“Aku melihatnya,” kataku dengan suara datar.
“Jadi apa rencanamu sekarang? Kau mau kita melihat situasinya terlebih dahulu atau kau ingin melakukan sesuatu secepatnya?”
“Tidak perlu terburu-buru, Code. Kita lihat saja apa yang dilakukannya. Bagaimana kau tahu tempat ini?”
Cody tertawa. “Aku mendapatkan salinan target dari Ryan. Meskipun menjadi pendamping aku harus bisa memaksimalkan diriku. Sekali lagi kutanya apa yang akan kau rencanakan untuk menggagalkan rencana si brengsek itu?”
“Kau akan tahu nanti, bisakah kau melawannya tapi jangan sampai menang. Kau harus mengalah apapun yang terjadi.” Aku memberikan intruksi pada Cody. Seperti tahu apa yang harus ia lakukan, Cody mengangguk dan aku turun dari motornya.
Aku memperhatikan Cody yang perlahan mendekati target. Dia membuka helmnya dan bersalaman sebentar. Aku bisa melihat Cody mengajak pria itu tertawa. Badannya yang besar dan berotot benar-benar memakau banyak orang.
Sementara waktu aku melepaskan helmku dan membiarkan rambut panjangku terurai. Sangat lurus karena aku belum sempat melakukan apapun pada rambutku. Setelah melepaskan zipper jaket kulitku, aku membiarkan tubuhku terekspos bebas. Aku merasakan seseorang mendekatiku lalu mengajakku bicara sedangkan mataku hanya terfokus pada Cody.
“Hai, Cantik! Aku baru melihatmu disini. Boleh kutahu namamu, Sweet?”
“Tidak!” Aku membalas cepat. Bahkan aku tidak menoleh sama sekali.
“Kita bahkan bisa mampir ke hotel kalau kau mau,” katanya lagi.
Aku mendengus lalu berjalan ke depan, menjauhi pria itu. Aku melihat Cody dan targetku bersiap di garis start. Dengan langkah berani dan sangat mantap aku menghampiri Cody. Berbeda dengan targetku yang tampan dan begitu atletis, Cody tidak disoraki bahkan oleh satupun penggemar.
“Kau akan baik-baik saja, oke?” Aku berteriak kepada Cody, suara bising dari motor membuatku harus berteriak lebih keras. Mengulangi ucapanku pada Cody. Aku membisiki sesuatu sambil mendekatkan bibirku pada telinga Cody. “Menengoklah dan lihat apa yang sedang dilihatnya?”
Cody menuruti permintaanku dan melihat ke arah lawannya balapan. Tepat pada saat itu aku berpapasan mata dengannya. Kami terdiam dan saling menatap satu sama lain. Saat aku melihatnya tersenyum padaku, aku membalasnya. Cody menoleh kepadaku dan mencium pipiku sekilas. Dia cukup tahu apa yang harus dilakukannya tanpa menunggu apa yang akan kuperintahkan.
Sorot tajam terlihat di wajah pria itu, senyumnya luntur dan dia manatap Cody garang. Cody mulai memakai helmnya dan saat wanita cantik nan seksi menjatuhkan benderanya motor Cody dan lawannya beradu dengan cepat. Aku tidak bisa melihat apapun saat mereka sudah sampai di belokan.
“Hai!” Seseorang menyentuh bahuku. Dari suaranya aku bisa mengenali bahwa pria ini bukanlah orang yang tadi. Aku berbalik dan melihat pria berwajah tampan dan manis menghampiriku. “Aku Shawn Blackmore.”
“Sam, Samantha Karel,” aku membalas sambil menyalaminya.
“Aku baru pertama kali melihatmu, sepertinya?”
“Ya, aku baru datang sore ini,” jawabku sejujurnya.
“Kau dari mana?”
“Boston, USA.”
“Pantas saja. Kau cantik sekali,” katanya kemudian tertawa riang. “Kau tinggal di mana?”
“Aku ... ehm, entahlah aku lupa di mana tepatnya, aku kemari bersama seorang teman,” jawabku lagi.
Shawn nampak mengangguk lalu menatapku malu-malu. “Besok akan ada pasar malam di dekat sini. Jika kau mau, aku ingin mengajakmu ke sana!”
