Burung-burung tampak bercengkerama sembari mengepakkan sayap di atas langit. Dedaunan bergoyang beberapa kali karena sapaan angin, tak jarang yang harus terbang mengikuti kawanan burung. Cahaya mentari masih terasa hangat ketika beberapa kupu-kupu berlenggak-lenggok di antara bunga yang bermekaran.
Di dalam kamar, Caraline masih tertidur. Dengkurannya terdengar halus, efek dari perjalanan sekaligus pencarian yang panjang kemarin. Wanita itu masih mengenakan pakaiannya semalam. Sepatu pun masih mengitari kaki.
Tubuh Caraline menggeliat di atas ranjang. Begitu sepenuhnya sadar, matanya sontak terbuka dan tak lama kemudian langsung memosisikan diri untuk duduk. Pandangannya seketika memindai sekeliling. Cahaya mentari terlihat menyusup melalui celah tirai yang sedikit terbuka.
“Apa yang ... astaga!” pekik Caraline tiba-tiba.
“Nona, apa Anda baik-baik saja?” tanya seorang maid di luar kamar Caraline. Ada tiga orang asist
“Kau akan berangkat?” tanya Deric yang tiba-tiba berada di belakang Caraline.Langkah Caraline tiba-tiba terhenti. Wanita itu segera terpejam untuk mengontrol deru napas yang mendadak berubah cepat. Lewat ekor mata, ia bisa melihat jika Deric tengah memakai baju. Sialnya, ia menyaksikan peristiwa itu hingga dada bidangnya tertutup kasu. “A-aku tidak akan menjawab pertanyaan bodoh.”“Terima kasih untuk jawabannya.” Deric terkekeh.“Di-diam!” bentak Caraline, “dan ja-jangan membuatku ketakutan!”“Apa senyum dan suaraku begitu menyeramkan?” Deric tersenyum walau ia tahu kalau Caraline tak akan melihat hal itu, pasalnya wanita itu tengah memunggunginya. “Kau sering mengatakan kalau aku membuatmu ketakutan. Selain dari senyum dan suara tawaku, sisi bagian mana lagi dari diriku yang membuatmu takut?”“Se-segala hal yang ada pada dirimu adalah hal menyeramkan bagiku,
“Hai,” sapa Diego dengan seuntai senyum.Caraline buru-buru menutupi buku diari dan album foto dengan bantal kursi. Setelahnya, ia mengibas rambut beberapa kali untuk menghilangkan keterkejutan.“Kau seperti baru saja melihat hantu.” Diego terkekeh.“Bisakah kau memberiku waktu semenit? Ada hal yang harus kusiapkan lebih dahulu,” ujar Caraline.“Baiklah.” Diego menggangguk, kemudian meninggalkan ruangan.Ketika pintu sudah tertutup, Caraline dengan cepat mengambil buku-buku tadi, lantas memasukkannya ke tas yang ada di meja. Ia mengembus napas panjang, lalu berkata, “Kau sudah boleh masuk.”“Apa yang terjadi?” Diego berjalan ke dalam ruangan, kemudian mengambil tempat di sofa. “Apa ada hal yang mengganggumu?”“Tentu saja ada.” Caraline ikut duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan Diego.“Apa?” Diego mencondongkan tubuh ke
Caraline memutuskan pulang lebih awal. Syukurlah Helen mampu mengecoh para awak media sehingga ia keluar dari kantor tanpa hambatan. Diego sudah pulang setelah makan siang berakhir, dan untungnya pria itu tak mengatakan hal aneh apa pun pada media.Caraline mengembus napas panjang ketika mobil menepi di halaman rumah. Ia memijat kepala perlahan, kemudian berjalan menuju kediaman. Tanpa sengaja, matanya justru mendapati Deric tengah melaju di pinggiran danau ke arah tempatnya biasa berolahraga. Hal yang kian menarik perhatian Caraline adalah, Deric tengah menghubungi seseorang.“Itu bukan urusanku. Lagi pula untuk apa aku tahu urusannya?” Caraline memutar bola mata, tetapi tubuhnya masih berada di tempat hingga Deric menghilang dari pandangan.“Baiklah, ini karena aku penasaran dan ingin memberitahu dia soal kegiatanku besok.” Caraline memutuskan mengikuti pergerakan Deric. Ia berjalan dengan langkah lebar. Akan tetapi, ia tak menemukan pr
