“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Catherine?” tanya Caraline dengan suara berbisik. Ada kegeraman di nada suaranya.
“Itu juga yang harus aku tanyakan padamu, Caraline,” jawab Catherine, “kau pasti mengikutiku?”
“Untuk apa aku mengikuti orang sepertimu? Sudah jelas aku ...” Caraline terpejam sesaat, berusaha mencari alasan masuk akal. “... aku sedang memeriksa keadaan pohon ini,” lanjutnya sembari meraba-raba pohon dengan tangan.
“Kau benar-benar pembual.” Catherine berdecak.
“Kau sendiri sedang apa di sini, Catherine?” Caraline memutar bola mata. Ia buru-buru menjauhkan tangan dari batang pohon karena takut tiba-tiba melihat keberadaan ulat.
“A-aku ... aku ... tentu saja sedang memeriksa kualitas tanah di sini,” ujar Catherine yang langsung mengetuk-ngetuk tanah. “Aku ... punya rencana untuk berkebun di rumahku.”
“Kau pemboho
“Deric,” gumam Caraline dan Catherine bersamaan ketika melihat pria di kursi roda itu sudah menghilang dari tempatnya semula. Keduanya kompak melepas tangan dari rambut lawan.“Kau benar-benar sama menyebalkannya dengan sepupumu, Catherine.” Caraline bergegas pergi dengan langkah lebar. Wajahnya tertekuk sebal ketika mengingat tingkah sepupunya barusan. “Berani sekali Catherine mengelus perut Deric di hadapanku. Aku saja belum pernah melakukannya.”Caraline mendengkus sebal, mengepalkan tangan erat. Akibat pertengkaran dengan Catherine, rambutnya berubah laksana bulu domba. Akan tetapi, ia sama sekali tak memedulikan hal itu sampai para maid menatapnya penuh selidik. “Apa yang kalian lihat?” ketusnya.Para asisten rumah tangga itu seketika menunduk.Caraline berdecak, menaiki tangga dengan langkah tergesa, masuk ke kamar dengan perasaan sangat jengkel. Gambaran Catherine yang mengelus perut Deric be
Sorak-sorak dukungan langsung menggema begitu dua sampan mulai bergerak maju. Tampak para maid di pinggiran danau berteriak, tak sekali mereka melompat. Kediaman yang biasanya sepi menjadi ramai karena suara dukungan.“Kupastikan kau akan menangis hari ini, pria cacata,” kata Wilson dengan senyum angkuh, “itu juga yang akan terjadi padamu, Caraline.”Wilson berdecak, mengerahkan tenaga. Sampan yang didayungnya melaju lebih awal, mulai meninggalkan perahu saingannya. Tampak Catherine tersenyum tipis, menatap Caraline dengan penuh ejekan.“Mereka benar-benar menyebalkan.” Caraline memutar bola mata, meniup rambut yang menjuntai ke bawah. Tatapannya mendadak tertuju pada Deric yang tengah mendayung sampan. Tonjolan otot lengannya benar-benar menghipnotis, terlebih saat dada bidangnya bergerak ke depan dan belakang.“Tenanglah,” ucap Deric yang fokus pada pertandingan.“A-aku tidak peduli d
Caraline tiba-tiba terdiam ketika melihat para maid mematung dengan tatapan tertuju padanya. Pandangannya segera menoleh ke samping. Matanya mendadak membulat ketika mendapati dirinya berada di ceruk leher Deric. Aroma parfum cowok itu benar-benar menusuk, membuatnya terbuai untuk berada di sana beberapa detik lamanya.Caraline dengan cepat merenggangkan jarak. Ia segera berdiri dan bersiap mendarat di pinggiran danau. Akan tetapi, sampan malah terombang-ambing ke kiri dan kanan. “Astaga.”“Aku akan memegangi tangamu,” kata Deric.“A-aku ... tidak membutuhkan hal itu,” balas Caraline dengan wajah memerah. Hal pertama yang ia lakukan saat ini adalah menyelamatkan wajah yang memanasa serta jantungnya yang serasa akan meledak, lalu menjauh dari Deric.“Grace,” panggil Caraline.Kepala pelayan itu segera mendekat. “Iya, Nona.”“Cepat bantu aku.” Caraline mengulurkan
“Apa yang masih kalian lakukan di sini, hah?” tanya Caraline seraya memandangi satu per satu maid dan pengawal. “Kembali bekerja!”Para pelayan dan pengawal itu dengan cepat membereskan perlengkapan perlombaan, lalu membubarkan diri. Area danau yang semula ramai mendadak hening. Deric juga ikut melajukan kursi roda ke arah kediamannya, melewati Caraline tanpa bicara apa pun.“Apa yang baru saja dia lakukan padaku? Bukannya Deric harus mengucapkan terima kasih atau basa-basi lainnya padaku?” gumam Caraline dengan pandangan yang mengikuti ke mana kursi roda Deric melaju. Ia berkacak pinggang sembari mengetuk-ngetuk rumput dengan kaki kanan. “Dia benar-benar pria yang tidak peka.”Caraline memutar bola mata, lalu berdeham cukup keras, berharap agar Deric menoleh padanya. Akan tetapi, hingga beberapa detik berlalu, pria itu terus melaju hingga raganya menghilang di balik pintu kediamannya.Caraline melo