Aku tersenyum tipis ke arah Shawn lalu melihat ke sekelilingku. Beberapa orang terlihat mengobrol dengan yang lainnya. Dengan pakaian seksi mereka, para wanita yang berada di tempat ini terlihat menggoda. Aku juga melihat kerumunan lelaki yang duduk di atas motor mereka sedang berbincang. Aku balas menatap Shawn lalu memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. Sudah jelas sekali bahwa dia ... tampan. “Aku bisa. Kita bisa bertemu di sana.”
“Kau serius?” Dari kilau matanya aku bisa menebak bahwa Shawn tidak percaya padaku. Tapi beberapa saat kemudian dia mengangguk dengan wajah ceria. Beberapa saat kemudian Shawn mengambil ponselnya dan meminta nomer ponselku.
Aku memberikan nomer ponselku pada Shawn lalu tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“Shawn! Kemarilah!” teriakan beberapa orang terdengar di telinga kami.
Shawn menoleh lalu menatapku dengan wajah menyesal. “Sepertinya aku harus pergi sekarang!”
Aku mengangguk kecil, dan suara orang yang memanggil Shawn lagi-lagi terdengar. Dia berbalik lalu setengah berlari menjauh dariku. Aku menatapnya dari kejauhan.
“Sam, sabtu malam besok.. aku menunggumu di sana!” teriaknya lagi.
Aku tersenyum lalu mengangguk samar. Shawn makin menjauh sampai akhirnya ada dua orang wanita yang menghampiriku dengan wajah sinis. Aku tahu pasti mereka tidak menyukaiku. Meskipun begitu aku tetap memaksakan diriku tersenyum tipis ke arah mereka.
“Siapa namamu?” tanya seorang gadis berambut blonde padaku. Mereka bahkan tidak membalas senyumanku barang sedikit saja.
“Sam,” jawabku pendek.
“Oh?”
“Kau baru pertama kali ke sini ya?” Gadis berambut merah menatapku dari atas ke bawah. Seolah menilai penampilanku dengan teliti. Bahkan dari penampilannya saja aku berpikir bahwa mereka tidak lebih dari jalang. Astaga, mereka menilaiku tapi melupakan kenyataan atas diri mereka sendiri. “Kau ingin mencari pasangan?”
“Ya, aku baru pertama kali ke sini. Namun aku sama sekali tidak sedang mencari pasangan sama sekali.”
“Sayang sekali….” gadis yang pertama kali mengajakku bicara menyahut. “Padahal disini banyak laki-laki kaya.”
“Sepertinya aku harus permisi!” Aku menatap kedua wanita dihadapanku dengan tajam lalu perlahan menjauhi mereka. Bersyukur mereka tidak mengejarku, meskipun aku bisa mendengar bagaimana mereka mengejekku dengan kata-kata kotor mereka.
Untuk beberapa saat aku hanya terdiam. Mengecek ponselku lalu teringat janjiku sendiri bahwa akan menelpon Justin dan juga Jacob setelah makan malam tadi. Aku mendial nomer Justin lalu menunggu tersambung. Aku memang sudah mempunyai nomer telpon baru di Liverpool karena sebelum aku berangkat, aku sudah berpesan ke Gio, dan sudah memberikan nomerku pada Justin, Jacob, Cody, dan Ryan sebagai atasanku, selain mereka tidak ada yang mengetahui nomer baruku ini. Meskipun begitu aku bisa menggunakan aplikasi whatsapp untuk menggunakan nomer lamaku.
“Halo, Sweet! Akhirnya kau menghubungiku.”
“Kau sudah makan siang di sana?” tanyaku.
Justin tertawa masam lalu berkata dengan getir, “Aku sudah makan, minum, buang air, dan tidur. Aku sangat merindukanmu, sayang.”
“Aku tahu dan aku juga merasakan apa yang kau rasakan saat ini.” Aku melihat ke ujung jalan dan orang-orang di sekitar sini mulai ribut. Bisa kupastikan bahwa mereka sudah kembali. “Justin, disini sangat ramai! Aku akan menghubungi lagi. Maafkan aku.”
“Memang kau berada di mana sekarang?” suara Justin terdengar berat.
