Maudi duduk dilantai, di meja ruang tamu ini ada berlembar-lembar kertas polio dan juga amplop besar berwarna coklat yang menemani perjuangan para pengangguran.
Sementara tangan Maudi sedari tadi sibuk mengscroll grup loker di Facebuk dan juga laman BKK sekolah lamanya.Meneliti ada loker apa saja disana. Yang sekiranya mampu Maudi masuki.Oh. Mata Maudi seketika menajam ketika matanya menemukan sebuah pengumuman.Dibutuhkan operator produksi… Maudi terus membaca fokus hingga tarikan napas dalam dan pejaman mata lelah dilayangkan. Jengah. Kenapa gender-nya harus ditaruh di baris paling bawah sih! Bikin orang ge-er saja!Betul. Lagi-lagi loker tadi diperuntukan kepada laki-laki.“Lanang mulu! Emansipasi wadon dimana adanya sih!” eluh Maudi sembari terus mengscroll layar ponsel genggamnya.Melihat lagi lowongan perkerjaan yang lain.Oh ini. Maudi mengedipkan mata agar bisa lebih fokus.Dibutuhkan … wanita, mata Maudi berbinar-binar.Fresh graduate, tinggi minimal 160.Binar dimata Maudi seketika lenyap. Sudut bibir gadis lajang itu berkedut ingin mengumpat. Anying mangan urang garing!“Ini mau cari karyawan apa bintang iklan Bapak/Ibu personalia?” kesal Maudi seraya menunjuk-nunjuk tak santai pada postingan dilayar handphonenya.Tinggi Maudi hanya serratus lima puluh doang! Kurang sepuluh centi lagi, banyak sekali.Untuk mendaftar di pabrik-pabrik besar di metropolitan memang sedikit sulit untuk muda-mudi yang punya masalah ketinggian seperti Maudi.Jadi. Oke menyerah saja. Secepat itu Maudi menyerah.Maudi menekan ikon kembali di ponselnya, beralih mencari grup loker di kotanya saja.Dan tentu. Gaji UMR Purwokerto tidak bisa dibandingkan dengan UMR kota besar seperti Cikarang atau Karawang sana.Maudi tidak terlalu memikirkan gaji sebenarnya, ia hanya perlu sesuatu untuk dikerjakan dan bisa lepas dari nyinyiran tetangga saja sudah syukur sekali.Maudi menahan jemari pada salah satu postingan.Dibutuhkan SPG event … … Goodlooking.Maudi melempar ponselnya asal.Kenapa juga Maudi harus hidup di dunia yang seperti ini?! Dimana letak keadilan woy!Maudi menjerit tertahan. Untuk ukuran jomblo dari lahir sepertinya tak perlu dipertanyakan lagi apakah Maudi ini termasuk dalam golongan gadis-gadis glowing yang gudluking atau golongan butek yang mandi dua hari sekali. Maudi punya kaca dirumah, tenang saja.Di kota kecil ini memang kebanyakan membutuhkan tenaga kerja untuk ruko, pertokoan, pasaraya dan juga mall besar.Ada pabrik juga. Namun kadang tak sepadan lelah kerja dengan hasilnya. Karena gaji sama dengan para SPG di mall ber-AC sana sementara capeknya berkali-kali lipat. Nggak worth it!Dan dengan pribadi Maudi yang pilih-pilih ini, tentu ia sudah kehabisan peluang. Tentunya dengan sedikitnya lapangan kerja dan banyaknya lulusan-lulusan baru, yang muda-muda lebih dicari, lebih kompeten, lebih semangat kerjanya, lebih mudah dikibulin.