“Kau pasti bercanda.” Caraline memutar bola mata, bangkit dari kursi, kemudian berjalan keluar bioskop.“Apa kau memiliki kesibukan nanti malam?” tanya Diego yang sudah berada di samping Caraline, “aku punya tempat bagus untuk dikunjungi.”Caraline mengembus napas panjang, berhenti sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga. Wanita itu punya janji dengan Deric untuk menonton film nanti malam, dan ia sudah menantikan hal itu sejak lama. “Aku ... sudah punya agenda malam ini,” ujarnya sembari kembali berjalan.“Apa ... kau akan menghabiskan waktu dengan seorang pria?” selidik Diego.Caraline terus berjalan hingga dirinya kembali berdesakan dengan orang-orang di pusat perbelanjaan. Kepalanya mendadak pening saat melihat kerumunan orang di mana-mana.“Kau baik-baik saja, Caraline?” tanya Diego dengan raut khawatir.“Aku tidak tahu kalau kau pria yang cukup cerewet,
Apakah Deric akan menciumku? tanya Caraline dalam hati.Meski wajah dan perkataan Caraline ketus, pada kenyataannya wanita itu mengikuti permintaan Deric untuk menutup mata. Walau ini terlalu cepat, tetapi ia siap untuk menerima kecupan dari pria itu. Sungguh, jantungnya dibuat melompat-lompat seiring dengan wajahnya yang memanas. Tanpa sadar, Caraline sedikit mencondongkan tubuh ke depan, memajukan bibir beberapa senti. Astaga, ini benar-benar menegangkan, batinnya.Deric tersenyum tipis, menyelipkan rambut Caraline ke belakang telinga, kemudian meniup-niup pelan dahi wanita itu untuk beberapa detik ke depan.Di sisi lain, Caraline mendadak membeku begitu embusan angin lembut itu menyentuh kulit. Getarannya segera menjalar ke seluruh tubuh. Sungguh sebuah perasaan yang sulit diartikan. Ia tegang setengah mati, tetapi sangat berharap bahwa keinginannya dapat terjadi. Ia tidak masalah kalau setelah ciuman itu mendarat dirinya akan dibawa ke rumah s
Caraline hanya bisa mematung di beranda rumah dengan mulut menganga. Gaun yang ia pakai dibiarkan terciprat hujan untuk sementara waktu. Saat matanya tertutup sesaat, ia sontak mundur beberapa langkah. Meski begitu, keterkejutan masih saja enggan pergi.Caraline mengembus napas panjang beberapa kali. Tatapannya tertuju pada rintik hujan yang turun. Beberapa kali petir terlihat, disertai bunyi guntur yang memekakkan telinga. Walau demikian, wanita itu masih bertahan di sana.“Apa yang sebenarnya terjadi!” kata Caraline dengan suara yang kian meninggi di akhir kalimat. Ia mengamati penampilannya yang basah di bagian depan. Sungguh menyebalkan. Kenapa hujan justru datang di saat yang ia tunggu-tunggu sejak lama?Caraline berdecak sebal. Rahangnya mengetat seiring dengan kedua tangannya yang terkepal erat. Bayangan kebersamaannya dengan Deric seketika hancur lebur akibat hujan turun, padahal ia sudah menanti hadirnya malam ini sejak beberapa hari lalu. I
Caraline segera turun ketika kursi roda menepi di beranda rumah. Tanpa dinyana, Deric ikut berteduh di teras. Segaris senyum dengan cepat timbul di bibir. Sesekali wanita itu melirik Deric, lalu mengamati penampilannya yang basah di beberapa bagian. Sungguh menyebalkan, hujan kembali menggagalkan momen kebersamaannya dengan pria itu.Hujan kian deras mengguyur Heaventown. Sesekali petir terlihat dan angin menerjang dedaunan, menimbulkan suasana menakutkan. Kondisi taman dan pinggiran danau menjadi tampak mengerikan.“Hujan ini benar-benar menyebalkan,” kata Caraline sembari melirik Deric dengan ekor mata. Ia melempar jaket ke arah pria itu dengan cara menjiwir. “Apalagi aku terjebak dengan pria sepertimu.”“Kau tahu, hujan adalah salah satu pertanda Tuhan menyayangi kita,” ujar Deric tanpa menoleh ke arah Caraline. Tangan kanannya terbuka untuk menampung air hujan. “Di setiap tetesnya, terdapat malaikat yang menjaganya.&