“Nggak jadi lagi?”Maudi menoleh. Gadis yang masih menggunakan blus dan celana baru itu memajukan bibir manyun. Tidak salah, barusan Calum menanyakan tentang gagalnya mudik Maudi yang kedua kali. Bukan, bukan masalah pertanyaannya yang sensitive, Maudi lebih-lebih heran karena Calum menanyakan hal tersebut dengan nada suara yang terdengar antusias. Seperti memang senang sekali Maudi tidak jadi pulang.Tidak tau saja, Maudi sudah menangis kejer karena hal itu.“Kok kamu malah keliatan seneng banget sih, Lum?” protes Maudi sambil menatap Calum. Maudi cemberut. “Kasian tau akunya.”Maudi sudah menghubungi ibu kalau ia batal pulang karena kebijakan mendadak yang dibuat, dan ia juga tidak mungkin mempertaruhkan kesehatan orang rumah dengan memaksa pergi. Dan ibu bilang tidak apa-apa, terpenting adalah Maudi sehat dan itu sudah cukup. Untuk masalah kerinduan bisa ditahan dengan logika untuk masa depan yang terbaik, dan pernikahan kak
“Nggak bisa!”Maudi meletakan tangannya di pinggang. Keningnya menyirit dalam-dalam lengkap dengan bibir mendecih. Dramatis sekali. Untuk ukuran gadis dewasa yang baru selesai cuci piring Maudi memang bisa dikatakan cukup dramatis. Hanya karena mendengar Satria menolak diperintah menyapu dia langsung memasang kuda-kuda mengajak bertarung.Benar. Satria tidak mau menyapu! Bayangkan sebesar apa masalah itu!Kamu yang hidupnya numpang, Dy. Masa nyuruh empunya rumah buat beres-beres! Salah satu dewi di batin Maudi menyeletuk.Maudi segera menggelengkan kepala. Tetap saja. Jangan Maudi yang mengerjakan semuanya dong. Lagipula Maudi hanya menyuruh Satria menyapu karena ia akan bersemedi di kamar untuk mengerjakan beberapa hal. Menyapu tidak seberat itu, Satria tidak seharusnya menolak.“Kita udah bagi-bagi tugas ya kemarin,” ujar Maudi lagi. Dia baru selesai menyuapi Calum dan sudah mencuci bekas makannya juga.Maudi ingat sekali
Maudi tidak bercanda waktu bilang kalau dia akan menjadikan menulis sebagai hoby. Dan karena menulis bukan sekedar menulis tetapi juga memerlukan wawasan dan pengetahuan yang cukup Maudi pun meminjam koleksi novel terbitan dari penerbit tempat Satria bekerja. Hingga kemudian, lambat laun membaca menjadi hoby Maudi juga.Dan Maudi juga baru sadar kalau kisah roman punya porsi sendiri dihati dan minat bacanya.Mungkin kebanyakan perempuan juga sama. Romantisme memang tidak pernah salah.Hari masih sore, dan Maudi sengaja tidak mandi karena nanti malam ia ada agenda untuk pergi belanja isi kulkas, mandi nanti malam saja setelah keluar. Dan mumpung masih santai-santainya, Maudi menyempatkan diri untuk membuka buku yang ia pinjam dari Satria, melanjutkan bacaan hingga paling tidak dua atau tiga chapter.Ngomong-ngomong, sekarang ini Maudi sedang berada di teras rumah. Ia duduk seorang diri sembari membaca literasi.Tidak lama hingga kemudian Maudi tak lagi sendiri. Sat
Belanja adalah surganya wanita.Rasa-rasanya dari sekian banyaknya pepatah tentang wanita, satu penggal kalimat diatas itu merupakan yang paling Maudi mengerti dan pahami rasanya. Ia benar-benar merasakan kalau surga wanita memang berada di antara rak-rak tinggi berisi makanan infinity ruang berAC ini. Bahkan dulu saat Maudi masih menimang gelar sebagai pengangguran expert, ia dengan senang hati mendatangi mall berkeliling meski hanya lihat-lihat saja, tidak membeli apapun.Maudi mendorong trolinya ke depan. Matanya masih menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat barangkali ada item yang harus dibeli namun terlewat. Maudi membeli banyak hal untuk persediaan bulanan. Saat melewati rak dimaa barang yang dibutuhkan ada ia berhenti, mengambil dua bungkus besar sabun cair dan shampoo, setelah itu ia mengambil tiga kotak tisyu.Untuk makanan Maudi sudah mengambil semua, kalian tau, perempuan, tidak mungkin kurang, yang tidak butuh pun dibeli apalagi yang jelas butuh.Se
Maudi mengedip cepat, langkahnya berhenti.Sebentar dulu. Ini Jakarta, kan? Seingatnya di kota ini Maudi hanya kenal beberapa manusia saja, bahkan tidak sampai lima. Dan hanya satu orang laki-laki baru yang ia temui, yang memanggilnya dengan sebutan ‘dek’ pula.Tapi masa sih harus bertemu orang itu di sini? Sehari dua kali? Tapi kayaknya memang dia. Maudi tidak akan pernah tau kalau belum memastikannya, dan langkah awal untuk memastikan sesuatu adalah dengan melihatnya.Maka dengan ragu Maudi menoleh, ia mendongak melihat wajah yang sebagian tertutup oleh masker itu, menatap yang tersisa, matanya.Mata sipit ini rare sekali. Maudi benar-benar tau dia siapa. Dan mereka benar-benar betemu dua kali sehari.“Jihan?” ucap Maudi ragu-ragu.Dan si Jimin kw5 terlihat menyipitkan mata, sepertinya dibalik masker itu Jihan tengah tersenyum.Maka tanpa dijawabpun Maudi tau kalau prediksinya memang benar. laki-laki ini jelas Jihan.“Lagi belanja juga?” tanya Jihan akrab.
