Ucapan ayahnya bahwa seorang Jose Antonio ingin menikahinya terus bergaung di kepalanya. Hampir semalaman Thalia tidak bisa tidur, meski kedua matanya terpejam.
Karena itulah, di pagi hari ini, Thalia bangun cepat agar bisa bersiap dan mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menggedor-gedor benaknya itu.
Thalia menunggu makhluk bernama Jose Antonio itu di depan gerbang rumah lelaki itu. Rumah yang besar, megah, dan mewah itu memiliki halaman yang sangat luas. Jarak antara pagar gerbang dan pintu rumahnya sekitar 25 meter. Dan, di bawah terik matahari yang semakin memanas, Thalia menunggu dengan bermondar mandir tak karuan.
Sesekali dia mengintip dari celah pagar, adakah tanda-tanda kemunculan Jose. Sudah sepuluh menit berlalu dan Jose Antonio masih belum kelihatan batang hidungnya. Petugas satpam sudah menawarkannya untuk masuk, tapi Thalia tidak mau.
Thalia masih menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Akhirnya pintu gerbang terbuka dan sebuah mobil pick up lusuh keluar melewatinya. Dapat Thalia lihat sosok Jose di balik kemudi. Pria itu tak melihatnya, hanya menatap lurus ke depan.
Herannya, saat pick up Jose melewatinya, Thalia pun tanpa sadar hanya tertegun saja. Setelah pick up itu bermeter-meter menjauh darinya barulah dia sadar dan dia segera berlari mengejar mobil lusuh Jose.
Beruntung baginya, Jose melihatnya dari kaca spion mobil. Pria itu pun memundurkan mobilnya hingga sejajar dengan Thalia. Dia menurunkan kaca mobil dan bertanya heran. "Untuk apa kau berada di sini?"
Thalia yang kesal akan penyambutan Jose menjawab pria itu seraya menatapnya tajam. "Mencarimu!"
"Mencariku? Untuk apa?" Kedua alis tebal Jose, yang menaungi mata elangnya yang tajam, hampir menyatu mendengar jawaban Thalia.
"Membicarakan rencana kita. Bukankah kau menemui ayahku dan meminta restunya-"
"Masuk!" seru Jose ketus dan memotong ucapan Thalia yang masih cukup panjang. "Hal seperti itu tidak boleh dibicarakan di tengah jalan seperti ini!"
Thalia pun masuk ke dalam pick up Jose dengan memberengutkan wajahnya. Siapa juga yang mau mengajaknya bicara di tengah jalan? Huh, Thalia jadi semakin kesal pada Jose.
Begitu pintu mobil sudah menutup, Jose langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam, Thalia cukup terpukau pada interior dalam mobil yang ternyata sangat bersih, terawat dan harum. Jika pick up ini tampak lusuh di luarnya, di dalamnya, mobil ini tampak sangat bersih, kinclong, dan tak tergores. Bahkan jok mobilnya terasa lembut dan tak mengelupas sedikitpun.
Mobil melaju lambat dengan mereka berdua yang hanya saling diam. Thalia sendiri tidak berani bersuara lagi karena tadi Jose sudah mengatakan untuk berbicara di tempat lain. Dan sepanjang perjalanan Thalia bertanya-tanya, ke mana pria itu akan membawanya.
Pick up sudah memasuki jalan raya, kemudian berbelok menuju jalan sepi. Thalia mendadak menjadi was-was. Diliriknya Jose dari tempatnya duduk. Wajah pria itu masih sangat serius dan tak berniat berbicara dengannya sedetikpun.
Mobil kembali berbelok, kali ini jelas bahwa Jose tidak membawanya ke pusat kota, melainkan ke tempat yang semakin sepi dan sepi. Thalia semakin waspada.
"Kita mau ke mana?" tanya Thalia kemudian dia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya sudah dari tadi dia bertanya. Sungguh, saat ini sudah agak terlambat melontarkan pertanyaan itu.
Bagaimana jika dia dibawa ke tempat persembunyian Jose selama ini? Karena dengar-dengar, seorang Jose Antonio sangatlah misterius. Dia seperti mempunyai kehidupan malam yang kelam, yang sangat berbeda dari pria-pria kebanyakan. Jika pria lain mengisi kehidupan malam di club dengan wanita dan minuman, tidak dengan Jose. Dia tidak berkeliaran di bar. Dia tidak berkeliaran memburu wanita.
