“Apa yang masih kalian lakukan di sini, hah?” tanya Caraline seraya memandangi satu per satu maid dan pengawal. “Kembali bekerja!”
Para pelayan dan pengawal itu dengan cepat membereskan perlengkapan perlombaan, lalu membubarkan diri. Area danau yang semula ramai mendadak hening. Deric juga ikut melajukan kursi roda ke arah kediamannya, melewati Caraline tanpa bicara apa pun.
“Apa yang baru saja dia lakukan padaku? Bukannya Deric harus mengucapkan terima kasih atau basa-basi lainnya padaku?” gumam Caraline dengan pandangan yang mengikuti ke mana kursi roda Deric melaju. Ia berkacak pinggang sembari mengetuk-ngetuk rumput dengan kaki kanan. “Dia benar-benar pria yang tidak peka.”
Caraline memutar bola mata, lalu berdeham cukup keras, berharap agar Deric menoleh padanya. Akan tetapi, hingga beberapa detik berlalu, pria itu terus melaju hingga raganya menghilang di balik pintu kediamannya.
Caraline melo
“Kau pasti bercanda.” Caraline memutar bola mata, bangkit dari kursi, kemudian berjalan keluar bioskop.“Apa kau memiliki kesibukan nanti malam?” tanya Diego yang sudah berada di samping Caraline, “aku punya tempat bagus untuk dikunjungi.”Caraline mengembus napas panjang, berhenti sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga. Wanita itu punya janji dengan Deric untuk menonton film nanti malam, dan ia sudah menantikan hal itu sejak lama. “Aku ... sudah punya agenda malam ini,” ujarnya sembari kembali berjalan.“Apa ... kau akan menghabiskan waktu dengan seorang pria?” selidik Diego.Caraline terus berjalan hingga dirinya kembali berdesakan dengan orang-orang di pusat perbelanjaan. Kepalanya mendadak pening saat melihat kerumunan orang di mana-mana.“Kau baik-baik saja, Caraline?” tanya Diego dengan raut khawatir.“Aku tidak tahu kalau kau pria yang cukup cerewet,
Apakah Deric akan menciumku? tanya Caraline dalam hati.Meski wajah dan perkataan Caraline ketus, pada kenyataannya wanita itu mengikuti permintaan Deric untuk menutup mata. Walau ini terlalu cepat, tetapi ia siap untuk menerima kecupan dari pria itu. Sungguh, jantungnya dibuat melompat-lompat seiring dengan wajahnya yang memanas. Tanpa sadar, Caraline sedikit mencondongkan tubuh ke depan, memajukan bibir beberapa senti. Astaga, ini benar-benar menegangkan, batinnya.Deric tersenyum tipis, menyelipkan rambut Caraline ke belakang telinga, kemudian meniup-niup pelan dahi wanita itu untuk beberapa detik ke depan.Di sisi lain, Caraline mendadak membeku begitu embusan angin lembut itu menyentuh kulit. Getarannya segera menjalar ke seluruh tubuh. Sungguh sebuah perasaan yang sulit diartikan. Ia tegang setengah mati, tetapi sangat berharap bahwa keinginannya dapat terjadi. Ia tidak masalah kalau setelah ciuman itu mendarat dirinya akan dibawa ke rumah s
Caraline hanya bisa mematung di beranda rumah dengan mulut menganga. Gaun yang ia pakai dibiarkan terciprat hujan untuk sementara waktu. Saat matanya tertutup sesaat, ia sontak mundur beberapa langkah. Meski begitu, keterkejutan masih saja enggan pergi.Caraline mengembus napas panjang beberapa kali. Tatapannya tertuju pada rintik hujan yang turun. Beberapa kali petir terlihat, disertai bunyi guntur yang memekakkan telinga. Walau demikian, wanita itu masih bertahan di sana.“Apa yang sebenarnya terjadi!” kata Caraline dengan suara yang kian meninggi di akhir kalimat. Ia mengamati penampilannya yang basah di bagian depan. Sungguh menyebalkan. Kenapa hujan justru datang di saat yang ia tunggu-tunggu sejak lama?Caraline berdecak sebal. Rahangnya mengetat seiring dengan kedua tangannya yang terkepal erat. Bayangan kebersamaannya dengan Deric seketika hancur lebur akibat hujan turun, padahal ia sudah menanti hadirnya malam ini sejak beberapa hari lalu. I
