‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri.
Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya.
Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan.
Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose.
Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona?
Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pria kasar, pria urakan, dan pria angkuh yang menjijikkan, yang mencuri ciuman pertamanya dengan cara pemaksaan.
“Selamat malam, Jose. Ini kubawakan makan malam kalian.” Samar-samar, Thalia mendengar pintu dibuka dan suara wanita tua berkata pada Jose.
“Iya. Terima kasih, Silvana,” jawab Jose. Thalia cukup terkejut karena suami di atas kertasnya ternyata cukup sopan. Setidaknya, pria itu mampu mengucapkan ‘terima kasih’.
“Mana pengantinmu?” tanya suara itu lagi.
Dan sedetik kemudian, terdengar panggilan dari Jose, “Thalia!”
Thalia cepat-cepat melepas gaun pengantinnya dan menggantinya dengan pakaian tidur.
Untungnya, dari sekian banyak baju tidur super seksi yang tergantung di walk in closet-nya, yang diambil Thalia adalah yang cukup sopan. Bermodelkan tali tipis di pundak dan rok yang jatuh sampai di lututnya, baju itu tidak terlalu seksi, tapi juga bukan yang sangat tertutup. Bagian dada gaun tidurnya itu bermodelkan V yang menampakkan belahan dadanya dengan jelas. Sial! Tapi, ini masih lebih baik daripada memakai lingerie yang transparan dengan tali yang hanya di tengah-tengah bokongnya.
Thalia keluar dari kamar mandi dengan perlahan. Rambut panjangnya dia gerai dan ditatanya agar berada di bagian depan tubuhnya, agar mampu menyamarkan belahan dadanya yang terlihat.
“Thalia! Kesinilah!” Panggilan Jose terdengar lebih menuntut.
Thalia pun menghampirinya dengan langkah terpaksa. Biar bagaimanapun, dia ingin menunjukkan kepada suami di atas kertasnya bahwa dia tidak mudah dikuasai. Akan tetapi, saat tiba di hadapan Jose, amarah yang tadi tercetak jelas di wajah pria itu sudah tak terlihat lagi.
Pandai sekali dia menyembunyikannya!
“Ini Thalia,” katanya pada wanita paruh baya yang ada di hadapannya. Wanita itu mengenakan pakaian pelayan dan berdiri membawa nampan dorong. Jose kemudian menoleh pada Thalia. “Dan Thalia, ini Mrs. Silvana, kepala pelayan di sini.”
Diperkenalkan kepada pelayan dengan cara yang sangat santun membuat Thalia tak punya pilihan lain selain menanggapi perkenalan yang dijabarkan sang suami dengan elegan. Thalia datang mendekat dan Mrs. Silvana mengangguk ramah dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. “Selamat datang, Nona Muda. Ini sedikit masakan istimewa saya untuk Nona dan Tuan Muda nikmati.”
Thalia mengiyakan dan tersenyum akan penyambutan wanita itu. Setelahnya, Mrs. Silvana undur diri dan tinggallah dirinya berduaan kembali dengan Jose.
Suami di atas kertanya itu dengan cekatan menarik kursi dan duduk. Pria itu mengulurkan tangannya menunjuk kursi di depannya. Dan dengan nada perintah dia berkata, “Duduklah, dan makan!”
Serta merta, rasa kesal Thalia kembali. Dia duduk seraya menatap tajam Jose.
Seakan tatapannya tak berpengaruh apapun, suami di atas kertasnya itu mulai makan, tanpa menunggunya ataupun mengambilkan makanan untuknya.
Jose makan dengan lahap dan cepat, seakan diri Thalia tidak ada di sana. Dan saat Thalia baru setengah menyelesaikan makanannya, pria itu sudah selesai.
Pria itu mulai mengelap mulutnya dengan serbet. Tapi, caranya mengelap pun asal-asalan.
Selesai mengelap mulutnya, Jose duduk bersandar, sebelah tangannya dia letakkan di sandaran kursi sebelahnya, kemudian dengan terang-terangan mengamati Thalia makan.
Yang benar saja? Siapa yang tahan makan dengan dilihatin seperti itu?