Tetap saja, orang-orang mengatakan dia memiliki kehidupan malam yang penuh dengan semacam obsesi gelap. Semacam obsesi terlarang. Apakah dia menculik gadis-gadis kemudian menyekapnya di tempat terpencil kemudian memerkosa dan membunuh gadis-gadis itu?
Apalagi ‘si peselingkuh’ itu pernah bercerita bahwa kakak tirinya sempat tinggal di penjara selama tiga tahun!
Apakah itu karena dia membunuh gadis-gadis perawan setelah memerkosa mereka?! Ya, Tuhan, selamatkan aku!
Begitulah seru hati Thalia semakin tak karuan, menakut-nakuti dirinya sendiri hingga gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak mungkin! Jika dia berlaku seperti itu, sudah pasti ada korban berjatuhan dengan misterius dan pria itu pasti akan segera dicurigai aparat hukum. Pada kenyataannya, tidak ada korban misterius di Bacalar. Sama sekali tidak ada.
"Kenapa kau geleng-geleng kepala?" tanya Jose tiba-tiba.
Thalia tersentak. Tidak menyangka jika pria itu memperhatikannya.
"Kau takut aku menculikmu?" tanya Jose lagi, masih dengan memandang lurus jalanan di depannya, dan senyum aneh tersungging di wajahnya.
Thalia mendeliknya kesal. Kenapa terkaannya bisa setepat itu sih? Untuk mengalihkan pembicaraan Jose, Thalia menanyakan lagi, “Sebenarnya kita mau ke mana?”
"Lihat saja!" sahut Jose datar dan dingin.
Sontak Thalia jadi bertambah kesal tapi sekaligus penasaran. Ditekannya rasa takut yang menderanya tadi. Meski begitu, kali ini, dia diam dan menunggu.
Mobil melaju semakin pelan. Terlebih lagi, kini Jose membawanya memasuki area hutan. Thalia kembali panik.
"Kita mau ke mana sih?" Suaranya sudah naik setengah oktaf.
Sementara itu, Jose hanya tersenyum tipis dari balik setir mobilnya. Thalia semakin was-was.
Pria itu tetap melajukan pick up nya hingga tiba-tiba tertangkap penglihatan Thalia, tepian danau yang tenang nan indah.
Mobil berhenti sebelum mencapai tepian danau. Jose membuka pintu dan turun. Begitu pun Thalia yang ikut turun dengan memandangi danau yang menakjubkan.
Danau yang tenang, dengan airnya yang berwarna biru jernih dan berkilauan seakan memanggilnya untuk menyisiri setiap jengkal tubuh danau. Bebatuan karang yang besar dan tinggi-tinggi di sekeliling danau turun menambah kesan kesendirian yang nyaman di tempat ini.
Jose sudah duduk di kap mobilnya, memantik Zippo, dan membakar rokok. Dihisapnya dengan penuh penghayatan. Dia tidak peduli pada tingkah Thalia yang mengibas-ngibaskan tangannya berusaha mengusir asap rokok yang menghampirinya.
"Kenapa kau mengajakku ke sini?" Thalia bertanya lagi semakin kesal. Sudah berapa pertanyaan yang dia lontarkan tapi tak ada yang dijawabnya.
"Bukankah tadi kau bilang mau bicara? Bicaralah!"
Yang benar saja! Mau bicara saja kenapa harus jauh-jauh ke sini? Bicara bisa di kafe. Simpel. Praktis. Nyaman.
Sedetik kemudian, suara Jose yang kering dan serak kembali terdengar, di tengah-tengah asap rokok yang mengepul. “Bicaralah!”
Merasa ingin membalas pria itu, Thalia tak langsung menjawabnya. Dia malah semakin menunjukkan bahwa dia tidak menyukai asap rokok pria di depannya ini. Tapi, pria itu seperti tak peduli. Dia tak juga mematikan rokoknya.
"Bicaralah!" Suara serak tapi renyah itu berseru lagi, kali ini dengan kesabaran yang sudah tinggal setengah.
