“Kenapa aku harus peduli jika kau bisa kembali berjalan,” ketus Caraline, “ja-jangan terlalu tenggelam dalam angan-angan.”
“Baiklah,” sahut Deric, “aku mengerti kalau kau hanya sekadar berbalas budi.”
“Aku akan mengabarimu untuk pemeriksaan kondisimu.” Caraline bersiap pergi.
“Ini tentang permintaanku tadi pagi,” ujar Deric dengan tangan yang terulur ke depan, “apa kau—”
“Menjauh dari pikiranku!” Caraline meninggalkan Deric sendirian. Ia memasuki kamar dengan napas terengah. Bukan karena aksi berlari, melainkan karena benaknya terus dijejali oleh Deric. Bayangan pria itu benar-benar berhasil mengacaukan pikiran dan hatinya sepanjang hari, termasuk saat ini. Ia benar-benar lelah. “Ini seperti kutukan.”
Caraline duduk di bibir kasur setelah menyimpan tas di atas nakas. Ia menoleh ke arah balkon dengan deru napas yang perlahan stabil
“Aku akan mengajakmu ke suatu tempat,” ujar Diego sembari menarik tangan Caraline.“Hei, apa yang kau lakukan?” tanya Caraline dengan suara kecil. Tangannya terasa hangat ketika jemarinya dan Diego saling bertaut. Akan tetapi, ia hanya pasrah saat pria itu membawa dirinya ke tepian danau. Senyumnya seketika terbit ketika melihat kilap cahaya lampu kota dan taman yang terperangkap di permukaan air.“Ayo,” bisik Diego di telinga Caraline.“Apa yang—” Kalimat seketika Caraline terputus ketika matanya bertemu dengan manik Diego. Tatapan keduanya terkunci di satu titik meski tak lama karena setelahnya Caraline melabuhkan pandangan ke sisi lain.“Pipimu memerah.” Diego tertawa kecil.Caraline kontan menangkup wajah dengan kedua tangan. Wanita itu merasakan pipinya menghangat. “Mungkin karena udara dingin,” kilahnya.“Sepertinya begitu,” sahut Diego.
Sepanjang perjalanan pulang, Caraline tak mampu menghadang senyum yang mendobrak bibir ranumnya. Lengkungan bulan sabit itu terangkai kokoh di paras cantiknya. Hatinya menghangat, meletup-letup laksana kembang api yang menghias langit gelap. Meski ia tak bicara apa pun setelah pergi, tetapi ia tak menyesal karena sudah mengikuti permintaan Diego.Diego sempat mengirim pesan berisi ucapan terima kasih. Namun, Caraline tak berniat untuk membalas. Biar saja, pikirnya. Itu hukuman karena secara tiba-tiba mengajaknya berfoto.Begitu sampai di kediaman, Caraline segera turun dari mobil. Ekor matanya mendapati Deric tengah berada di pinggir danau. Ketika manyadari bila pria itu mendekat, ia segera mempercepat langkah menuju rumah.“Aku tidak akan membiarkan pria cacat itu menghancurkan kebahagianku malam ini,” ujar Caraline saat menaiki tangga. Ketika tiba di kamar, wanita itu segera melempar dirinya ke kasur.Caraline terpejam beberapa waktu, menikm
Caraline tengah menyantap hidangan di meja makan seorang diri. Untuk sementara waktu, ia hanya fokus untuk menghabiskan kudapan. Garpu dan sendok saling beradu di atas piring. Akan tetapi, begitu melihat seorang maid berjalan menuju dapur, perhatiannya seketika teralih. Caraline dengan cepat bangkit, kemudian mengendap-endap ke luar rumah melalui jalan belakang.Caraline bersembunyi di salah satu semak saat maid tadi kembali masuk ke rumah. Wanita itu mengintip ke arah tempat tinggal Deric. Pria itu tampak mengambil sarapan, kemudian meluncur dengan kursi roda ke arah pinggiran danau.“Apa yang dilakukan pria cacat itu?” gumam Caraline sembari menyembulkan kepala dari semak-semak. “Apa dia akan membuang makanan itu?”Caraline berdecak sebal. “Dia harus mengganti rugi jika sampai berani melakukannya.”Caraline keluar dari persembunyian, lalu berjalan menuju arah danau. Pandangannya segera memindai sekel
Caraline tiba di kantor setengah jam kemudian. Wanita itu bergegas menuju elavator untuk sampai di ruangannya. Anehnya, ia merasa bila beberapa pegawai melirik ke arahnya. Tak hanya di lobi, bahkan beberapa penjaga keamanan pun demikian. Mereka seperti ingin berbicara sesuatu padanya, tetapi saat ia menatap balik, mereka dengan cepat justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Caraline memasuki elavator bersamaan dengan sebuah pertanyan. “Apa yang sebenarnya orang-orang itu lihat dariku?” Caraline mengembus napas panjang. Wanita itu terpejam sembari mengelus dada beberapa kali. Ia sudah memulai hari ini dengan cukup buruk karena kejadian tadi pagi. Bertemu dengan ular sialan, terperangkap di pelukan Deric dalam posisi nyaris berciuman, kemudian terjatuh hingga menyebabkan lututnya sakit ketika berjalan. Untuk itu, ia tak ingin bila hal serupa terulang di kantor. Caraline bergegas keluar elevator begitu pintu terbuka. Wanita bersetelan blazer krem dan rok katun
