Percaya pada takdir.
Mungkin hanya itu yang bisa Maudi sampaikan setelah menjalani kisah yang panjang ini.Karena berdasarkan pengalaman. Mau seberapa jauh langkah berjalan, arahnya takdir yang menentukan.Berniat pergi ke Utara, malah sampai di selatan. Berlari menuju timur, tiba-tiba sudah ada di barat.Tetapi apapun itu hasilnya, yang Maudi tau, takdir membawa hasil paling baik dari yang pernah dibayangkan.Seperti sekarang ini.Dua tahun merupakan waktu yang cukup lama.Usia Maudi bertambah begitu saja, sekarang sudah dua tujuh, semakin dewasa dalam pikiran dan seluruh aspek hidup.Dua tahun ini, banyak yang berubah dari Maudi. Dalam sifat maupun kepercayaan terhadap sesuatu. Juga naik turun hubungan percintaan dengan Satria.Maudi diberi waktu untuk melakukan hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Pergi jalan-jalan ke berbagai tempat, memikirkan soal cita-cita dan tujuan hidup, mempunyai teman baru, tak jarang Sera menyeret Maudi untukMusim di Indonesia sudah tidak lagi menentu. Kendati masih sama hanya hujan dan gersang tetapi kedatangan dua musim itu tak lagi pada jadwal yang diketahui bumi.Seingat Maudi tadi siang, waktu resepsi pernikahannya digelar, suhu bumi yang ia pijak tak jauh berbeda dengan panasnya gurun sahara. Tidak ada yang menyangka saat malam tiba justru dingin serta rintik hujan melanda.Protes? Oh jangan salah, Maudi bukan sedang protes. Ia hanya ingin bicara bahwa jangan pernah percaya apa kata ramalan cuaca.Hujan ini bagus.Bagus, sangat bagus malah.Ada yang lupa? Ini malam pengantin Maudi dan Satria.Malam pertama dan hujan, apa ada yang lebih bagus daripada itu?Mungkin ada.Berkumpul bersama teman saat hujan di hari pernikahan mungkin terasa amat menyenangkan bagi pengantin laki-laki. Terbukti dengan Maudi yang masih tertidur sendiri meski jam di dinding sudah menunju angka dua belas. Sudah tengah malam! Padahal suasana sedang mendukung tetapi dia malah asik nong
Kehidupan pernikahan persis dengan apa yang pernah Maudi bayangkan. Tidak perlu bertanya jauh-jauh, Maudi sudah bisa memahami hanya dengan mendengar keluh kesah teman-teman yang lebih dulu menikah.Dan sekarang. Giliran Maudi yang mengalami itu.Jangan kira dalam cerita romansa yang ada cuma adegan mesra-mesra. Nyatanya kehidupan nyata lebih mencolok dari picisan kata cinta.Indah? Tentu ada indahnya juga, namanya juga hidup. Maudi bahkan berani bilang kalau ia tak pernah sebahagia ini sebelumnya.Ngomong-ngomong, Maudi sudah menjadi seorang ibu.Maksudnya, ibu sungguhan. Mengandung dan melahirkan. Enam bulan lalu Maudi melahirkan seorang putri cantik dari perutnya. Adiknya Calum.Tak lama setelah menikah, Maudi langsung hamil, maka dari itu tidak ada masa pacaran setelah menikah. Yang ada cuma morning sickness, emosional rollercoaster, ngidam dan kaki yang bengkak.Satria begitu memanjakan Maudi. Apalagi saat hamil. Rasanya Maudi seperti kembali jadi anak k
Suara gemrusuk radio menjadi teman seorang gadis berpawakan sedang yang tengah menjemur lusinan cucian.Matahari sudah tinggi dan tidak ada lagi lagu ayam jantan berkokok, hari ini masih sama seperti biasa tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.Gadis yang rambut serta kaosnya basah karena habis mencuci itu kemudian memeras baju ditangan.Wajahnya sedatar aspal jalan raya, ditelinganya penuh suara lebah yang mengganggu. Bahkan setelah volume radio disetel tinggi memekak, suara melengking wanita paruh baya yang tinggal disamping rumahnya itu rasanya masih belum terkalahkan.Membuatnya pening bukan main."Rean anaknya Bu RT pulang kampung loh, bikin pangling, jadi putih melong, tambah ngguanteng," kata wanita paruh baya yang menggunakan daster hijau itu, tangannya bergerak tinggi hingga deret emas melingkar di pergelangan tangannya berbunyi.Maudi masih melanjutkan kerjaannya tanpa menggubris, mengumpat dalam hati, menyesali kenapa juga harus mencuci sebany
Maudi duduk dilantai, di meja ruang tamu ini ada berlembar-lembar kertas polio dan juga amplop besar berwarna coklat yang menemani perjuangan para pengangguran.Sementara tangan Maudi sedari tadi sibuk mengscroll grup loker di Facebuk dan juga laman BKK sekolah lamanya.Meneliti ada loker apa saja disana. Yang sekiranya mampu Maudi masuki.Oh. Mata Maudi seketika menajam ketika matanya menemukan sebuah pengumuman.Dibutuhkan operator produksi… Maudi terus membaca fokus hingga tarikan napas dalam dan pejaman mata lelah dilayangkan. Jengah. Kenapa gender-nya harus ditaruh di baris paling bawah sih! Bikin orang ge-er saja!Betul. Lagi-lagi loker tadi diperuntukan kepada laki-laki.“Lanang mulu! Emansipasi wadon dimana adanya sih!” eluh Maudi sembari terus mengscroll layar ponsel genggamnya.Melihat lagi lowongan perkerjaan yang lain.Oh ini. Maudi mengedipkan mata agar bisa lebih fokus.Dibutuhkan … wanita, mata Maudi berbinar-binar.Fresh graduate, tinggi