Thalia jadi semakin kesal. "Bukankah seharusnya kau juga berhutang penjelasan padaku? Kau bertemu ayahku dan mengatakan padanya bahwa kau ingin menikahiku. Kenapa?" Ketus suaranya, tanpa dia sadari. Yang mengherankannya adalah bahasanya yang ikutan kaku seperti Jose.
Jose menghisap rokoknya lagi seraya dia memandangi Thalia dengan mata yang menyipit. Kemudian, dia berdeham dulu sebelum menjawab.
"Jika kubilang karena aku mencintaimu, apa kau percaya?”
Thalia berdecak jengah. "Jangan bercanda! Kita tidak saling mengenal! Mana mungkin bisa kau mencintaiku!" Dia sungguh tidak percaya alasan karangan itu.
"Siapa yang berkata jika kita tidak saling mengenal? Buktinya, kau tahu aku kakak tiri Fernando. Kau pun juga pasti tau bahwa aku pria yang seharusnya dihindari oleh setiap gadis yang ada di Bacalar ini, kan? Aku pun mengetahui jika kau anak dari Carlo Teracena, adik dari Camilla."
Thalia berdecak kesal lagi mendengarnya. Pria itu begitu lugas dan santai mengucapkan pikiran negatif orang-orang di sini tentangnya. Termasuk dirinya sendiri yang juga berpikir seperti itu sebelumnya. Bahwa Jose Antonio pria urakan yang seharusnya dihindari.
"Itu hanya tau, bukan mengenal!"
Hening sejenak dan pria itu kembali terkekeh pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oh! Baiklah! Kita belum saling mengenal. Lantas, apa masalahnya?"
"Kenapa kau mau menikahiku?" Thalia semakin frustrasi dengan pembicaraan yang ditarik ulur Jose seperti ini.
Tanpa dia duga, Jose bangun dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat Thalia jadi semakin terintimidasi. Pria itu ternyata hanya membuang puntung rokoknya, menginjaknya hingga hancur, baru kemudian menatapnya lekat-lekat.
“Jadi, kau ingin tau yang sebenarnya?” tanyanya dengan memandang ke arah bawah, kepada Thalia, dengan melipat kedua lengannya di depan dada.
"Ya!" jawab Thalia kesal.
“Baiklah. Akan kukatakan. Hmm, aku datang untuk menjenguk ayahmu. Kemudian, kami mengobrol sebentar, dan di akhir obrolan ayahmu-lah yang memintaku untuk menikahimu. Katanya dia sudah tua, berharap ada seseorang yang menjagamu. Dan karena aku kasihan padanya, jadi aku mengiyakannya.”
“APA?! Jadi maksudmu kau mau menikahiku karena kasihan?”
Alasan macam apa itu? Di seluruh dunia ini, mungkin hanya makhluk tak berbudi satu ini yang melamar dengan alasan kasihan. Rasanya, Thalia ingin meninjunya. Tapi nyatanya, seluruh urat tubuhnya kaku. Dia hanya mampu memandangi Jose dengan tatapan membara penuh murka.
Di hadapannya, Jose masih tetap dengan wajah datarnya. Dia seperti tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya.
“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Sekarang, lebih baik kau klarifikasikan lagi perasaanmu itu pada ayahku. Karena aku akan lebih senang jika tidak perlu menikah. Apalagi denganmu!”
Di luar dugaannya, Jose menjawab dengan lugas. “Tidak bisa!”
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Kau hanya perlu bicara kepada ayahku!” hardik Thalia dongkol.
“Tetap tidak bisa!” Wajah Jose sedari tadi memang teramat serius dan tak ada tanda-tanda dia bercanda sedikit pun.
Thalia pun semakin tersulut emosinya. “Kenapa tidak bisa?”
“Karena aku sudah mengiyakan permintaan ayahmu. Dan pria sejati sepertiku tidak akan plin plan dengan menarik kembali ucapanku atau pun mengubah jawabanku, terlebih lagi pada pria tua yang sedang terbaring sakit.”
Thalia merasakan kembali gejolak amarahnya yang membuatnya ingin meninju pria di depannya ini. Tangannya sampai terkepal erat karena menahan rasa itu. Mengiyakan permintaan Pap, katanya? Pria sejati, katanya?
“Aku tidak perlu rasa kasihan darimu!” seru Thalia marah.
“Aku tidak peduli.”