“Aku bersama temanku. Aku akan menghubungimu nanti.” Dengan cepat kututup telponku dan semakin fokus pada yang kulihat. Pria itu berada di depan lalu melewati finish duluan. Aku melihat Cody beberapa detik kemudian lalu berhenti lumayan jauh dari pria itu.
“Shit....” Cody marah hebat! Aku benar-benar salut dengan aktingnya. Kuhampiri Cody lalu berbicara dengan suara hampir berteriak karena berisik sekali. “Malam ini memang sial!”
“Code, tidak perlu seperti itu,” balasku santai sambil menyentuh lengannya dengan otot-otot bisep yang terasa di tanganku. “Kau akan menang lain kali.”
“Katakan padaku siapa yang akan menang lain kali?”
Aku tidak terlalu kaget. Aku menoleh ke sampingku dan melihat pria dewasa berpakaian super ketat menatapku menggoda. Dia yang tadi dilawan Cody. Menghampiri kami dan ikut dengan perbincangan kami.
“Aku.” Cody menjawab dengan mantap. “Lain kali kita harus bertanding di Detroit.”
Pria itu tertawa. “Tentu. Well, sebelum hal itu terjadi aku ingin mengetahui wanita cantik yang berada di hadapanku sekarang. Apa teman kencanmu, Code?”
Cody menatap garang. “Sebenarnya ... bukan.”
“Ya.” Kami berbicara bersamaan.
Pria itu kembali tertawa. “Aku Chris. Christoper Tristan Williams,” dia menyebutkan nama lengkapnya dan tangannya terulur padaku. “Kau?”
Setengah ragu aku mengulurkan tanganku, Chris dengan sengaja mengecup punggung tanganku. “Sam,” kataku pendek.
Chris tersenyum dan untuk kedua kalinya mengecup tanganku lalu menatapku menggoda. Dia memperhatikan penampilanku dan aku bisa merasakan dengan jelas tatapan matanya yang berakhir di bibirku. “Sangat menggoda.”
Aku menggigit bibirku lalu memakai helmku. Naik ke motor Cody dan berbalik tidak menatapnya. Berpura-pura malu dan jual mahal adalah aksi terhebatku.
Chris lagi-lagi tertawa sambil menatapku terus menerus. “Code, aku ingin mengajakmu bertanding, namun dengan taruhan ... yang sedang duduk di belakangmu!”
“APA?” Aku berteriak. “CODY….” Aku memperingatkan meskipun hatiku berharap Cody akan menerima tawarannya. Aku harus masuk ke kehidupannya. Mengetahui seluk beluk tempat tinggalnya dan melakukan tugasku dengan baik.
“Aku bersedia.”
“Kau jahat sekali!” teriakku kesal. “Antarkan aku pulang! Aku tidak mau berada di sini.”
“Sekarang?” Chris bertanya lagi. Dia tertawa saat melihatku marah. “Tenang saja, sayang. Aku hanya tertarik denganmu. Kau bisa tunggu disini, Sam. Tunggu, aku akan memanggil Kenna.” Chris tidak berhenti bicara. Dia kemudian berteriak. “McKenna....” panggilnya.
Pria berpakaian hitam seperti Chris menatap Chris lalu hanya dari gerakan mata dia melakukan tugasnya. Membawaku turun dari motor Cody dan kedua pria itu bersiap menjalani balapan lagi. Aku meronta namun sia-sia. Bukannya tidak bisa melepaskan diri tapi aku memang tidak mau. Aku yakin bahwa Cody mengetahui maksudku dan dia tidak akan mau menang dari pertandingan ini. Dia pasti kalah dan membiarkanku dekat dengan Chris.
Aku terdiam dan menunggu. Balapan antara Cody dan Chris sudah dimulai dan aku hanya harus menyiapkan diriku untuk kembali dipermainkan oleh lelaki kurang ajar macam Chris. Meskipun menawan dengan otot-otot di tubuhnya yang menantang, tidak lupa wajah tampannya serta tinggi badannya yang sempurna, 183 cm. Sejak awal aku tidak tertarik padanya. Aku hanya harus memainkan posisiku dengan baik dan menjamin bahwa semua rencanaku yang sudah kususun bersama Ryan berhasil dengan sempurna.
Aku harus menyiapkan diriku saat keriuhan semakin mencengkam dan sorakan terdengar saat melihat bayangan gelap seorang lelaki dengan motornya mendekati garis finish. Aku menahan napasku dan memejamkan mataku sejenak.