“Buang-buang duit tok aku beli ginian!” gerutu Maudi sambil melirik kertas polio dan juga fotokopian berkas-berkas di meja.Sudah uang mung-mungan, nggak tau cara balikinnya gimana.Dulu sewaktu masih sekolah, tiada hari bagi Maudi untuk tidak mengatakan ‘ingin cepat-cepat lulus’, teringin segera keluar dari bui putih abu-abu dan segera mencari uang untuk diri sendiri.Motonya dulu adalah; nakal dulu baru sukses. Suka bolos sekolah meski perempuan, tidak mengerjakan PR, ikut coret-coret dan bahkan konfoi saat lulusan.Memang nilai Maudi cukup bagus, tapi, saat itu ia belum tau kalau nilai saja tidak cukup untuk membuat seseorang mendapatkan pekerjaan.Relita tak seindah expectasi, dan Maudi setuju dengan kalimat beken itu. Bahkan hari ini, Maudi punya pemikiran konyol seperti ‘ingin sekolah lagi’ meski tau itu amat mustahil.Menyadari bahwa berpikir terlalu lama juga tak akan membuahkan hasil apa-apa Maudi lanjut menulis surat lamaran pada kertas polio yang sudah terlanjur dibelinya.Menulis dengan cepat dan rapi tanpa menyontek, penanya melaju tanpa ragu seakan Maudi sudah hapal cara menulis surat lamaran pekerjaan dengan baik dan benar. Memang sudah hapal. Enam tahun nulis beginian, sudah ngeletek di kepala.Saat Maudi masih sibuk menulis salah satu pintu kamar berdaun coklat terbuka, Maudi mendongak, lalu mengulas senyum sok cantik, tangannya terangkat melambai pada laki-laki tinggi yang sepertinya baru saja bangun tidur.“Mas!” panggil Maudi pada kakak ketiganya.Mario menoleh sembari menguap lebar, menatap datar, tangan kakak Maudi itu menggaruk bokong yang mungkin memang gatal.“Minta duit,” lanjut Maudi entang tangannya mengadah.“Buat apa?”Mata Maudi seketika mendelik, ada tanda-tanda akan di kasih. Gadis dua puluh lima tahun itu mengetukan ujung pena ke atas meja. “Nge-pos.”Mario melirik sekilas pada surat lamaran pekerjaan yang ada di meja.“Mau kirim kemana emang?” tanya Mario lagi.Maudi saja belum tau mau dikirim kemana, jadi dia hanya membalas sekenanya. “Ada lah, bagi duit cepetan.”Mario mendecih serampangan setelah mendengar kalimat adiknya itu.“Lo yang nyuci kemarin kan? Ada lima puluh disaku celana coklat gue, lo ambil kan? Gak usah pura-pura gila.”Aduh.Kenapa harus inget sih! Gerutu Maudi dalam hati.Maudi menarik turun lengannya yang masih mengacung. Wajahnya seketika cemberut.“Itu udah buat motokopi,” elak Maudi lagi, meski terang-terang kalau uang kakaknya itu masih bersisa.Mario menarik satu ujung bibirnya, menciptakan seringai tengil. “Sorry lah yaw! Lo nge-pos mulu nggak ada panggilan juga. Bojo aja wes!”Dan setelah itu Mario pergi menuju belakang meninggalkan Maudi yang terdiam dengan wajah dongkol bukan main.Berbicara dengan Mario memang tidak pernah mudah, selalu saja terbawa emosi.Tak lama setelah itu, mungkin hanya lima detik, pintu utama rumah yang terbuka itu dimasuki seseorang berbadan lebih pendek dari kakak Maudi yang ketiga tadi, mengucap salam sembari melepas sepatu.Maudi berbinar melihat Megan- kakak keduanya baru pulang kerja.Oh, apa Maudi belum bilang?Kakak Maudi itu ada tiga. Yang pertama Mesi, dia sudah menikah dan pindah ke kota istrinya. Yang kedua Megan, kakak paling baik sepanjang masa, dia tidak banyak bicara dan cool, sudah mau menikah, tahun depan lebih tepatnya. Dan yang terakhir ada Mario. Maudi tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang kakak ketiganya, kalian bisa simpulkan sendiri. Barusan terlihat bagaimana Mario memperlakukan Maudi.