Karena kesal, Thalia pun membalas sikap Jose. Gadis itu sengaja makan dengan perlahan dan elegan. Mulutnya dia pastikan tak terbuka seinci pun saat mengunyah. Sedikit saja saus hendak tercecer dari sudut bibirnya, Thalia segera mengelapnya dengan anggun. Kemudian setelahnya, dia mengangkat dagunya agar tak terlihat menunduk.
Tetapi, tatapannya enggan berlabuh di wajah Jose. Dia juga tak memedulikan tatapan suami di atas kertasnya yang seakan menunggunya merayap bagai siput.
‘Biar saja!’ pikirnya. ‘Rasakan!’
Setelah beberapa saat berlalu, Thalia mengira Jose akan menghardiknya untuk makan dengan cepat. Nyatanya, pria itu tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Yang dilakukannya hanyalah duduk dan menatapnya lekat-lekat.
Thalia semakin menjauhkan tatapan matanya. Dan saat itulah pandangannya malah terarah pada ruang tidur mereka, ranjang pengantin mereka.
Ranjang itu membuat Thalia tiba-tiba teringat dia harus membuat perjanjian dengan suami di atas kertasnya. Pernikahan mereka yang hanyalah di atas kertas, tentu saja harus diimbangi dengan perjanjian jelas di antara mereka.
Jangan sampai pria itu benar-benar merasa dia adalah miliknya dan dengan santainya menjadikannya seorang budak nafsu belaka. No! Thalia takkan membiarkan itu terjadi!
“Aku baru teringat ada satu hal yang ingin kubicarakan,” kata Thalia sembari mengelap mulutnya dengan serbet. Tentunya dia melakukannya dengan sangat anggun, bukan asal-asalan seperti Jose tadi.
“Katakanlah.” Dengan tatapan yang masih terus menelisiknya, Jose mengubah posisi tubuhnya. Kini dia mencondongkan tubuhnya pada Thalia. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja dan tatapannya lurus ke manik matanya.
Thalia semakin merasa gelisah dan terintimidasi saat ditatap seperti itu. Tapi dia berusaha keras agar keinginannya terucapkan dengan benar.
“Seperti yang kau ketahui, kita menikah bukan karena cinta.” Thalia memulainya seakan sedang berpidato.
“Pernikahan ini ada karena permintaan ayahku. Jadi, aku ingin kau tau bahwa pernikahan kita ini hanyalah pernikahan di atas kertas.”
“Jadi maksudmu?” Terlihat wajah Jose merengut tak suka. Dia kembali duduk dengan bersandar meski tatapannya tetap melekat di wajah Thalia.
“Secara hukum kita memang suami istri. Tapi, aku tidak ingin kita melakoni itu secara sungguhan dalam kehidupan kita. Jadi, meskipun status kita adalah suami istri, aku tidak akan melarangmu jika kau memiliki kekasih di luar sana.”
“Huh! Terdengar menarik!” jawab Jose, dengan wajah datar.
“Bagus!” Thalia mulai bersemangat mendapati tanggapan positif dari suami di atas kertasnya. Dia kemudian melanjutkan, “Tapi, aku juga memintamu untuk menjaga batasan-batasanmu terhadapku. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati.”
“Apa maksudmu? To the point saja!”
“Ya … misalnya, kau mungkin saja mempunyai kekasih atau wanita yang ingin kau kejar cintanya. Kita bisa membuat perjanjian sehingga aku tidak akan melarangmu ataupun menghalangimu berkencan dengan wanita lain.”
Jose malah tertawa. “Kau tau, Nona? Berkencan tidak pernah menjadi daftar teratas dalam list hidupku. Tidak juga di nomor ke sekian. Malahan mungkin tidak masuk dalam daftarku. Jadi, andaipun kau mengizinkanku untuk mengencani wanita yang kusukai di luar sana, aku tidak memiliki wanita yang kusukai. Jadi, kau tenang saja!”
Thalia mengernyit mendengarnya. Untuk beberapa saat dia menatap Jose seraya mencerna ucapan pria itu. Setelahnya, Thalia terperangah dan berseru sembari menutup mulutnya dengan tangan. “Kau … gay?”
“Apa?!” seru Jose benar-benar terkejut kata itu bisa disematkan padanya.
“Kau tidak tertarik pada wanita, kan? Kau gay!” seru Thalia ngotot.
“Siapa bilang aku tidak tertarik pada wanita?!”
“Lho, tadi kau bilang sendiri!”
