Caraline tengah menyantap hidangan di meja makan seorang diri. Untuk sementara waktu, ia hanya fokus untuk menghabiskan kudapan. Garpu dan sendok saling beradu di atas piring. Akan tetapi, begitu melihat seorang maid berjalan menuju dapur, perhatiannya seketika teralih. Caraline dengan cepat bangkit, kemudian mengendap-endap ke luar rumah melalui jalan belakang.
Caraline bersembunyi di salah satu semak saat maid tadi kembali masuk ke rumah. Wanita itu mengintip ke arah tempat tinggal Deric. Pria itu tampak mengambil sarapan, kemudian meluncur dengan kursi roda ke arah pinggiran danau.
“Apa yang dilakukan pria cacat itu?” gumam Caraline sembari menyembulkan kepala dari semak-semak. “Apa dia akan membuang makanan itu?”
Caraline berdecak sebal. “Dia harus mengganti rugi jika sampai berani melakukannya.”
Caraline keluar dari persembunyian, lalu berjalan menuju arah danau. Pandangannya segera memindai sekel
Caraline tiba di kantor setengah jam kemudian. Wanita itu bergegas menuju elavator untuk sampai di ruangannya. Anehnya, ia merasa bila beberapa pegawai melirik ke arahnya. Tak hanya di lobi, bahkan beberapa penjaga keamanan pun demikian. Mereka seperti ingin berbicara sesuatu padanya, tetapi saat ia menatap balik, mereka dengan cepat justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Caraline memasuki elavator bersamaan dengan sebuah pertanyan. “Apa yang sebenarnya orang-orang itu lihat dariku?” Caraline mengembus napas panjang. Wanita itu terpejam sembari mengelus dada beberapa kali. Ia sudah memulai hari ini dengan cukup buruk karena kejadian tadi pagi. Bertemu dengan ular sialan, terperangkap di pelukan Deric dalam posisi nyaris berciuman, kemudian terjatuh hingga menyebabkan lututnya sakit ketika berjalan. Untuk itu, ia tak ingin bila hal serupa terulang di kantor. Caraline bergegas keluar elevator begitu pintu terbuka. Wanita bersetelan blazer krem dan rok katun
Setelah menyantap makan siang, Caraline segera bergegas turun ke lobi dengan Helen yang mengikuti dari belakang. Begitu berada di luar gedung, ia melihat sebuah mobil sudah terparkir. Perjalanannya siang ini hanya akan ditemani oleh seorang sopir. Sebenarnya, Caraline memiliki fasilitas jet pribadi yang bisa digunakan untuk memangkas waktu, hanya saja ia tak begitu suka berada di ketinggian.Caraline bergegas memasuki mobil. Wanita itu menyimpan tas berisi pakaian tadi di kursi samping yang kosong.“Hati-hati di jalan, Nona,” ujar Helen sembari menutup pintu kendaraan.“Helen, laporkan semua kegiatan hari ini padaku nanti,” pinta Caraline sembari memasang sabuk pengaman.“Baik, Nona.” Helen setengah membungkuk, lantas melambaikan tangan begitu kendaraan mulai meninggalkan gedung Mimiline Group. “Apa ... mungkin Nona Caraline bermaksud bertemu dengan Tuan Diego?” terkanya, “lalu bagaimana dengan Tuan De
“Nona Caraline,” ujar Jeremy yang kemudian menutup kembali pintu mobil. Keterkejutan masih belum sirna dari paras pria berusia 30 tahunan itu. “Apa yang—”“Berhenti bicara dan segera ikuti mobilku,” sela Caraline. Wanita itu bergegas memasuki mobil yang terparkir tak jauh dari kendaraan tiga pria ini. Ia tak ingin ada seseorang yang mengetahui bahwa dirinya tengah berbincang dengan ketiga pria itu, terlebih media.“Apa yang terjadi?” James menggaruk rambut.“Sepertinya ini ada kaitannya dengan Deric,” sahut Jonathan.“Cepat ikuti wanita itu,” pinta Jeremy. Ia bergegas menuju kursi kemudi, yang kemudian diikuti oleh kedua adiknya. “Aku yakin wanita itu memiliki hal penting yang ingin dibicarakan.”Mobil langsung berjalan, membuntuti kendaraan Caraline. “Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk menjual MiracleWatch itu?” tanya James den