“Ubah keputusanmu!” Thalia semakin frustrasi.
“Tidak akan.”
“Lalu apa maumu?!” Thalia hampir saja berteriak.
“Mauku adalah kau tetap menikah denganku. Terimalah keinginan ayahmu. Mungkin juga sudah menjadi takdirmu untuk hidup menua bersamaku.”
“Apa?” Thalia sungguh tak habis pikir bagaimana bisa makhluk di hadapannya ini mengucapkan semua kata itu seakan-akan mereka memang ditakdirkan bersama. Amarah kembali menyelubunginya. Dan bayangan sapuan kasar bibir Jose dengan aroma alcohol yg begitu memualkan tertayang kembali di benaknya.
“Aku tidak mau denganmu!”
“Kenapa tidak mau?”
“Kau … menjijikkan!” ucapnya mengacu pada ingatannya 8 tahun silam.
Namun pengertian Jose berbeda dari apa yang dimaksud Thalia. “Aku menjijikkan?” ulang Jose tak percaya jika gadis itu bisa mengatakan tentangnya seperti itu. Dengan hati seakan tertusuk ribuan paku, dia balas menatap sengit pada Thalia.
“Ya! Aku mungkin menjijikkan. Tapi setidaknya, aku bukan peselingkuh ataupun orang bodoh yang diselingkuhi sampai 1 tahun lebih tapi tidak tau sama sekali!” seru Jose meledeknya.
Thalia melotot mendengar sindiran Jose.
“Kau!” sergahnya tertahan.
Masih banyak lahar amarah yang ingin dimuntahkan Thalia pada Jose, hanya saja lidahnya tak sanggup lagi berkelit mendengar hinaan Jose yang diarahkan padanya. Terlebih lagi karena apa yang pria itu ucapkan benar adanya.
Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari. Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan. "Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya. Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu. "Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia sa
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
“Rumah itu tetap akan disita bank. Biar bagaimana pun uang yang digelontorkan sudah terpakai dan berkurang. Jika kau ingin mengambil kembali rumah dan tanahmu itu, kau tetap harus mengganti uang bank yang telah digunakan Gabriella, barulah rumah itu bisa kembali ke tanganmu.”Mendengar penjelasan Mr. Gustavo, Phillio kesal dan berang. “Apa? Itu sama saja bohong!”Jose sendiri tak bisa berkata apa-apa lagi. Andai rumah itu bukan rumah peninggalan kakeknya, maka dia takkan mau memikirkannya lagi. Tapi dalam rumah itu ada banyak kenangan keluarga Miguel yang takkan mungkin tergantikan oleh apapun juga.Lalu pemakaman keluarga mereka pun terletak tak jauh dari kediaman mereka.Segala kenangan inilah yang benar-benar sedang diperjuangankan Jose.“Berapa yang harus kuganti?”“Lima ratus ribu dolar.”“Itu gila!” sahut Jose dengan meraup wajahnya.***Selepas dari pertemuan dengan Mr. Gustavo, Jose pulang ke rumah dengan semangat yang hanya tersisa setengahnya saja. Begitu lesu langkah kakinya
“Sweet, bangunlah.”Suara lemah Jose Antonio memecah keheningan di ruang ICU itu.Thalia terbaring di sana, dalam keadaan tidak sadar.Ramona menceritakan, Thalia terkena preeklampsia. Tapi dia tidak menyadarinya karena tidak pernah lagi memonitor kehamilannya sejak menghadiri persidangan demi persidangan.Ada beberapa gejala yang dia alami, seperti tekanan darah tingginya yang semakin meningkat. Juga kondisi kekurangan nutrisi. Tapi Thalia abai akan semua itu.Membuat ketika dia harus melahirkan prematur, tubuh nya mendadak blank dan dia tak sadarkan diri.Jose rasanya ingin hancur menjadi debu saja ketika dia mendengar apa yang terjadi pada Thalia.Dipandanginya wanita itu dan digenggamnya erat tangan Thalia.“Bangunlah, please. Aku membutuhkanmu. Juga anak kita. Bangun, Sweet. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau meninggalkan kami di sini.”Pria itu tertunduk dan air matanya jatuh tak mampu dibendung lagi.Entah Jose harus menyalahkan siapa. Tapi melihat kondisi Thalia seperti ini,