Malam hari ini juga sama seperti malam sebelumnya, satu bungkus mie instan rasa soto ayam menjadi andalan perut Maudi yang keroncongan. Menyajikan kegurihan kuah soto dan juga kenyalnya makanan yang terbuat dari tepung itu. Sembari menunggu air mendidih Maudi berjalan menuju halaman rumahnya, dimana tempat ibunya biasa berkreasi dengan para tanaman, berniat mengambil dua buah cabai untuk membumbui rasa mie yang akan ia buat.Sialnya, dimalam cerah dengan hawa sejuk ini Maudi harus menghadapi cobaan begitu berat.Saat ia baru kaluar dari rumah dan memakai sandal karet, ada satu motor ninja hijau dengan kenalpot brisik berhenti di samping rumahnya, Maudi menatap bagaimana perempuan yang duduk di jok belakang itu berpegangan tangan.Amit-amit! Gidik Maudi lekas-lekas, kayak uler keket, nemploknya rapet banget, nggak geli atau canggung apa! Dasar bondolan!Benar. kalau itu merupakan penghuni sebelah rumah Maudi, ya memangnya siapa lagi kalau bukan Sara si Bondolan 35. Dan si
“Jangan pulang kemaleman lagi,” ceramahan itu direspon dengan menguapnya rasa kantuk dari mulut Maudi.Ngantuk. Super duper ngantuk, omlean ibu itu sudah seperti dongeng pengantar tidur bagi Maudi, dan Maudi yang sedari tadi sibuk dengan televisi terpaksa harus membagi fokus pendengarannya dengan kalimat yang keluar dari mulut Tiar.Kemarin Maudi pergi. Begini nasib jadi anak rumahan, Maudi dirumah terus mereka ngoceh, pergi sebentar malah tambah ricuh ngocehnya.Memangnya apa sih yang salah? Apa Maudi pergi dan pulang malam seban hari sampai mereka harus berceloteh macam manusia yang kerjaannya cuma komen hidup orang lain. Maudi pergi sebulan sekali pun tidak. Dan kemarin itu ia baru keluar kandang setelah sekian lama hibernasi. Heran deh, dasar human!Maudi mengusap sudut matanya yang basah. “Kemaleman apanya sih, Bu. Orang jam setengah sembilan udah dirumah.”Dan lihat?Setengah Sembilan itu terlalu malam? Bahkan anak SMP yang suka tongkrongan di pertigaan sana
Ridho Tuhan adalah ridho orang tua juga, katanya begitu.Mungkin karena itu Maudi jadi sial begini, ia terkena tulahnya. Berbohong soal kepergiannya, malah jadi malapetaka tersendiri.Maudi menyesal tentu saja, ia bahkan tidak punya rencana saat kakaknya Mario menurunkan ia di stasiun kereta. Maudi baru mencari loker-loker di ponselnya saag gadis itu sudah duduk dikursinya dan kereta yang ia tunggangi melaju.Dan waktu itu ia bertemu seorang pemuda tampan, mungkin usianya seumuran dengan Mario, namun wajahnya putih dan beruntung sekali karena punya babyface, Maudi tak berbicara banyak dengan laki-laki yang kata Eva mirip Jimin Kw-5.Eva melihat laki-laki ini saat Maudi melakukan panggilan video tadi. Dan setelah selesai, saat Maudi sedang memeriksa berkasnya, laki-laki yang duduk disebelah Maudi itu menyeletuk menggunakan Bahasa Indonesia.Bertanya soal ‘mau cari kerja di Jakarta? Mau ngelamar dimana? atau berangkat buat tes aja?’ dengan nada sua
Maudi melepas cekalan tangan Dona cepat-cepat ketika Satria sudah berada cukup dekat darinya. Berlari dengan hak tinggi kepayahan sebelum akhirnya berhasil bersembunyi di belakang tubuh lelaki tinggi berkemeja formal itu.Maudi mencengkram ujung kemeja Satria.“Maudi kamu ngapain disini?” tanya Satria pada anak tetangganya itu, matanya tak menyembunyikan keterkejutan, ia tidak tau kalau Maudi di Jakarta, setaunya anak tetangga itu tak pernah keluar kota. Satria menoleh pada Maudi yang terlihat berbeda dengan Maudi yang ia kenal, pakaiannya, dandanannya. “Trus kenapa pake baju begini? Casting? Ikut audisi acara dangdut Indonesia?”Sebenarnya Maudi sangsi ditanyai hal sedemikian rupa, namun bagaimana lagi, ia sedang tidak dalam posisi yang boleh untuk berdecak sebal atau sekedar melempar protes pada anak tetangganya ini.“Jangan tanya-tanya itu dulu, Mas. Selametin aku dulu,” kata Maudi kemudian, sumpah demi apapun matanya berat sekali karena bulu mata palsu yang ditempelk