“Mas, bagi duit,” pinta Maudi dengan tangan mengadah lengkap senyum yang dibuat semanis mungkin.Padahal kakak keduanya itu belum masuk rumah sama sekali sudah ditodong.Megan tak mengatakan apapun, hanya lanjut meletakan sepatu ke rak di samping pintu lalu beralih menghempaskan diri duduk di sofa. Megan meletakan tas di pangkuan, merogoh kantong dan mengeluarkan dompet, menyerahkan uang lima puluh ribuan tanpa mengatakan pertanyaan apapun.Kakak paling baik sedunia!Maudi menerima uang itu dengan pekikan antusias. Sampai sujud syukur.“Rahasia nggak seret jodoh itu emang sodakoh pada kaum tersolimi!” teriak Maudi keras-keras agar kakak ketiganya mendengar dari belakang sana.Tawa kecil terdengar dari Megan, Maudi menoleh cepat-cepat. “Mau dibuatin kopi mas?”Megan menggeleng. “Lanjut nulis aja.”Setelah itu Megan pun beranjak menuju kamarnya sendiri.Maudi hanya mengangguk patuh, gadis dua puluh lima tahun itu mencium uang berwarna biru yang diberikan Megan padanya, lalu Maudi menjejalkan uang yang merupakan hidup dan matinya itu kedalam kantong celana.Kemudian putri bungsu keluarga itu pun segera melanjutkan tulisannya, sampai ia mengingat sesuatu yang menganggu, sesuatu yang penting namun belum ditemukannya.Yaitu; kepada siapa surat lamaran ini akan ia antarkan.Maudi meraih handphonenya kembali. Semangatnya sudah terbakar lagi, mencari loker di grup Facebuk kota dengan UMK tertinggi di Indonesia. Mempunyai niat untuk merantau.Seakan ditakdirkan, mata Maudi langsung menemukan satu lowongan pekerjaan dengan kualifikasi yang ia punya.Dibutuhkan… Babysitter.Maudi terdiam sejenak, berpikir.Ia tidak pernah diridhoi merantau untuk menjadi babysitter atau asisten rumah tangga, entah kenapa, padahal Maudi sendiri tidak masalah dengan itu, yang penting halal. Namun kembali lagi, kalo tidak diridhoi ujung-ujungnya tidak akan baik.Maudi menscroll loker kota Cikarang dengan ibu jarinya, kemudian menemukan satu postingan lowongan pekerjaan, yang mana dituliskan; dijamin kerja dan administrasi, alias lewat jalur curang pencaloan. Oke. Dari pada dirumah terus. Maudi hanya perlu meyakinkan ibu dan kakak agar mengijinkannya pergi. Tentu saja. Kalau surat lamarannya mendapat balasan.--
Malam hari ini juga sama seperti malam sebelumnya, satu bungkus mie instan rasa soto ayam menjadi andalan perut Maudi yang keroncongan. Menyajikan kegurihan kuah soto dan juga kenyalnya makanan yang terbuat dari tepung itu. Sembari menunggu air mendidih Maudi berjalan menuju halaman rumahnya, dimana tempat ibunya biasa berkreasi dengan para tanaman, berniat mengambil dua buah cabai untuk membumbui rasa mie yang akan ia buat.Sialnya, dimalam cerah dengan hawa sejuk ini Maudi harus menghadapi cobaan begitu berat.Saat ia baru kaluar dari rumah dan memakai sandal karet, ada satu motor ninja hijau dengan kenalpot brisik berhenti di samping rumahnya, Maudi menatap bagaimana perempuan yang duduk di jok belakang itu berpegangan tangan.Amit-amit! Gidik Maudi lekas-lekas, kayak uler keket, nemploknya rapet banget, nggak geli atau canggung apa! Dasar bondolan!Benar. kalau itu merupakan penghuni sebelah rumah Maudi, ya memangnya siapa lagi kalau bukan Sara si Bondolan 35. Dan si