Dan saat aku membuka mata aku melihat Cody menghampiriku dengan senyum merekah. “Naik!” perintahnya.
Aku melihat ke arah Chris yang juga berada di belakang Cody, apa Cody menang? What the hell?
“Cepat naik! Aku akan memberitahumu di perjalanan,” jelas Cody. Dia tentu tahu apa yang ada dalam benakku saat ini.
Perlahan aku naik ke motornya dan Cody segera membalik arah. Menghampiri Chris dengan tatapan congak sambil menyapanya. “Chris, kita akan balapan lagi lain waktu!”
“Sialan!” Dan kemarahan Chris terlihat jelas di matanya. Dia menatap Cody mencemooh lalu giliran menatapku yang cepat-cepat bersembunyi di balik punggung Cody.
Cody melajukan motornya dengan tawa membahana hingga ujung jalan. Aku yakin kita akan pulang. Dalam perjalanan aku benar-benar tidak tahan untuk bertanya. “Mengapa kau mengacaukan semuanya?”
“Aku tidak mengacaukan apapun. Kau harus berpikir ulang untuk menyerahkan dirimu saat ini. Jelas saja dia belum tertarik padamu, setidaknya kurang. Mulai besok dia pasti akan mencari keberadaanmu dan keberadaanku. Kau pasti mengerti, Sam? Kita tidak akan datang hingga minggu ketiga, dia pasti akan senang melihatmu dan melihatku. Dan, saat itulah kau akan melangsungkan apa yang kau inginkan.”
“Oh?”
“Untuk beberapa waktu sampai aku menghubungimu lagi kau tentu bisa bersantai. Ryan bilang kau akan bekerja?”
Aku mengangguk. Sejauh ini apa yang dilakukan Cody jauh dari kata ‘mengacaukan urusan orang lain’, dia bahkan sangat mengerti akan kondisi yang kualami. Dia juga tidak tergesa-gesa dan cenderung matang. “Aku akan magang di kantor sahabat Gio. Kau akan pulang ke Manchaster?”
“Tidak. Aku akan menetap di Liverpool, mungkin kita beberapa waktu bertemu dan minum teh bersama?”
“Kita bisa minum kopi bersama,” ralatku.
Cody tertawa lalu menjawab, “Tentu saja. Bagaimana jika lakukan saat kencan kita minggu depan.”
“Kukira itu bukanlah hal yang buruk,” jawabku. Aku menganggap ini sebagai membayar balas budi akan apa yang dilakukannya tadi. Tentang pemikirannya yang matang dan membantuku menyelesaikan tugas.[]
***
Bersambung>>>>
Cody mengantarkanku sampai di depan gerbang rumah. Setelahnya dia pamit dan aku masuk ke dalam rumah. Gio yang sepertinya menungguku dengan segera membukakan pintu saat aku baru melangkah hendak membuka gerbang rumah. Dia melipat tangannya di dada dan aku bisa melihat wajahnya yang tegang. Aku melambai dengan senyum merekah tapi bukannya membalas Gio malah masuk ke dalam.Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa di ruang tamu di mana Gio juga sedang duduk di sana. “Kau menungguku?”“Ya, ke mana saja kau?” tanya Gio ketus. “Kau baru sampai kemari dan sudah berhasil membuatku takut. Kau bahkan tidak mengangkat telponku.”Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan ponselku. Benar sekali, ada 5 panggilan tidak terjawab dari Gio. “Maafkan aku.”“Kau bahkan belum tahu di mana letak dan alamat lengkap rumah ini, bagaimana jika temanmu tidak mengantarkanmu pulang?” katanya. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkanku. Sungguh aku se
Aku menggunakan kemeja putih dengan rok span hitam yang kupunya. Berjalan menggunakan sepatu hitam berhak 5 senti lalu berjalan mengantarkan dokumen penting milik Lucy ke mejanya. Kami saling tukar senyuman sampai akhirnya Lucy menyapaku duluan.“Terimakasih, Sam,” jawabnya dan aku hanya mengangguk. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di kantor ini, dan pekerjaanku yaitu menjadi asisten Lucy. Membantunya menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor.“Apa kau mau kubuatkan kopi? Aku akan ke pantry.” Aku menawarinya dengan ramah. Meskipun dia teman serumahku tapi aku juga sadar bahwa sekarang dia juga sebagai atasanku, setidaknya selama kami di kantor.“Tolong, tapi jangan beri gula ya!”Aku mengangguk lalu meninggalkan meja Lucy, aku tahu dia sedang sibuk. Dan rasanya aku bisa mengerti bahwa dia belum sepenuhnya mempercayakan pekerjaannya untuk kubantu. Aku hanya bolak-balik ke mesin fotocopy