Jose mengacak-acak rambut pendeknya dengan gaya frustrasi. “Maksudku, aku tidak pernah memikirkan tentang berkencan. Ada atau tidak berkencan dalam hidupku, ada ataupun tidak ada wanita, aku sudah nyaman dengan diriku sendiri.”
“Oh, kalau begitu kau asexsual? Pria tanpa keinginan seksual.” Thalia semakin terkaget-kaget akan hipotesisnya sendiri.
“Hei…!” Jose mulai kehilangan kesabarannya. Dia berdiri dan menopang tubuhnya dengan kedua tangan terpaku pada meja makan. Tubuhnya dicondongkan ke arah THalia. Tatapannya masih setajam elang dan Thalia seakan terlempar ke ruang angkasa yang hampa udara.
"Jangan membuat kesimpulan sendiri tentangku!" desisnya tajam.
"Aku hanya menyimpulkan berdasarkan ucapanmu!" elak Thalia.
“Jangan!" seru Jose lagi dengan wajah yang bertambah marah dan seram.
“Pokoknya kau tenang saja, aku tidak akan mengkhianati pernikahan ini dengan mengencani wanita lain. Karena apa? Karena aku tidak memikirkan cinta, wanita, ataupun ranjang. Itu semua bukan hal nomor satu dalam hidupku.”Jose menjauh dan Thalia mulai bernapas normal kembali. Tapi, dia segera menyadari tujuannya belum tercapai.
“Tunggu! Kita belum sepakat!”
Jose berbalik dan menatap tajam istrinya itu. “Sepakat akan apa? Apa sebenarnya keinginanmu? Cepat katakan! Aku tidak suka hal yang bertele-tele!”
“Baiklah!” kata Thalia menahan napasnya, meskipun dia mulai ketakutan melihat amarah yang menguar dari raut Jose. “Keinginanku sederhana saja. Kau tidak boleh menyentuhku seperti seorang suami menyentuh istrinya!”
“Maksudmu aku tidak boleh menidurimu?”
“Yes!”
Jose terdiam sejenak dan hanya memandanginya lekat-lekat. Ada sedikit penyesalan akan ucapannya tadi pada Thalia, karena sekarang malah memagari dirinya sendiri. Tapi, semua sudah terlanjur. Dia pun tak bisa mengelaknya lagi.
“Sudah kubilang, urusan ranjang bukan obsesiku. Hanya saja ….” Jose menahan ucapannya. Dia masih berharap bisa membalik keadaan ini. Walaupun tidak banyak.
“Hanya saja apa?” Thalia menjadi penasaran sekaligus tegang.
Jose pun melanjutkan, “Segala sesuatu dariku tidak ada yang gratis. Apa imbalan yang akan kau berikan agar aku tidak menidurimu?” Kedua tangannya berkacak pinggang.
“Aku tidak akan mengganggu hidupmu. Tidak akan ikut campur akan segala urusanmu.” Thalia mengucapkan itu semua dengan gaya diplomatis. Dia meninggikan dagunya agar Jose tak meremehkannya.
Tapi Jose lagi-lagi malah terkekeh sombong. “Aku tidak peduli kau mencampuri urusanku atau tidak. Aku pun tidak merasa kau akan berani dan sanggup mencampuri urusan hidupku. Lagipula, kalau pun kau bisa, aku tidak keberatan.“
“Lalu apa maumu? Bagaimana jika aku membalasnya dengan memasak setiap hari untukmu?” Selesai mengucapkan ini, benak Thalia mengutuki dirinya sendiri. Dia hanya bisa memasak sup, untuk apa berlagak menawarkan masakannya?
“Hmm … aku tidak terlalu tertarik. Aku sudah memiliki Mrs. Silvana yang seperti chef di hotel bintang lima,” ujar Jose yang diam-diam membuat Thalia lega. Tapi hanya sejenak. Saat dia bicara lagi, Thalia kembali waspada.
“Begini saja. Aku beri kau syarat yang sangat sangat mudah," ucap Jose santai. Masalahnya, Thalia menangkap percikan binar licik di sepasang mata tajam suami di atas kertasnya itu.
"Apa syarat mudahmu itu?"