Beberapa hari belakangan Maudi terlalu sering meragukan semua indera yang tuhan berikan padanya. Pertama, akhir-akhir ini Maudi sering mendengar sesuatu yang aneh dari Satria kepadanya. Kedua, selain senyum dan tawa Satria yang belakangan mulai santer, kehadiran pria itu di depan toserba dengan baju kasual lengkap kacamata baca membuat Maudi lagi-lagi meragukan kinerja matanya.Ini betulan Satria ada di sini? Ngapain?Karena berbagai pertanyaan memenuhi batin Maudi dan ia juga tidak ingin terus mengira-ira, Maudi pun tak menunda untuk melangkah maju ke tempat Satria berdiri.Satria semula menunduk, tangannya dijejalkan ke kantong celana, lelaki itu langsung mendongak ketika suara Maudi terdengar memanggil namanya. Si jangkung mengedip cepat-cepat, ia juga melengos sekilas sebelum kembali menatap Maudi.Sumpah tidak bohong. Ini betulan Satria.Maudi meletakan belanjaannya ke lantai, keningnya berkerut ragu dan kemudian tangannya terangkat, tatapan mata Satria
“Kok lewat sini?”Dengan suara yang setengah berteriak Maudi bertanya pada laki-laki yang duduk di depannya. Khas sekali dua orang berbicang diatas motor yang tengah melaju, meski laju motor matic yang dikendarai oleh Satria ini tidak terlalu kencang namun Maudi perlu menaikan volume suaranya lebih tinggi.Apalagi ditambah dengan teterkejutan dirinya karena Satria tiba-tiba mengambil jalan pulang berbeda dari yang Maudi ketahui. Rumah mereka hanya nyebrang, lalu jalan sedikit, berbelok satu kali dan sampai memasuki komplek.Maudi mengeratkan pegangan pada tegel motor saat Satria membelokan setang. Tebakan Maudi mereka mengambil jalan berputar, dan pastinya akan lebih lama sampai.Si jangkung ini hanya melirik Maudi lewat sepion. “Jalan depan di tutup, mau nggak mau harus muter.”Maudi bersumpah angin malam tak pernah akur dengannya. Maudi merasa amat kedinginan kendati ia sudah memakai cardigan rajut. Maudi melepas pegangannya p
Apa yang terjadi pada hidup Maudi? Kesialan dan berkah macam apa? Tidak ada. Semua sama saja. Untuk secuil masalah yang Maudi alami mungkin kalian sudah mengetahuinya. Namun, untuk selebihnya tidak ada lagi. Maudi cukup bersyukur dengan apa yang tengah ia jalani, Maudi memang sering mengeluh, tapi mengeluh juga wajar bukan? Intinya penting pagi seseorang menerima dan menjalani dengan penuh syukur jalan takdir yang sudah disiapkan.Seperti Maudi saat ini. Maudi yang tenga berdiri dengan kaos dan rambut lepek, baru selesai mencuci dan menyapu, sekarang sudah harus memegang alat pel di tangannya.Sebentar. Jangan ada yang salah paham dulu. Maudi bersyukur ia sudah diberi rejeki oleh Tuhan lewat Satria. Ia sangat bersyukur sudah diberi pekerjaan meski memang kadang job desk yang ia kerjakan kelewat tidak sesuai perjanjian. Memangnya sejak kapan pengasuh harus merangkap jadi ART begini.Kalau dulu si oke-oke saja. Calum masih belum lengket dengan Maudi, anak itu bany