Aku memang tidak seharusnya mempercayai Cody. Ryan salah besar tentangnya! Bagaimana bisa sudah lewat 3 hari tapi pesananku tidak pernah sampai. Aku ingat betapa muaknya aku saat harus menghubunginya lewat telpon 2 hari yang lalu.“Bajingan!” sapaku tidak sabar saat mendengar suaranya menyapaku; Halo! Aku benar-benar tidak butuh basa-basinya.“Sweet, jangan marah-marah dulu! Aku tahu kau merindukanku tapi tidak perlu memakiku seperti itu juga.”“Demi neptunus, aku tidak pernah merindukanmu, Travis! Kau melupakan perintahku terakhir kali kita bicara. Kau dengar aku!” bentakku. “Jika kau tidak bisa membantu banyak mengapa tidak mundur saja dan biarkan orang yang lebih cekatan untuk membantuku!”“Aku cukup cekatan, Sweet. Masalah motor itu ya? Aku sedang melakukan sedikit modifikasi, Sweet. Jadi bisakah kau tenang dan membiarkanku tidur sebentar. Aku janji akan menyelesaikannya sabtu ini.”“Aku tidak percaya padamu,
Aku harus berterimakasih pada Cody karena malam ini ia membuatku sangat senang setelah obrolanku dengan Shawn. Pria itu jelas-jelas berlebihan menanggapi hubungan kami. Kami hanya berciuman sekali dan dia sudah menganggapku lebih dari teman kencan. Aku akan menjadikan ini pelajaran bahwa tidak ada kencan kedua jika aku tidak menghendakinya sama sekali. Tidak peduli bagaimana orang-orang semacam Gio akan menceramahiku untuk tidak menjauhinya.Aku mengendarai Ninja putihku dengan cepat ke arena balap liar. Cody tidak ikut denganku dan katanya dia mau tidur saja karena gara-gara proyek motorku yang harus ia utak-atik beberapa hari ini membuatnya seperti vampire. Wajahnya pucat karena kelelahan dan kurang tidur.Area yang berupa jalanan beraspal nampak makin ramai saja. Aku sudah memakai stelanku malam ini. Hanya jaket kulit hitam yang berbeda dari yang kupakai minggu kemarin. Bahkan saking niatnya, aku memakai kaus hingga 4 lapis da
Liburan musim panas sudah datang. Perlahan tapi pasti aku berkemas lagi lalu mencoret sebuah tulisan di catatan yang kubuat setelah memasukan sebuah mini dress kesayanganku yang berwarna erah muda dengan panjang sepaha ke dalam tas ransel. Sebuah mini dress yang pas digunakan anak remaja sepertiku yang masih berusia belasan tahun. Mungkin maksudku, akhir belasan tahun.Hari ini aku akan melakukan penerbangan menuju kota Liverpool tempat kakak angkatku, Gio, tinggal. Dia memintaku datang dan berkunjung. Dan berhubung aku memang ada urusan pekerjaan ke sana akhirnya aku memutuskan menemuinya. Selain itu, menyenangkan hati saudara angkatku yang hampir 2 tahun tidak kutemui rasanya bukan ide yang buruk. Seingatku, kami bahkan terakhir kali bertemu saat kami pulang ke rumah orangtua kami di kota London. Aku sendiri sekarang sedang melanjutkan kuliahku di Boston University. Ada sebuah rahasia
