Huft. Sebelumnya mau bilang makasih buat teman-teman yang udah mau nunggu update cerita Mody dan Satria. Dan maaf juga karena nggak bisa kasih janji buat rutin update. Di GN nggak ada notif jadi aku nggak tau kalo ada yang support di kolom komentar. Untuk kedepannya, bismillah insyaallah aku akan update lebih rutin dari ini. Thankyuimida;)
Belanja adalah surganya wanita.Rasa-rasanya dari sekian banyaknya pepatah tentang wanita, satu penggal kalimat diatas itu merupakan yang paling Maudi mengerti dan pahami rasanya. Ia benar-benar merasakan kalau surga wanita memang berada di antara rak-rak tinggi berisi makanan infinity ruang berAC ini. Bahkan dulu saat Maudi masih menimang gelar sebagai pengangguran expert, ia dengan senang hati mendatangi mall berkeliling meski hanya lihat-lihat saja, tidak membeli apapun.Maudi mendorong trolinya ke depan. Matanya masih menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat barangkali ada item yang harus dibeli namun terlewat. Maudi membeli banyak hal untuk persediaan bulanan. Saat melewati rak dimaa barang yang dibutuhkan ada ia berhenti, mengambil dua bungkus besar sabun cair dan shampoo, setelah itu ia mengambil tiga kotak tisyu.Untuk makanan Maudi sudah mengambil semua, kalian tau, perempuan, tidak mungkin kurang, yang tidak butuh pun dibeli apalagi yang jelas butuh.Se
Maudi mengedip cepat, langkahnya berhenti.Sebentar dulu. Ini Jakarta, kan? Seingatnya di kota ini Maudi hanya kenal beberapa manusia saja, bahkan tidak sampai lima. Dan hanya satu orang laki-laki baru yang ia temui, yang memanggilnya dengan sebutan ‘dek’ pula.Tapi masa sih harus bertemu orang itu di sini? Sehari dua kali? Tapi kayaknya memang dia. Maudi tidak akan pernah tau kalau belum memastikannya, dan langkah awal untuk memastikan sesuatu adalah dengan melihatnya.Maka dengan ragu Maudi menoleh, ia mendongak melihat wajah yang sebagian tertutup oleh masker itu, menatap yang tersisa, matanya.Mata sipit ini rare sekali. Maudi benar-benar tau dia siapa. Dan mereka benar-benar betemu dua kali sehari.“Jihan?” ucap Maudi ragu-ragu.Dan si Jimin kw5 terlihat menyipitkan mata, sepertinya dibalik masker itu Jihan tengah tersenyum.Maka tanpa dijawabpun Maudi tau kalau prediksinya memang benar. laki-laki ini jelas Jihan.“Lagi belanja juga?” tanya Jihan akrab.
Beberapa hari belakangan Maudi terlalu sering meragukan semua indera yang tuhan berikan padanya. Pertama, akhir-akhir ini Maudi sering mendengar sesuatu yang aneh dari Satria kepadanya. Kedua, selain senyum dan tawa Satria yang belakangan mulai santer, kehadiran pria itu di depan toserba dengan baju kasual lengkap kacamata baca membuat Maudi lagi-lagi meragukan kinerja matanya.Ini betulan Satria ada di sini? Ngapain?Karena berbagai pertanyaan memenuhi batin Maudi dan ia juga tidak ingin terus mengira-ira, Maudi pun tak menunda untuk melangkah maju ke tempat Satria berdiri.Satria semula menunduk, tangannya dijejalkan ke kantong celana, lelaki itu langsung mendongak ketika suara Maudi terdengar memanggil namanya. Si jangkung mengedip cepat-cepat, ia juga melengos sekilas sebelum kembali menatap Maudi.Sumpah tidak bohong. Ini betulan Satria.Maudi meletakan belanjaannya ke lantai, keningnya berkerut ragu dan kemudian tangannya terangkat, tatapan mata Satria
“Kok lewat sini?”Dengan suara yang setengah berteriak Maudi bertanya pada laki-laki yang duduk di depannya. Khas sekali dua orang berbicang diatas motor yang tengah melaju, meski laju motor matic yang dikendarai oleh Satria ini tidak terlalu kencang namun Maudi perlu menaikan volume suaranya lebih tinggi.Apalagi ditambah dengan teterkejutan dirinya karena Satria tiba-tiba mengambil jalan pulang berbeda dari yang Maudi ketahui. Rumah mereka hanya nyebrang, lalu jalan sedikit, berbelok satu kali dan sampai memasuki komplek.Maudi mengeratkan pegangan pada tegel motor saat Satria membelokan setang. Tebakan Maudi mereka mengambil jalan berputar, dan pastinya akan lebih lama sampai.Si jangkung ini hanya melirik Maudi lewat sepion. “Jalan depan di tutup, mau nggak mau harus muter.”Maudi bersumpah angin malam tak pernah akur dengannya. Maudi merasa amat kedinginan kendati ia sudah memakai cardigan rajut. Maudi melepas pegangannya p
