Saat melihat siapa yang berani mengusiknya di saat dia sedang menangis pilu sendirian, Thalia malah tercekat mendapati tatapan tajam nan dingin milik Jose Antonio Berbardo.
“Mau apa kau ke sini?!” hardik Thalia sembari kembali ke arah pandangnya yang semula, menghindari tatapan menelisik lelaki itu.
Jose Antonio adalah kakak tiri dari Fernando. Mereka satu ayah, berbeda ibu. Dan usia mereka berselisih cukup jauh. Fernando berusia 25 tahun, tiga tahun di atas Thalia. Itu berarti Jose sudah berusia ... 30 tahun, kurang lebih.
“Mau apa kau ikut ke sini? Aku ingin sendiri!” hardik Thalia lagi karena Jose tak kunjung menjawab. Dia sedang menangis, sudah tentu dia ingin sendiri. Tetapi, kenapa makhluk itu mengganggunya? Apa makhluk itu tidak melihat bahwa dia sedang menangis?
“Ini tempat umum. Kenapa aku tidak boleh ke sini?”
Suara serak makhluk itu, yang juga rendah, bergumam santai sambil bibirnya mengepit sebatang rokok. Sebelah tangannya meraih Zippo dari saku celana kemudian menyalakan api dan membakar ujung rokok yang juga dikepitnya dengan dua jarinya yang turut terlihat kasar.
Thalia memandangi jari-jari itu, kemudian tatapannya merayap ke atas, beradu dengan sepasang mata tajam Jose yang menatapnya sembari mengembuskan asap rokok. Seketika rasa jijik dan bencinya pada makhluk itu melingkupi dirinya.
“Pergilah! Aku ingin sendiri!” usir Thalia dengan membuang wajahnya. Dia tak sudi berlama-lama memandangi pria itu.
Ngapain, sih, menatap seperti mau mengolok-oloknya? Apa dia lupa akan perbuatan kurang ajarnya 8 tahun lalu?
Thalia sedang pulang sendirian dari minimarket, malam itu, 8 tahun silam. Entah apa yang dibelinya waktu itu. Jalanan yang dilewatinya sepi dan Jose tiba-tiba muncul di dekatnya. Pria itu menghimpitnya ke sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Thalia masih mengingat dengan jelas aroma alcohol yang menguar dari tubuh Jose waktu itu. Ya, dia mabuk. Dan dalam mabuknya, setelah menghimpit Thalia ke badan mobil, dia menciumi Thalia dengan membabi buta.
Gadis itu meronta hingga akhirnya Jose melepaskannya setelah Thalia mengigit lidah pria itu. Sejak saat itu, nama Jose Antonio Berbardo menempati daftar teratas hal yang paling dia takuti dan dia benci dalam hidupnya.
“Aku juga sedang ingin menyendiri di sini,” jawab Jose lagi, membuat Thalia semakin meradang.
“Kalau kau ingin menyendiri, jangan di sini! Jelas-jelas sudah ada aku di sini!” Thalia menjadi sinis dan benar-benar tak ambil pusing lagi soal sopan santun dan basa basi.
Buat apa? Jose bukan pria yang tepat untuk diajak bersopan santun. Dia terlalu kasar dan urakan!
Pria itu sering bersikap seenaknya, mengumpat, mengatai orang, bicara seenak jidat, dan bertingkah seperti pemuda pembuat onar. Tak terhitung jumlah korban yang pernah merasakan bogem mentahnya. Sedikit saja menyinggung perasaannya, kepalan tinjunya melayang dan mendarat di wajah lawan bicaranya.Bahkan rumor mengatakan bahwa dia sempat merasakan kehidupan di balik jeruji besi selama tiga tahun lamanya!
Satu-satunya yang menjadi pertanda bahwa dia keturunan keluarga terpandang hanyalah pakaiannya yang berkelas dan mobil sportnya. Tapi itu juga seringkali absen dari hari-harinya. Dia lebih sering tampil seperti gembel yang mengais rezeki dari memukuli orang lain.Kecuali hari ini. Ya, Thalia baru menyadarinya. Suatu mukjizat bahwa dia bisa bertemu Jose Antonio di gereja, dengan pakaian rapi dan berkelas. Sangat aneh melihatnya mengenakan kemeja licin berlengan panjang, celana panjang kain, dan sepatu pantofel mengkilat. Aneh, tapi pantas. Pantas, tapi aneh.“Aku tidak masalah. Menyendiri versiku tidak harus sendirian. Berdua juga tidak masalah. Yang penting sepi.” Suara Jose terdengar lagi membuat Thalia kembali meradang.