Caraline segera turun ketika kursi roda menepi di beranda rumah. Tanpa dinyana, Deric ikut berteduh di teras. Segaris senyum dengan cepat timbul di bibir. Sesekali wanita itu melirik Deric, lalu mengamati penampilannya yang basah di beberapa bagian. Sungguh menyebalkan, hujan kembali menggagalkan momen kebersamaannya dengan pria itu.Hujan kian deras mengguyur Heaventown. Sesekali petir terlihat dan angin menerjang dedaunan, menimbulkan suasana menakutkan. Kondisi taman dan pinggiran danau menjadi tampak mengerikan.“Hujan ini benar-benar menyebalkan,” kata Caraline sembari melirik Deric dengan ekor mata. Ia melempar jaket ke arah pria itu dengan cara menjiwir. “Apalagi aku terjebak dengan pria sepertimu.”“Kau tahu, hujan adalah salah satu pertanda Tuhan menyayangi kita,” ujar Deric tanpa menoleh ke arah Caraline. Tangan kanannya terbuka untuk menampung air hujan. “Di setiap tetesnya, terdapat malaikat yang menjaganya.&
Secarik senyum di bibir Deric. Pria itu memutar kursi roda. “Aku rasa jujur tidak selamanya menyakitkan.”“Apa maksudmu?” Caraline berkacak pinggang. Deric seperti tengah menyindirnya.“Lupakan saja.”Caraline berdecak, mulai membuka pintu. Ia berjalan lebih dahulu ke dalam rumah. Deric membuntuti dari belakang.“Ki-kita bisa menonton di ruangan ini.” Caraline membawa Deric ke ruangan keluarga. Ada sebuah tv berukuran besar dan deretan perlengkapan menonton film di tempat ini. Ia jarang menghabiskan waktu di sini. Ia akan langsung menuju kamar ketika pulang. Lagi pula, keluarga mana yang akan ia bawa ke tempat ini.“Ini tempat yang bagus,” ucap Deric sembari mengamati keadaan sekeliling.“A-aku akan mengganti baju lebih dulu.” Caraline meninggalkan ruangan. Ia melirik Deric untuk tahu apakah pria itu menoleh padanya atau tidak. Faktanya, ia harus kecewa karena perhatian
“Ini tidak mungkin,” ujar Caraline sembari membulatkan bola mata.Caraline menahan napas sesaat, dengan cepat terpejam karena tak ingin melihat tayangan di TV. Sungguh menyebalkan, kenapa waktu kebersamaannya dengan Deric harus dihabiskan dengan menonton film horor?“Astaga.” Caraline buru-buru melepas cengkeraman di pinggang Deric, kemudian bergeser hingga ke ujung kursi. Saking takut dan terkejut, ia tak sengaja memeluk Deric. Ini memalukan, tetapi ia menyukainya.“Kenapa kita harus menonton film menyebalkan seperti ini?” Caraline menutup wajah dengan bantal. Ia mengintip tayangan di TV sesaat, kemudian menoleh pada Deric.“Apa kau takut menonton film horor?” tanya Deric tanpa menoleh pada layar TV, “aku bisa menggantinya jika kau mau”Caraline mendengkus jengkel. Deric seperti tengah menyindirnya. “A-aku ... tidak takut. Hanya saja aku pikir kita bisa menonton film lain.”
Untuk memuluskan rencananya, hal pertama yang dilakukan Caraline adalah memindahkan botol-botol minumannya ke tengah meja. Setelah itu, ia berpura-pura meminum susu cokelat miliknya hingga tersisa sama persis dengan milik Deric. Langkah selajutnya adalah menukarkan minuman milik pria itu dengan miliknya. Akan tetapi, ia harus lebih dahulu menyatukan botol-botol itu. Dengan begitu, Deric tidak akan curiga jika minumannya tertukar.Caraline mengembus napas panjang saat rencanya sukses. Segaris senyum timbul dari bibir. Di tengah kegelapan ruangan, wajahnya tampak bersinar karena rasa bahagia bercampur tegang. “Dengan begini Deric dan aku akan sama-sama saling berciuman secara tidak langsung,” gumamnya.“Kau menikmati filmnya?” tanya Deric sembari menoleh.“Ten-tentu saja.” Caraline menjawab dengan tergagap. Ia segera mengambil bantal, menutup setengah wajah dengan benda empuk itu. Sialnya, ketika menoleh pada layar
Kesempatan nyatanya berada di pihak Caraline. Deric kembali berada di posisinya semula. Dengan begitu, ia bisa melancarkan aksinya lagi. Bercermin dari kejadian barusan, wanita itu tidak boleh terlalu gegabah hingga menyebabkan kehilangan fokus. Saat akan memeluk pria itu, ia harus memastikan jika Deric berada di posisinya.Caraline mau tak mau kembali menonton tayangan. Meski sudah mencapai setengah dari cerita, wanita itu sama sekali tidak paham dengan isi kisah dari film tersebut. Ia hanya fokus mencari momentum untuk bisa memeluk Deric, dan hal itu kian sulit setelah kejadian tadi. Waktu merangkak dengan cepat. Film berjalan dengan membosankan. Pada akhirnya, Caraline mulai dilanda kantuk. Ia menguap beberapa kali, kemudian menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Matanya terasa berat hingga akhirnya ia terjatuh dalam mimpi.Wajah Caraline mendarat di bahu Deric. Kedua tangannya refleks memeluk tubuh pria itu. Sudut bibirnya terangkat sempurna, memben