“Jangan pulang kemaleman lagi,” ceramahan itu direspon dengan menguapnya rasa kantuk dari mulut Maudi.Ngantuk. Super duper ngantuk, omlean ibu itu sudah seperti dongeng pengantar tidur bagi Maudi, dan Maudi yang sedari tadi sibuk dengan televisi terpaksa harus membagi fokus pendengarannya dengan kalimat yang keluar dari mulut Tiar.Kemarin Maudi pergi. Begini nasib jadi anak rumahan, Maudi dirumah terus mereka ngoceh, pergi sebentar malah tambah ricuh ngocehnya.Memangnya apa sih yang salah? Apa Maudi pergi dan pulang malam seban hari sampai mereka harus berceloteh macam manusia yang kerjaannya cuma komen hidup orang lain. Maudi pergi sebulan sekali pun tidak. Dan kemarin itu ia baru keluar kandang setelah sekian lama hibernasi. Heran deh, dasar human!Maudi mengusap sudut matanya yang basah. “Kemaleman apanya sih, Bu. Orang jam setengah sembilan udah dirumah.”Dan lihat?Setengah Sembilan itu terlalu malam? Bahkan anak SMP yang suka tongkrongan di pertigaan sana
Ridho Tuhan adalah ridho orang tua juga, katanya begitu.Mungkin karena itu Maudi jadi sial begini, ia terkena tulahnya. Berbohong soal kepergiannya, malah jadi malapetaka tersendiri.Maudi menyesal tentu saja, ia bahkan tidak punya rencana saat kakaknya Mario menurunkan ia di stasiun kereta. Maudi baru mencari loker-loker di ponselnya saag gadis itu sudah duduk dikursinya dan kereta yang ia tunggangi melaju.Dan waktu itu ia bertemu seorang pemuda tampan, mungkin usianya seumuran dengan Mario, namun wajahnya putih dan beruntung sekali karena punya babyface, Maudi tak berbicara banyak dengan laki-laki yang kata Eva mirip Jimin Kw-5.Eva melihat laki-laki ini saat Maudi melakukan panggilan video tadi. Dan setelah selesai, saat Maudi sedang memeriksa berkasnya, laki-laki yang duduk disebelah Maudi itu menyeletuk menggunakan Bahasa Indonesia.Bertanya soal ‘mau cari kerja di Jakarta? Mau ngelamar dimana? atau berangkat buat tes aja?’ dengan nada sua
Maudi melepas cekalan tangan Dona cepat-cepat ketika Satria sudah berada cukup dekat darinya. Berlari dengan hak tinggi kepayahan sebelum akhirnya berhasil bersembunyi di belakang tubuh lelaki tinggi berkemeja formal itu.Maudi mencengkram ujung kemeja Satria.“Maudi kamu ngapain disini?” tanya Satria pada anak tetangganya itu, matanya tak menyembunyikan keterkejutan, ia tidak tau kalau Maudi di Jakarta, setaunya anak tetangga itu tak pernah keluar kota. Satria menoleh pada Maudi yang terlihat berbeda dengan Maudi yang ia kenal, pakaiannya, dandanannya. “Trus kenapa pake baju begini? Casting? Ikut audisi acara dangdut Indonesia?”Sebenarnya Maudi sangsi ditanyai hal sedemikian rupa, namun bagaimana lagi, ia sedang tidak dalam posisi yang boleh untuk berdecak sebal atau sekedar melempar protes pada anak tetangganya ini.“Jangan tanya-tanya itu dulu, Mas. Selametin aku dulu,” kata Maudi kemudian, sumpah demi apapun matanya berat sekali karena bulu mata palsu yang ditempelk
Waktu itu, Maudi disuruh menunggu di ruang tunggu hotel lebih dahulu sementara Satria meneruskan pekerjaannya. Mengurus seminar yang sedang berlangsung dan sudah ditinggal cukup lama.Maudi menunggu sekitar tiga puluh menit lamanya, hingga matanya memerah menahan kantuk. Lalu setelah Satria kembali Maudi tak menunda untuk bangun dari duduk. Antusias, berterimakasih.Mengampit tas travelnya, menenteng sepatu tinggi ditangan dan berjalan tanpa alas kaki.Melihatnya Satria menghembuskan napas sekilas, mana ada sih gadis perawan dewasa begini tingkahnya. Satria berjalan menuju resepsionis. Meminta satu slipper hotel. Dan memberikannya pada Maudi untuk dipakai.Maudi pun hanya memakainya tanpa banyak cakap.Setelah itu, mereka pergi, Satria menggunakan motor lelaki, bukan ninja seperti punya Rean, tapi motor lelaki yang badannya tidak terlalu besar. Maudi tau namanya, tapi ia lupa. Ah iya. Motor macan.Yang jelas. Motor ini membuat Maudi kesulitan. Jelas saj