“Tapi aku ingin menyendiri yang benar-benar sendiri! Jadi, jangan ganggu aku!” desis Thalia dengan mengangkat tinggi dagunya.
Sedetik kemudian, gadis itu teringat akan keadaannya yang sedang menangisi pengkhianatan yang dilakukan Fernando dan Gabriella. Thalia kembali marah pada Jose.
“Atau … semua penyandang nama Berbardo memang suka seenaknya gitu, ya?”
Jose terkekeh kecil dari wajah suramnya itu sebelum menjawab, “Aku ke sini karena mau merokok. Mulutku pahit hanya menelan liurku sendiri berjam-jam di dalam sana. Jadi, aku ke sini untuk merokok, Nona. Tak menyangka ada yang mengira ini tempat menangisi kekasih dan sahabat yang berkhianat.”
Kata-kata tajam Jose seakan mengolok-oloknya penuh malu. Darah hampir tersembur dari kepalanya karena ucapan Jose yang tak disaring itu. Tetapi, yang bisa dia lakukan hanyalah membalas tatapan sengit Jose dengan tak kalah sengit.Setelahnya, dengan kasar Thalia mengelap kedua matanya yang basah dengan punggung tangannya. Dan setelah memberikan delikan tajam penuh amarah untuk terakhir kalinya pada Jose, Thalia berbalik pergi dari sana.“Kau tidak mau pergi, aku yang pergi!”
***Di Minggu pagi itu, rumah kosong melompong saat Thalia pulang. Kakak perempuannya, Camilla, stand by menjaga ayah mereka di rumah sakit. Sedangkan ketiga anaknya yang masih balita, sudah dari kemarin dititipkan Camilla di rumah orang tua suaminya.
Ibunya sudah bertahun-tahun lalu meninggal sehingga hanya ayah mereka-lah yang mereka punyai. Tetapi, ayahnya pun memiliki penyakit jantung dan belakangan ini sering kambuh. Dokter pun menyarankan agar ayahnya segera dioperasi pemasangan ring di jantungnya. Karena itulah, Thalia cepat-cepat kembali dari Ibukota meskipun pengerjaan skripsinya masih belum selesai.
Kembali berada di rumah lagi membuatnya merasa bisa melupakan sedikit tentang perselingkuhan Fernando dan Gabriella di belakangnya, yang ternyata sudah berjalan selama satu tahun tanpa dia curigai sedikitpun. Tapi, siapa yang menyangka ternyata mereka pun sedang pulang ke kota kecil mereka ini dan akan melangsungkan pernikahan minggu depan.
“Ya, halo?” jawab Thalia saat ponselnya berbunyi.
“Kamu jadi ke sini?” tanya Camilla, kakak perempuannya, di ujung sana.
“Iya, Kak. Sebentar lagi selesai. Aku bawakan makan siang,” jawab Thalia sambil memandang berderet potongan wortel, kentang, kacang-kacangan, jagung, serta daging ayam yang sudah dipotong cincang.
Thalia sedang memasak Vegetable and chicken Pasta Baked –satu-satunya masakan yang mampu dibuat Thalia- untuk makan siang mereka nanti.
“Baguslah kalau begitu. Dante akan menjemputmu, oke?” kata Camilla lagi.
“Oke,” jawab Thalia lagi mengakhiri percakapan mereka di telepon.
Thalia kembali memasukkan daging ayam cincang beserta sayur-sayuran dan pasta ke dalam wadah khusus, kemudian menatanya agar tampak menarik di mata. Tak terasa pikirannya kembali berkelana ke masa lalu.
“Kau yakin dia benaran cinta padamu?” tanya Gabriella saat tahu Fernando dan dirinya tak pernah tidur bersama.
“Ya, katanya sih begitu. Dan dari tingkah lakunya juga dia baik padaku. Kenapa kau mempertanyakannya?”