Aku berjalan di samping Cody yang terus mengoceh. Dia sepertinya tidak berniat berhenti sedangkan aku tidak mempedulikannya. Bukankah kami sangat cocok?“Jadi di mana kakakmu? Siapa namanya, aku lupa saat kau memberitahukan namanya padaku di pesawat tadi?”“Gio,” jawabku dengan suara lemas. Dia bertanya sesuatu yang penting jadi aku patut menjawabnya. Kami terus berjalan dan aku melihat seorang lelaki yang tidak kukenali menulis nama “Cody Travis” di spanduk yang dibawanya. Aku menoleh ke belakangku dan Cody segera menyeretku mendekati orang tadi.“Matthew, apa kabar?” Cody benar-benar memeluk orang yang menjemputnya dengan erat. Mereka tertawa bersama lalu melepaskan pelukan mereka.“Aku baik, Cody. Bagaimana denganmu? Astaga, tubuhmu makin besar, kau pasti rajin berolahraga,” Matthew kembali tertawa sambil memegang bisep Cody yang makin membuatku muak. Kelakuan mereka sekarang sudah seperti pasangan gay.&
Aku harus berterimakasih pada Cody karena malam ini ia membuatku sangat senang setelah obrolanku dengan Shawn. Pria itu jelas-jelas berlebihan menanggapi hubungan kami. Kami hanya berciuman sekali dan dia sudah menganggapku lebih dari teman kencan. Aku akan menjadikan ini pelajaran bahwa tidak ada kencan kedua jika aku tidak menghendakinya sama sekali. Tidak peduli bagaimana orang-orang semacam Gio akan menceramahiku untuk tidak menjauhinya.Aku mengendarai Ninja putihku dengan cepat ke arena balap liar. Cody tidak ikut denganku dan katanya dia mau tidur saja karena gara-gara proyek motorku yang harus ia utak-atik beberapa hari ini membuatnya seperti vampire. Wajahnya pucat karena kelelahan dan kurang tidur.Area yang berupa jalanan beraspal nampak makin ramai saja. Aku sudah memakai stelanku malam ini. Hanya jaket kulit hitam yang berbeda dari yang kupakai minggu kemarin. Bahkan saking niatnya, aku memakai kaus hingga 4 lapis da
Aku memang tidak seharusnya mempercayai Cody. Ryan salah besar tentangnya! Bagaimana bisa sudah lewat 3 hari tapi pesananku tidak pernah sampai. Aku ingat betapa muaknya aku saat harus menghubunginya lewat telpon 2 hari yang lalu.“Bajingan!” sapaku tidak sabar saat mendengar suaranya menyapaku; Halo! Aku benar-benar tidak butuh basa-basinya.“Sweet, jangan marah-marah dulu! Aku tahu kau merindukanku tapi tidak perlu memakiku seperti itu juga.”“Demi neptunus, aku tidak pernah merindukanmu, Travis! Kau melupakan perintahku terakhir kali kita bicara. Kau dengar aku!” bentakku. “Jika kau tidak bisa membantu banyak mengapa tidak mundur saja dan biarkan orang yang lebih cekatan untuk membantuku!”“Aku cukup cekatan, Sweet. Masalah motor itu ya? Aku sedang melakukan sedikit modifikasi, Sweet. Jadi bisakah kau tenang dan membiarkanku tidur sebentar. Aku janji akan menyelesaikannya sabtu ini.”“Aku tidak percaya padamu,
Aku menggunakan kemeja putih dengan rok span hitam yang kupunya. Berjalan menggunakan sepatu hitam berhak 5 senti lalu berjalan mengantarkan dokumen penting milik Lucy ke mejanya. Kami saling tukar senyuman sampai akhirnya Lucy menyapaku duluan.“Terimakasih, Sam,” jawabnya dan aku hanya mengangguk. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di kantor ini, dan pekerjaanku yaitu menjadi asisten Lucy. Membantunya menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor.“Apa kau mau kubuatkan kopi? Aku akan ke pantry.” Aku menawarinya dengan ramah. Meskipun dia teman serumahku tapi aku juga sadar bahwa sekarang dia juga sebagai atasanku, setidaknya selama kami di kantor.“Tolong, tapi jangan beri gula ya!”Aku mengangguk lalu meninggalkan meja Lucy, aku tahu dia sedang sibuk. Dan rasanya aku bisa mengerti bahwa dia belum sepenuhnya mempercayakan pekerjaannya untuk kubantu. Aku hanya bolak-balik ke mesin fotocopy