Maudi terbangun dari tidur saat siang sudah menjadi raja.Semalam Maudi tidak bisa tidur, entah kenapa, padahal biasanya kalau memang badan sudah lelah Maudi akan dengan gampang jatuh terlelap. Tetapi karena kemelut pikiran yang tak berujung dan juga Jakarta yang panas membuat Maudi tak mau memejam.Kalau kemarin Maudi masih bisa tidur ditempat Dona karena setidaknya ada bantuan kipas angin, hari ini, tidak ada, ia hanya mendapatkan sedikit angin dari sobekan kardus bekas, dan tentu saja tidak membantu, terbukti dengan baju Maudi yang basah oleh keringat seperti habis jogging pagi-pagi.Ketika Maudi bangun Satria sudah tidak ada. Pria itu sudah pergi ke kantor sepertinya, mengingat jam di dinding sudah menunjukan waktu yang cukup siang.Maudi pun bergegas menuju kamar mandi, ia yang biasanya mandi hanya saat hendak keluar sekarang harus mandi sesaat setelah bangun tidur karena badannya bau asam.Selesai mandi Maudi baru melihatnya. Saat kakinya baru keluar dari pintu
"Besok?"Dua mata Maudi mengedip cepat, jemari kurus gadis itu saling berpaut lengkap dengan kegugupan hakiki.Maudi sedang melaksanakan rencananya, meski tau bahwa sesuatu yang dimulai dengan kebohongan tidak akan pernah berakhir dengan baik, tetap saja Maudi tergoda untuk berbohong. Sebenarnya buka tergoda juga, Maudi terpaksa. Ia tidak akan berbohong kalau tidak sedang kepepet kok.Maudi berdehem kecil. Ia mengangguk sembari menatap Satria yang sedang duduk di depannya."Iya, temenku bilang besok baru bisa buat pindahan. Soalnya kerja shif dia," balas Maudi.Maudi meminta Satria untuk mengijinkannya numpang tidur di kosan ini satu hari lagi sebelum Maudi menemukan solusi atas nasibnya sendiri.Tentu saja yang dikatakan Maudi barusan adalah sebuah kebohongan. Karena terang saja, semua teman Maudi yang sepertinya bisa diandalkan tiba-tiba sekali tidak punya kesempatan membantu, mereka semua sibuk dengan pekerjaan dan juga ada yang sudah punya roomate.
Maudi mengikuti kemana Satria pergi. Tak memperdulikan guyonan tak lucu pasal ginjal dari mulut lelaki ini.Seingatnya Satria menyambar kunci motor sebelum berdiri beberapa saat lalu, jadi Maudi pikir tempat Abang nasi gorengnya akan jauh, tapi ternyata hanya diujung gang, yang bahkan bisa sampai hanya dengan jalan kaki.Entah apa motivasi Satria hingga mau-maunya mengeluarkan motor dari tempat parkir dan memilih pergi dengan motor.Maudi turun dari motor Satria. Menunggu lelaki itu selesai menyetandar dan mematikan mesin motornya.Lalu saat Satria turun dari motor dan mendekati gerobak Abang tukang nasi goreng Maudi pun hanya mengekor."Larisan ya?" kata Satria pada si Abang tukang nasi goreng, Maudi tak benar-benar menghiraukan, ia hanya melempar pandangan kearah lain, melihat-lihat sekitar.Setelah berapa saat pertanyaan itu terdengar dari si Abang tukang nasi goreng.Maudi mendengarnya, ia pun melirik, tersenyum tipis."Siapa bro?" tanya t