“Aw!” pekik Caraline yang ikut terjatuh ke rerumputan. Ia bisa merasakan perih yang mulai menjalar di kaki.“Luka seperti itu tak akan membuatmu menyerah, kan?” Deric sedikit memajukan kursi roda, lalu menunduk untuk mengambil benda-benda yang berceceran dari kotak.“Jangan pernah sentuh barang-barangku!” Caraline menepis kasar tangan Deric. Wanita itu mengambil barang-barang yang berjatuhan, kemudian segera mengembalikan ke dalam kotak. Setelahnya, ia berusaha untuk berdiri. Sialnya, ia malah terjatuh kembali. Selain kaki, bokongnya ikut merasakan sakit saat ini.“Sepertinya kau melewati hari ini dengan cukup berat,” ujar Deric, “kau tidak datang ke kantor dengan ranting pohon dan dedaunan di rambut, kan?”“Lupakan hal itu!” ketus Caraline sembari memijat perlahan kakinya. “Itu semua gara-gara ular sialan itu! Lain kali aku akan meminta petugas untuk mengecek semua tempat di ke
Burung-burung tampak bercengkerama sembari mengepakkan sayap di atas langit. Dedaunan bergoyang beberapa kali karena sapaan angin, tak jarang yang harus terbang mengikuti kawanan burung. Cahaya mentari masih terasa hangat ketika beberapa kupu-kupu berlenggak-lenggok di antara bunga yang bermekaran.Di dalam kamar, Caraline masih tertidur. Dengkurannya terdengar halus, efek dari perjalanan sekaligus pencarian yang panjang kemarin. Wanita itu masih mengenakan pakaiannya semalam. Sepatu pun masih mengitari kaki.Tubuh Caraline menggeliat di atas ranjang. Begitu sepenuhnya sadar, matanya sontak terbuka dan tak lama kemudian langsung memosisikan diri untuk duduk. Pandangannya seketika memindai sekeliling. Cahaya mentari terlihat menyusup melalui celah tirai yang sedikit terbuka.“Apa yang ... astaga!” pekik Caraline tiba-tiba.“Nona, apa Anda baik-baik saja?” tanya seorang maid di luar kamar Caraline. Ada tiga orang asist
“Kau akan berangkat?” tanya Deric yang tiba-tiba berada di belakang Caraline.Langkah Caraline tiba-tiba terhenti. Wanita itu segera terpejam untuk mengontrol deru napas yang mendadak berubah cepat. Lewat ekor mata, ia bisa melihat jika Deric tengah memakai baju. Sialnya, ia menyaksikan peristiwa itu hingga dada bidangnya tertutup kasu. “A-aku tidak akan menjawab pertanyaan bodoh.”“Terima kasih untuk jawabannya.” Deric terkekeh.“Di-diam!” bentak Caraline, “dan ja-jangan membuatku ketakutan!”“Apa senyum dan suaraku begitu menyeramkan?” Deric tersenyum walau ia tahu kalau Caraline tak akan melihat hal itu, pasalnya wanita itu tengah memunggunginya. “Kau sering mengatakan kalau aku membuatmu ketakutan. Selain dari senyum dan suara tawaku, sisi bagian mana lagi dari diriku yang membuatmu takut?”“Se-segala hal yang ada pada dirimu adalah hal menyeramkan bagiku,
“Hai,” sapa Diego dengan seuntai senyum.Caraline buru-buru menutupi buku diari dan album foto dengan bantal kursi. Setelahnya, ia mengibas rambut beberapa kali untuk menghilangkan keterkejutan.“Kau seperti baru saja melihat hantu.” Diego terkekeh.“Bisakah kau memberiku waktu semenit? Ada hal yang harus kusiapkan lebih dahulu,” ujar Caraline.“Baiklah.” Diego menggangguk, kemudian meninggalkan ruangan.Ketika pintu sudah tertutup, Caraline dengan cepat mengambil buku-buku tadi, lantas memasukkannya ke tas yang ada di meja. Ia mengembus napas panjang, lalu berkata, “Kau sudah boleh masuk.”“Apa yang terjadi?” Diego berjalan ke dalam ruangan, kemudian mengambil tempat di sofa. “Apa ada hal yang mengganggumu?”“Tentu saja ada.” Caraline ikut duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan Diego.“Apa?” Diego mencondongkan tubuh ke
Caraline memutuskan pulang lebih awal. Syukurlah Helen mampu mengecoh para awak media sehingga ia keluar dari kantor tanpa hambatan. Diego sudah pulang setelah makan siang berakhir, dan untungnya pria itu tak mengatakan hal aneh apa pun pada media.Caraline mengembus napas panjang ketika mobil menepi di halaman rumah. Ia memijat kepala perlahan, kemudian berjalan menuju kediaman. Tanpa sengaja, matanya justru mendapati Deric tengah melaju di pinggiran danau ke arah tempatnya biasa berolahraga. Hal yang kian menarik perhatian Caraline adalah, Deric tengah menghubungi seseorang.“Itu bukan urusanku. Lagi pula untuk apa aku tahu urusannya?” Caraline memutar bola mata, tetapi tubuhnya masih berada di tempat hingga Deric menghilang dari pandangan.“Baiklah, ini karena aku penasaran dan ingin memberitahu dia soal kegiatanku besok.” Caraline memutuskan mengikuti pergerakan Deric. Ia berjalan dengan langkah lebar. Akan tetapi, ia tak menemukan pr