Cody mengantarkanku sampai di depan gerbang rumah. Setelahnya dia pamit dan aku masuk ke dalam rumah. Gio yang sepertinya menungguku dengan segera membukakan pintu saat aku baru melangkah hendak membuka gerbang rumah. Dia melipat tangannya di dada dan aku bisa melihat wajahnya yang tegang. Aku melambai dengan senyum merekah tapi bukannya membalas Gio malah masuk ke dalam.Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa di ruang tamu di mana Gio juga sedang duduk di sana. “Kau menungguku?”“Ya, ke mana saja kau?” tanya Gio ketus. “Kau baru sampai kemari dan sudah berhasil membuatku takut. Kau bahkan tidak mengangkat telponku.”Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan ponselku. Benar sekali, ada 5 panggilan tidak terjawab dari Gio. “Maafkan aku.”“Kau bahkan belum tahu di mana letak dan alamat lengkap rumah ini, bagaimana jika temanmu tidak mengantarkanmu pulang?” katanya. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkanku. Sungguh aku se
“Aku melihatnya,” kataku dengan suara datar.“Jadi apa rencanamu sekarang? Kau mau kita melihat situasinya terlebih dahulu atau kau ingin melakukan sesuatu secepatnya?”“Tidak perlu terburu-buru, Code. Kita lihat saja apa yang dilakukannya. Bagaimana kau tahu tempat ini?”Cody tertawa. “Aku mendapatkan salinan target dari Ryan. Meskipun menjadi pendamping aku harus bisa memaksimalkan diriku. Sekali lagi kutanya apa yang akan kau rencanakan untuk menggagalkan rencana si brengsek itu?”“Kau akan tahu nanti, bisakah kau melawannya tapi jangan sampai menang. Kau harus mengalah apapun yang terjadi.” Aku memberikan intruksi pada Cody. Seperti tahu apa yang harus ia lakukan, Cody mengangguk dan aku turun dari motornya.Aku memperhatikan Cody yang perlahan mendekati target. Dia membuka helmnya dan bersalaman sebentar. Aku bisa melihat Cody mengajak pria itu tertawa. Badannya yang besar dan berotot bena
Aku berjalan di samping Cody yang terus mengoceh. Dia sepertinya tidak berniat berhenti sedangkan aku tidak mempedulikannya. Bukankah kami sangat cocok?“Jadi di mana kakakmu? Siapa namanya, aku lupa saat kau memberitahukan namanya padaku di pesawat tadi?”“Gio,” jawabku dengan suara lemas. Dia bertanya sesuatu yang penting jadi aku patut menjawabnya. Kami terus berjalan dan aku melihat seorang lelaki yang tidak kukenali menulis nama “Cody Travis” di spanduk yang dibawanya. Aku menoleh ke belakangku dan Cody segera menyeretku mendekati orang tadi.“Matthew, apa kabar?” Cody benar-benar memeluk orang yang menjemputnya dengan erat. Mereka tertawa bersama lalu melepaskan pelukan mereka.“Aku baik, Cody. Bagaimana denganmu? Astaga, tubuhmu makin besar, kau pasti rajin berolahraga,” Matthew kembali tertawa sambil memegang bisep Cody yang makin membuatku muak. Kelakuan mereka sekarang sudah seperti pasangan gay.&
Liburan musim panas sudah datang. Perlahan tapi pasti aku berkemas lagi lalu mencoret sebuah tulisan di catatan yang kubuat setelah memasukan sebuah mini dress kesayanganku yang berwarna erah muda dengan panjang sepaha ke dalam tas ransel. Sebuah mini dress yang pas digunakan anak remaja sepertiku yang masih berusia belasan tahun. Mungkin maksudku, akhir belasan tahun.Hari ini aku akan melakukan penerbangan menuju kota Liverpool tempat kakak angkatku, Gio, tinggal. Dia memintaku datang dan berkunjung. Dan berhubung aku memang ada urusan pekerjaan ke sana akhirnya aku memutuskan menemuinya. Selain itu, menyenangkan hati saudara angkatku yang hampir 2 tahun tidak kutemui rasanya bukan ide yang buruk. Seingatku, kami bahkan terakhir kali bertemu saat kami pulang ke rumah orangtua kami di kota London. Aku sendiri sekarang sedang melanjutkan kuliahku di Boston University. Ada sebuah rahasia