“Ya, gak papa, sih. Karena menurutku, kalau cinta biasanya hasratnya menggebu-gebu.”
Saat itu, Thalia tidak memikirkan lebih jauh percakapan mereka itu. Namun sekarang, semuanya terasa berkesinambungan. Ada maksud tersembunyi dari apa yang ditanyakan Gabriella padanya. Sepertinya, sahabatnya itu hendak membandingkan perlakuan Fernando pada Thalia, dan pada dirinya sendiri.
Setelah enam porsi disiapkan, Thalia mulai memasukkannya ke dalam microwave, kemudian menunggui satu demi satu hingga matang.
Perselingkuhan Fernando dan Gabriella diketahui Thalia baru beberapa minggu lalu. Saat itu, Thalia hendak mengunjungi apartemen Fernando. Di saat yang sama, sepasang peselingkuh itu baru saja keluar dari unit Fernando dengan saling merangkul mesra. Saat itu juga, Thalia langsung menutup hatinya rapat-rapat akan kedua manusia itu. Akan tetapi, kejadian di gereja tadi benar-benar membuat hatinya remuk dan kembali berserakan tak karuan.
Kenapa dia harus mengetahui kabar pernikahan mereka dengan cara seperti itu? Rasanya begitu sayang jika suaranya dipakai bernyanyi mengiringi kabar bahagia dari mereka berdua. Ya Tuhan, sungguh rasanya dia tak rela. Diselingkuhi saja rasanya sudah sangat sakit. Kenapa dia masih harus menjadi seseorang yang menyumbangkan suaranya untuk mengiringi kabar bahagia mereka? Sungguh dia tidak rela!
Trin … Trin …
Bunyi klakson mobil terdengar memanggilnya dari halaman rumah. Sedetik kemudian suara Dario terdengar, “Thalia! Kau sudah siap?”
Thalia menghapus air mata sakit hatinya yang menetes di pipi sembari juga dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengenyahkan pikiran tentang laki-laki itu. Dia harus melupakan Fernando dan perselingkuhannya. Di sini, dia harus merawat ayahnya yang sakit, bukan meratapi nasibnya yang menyedihkan.
Dengan meraup udara banyak-banyak. Setelah seluruh pasta matang, dia menyimpannya dalam wadah besar kemudian membawanya dengan tas kain.
“Maaf, aku baru selesai,” kata Thalia begitu bertemu kakak iparnya.
“Naiklah. Camilla sudah menunggumu,” Dario, suami kakaknya, berkata sambil melongok dari jendela mobil.
Thalia mengiyakan dan pria berkacamata yang sangat sabar itu membukakan pintu mobilnya. Sesaat kemudian, dalam deru pick up yang terdengar berat dan tua, mereka segera melaju menuju rumah sakit.
Begitu mereka telah tiba di koridor rumah sakit dan hendak menuju ruang rawat ayahnya, segala hal tentang Fernando dan Gabriella yang akan menikah minggu depan, sudah dia singkirkan. Ayahnya tidak boleh melihat kesedihan yang dia rasakan.
Setidaknya, dia sendiri pun tak mau berlarut-larut mengingat tentang dua makhluk pengkhianat itu. Biarlah mereka menuai hasil perbuatannya sendiri. Dia percaya, pria yang berselingkuh tidak perlu dipertahankan. Sahabat yang berkhianat pun tak patut ditangis.