Joseeee ... My man ... Joseeeeee ... Suara sayup-sayup seakan memanggil Jose. Saat itu dia berada di tebing tinggi dengan angin yang cukup kencang menerpa tubuhnya. Rambut coklatnya yang lumayan panjang berkibaran. Jose memandang sekeliling, tapi tidak melihat seorang pun. Hanya ada air laut yang menerpa karang hingga percikannya terlempar ke segala arah. Deburan ombak kembali mengisi pendengarannya saat panggilan itu sudah tak terdengar. Jose kembali menatap air laut di bawahnya. Entah mengapa dia merasa dirinya terpanggil untuk melompat dari sana. Joseeeeee ... Lagi, suara itu terdengar. Menajamkan telingannya, Jose menyadari jika itu suara Thalia. “Sweet? Di mana kau?” teriaknya pada sekelilingnya. Aku di sini .... Suara Thalia terdengar lagi dan tiba-tiba saja tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak tebing yang tak kalah tinggi dan Thalia berada di ujung tebing. Wanita itu mengenakan gaun panjang tipis berwarna pink. Perutnya sudah membuncit sementara angin menerpa ramb
Memikirkan itu, Fernando sedikit tenang. Meski pun dia tetap bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa Gustavo tetap mau menunjukkan rekaman di menit-menit setelah ini, jika memang isi rekaman sudah kabur dan dirinya tak terlihat jelas.Ah, mungkin itu hanya gertakan saja.Fernando menguatkan dirinya.Lalu mereka semua fokus pada rekaman. Dan benar saja, tak sampai lima menit kemudian, terlihat seseorang keluar dari ruang rawat ayahnya.Mr. Gustavo langsung menunjuk ke arah Fernando.“Apakah itu dirimu?”Fernando nyaris saja kehilangan kedua bola matanya karena mereka berlompatan keluar.Bu- bukankah dia sudah membayar hacker untuk mengaburkan rekaman saat dirinya keluar dari ruangan itu? Kenapa di rekaman kali ini dirinya terlihat jelas? Bahkan fitur wajahnya sangat jelas, karena Fernando sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan menatap ke arah kamera selama beberapa detik.Dengan logika yang masih tertutup keterkejutannya, Fernando sontak berteriak,“Bu- bukan aku! Itu bukan aku!”“Bu
Silvana mulai menirukan ucapan Mrs. Milly yang didengarnya waktu itu, “Kita harus tenang, Fernando. Pihak Bank tahunya pinjaman itu atas nama ayahmu. Dan ketika Jose mengetahui tentang ayah kalian meminjam dengan menjaminkan rumah dan tanahnya, maka dia gelap mata, murka, dan mendendam pada ayah kalian. Itulah kenapa ayahmu mati.Setelah itu, Jose lalu meminta dana pinjaman itu menjadi miliknya. Mengancam kita untuk mengirimkan dana itu ke rekeningnya. Itulah yang terjadi, Fernando. Kau mengerti? Itu yang terjadi!Camkan dalam benakmu, itulah yang terjadi. Ketika nanti kita memberi kesaksian pada yang berwajib, kita harus mengatakan seperti itu! Mengerti?!”Silvana menjelaskan dengan menirukan nada suara Mrs. Milly, membuat Mr. Gustavo jadi mempertanyakannya.“Apakah menurut anda ada yang aneh dari kata-kata Mrs. Milly itu?”“Iya! Tentu saja! Mrs. Milly seperti menyampaikan rencananya, bukan memberitakan sebuah kabar,” ucap Silvana yang langsung membuat Fernando memrotesnya.“Kau jang