Apa yang terjadi pada hidup Maudi? Kesialan dan berkah macam apa? Tidak ada. Semua sama saja. Untuk secuil masalah yang Maudi alami mungkin kalian sudah mengetahuinya. Namun, untuk selebihnya tidak ada lagi. Maudi cukup bersyukur dengan apa yang tengah ia jalani, Maudi memang sering mengeluh, tapi mengeluh juga wajar bukan? Intinya penting pagi seseorang menerima dan menjalani dengan penuh syukur jalan takdir yang sudah disiapkan.Seperti Maudi saat ini. Maudi yang tenga berdiri dengan kaos dan rambut lepek, baru selesai mencuci dan menyapu, sekarang sudah harus memegang alat pel di tangannya.Sebentar. Jangan ada yang salah paham dulu. Maudi bersyukur ia sudah diberi rejeki oleh Tuhan lewat Satria. Ia sangat bersyukur sudah diberi pekerjaan meski memang kadang job desk yang ia kerjakan kelewat tidak sesuai perjanjian. Memangnya sejak kapan pengasuh harus merangkap jadi ART begini.Kalau dulu si oke-oke saja. Calum masih belum lengket dengan Maudi, anak itu bany
Tolong jangan tanya apa yang terjadi kepada Maudi.Ia kabur. Secara harfiah kabur. Membawa Calum pergi menuju kamarnya, menutup pintu rapat-rapat dan meninggalkan Satria yang masih diam di sofa menunda menjawab pertanyaan dari sang ibu.Memang apa lagi yang bisa Maudi lakukan selain bersembunyi?Selain karena harus menyembunyikan Calum agar anak itu tak berkata lebih banyak, Maudi juga harus ikut menenangkan diri karena ia sempat merasa panic. Namun saat Satria berjalan melewati kamarnya lelaki itu bilang kalau telfon sudah dimatikan. Satria sudah memberi penjelasan pada ibunya yang ternyata benar-benar mendengar nama Maudi di panggil Calum. Dia menanyakan Maudi lagi, tentu, Satria dewasa, dia lebih tenang, tidak panic dan menjelaskan pada ibunya dengan masuk akal. Mungkin dengan alasan itu Maudi bisa menjadi lebih tenang.Ia yakin tidak akan ada hal buruk terjadi.Maudi memutuskan untuk mandi setelah pekerjaan rumahnya selesai, setelah itu ia juga sempat memegang
“Kamu tinggal sama Satria sejak pertama kali ke Jakarta?”Maudi bukan tiper orang yang bisa begadang secara cuma-cuma, kebanyakan hari Maudi pasti akan terlelap tidur pada jam Sembilan sampai sepuluh malam. Kalau mau begadang, palingan sampai jam sebelas, itu pun untuk menonton update-an drama yang membuatnya super duper penasaran. Kalau tidak, ya Maudi hanya akan tidur saat tubuhnya memerintahkan demikian.Lain halnya sekarang.Hari ini adalah hari yang sangat jarang terjadi pada Maudi. Ia masih terjaga saat jam di dinding sudah menunjukan waktu setengah dua belas malam. Gila sekali, padahal bahkan saat malam takbiran Maudi tidak pernah melek selama ini.Namun sejak Satria mengenalkannya pada dunia tulis, Maudi meluangkan sedikit banyak waktunya untuk menulis. Dan saat buntu, ia akan membuka portal pesan. Melihat siapa saja yang mengiriminya pesan dan melihat juga pembaruan story yang teman-temannya buat.Dan kebetulan sekali. Sebelum menulis tadi Maudi memang se
Maudi menutup pintu kulkas keras-keras, tak santai sama sekali, wajahnya terkejut lengkap dengan sebuah sirat tak percaya.“Resign?” celetuk Maudi dengan pelototan mata, dia membawa satu bungkus roti tawar dan juga selai kacang ke meja.Tak percaya dengan apa yang didengar telinganya barusan. Yang mana merupakan sebuah pembahasan pasti saat seseorang sedang dalam titik rendah. Kerja disini berat, bosnya sialan, rekan kerja tikus semua, mau resign aja. Bukan sekali dua kali Maudi mendengar sahabatnya mengeluh begitu.Maudi menatap pada ponselnya yang berdiri didepan toples kaca. Wajah Eva terlihat di sana.“Ini wacana lagi?” tanya Maudi kemudian.Karena memang Eva selalu; pengen resign, mau resign, otw resign, tapi tidak resign-resign. Wajar saja Maudi menanyakan itu.Gadis yang sedang menjalin penggilan video dengan Maudi itu menjawab. “Kali ini beneran, udah kasih surat pengunduran diri juga.”Maudi mendecak. &l