“Ngomong-ngomong ... ada hubungan apa kau dengan Jose?” tanya kakaknya, Camila, ketika Thalia telah tiba di ruang rawat ayahnya dan mengeluarkan seluruh pasta buatannya. Ayahnya masih tertidur, kata Camila tadi, Pap baru saja selesai minum obat. Bagaikan bunga salju di tengah gurun pasir, pertanyaan Camilla itu begitu mengherankan Thalia. Jose? Thalia berpikir keras. Kenapa lagi-lagi nama itu disangkut pautkan padanya? “Maksudmu ... Jose Antonio, kakak tirinya si peselingkuh itu?” Sejak dia mengetahui perselingkuhan Fernando, Thalia merasa tak sudi menyebut nama itu lagi. Jadilah dia menggantinya dengan sebutan ‘si peselingkuh’. Thalia melihat Camilla mengangguk mengiyakan. Kini Thalia yang mengernyit semakin dalam, semakin heran. “Kenapa dia?” “Dia barusan datang ke sini,” jelas Camilla sambil mengunyah daging ayam yang telah diolah menjadi potongan yang lembut. “Dia datang? Ke sini?” Thalia semakin heran. Ada apa pria itu datang kemari? “Maksudmu menjenguk Pap?” Camilla menga
Ucapan ayahnya bahwa seorang Jose Antonio ingin menikahinya terus bergaung di kepalanya. Hampir semalaman Thalia tidak bisa tidur, meski kedua matanya terpejam. Karena itulah, di pagi hari ini, Thalia bangun cepat agar bisa bersiap dan mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menggedor-gedor benaknya itu. Thalia menunggu makhluk bernama Jose Antonio itu di depan gerbang rumah lelaki itu. Rumah yang besar, megah, dan mewah itu memiliki halaman yang sangat luas. Jarak antara pagar gerbang dan pintu rumahnya sekitar 25 meter. Dan, di bawah terik matahari yang semakin memanas, Thalia menunggu dengan bermondar mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip dari celah pagar, adakah tanda-tanda kemunculan Jose. Sudah sepuluh menit berlalu dan Jose Antonio masih belum kelihatan batang hidungnya. Petugas satpam sudah menawarkannya untuk masuk, tapi Thalia tidak mau. Thalia masih menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Akhirnya pintu gerbang terbuk
Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari. Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan. "Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya. Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu. "Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia sa
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
“Rumah itu tetap akan disita bank. Biar bagaimana pun uang yang digelontorkan sudah terpakai dan berkurang. Jika kau ingin mengambil kembali rumah dan tanahmu itu, kau tetap harus mengganti uang bank yang telah digunakan Gabriella, barulah rumah itu bisa kembali ke tanganmu.”Mendengar penjelasan Mr. Gustavo, Phillio kesal dan berang. “Apa? Itu sama saja bohong!”Jose sendiri tak bisa berkata apa-apa lagi. Andai rumah itu bukan rumah peninggalan kakeknya, maka dia takkan mau memikirkannya lagi. Tapi dalam rumah itu ada banyak kenangan keluarga Miguel yang takkan mungkin tergantikan oleh apapun juga.Lalu pemakaman keluarga mereka pun terletak tak jauh dari kediaman mereka.Segala kenangan inilah yang benar-benar sedang diperjuangankan Jose.“Berapa yang harus kuganti?”“Lima ratus ribu dolar.”“Itu gila!” sahut Jose dengan meraup wajahnya.***Selepas dari pertemuan dengan Mr. Gustavo, Jose pulang ke rumah dengan semangat yang hanya tersisa setengahnya saja. Begitu lesu langkah kakinya