“Jadi Anda sebenarnya sedang kembali ke rumah atau sedang di kafetaria?” tanya Mr. Gustavo dengan nada keras pada Fernando, ketika pria itu dipanggil untuk memberi kesaksian.“Di kafetaria,” sahut Fernando dengan nada kesal.Saat itu, sudah gilirannya yang dipanggil untuk memberikan kesaksian.Fernando awalnya menolak tegas, tapi Officer Danny dan para polisi lainnya memaksa. Jika dia tidak bersedia memberikan kesaksian, maka dirinya yang akan dituntut karena melakukan penipuan terhadap dana pinjaman bank.Tentu saja hal tersebut bisa dilakukan asalkan sesuai prosedur. Tapi para polisi menggertaknya seolah-olah tanpa prosedur pun Fernando bisa dituntut begitu saja.Dan Fernando mempercayai gertakan itu dan langsung menyetujui pemanggilan dirinya sebagai saksi.Kini, menghadapi garangnya Mr. Gustavo menanyai dirinya sebagai saksi, Fernando cukup ciut nyalinya.“Jam berapa Anda keluar dari ruang rawat ayah Anda?” tanya Mr. Gustavo lagi.“Ma- maaf, saya tidak melihat jam.”“Kira-kira saj
Dengan terbata-bata, Gabriella menjawab lagi tanpa pikiran logisnya lagi, “Bu- bukan aku yang membelinya! Apakah Anda tidak menanyakannya pada Fernando? Pastilah dia yang membeli mobil itu!” “Oh, Nona Gabriella,” Mr. Gustavo terlihat tersenyum kecil. dia sungguh sudah hapal dengan tingkah para saksi yang menyembunyikan sebuah kebenaran seperti Gabriella. “Anda tertangkap saat sedang berada di Tijuana City. Dan pembelian mobil itu juga terjadi di kota yang sama. Lagipula, sales showroom mobil sempat mengambil foto Anda saat Anda menuju mobil sesaat setelah transaksi pembelian terjadi. Ini fotonya!” Gabriella seperti disengat listrik tegangan tinggi kali ini. Dia tak bisa megnelak lagi dengan bukti foto yang ditunjukkan di depan wajahnya. Dia seperti mendapatkan tamparan di wajah. “It- itu ... Ak- aku ... aku tidak mengingatnya!” “Bagaimana anda tidak mengingatnya? Anda amnesia? Tapi dokter tidak memberi laporan bahwa anda amnesia. Lalu, apakah berarti anda pura-pura lupa?” “Buk
Thalia bagai menjalani hidup dalam naungan waktu yang berbeda. Dia seperti masih berada di titik yang jauh di belakang, tapi tiba-tiba Ramona sudah menyadarkannya bahwa sudah waktunya persidangan Jose lagi. “Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menghadarinya lagi, Ramona,” tangis Thalia saat sahabatnya itu menyuruhnya bersiap dan menunjukkan pada Jose bahwa dirinya akan bertahan sekuat tenaga demi Jose dan buah hati mereka. “Kau harus kuat, Thalia. Jika Jose melihatmu hancur, dia akan lebih hancur lagi!” Ramona terus mengguncang tubuh Thalia, berusaha menguatkan temannya itu. “Tapi melihat kondisinya yang semakin buruk, aku semakin hancur, Ramona.” Isak tangis Thalia semakin berhamburan keluar. Sudah sejak beberapa hari lalu, Ramona menginap di rumah Thalia. Dia membantu menjaga kondisi mental Thalia tetap waras. Sebagai ibu yang sedang mengandung, keadaan hati Thalia tidak seharusnya sekacau ini. Sudah seharusnya Thalia menjadi lebih tenang, santai, dan berbahagia, sehingga k
“Jangan seenaknya menuduhku! Aku tidak tahu menahu tentang hal itu!” Gabriella memelototi polisi di hadapannya. Setelah semalam dia dibuat pingsan oleh Danny yang ternyata adalah kaki tangan seorang detektif yang disewa Austin, sepuluh menit lalu dia terbangun di sebuah ruangan interogasi. Awalnya Gabriella diberi minum dan sedikit makanan untuk membuat kesadaran dirinya pulih dengan benar. Tapi setelah minuman dan makanan itu habis, proses interogasi dimulai. Detektif Owen bekerja sama dengan seorang kepolisian bersih yang setelah mendengar penjelasan tentang kasus ini, officer Randall pun bersedia membantu penyelidikan. “Kalau kau tidak tahu menahu tentang dana pinjaman bank untuk suamimu itu, silakan jelaskan sumber dana dari rekeningmu yang menggendut tiba-tiba. Darimana uang 2,5 juta dolar di rekeningmu, Nona? Itu bukan uang sedikit!” “Apa?” Gabriella terlihat shock. Bu- bukankah dia menyimpan dana itu di bank yang menjaga kerahasiaan nasabah seratus kali lebih rahasia daripa