Setelah menyantap makan siang, Caraline segera bergegas turun ke lobi dengan Helen yang mengikuti dari belakang. Begitu berada di luar gedung, ia melihat sebuah mobil sudah terparkir. Perjalanannya siang ini hanya akan ditemani oleh seorang sopir. Sebenarnya, Caraline memiliki fasilitas jet pribadi yang bisa digunakan untuk memangkas waktu, hanya saja ia tak begitu suka berada di ketinggian.Caraline bergegas memasuki mobil. Wanita itu menyimpan tas berisi pakaian tadi di kursi samping yang kosong.“Hati-hati di jalan, Nona,” ujar Helen sembari menutup pintu kendaraan.“Helen, laporkan semua kegiatan hari ini padaku nanti,” pinta Caraline sembari memasang sabuk pengaman.“Baik, Nona.” Helen setengah membungkuk, lantas melambaikan tangan begitu kendaraan mulai meninggalkan gedung Mimiline Group. “Apa ... mungkin Nona Caraline bermaksud bertemu dengan Tuan Diego?” terkanya, “lalu bagaimana dengan Tuan De
“Nona Caraline,” ujar Jeremy yang kemudian menutup kembali pintu mobil. Keterkejutan masih belum sirna dari paras pria berusia 30 tahunan itu. “Apa yang—”“Berhenti bicara dan segera ikuti mobilku,” sela Caraline. Wanita itu bergegas memasuki mobil yang terparkir tak jauh dari kendaraan tiga pria ini. Ia tak ingin ada seseorang yang mengetahui bahwa dirinya tengah berbincang dengan ketiga pria itu, terlebih media.“Apa yang terjadi?” James menggaruk rambut.“Sepertinya ini ada kaitannya dengan Deric,” sahut Jonathan.“Cepat ikuti wanita itu,” pinta Jeremy. Ia bergegas menuju kursi kemudi, yang kemudian diikuti oleh kedua adiknya. “Aku yakin wanita itu memiliki hal penting yang ingin dibicarakan.”Mobil langsung berjalan, membuntuti kendaraan Caraline. “Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk menjual MiracleWatch itu?” tanya James den
“Aw!” pekik Caraline yang ikut terjatuh ke rerumputan. Ia bisa merasakan perih yang mulai menjalar di kaki.“Luka seperti itu tak akan membuatmu menyerah, kan?” Deric sedikit memajukan kursi roda, lalu menunduk untuk mengambil benda-benda yang berceceran dari kotak.“Jangan pernah sentuh barang-barangku!” Caraline menepis kasar tangan Deric. Wanita itu mengambil barang-barang yang berjatuhan, kemudian segera mengembalikan ke dalam kotak. Setelahnya, ia berusaha untuk berdiri. Sialnya, ia malah terjatuh kembali. Selain kaki, bokongnya ikut merasakan sakit saat ini.“Sepertinya kau melewati hari ini dengan cukup berat,” ujar Deric, “kau tidak datang ke kantor dengan ranting pohon dan dedaunan di rambut, kan?”“Lupakan hal itu!” ketus Caraline sembari memijat perlahan kakinya. “Itu semua gara-gara ular sialan itu! Lain kali aku akan meminta petugas untuk mengecek semua tempat di ke
Burung-burung tampak bercengkerama sembari mengepakkan sayap di atas langit. Dedaunan bergoyang beberapa kali karena sapaan angin, tak jarang yang harus terbang mengikuti kawanan burung. Cahaya mentari masih terasa hangat ketika beberapa kupu-kupu berlenggak-lenggok di antara bunga yang bermekaran.Di dalam kamar, Caraline masih tertidur. Dengkurannya terdengar halus, efek dari perjalanan sekaligus pencarian yang panjang kemarin. Wanita itu masih mengenakan pakaiannya semalam. Sepatu pun masih mengitari kaki.Tubuh Caraline menggeliat di atas ranjang. Begitu sepenuhnya sadar, matanya sontak terbuka dan tak lama kemudian langsung memosisikan diri untuk duduk. Pandangannya seketika memindai sekeliling. Cahaya mentari terlihat menyusup melalui celah tirai yang sedikit terbuka.“Apa yang ... astaga!” pekik Caraline tiba-tiba.“Nona, apa Anda baik-baik saja?” tanya seorang maid di luar kamar Caraline. Ada tiga orang asist