunjung terlihat.“Ti-tidak ada salahnya aku ... sedikit berjalan-jalan,” ujar Caraline seraya merapikan sedikit penampilan. Ia berjalan menuju tempat biasa Deric berolahraga dengan langkah santai seraya memindai keadaan sekeliling. Akan tetapi, pria itu juga tidak berada di sana.“Apa yang akan sebenarnya pria itu sedang lakukan?” Caraline mendengkus kesal saat tubuhnya mendarat di kursi, lantas m
Pagi buta, Jeremy, Jonathan dan James sudah bersiap untuk berangkat ke Heaventown. Tiga kakak-beradik itu baru saja selesai memasukkan semua barang Deric ke dalam mobil. Tak lama setelahnya, pria-pria itu mendaratkan tubuh ke kursi kendaraan.“Apa semua barang sudah kau masukkan dengan benar, James?” tanya Jeremy yang berada di kursi kemudi.James hanya berdeham sebagai pengganti jawaban. Sejujurnya, ia malas berbicara pada kedua kakaknya. Setelah Jeremy menemukan foto-foto yang berisi dirinya tengah berpesta di rumah, mereka benar-benar kalap dan langsung memukulinya tanpa ampun. Tak terhitung pula umpatan dan cacian yang ia terima. Meski sudah terjadi beberapa hari lalu, tetapi luka di sudut mata dan bibir masih terasa. Begitupun dengan hatinya.Jeremy mengembus napas panjang, lalu mulai melajukan kendaraan. Jonathan sendiri hanya menatap dingin James. Keduanya sama sekali tak berbicara setelah kejadian itu. Keduanya marah karena perilaku masing-ma
“Maaf jika penampilanku membuat kalian berdua kecewa,” kata Deric. Caraline mengembus napas panjang beberapa kali, menoleh pada Helen sekilas. Asistennya itu nyatanya tengah menunduk dalam, di mana jemarinya saling meremas satu sama lain. Wajahnya yang memerah mengindikasikan jika dirinya tengah gemetar. Caraline menggeser tubuh dari Helen beberapa langkah, kemudian berbalik seraya mengibas rambut. Kedua tangannya refleks terlipat di depan dada. “Penampilanmu masih buruk seperti biasanya,” ucapnya pada Deric. “Benarkah?” Deric mengamati penampilannya beberapa kali. “Jadi aku harus berpenampilan seperti apa agar terlihat baik di matamu?” “Ber-berhenti bicara omong kosong. Ke-keburukan adalah sisi lain darimu.” Caraline menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Pakaian mahal tidak lantas akan mengubah seseorang.” “Helen,” panggil Deric sembari mendekat. “I-ya.” Helen masih membela
Setengah jam kemudian, Deric dan Helen tiba di rumah sakit Heavantown. Sebelum turun dari mobil, Helen sengaja memakai selendang dan kacamata hitam untuk menyamarkan penampilan. Ini sebagai antisipasi jika ada beberapa pengunjung nakal yang memotret dirinya di rumah sakit ini secara diam-diam. Ia tak ingin kedatangannya ke tempat ini justru menghadirkan asumsi buruk di masyarakat, terlebih datang dengan seorang pria.Rumah sakit ini merupakan rumah sakit terbaik di Kota Heaventown. Banyak kalangan pejabat, selebritis, hingga pengusaha terkenal menggunakan jasa lembaga kesehatan itu. Oleh karena itu, tak heran jika beberapa awak media cukup sering lalu lalang di tempat ini. Untuk menghindari hal yang tidak diiinginkan, Helen sengaja memilih menggunakan jalur VVIP untuk menuju ruangan Dokter Tommy.“Jujur saja, aku menyukai penampilan barumu, Helen,” kata Deric ketika dirinya dan Helen baru saja memasuki elevator.Helen sedikit menggeser jarak dengan D
“Ceritakan semua hal tentang Deric padaku,” kata Caraline.Jeremy, Jonathan dan James sontak tercenung ketika mendengar ucapan Caraline. Ketiga saudara itu menoleh satu sama lain, diam beberapa saat.Melihat respons itu, Caraline hanya memutar bola mata. “Aku mengundang kalian bukan untuk melihat tingkah kalian yang menyebalkan. Jika kalian ingin aku menginvestasikan uangku di perusahaan kalian, jawab pertanyaan dengan jujur dan jangan membuang waktuku lebih lama.”“Ba-baik, Nona,” sahut Jeremy, “Anda ingin kami bercerita dari mana?”“Terserah,” ketus Caraline seraya mengalihkan pandangan ke samping. “Kalian boleh mengatakan apa pun selama itu perlu kudengar. Aku tidak akan memotong ucapan kalian.”Jeremy masih menyuguhkan senyum penuh keterpaksaan. Ia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran wanita di depannya. Kenapa demi hal yang berhubungan dengan Deric, Caraline mau memba
Helen menghabiskan waktu dengan membaca beberapa majalah kesehatan di ruang tunggu. Setelah puas dijejali informasi, wanita itu memilih sedikit bersantai. Sudah hampir setengah jam Deric diperiksa Dokter Tommy, tetapi belum ada tanda-tanda jika pria itu akan kembali.Helen memutuskan untuk berjalan-jalana mengelilingi sekitar area rumah sakit. Wanita itu bisa bergerak lebih leluasa karena ruangan VVIP ini sepi dari kerumunan orang. Pihak media akan kesulitan memasuki kawasan ini jika tidak memiliki kartu akses. Puas mengitari sekeliling, Helen kembali duduk di ruang tunggu.Helen menoleh ketika ponselnya bergetar. Ia mendapat sebuah pesan dari tim yang ditugaskannya untuk mencari informasi terkait tugas khusus yang diberikan Caraline padanya. Sebelah alisnya segera tertekuk ketika melihat judul file yang dikirimkan anak buahnya.“Daftar pasien kecelakaan enam tahun yang lalu di semua rumah sakit di Kota Springtown,” ujar Helen. Helen sa
“Dia adikku,” kata Caraline dengan nada datar, tetapi menusuk.James sontak menegang. Rahangnya seakan lapuk hingga mulutnya menganga lebar bak terowongan. Sementara itu, Jeremy dan Jonathan dengan kompak meneguk saliva. Wajah ketiga bersaudara itu mendadak pucat pasi seperti susu basi.James mengelus rambut beberapa kali, menunduk dalam, menjadikan sepatu sebagai objek pelarian. Ia tak berani menoleh sedikit pun pada kedua kakaknya, terlebih pada Caraline. Ia sudah tahu bagaimana nasibnya dipertaruhkan setelah ini. Jeremy dan Jonathan sudah dipastikan akan menghajarnya kembali.Sementara itu, mendengar penuturan James, Caraline hanya bisa meremas ujung gaun kuat-kuat. Matanya memelotot tajam dengan genangan air mata yang tertahan. Udara seakan menipis hingga dirinya kesulitan untuk bernapas. Ia sama sekali tak berani membayangkan bagaimana kehidupan Carla di sekolah.Caraline menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan pelan, lalu menoleh