“Sweet, bangunlah.”Suara lemah Jose Antonio memecah keheningan di ruang ICU itu.Thalia terbaring di sana, dalam keadaan tidak sadar.Ramona menceritakan, Thalia terkena preeklampsia. Tapi dia tidak menyadarinya karena tidak pernah lagi memonitor kehamilannya sejak menghadiri persidangan demi persidangan.Ada beberapa gejala yang dia alami, seperti tekanan darah tingginya yang semakin meningkat. Juga kondisi kekurangan nutrisi. Tapi Thalia abai akan semua itu.Membuat ketika dia harus melahirkan prematur, tubuh nya mendadak blank dan dia tak sadarkan diri.Jose rasanya ingin hancur menjadi debu saja ketika dia mendengar apa yang terjadi pada Thalia.Dipandanginya wanita itu dan digenggamnya erat tangan Thalia.“Bangunlah, please. Aku membutuhkanmu. Juga anak kita. Bangun, Sweet. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau meninggalkan kami di sini.”Pria itu tertunduk dan air matanya jatuh tak mampu dibendung lagi.Entah Jose harus menyalahkan siapa. Tapi melihat kondisi Thalia seperti ini,
Joseeee ... My man ... Joseeeeee ... Suara sayup-sayup seakan memanggil Jose. Saat itu dia berada di tebing tinggi dengan angin yang cukup kencang menerpa tubuhnya. Rambut coklatnya yang lumayan panjang berkibaran. Jose memandang sekeliling, tapi tidak melihat seorang pun. Hanya ada air laut yang menerpa karang hingga percikannya terlempar ke segala arah. Deburan ombak kembali mengisi pendengarannya saat panggilan itu sudah tak terdengar. Jose kembali menatap air laut di bawahnya. Entah mengapa dia merasa dirinya terpanggil untuk melompat dari sana. Joseeeeee ... Lagi, suara itu terdengar. Menajamkan telingannya, Jose menyadari jika itu suara Thalia. “Sweet? Di mana kau?” teriaknya pada sekelilingnya. Aku di sini .... Suara Thalia terdengar lagi dan tiba-tiba saja tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak tebing yang tak kalah tinggi dan Thalia berada di ujung tebing. Wanita itu mengenakan gaun panjang tipis berwarna pink. Perutnya sudah membuncit sementara angin menerpa ramb
Memikirkan itu, Fernando sedikit tenang. Meski pun dia tetap bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa Gustavo tetap mau menunjukkan rekaman di menit-menit setelah ini, jika memang isi rekaman sudah kabur dan dirinya tak terlihat jelas.Ah, mungkin itu hanya gertakan saja.Fernando menguatkan dirinya.Lalu mereka semua fokus pada rekaman. Dan benar saja, tak sampai lima menit kemudian, terlihat seseorang keluar dari ruang rawat ayahnya.Mr. Gustavo langsung menunjuk ke arah Fernando.“Apakah itu dirimu?”Fernando nyaris saja kehilangan kedua bola matanya karena mereka berlompatan keluar.Bu- bukankah dia sudah membayar hacker untuk mengaburkan rekaman saat dirinya keluar dari ruangan itu? Kenapa di rekaman kali ini dirinya terlihat jelas? Bahkan fitur wajahnya sangat jelas, karena Fernando sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan menatap ke arah kamera selama beberapa detik.Dengan logika yang masih tertutup keterkejutannya, Fernando sontak berteriak,“Bu- bukan aku! Itu bukan aku!”“Bu
Silvana mulai menirukan ucapan Mrs. Milly yang didengarnya waktu itu, “Kita harus tenang, Fernando. Pihak Bank tahunya pinjaman itu atas nama ayahmu. Dan ketika Jose mengetahui tentang ayah kalian meminjam dengan menjaminkan rumah dan tanahnya, maka dia gelap mata, murka, dan mendendam pada ayah kalian. Itulah kenapa ayahmu mati.Setelah itu, Jose lalu meminta dana pinjaman itu menjadi miliknya. Mengancam kita untuk mengirimkan dana itu ke rekeningnya. Itulah yang terjadi, Fernando. Kau mengerti? Itu yang terjadi!Camkan dalam benakmu, itulah yang terjadi. Ketika nanti kita memberi kesaksian pada yang berwajib, kita harus mengatakan seperti itu! Mengerti?!”Silvana menjelaskan dengan menirukan nada suara Mrs. Milly, membuat Mr. Gustavo jadi mempertanyakannya.“Apakah menurut anda ada yang aneh dari kata-kata Mrs. Milly itu?”“Iya! Tentu saja! Mrs. Milly seperti menyampaikan rencananya, bukan memberitakan sebuah kabar,” ucap Silvana yang langsung membuat Fernando memrotesnya.“Kau jang