Astaga, kenapa aku sebodoh itu? batin Caraline.Caraline seketika membeku laksana baru saja disiram air es. Matanya memelotot dengan dengan mulut terbuka. Wanita itu merasa ingin mengubur diri sendiri atau melemparkan tubuh ke danau saking malunya. Bisa-bisanya ia bertindak bodoh, terlebih di depan Deric. Tuhan, kenapa ia yang terkenal jenius justru bertingkah layaknya orang idiot?Caraline mengembus napas panjang ketika keterkejutan berhasil menguap. Pandangannya seketika menelisik sekeliling. Ketika kembali menyadari bila dirinya sudah mengelililingi hampir sekeliling danau dengan cara berlari, wanita itu memijat dahi beberapa kali.Sebenarnya, Caraline ingin menjerit hingga tenggorakannya serak, atau justru mengamuk sampai pohon di sekelilingnya rontok. Akan tetapi, ia sadar jika tak memiliki kekuatan untuk melakukan itu semua. Mengenyahkan sosok Deric saja ia mulai merasa kewalahan. Apa yang harus ia lakukan sekarang?“Apa pons
“Kau sudah makan malam?” tanya Deric dengan seuntai senyum. Pria itu memutar sedikit kursi roda untuk berhadapan langsung dengan Caraline.Kedua tangan Caraline perlahan turun. Sunggingan senyum Deric membuat sekujur tubuhnya yang kembali menegang. Akan tetapi, ketika menyadari hal itu adalah kekeliruan, kedua tangannya kembali ke tempat semula. “Jangan mengalihkan pembicaraan!”“Aku pikir tak elok jika kita berbicara dengan keadaan seperti ini. Bagaimana jika kau turun agar kita bisa mengobrol?”“Jangan pernah memerintahku! Kau pikir apa posisimu di rumah ini? Berhenti berkhayal!”“Baiklah, kalau begitu aku yang akan datang ke kamarmu,” sahut Deric, “bagaimana?”“Aku akan membunuhmu jika kau selangkah saja mendekat ke kamarku!” ancam Caraline.“Jika aku sudah mati, dengan senang hati aku akan menggentayangimu setiap waktu.” Deric tertawa.
Caraline bangun saat suara alarm terdengar. Wanita itu bergegas turun dari ranjang, kemudian menoleh pada jam dinding. Pukul tujuh pagi. Cahaya dari luar kamar tampak terperangkap di celah tirai.Setengah jam kemudian, Caraline sudah berada di meja makan. Wanita itu sarapan dalam keadaan tenang. Ia melihat seorang maid berjalan ke arah dapur, kemudian menghilang ditelan dinding. “Diamlah, Caraline. Jangan bertindak bodoh dengan mengikutinya,” ujarnya seraya mencubit paha beberapa kali.Caraline fokus pada sajian yang terhidang walau beberapa kali ekor matanya tertuju ke arah halaman. Ketika selesai sarapan, wanita itu segera menuju pekarangan belakang. Ia berpapasan dengan Helen yang baru saja datang dari depan.“Kau datang pagi sekali, Helen,” ujar Caraline dengan wajah datar.“Kebetulan sekali aku tidur nyenyak semalam, Nona,” jawab Helen.Kedua wanita itu berjalan ke arah pinggiran danau untuk menungg
Caraline bergegas menuju elevator setelah mengamati penampilan Diego secara sekilas. Ia memijat kepala perlahan atas tindakan pria itu yang menurutnya tak penting. Pria berperawakan tinggi itu ikut memasuki lift dengan senyum terpatri di wajah. Keadaan ruangan sempit ini kini hanya diisi oleh mereka berdua.“Bagaimana pendapatmu jika kita berlibur di sekitar pantai?” tanya Diego, “aku punya tempat yang bagus untuk dikunjungi.”“Aku hanya takut jika selera dan penilaian kita berbeda,” jawab Caraline tanpa menoleh sedikit pun, “bagus menurutmu, bukan berarti bagus untukku, kan?”“Lalu tempat apa yang kau suka?” Diego menoleh ke arah Caraline.“Haruskah aku menjawab pertanyaanmu?” Caraline menyelipkan rambut ke belakang telinga, lalu melirik Diego. “Aku kira kau akan mengejutkanku.”“Baiklah.” Diego merapikan jas untuk sesaat. “Jangan salahkan aku jik
“Bisakah lain kali aku mengajak Deric jalan-jalan?” tanya Diego.“Sebaiknya kau menarik ucapanmu,” sahut Caraline, “Deric itu ... anjing yang ganas pada orang baru yang ditemuinya. Kau pasti akan mendapat kesulitan.”“Ayolah, Caraline,” bujuk Diego, “bukankah dia ... hanya seekor anjing? Kita hanya perlu membuatnya bertekuk lutut agar dia paham siapa yang berkuasa atas dirinya.”“Ya, dia seekor anjing.” Caraline mengulum senyum. Rasanya puas sekali ketika mengatakan hal tersebut. “Sudahlah, lupakan membahas hewan menggonggong yang menyebalkan itu.”Diego menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi, sepertinya kau menikmati obrolan tentang anjingmu. Aku bisa melihat kau tersenyum ketika mengatakannya.”“Benarkah?” Caraline menaikkan sebelah alis, kemudian menyelipkan rambut ke telinga. Ia memilih beberapa sajian yang terhidang di depan meja. &