“Jadi Anda sebenarnya sedang kembali ke rumah atau sedang di kafetaria?” tanya Mr. Gustavo dengan nada keras pada Fernando, ketika pria itu dipanggil untuk memberi kesaksian.“Di kafetaria,” sahut Fernando dengan nada kesal.Saat itu, sudah gilirannya yang dipanggil untuk memberikan kesaksian.Fernando awalnya menolak tegas, tapi Officer Danny dan para polisi lainnya memaksa. Jika dia tidak bersedia memberikan kesaksian, maka dirinya yang akan dituntut karena melakukan penipuan terhadap dana pinjaman bank.Tentu saja hal tersebut bisa dilakukan asalkan sesuai prosedur. Tapi para polisi menggertaknya seolah-olah tanpa prosedur pun Fernando bisa dituntut begitu saja.Dan Fernando mempercayai gertakan itu dan langsung menyetujui pemanggilan dirinya sebagai saksi.Kini, menghadapi garangnya Mr. Gustavo menanyai dirinya sebagai saksi, Fernando cukup ciut nyalinya.“Jam berapa Anda keluar dari ruang rawat ayah Anda?” tanya Mr. Gustavo lagi.“Ma- maaf, saya tidak melihat jam.”“Kira-kira saj
Dengan terbata-bata, Gabriella menjawab lagi tanpa pikiran logisnya lagi, “Bu- bukan aku yang membelinya! Apakah Anda tidak menanyakannya pada Fernando? Pastilah dia yang membeli mobil itu!” “Oh, Nona Gabriella,” Mr. Gustavo terlihat tersenyum kecil. dia sungguh sudah hapal dengan tingkah para saksi yang menyembunyikan sebuah kebenaran seperti Gabriella. “Anda tertangkap saat sedang berada di Tijuana City. Dan pembelian mobil itu juga terjadi di kota yang sama. Lagipula, sales showroom mobil sempat mengambil foto Anda saat Anda menuju mobil sesaat setelah transaksi pembelian terjadi. Ini fotonya!” Gabriella seperti disengat listrik tegangan tinggi kali ini. Dia tak bisa megnelak lagi dengan bukti foto yang ditunjukkan di depan wajahnya. Dia seperti mendapatkan tamparan di wajah. “It- itu ... Ak- aku ... aku tidak mengingatnya!” “Bagaimana anda tidak mengingatnya? Anda amnesia? Tapi dokter tidak memberi laporan bahwa anda amnesia. Lalu, apakah berarti anda pura-pura lupa?” “Buk
Thalia bagai menjalani hidup dalam naungan waktu yang berbeda. Dia seperti masih berada di titik yang jauh di belakang, tapi tiba-tiba Ramona sudah menyadarkannya bahwa sudah waktunya persidangan Jose lagi. “Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menghadarinya lagi, Ramona,” tangis Thalia saat sahabatnya itu menyuruhnya bersiap dan menunjukkan pada Jose bahwa dirinya akan bertahan sekuat tenaga demi Jose dan buah hati mereka. “Kau harus kuat, Thalia. Jika Jose melihatmu hancur, dia akan lebih hancur lagi!” Ramona terus mengguncang tubuh Thalia, berusaha menguatkan temannya itu. “Tapi melihat kondisinya yang semakin buruk, aku semakin hancur, Ramona.” Isak tangis Thalia semakin berhamburan keluar. Sudah sejak beberapa hari lalu, Ramona menginap di rumah Thalia. Dia membantu menjaga kondisi mental Thalia tetap waras. Sebagai ibu yang sedang mengandung, keadaan hati Thalia tidak seharusnya sekacau ini. Sudah seharusnya Thalia menjadi lebih tenang, santai, dan berbahagia, sehingga k
“Jangan seenaknya menuduhku! Aku tidak tahu menahu tentang hal itu!” Gabriella memelototi polisi di hadapannya. Setelah semalam dia dibuat pingsan oleh Danny yang ternyata adalah kaki tangan seorang detektif yang disewa Austin, sepuluh menit lalu dia terbangun di sebuah ruangan interogasi. Awalnya Gabriella diberi minum dan sedikit makanan untuk membuat kesadaran dirinya pulih dengan benar. Tapi setelah minuman dan makanan itu habis, proses interogasi dimulai. Detektif Owen bekerja sama dengan seorang kepolisian bersih yang setelah mendengar penjelasan tentang kasus ini, officer Randall pun bersedia membantu penyelidikan. “Kalau kau tidak tahu menahu tentang dana pinjaman bank untuk suamimu itu, silakan jelaskan sumber dana dari rekeningmu yang menggendut tiba-tiba. Darimana uang 2,5 juta dolar di rekeningmu, Nona? Itu bukan uang sedikit!” “Apa?” Gabriella terlihat shock. Bu- bukankah dia menyimpan dana itu di bank yang menjaga kerahasiaan nasabah seratus kali lebih rahasia daripa