Benar saja, Jose tersenyum samar, tapi jelas dia terlihat menang. "Aku berjanji tidak akan menidurimu tetapi … kita … tetap … tidur … satu ranjang ... setiap hari.”
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung
Dalam diam yang menahan amarah, Jose melajukan pick up bututnya menuju ke danau tempat dia pernah mengajak Thalia untuk berbicara. Setibanya di sana, ketenangan dan keindahan danau itu sedikit banyak meluluhkan amarahnya. Dia mengeluarkan rokok dan membakarnya. Dihisapnya seraya berusaha mengenyahkan pikiran tentang Thalia. Namun, gadis manis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat itu tak bisa dia enyahkan dalam pikirannya. Bertahun-tahun lalu, Jose sering memerhatikan Thalia saat gadis itu masih bersekolah. Dia mengamati gadis itu dari dalam mobilnya. Senyumnya, kibaran rambut panjangnya, serta langkah riangnya hampir menjadi sarapannya setiap pagi. Dan setelah Thalia melewati jalanan di blok perumahannya dan menaiki bis, Jose baru beranjak juga dari sana. Kini, gadis itu menjadi istrinya. Sebagai ekspresi kebahagiaannya yang tak terkira, Jose ingin selalu mengantarkan ke mana pun istrinya itu pergi. Namun, sepertinya itu hanya keinginan sepihaknya sa
“Hati-hati, Pap. Pap belum boleh terlalu lelah. Jadi, Pap istirahat saja di kamar ya, Pap?” tanya Thalia yang juga diiyakan oleh Camilla. Sore itu mereka telah kembali ke rumah. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang. “Aku bosan di kamar saja. Lebih baik aku beristirahat di ruang duduk. Aku bisa sambil menonton televisi dan bisa melihat cucu-cucuku bermain. Begitu lebih baik. Melihat kelakuan mereka dan mendengar suara mereka membuatku merasa tetap berada di dunia ini. Jika kau mengurungku di kamar, aku akan merasa berada di penjara!” jawab ayahnya dengan suara ketus. Camilla dan Thalia jadi berpandangan, kemudian mereka mengangguk. Biar bagaimana pun ayah mereka sedang sakit. Sudah sepantasnya segala keinginannya didengarkan dan dikabulkan. “Baiklah, Pap. Akan kuatur supaya sofa di sana bisa nyaman untuk pap tiduri,” ujar Camila lagi sambil merangkul ayahnya dan menuntunnya ke ruang duduk. Dengan segera, Thalia mengatur sofa di sana agar terasa n
“Rumah itu tetap akan disita bank. Biar bagaimana pun uang yang digelontorkan sudah terpakai dan berkurang. Jika kau ingin mengambil kembali rumah dan tanahmu itu, kau tetap harus mengganti uang bank yang telah digunakan Gabriella, barulah rumah itu bisa kembali ke tanganmu.”Mendengar penjelasan Mr. Gustavo, Phillio kesal dan berang. “Apa? Itu sama saja bohong!”Jose sendiri tak bisa berkata apa-apa lagi. Andai rumah itu bukan rumah peninggalan kakeknya, maka dia takkan mau memikirkannya lagi. Tapi dalam rumah itu ada banyak kenangan keluarga Miguel yang takkan mungkin tergantikan oleh apapun juga.Lalu pemakaman keluarga mereka pun terletak tak jauh dari kediaman mereka.Segala kenangan inilah yang benar-benar sedang diperjuangankan Jose.“Berapa yang harus kuganti?”“Lima ratus ribu dolar.”“Itu gila!” sahut Jose dengan meraup wajahnya.***Selepas dari pertemuan dengan Mr. Gustavo, Jose pulang ke rumah dengan semangat yang hanya tersisa setengahnya saja. Begitu lesu langkah kakinya
“Sweet, bangunlah.”Suara lemah Jose Antonio memecah keheningan di ruang ICU itu.Thalia terbaring di sana, dalam keadaan tidak sadar.Ramona menceritakan, Thalia terkena preeklampsia. Tapi dia tidak menyadarinya karena tidak pernah lagi memonitor kehamilannya sejak menghadiri persidangan demi persidangan.Ada beberapa gejala yang dia alami, seperti tekanan darah tingginya yang semakin meningkat. Juga kondisi kekurangan nutrisi. Tapi Thalia abai akan semua itu.Membuat ketika dia harus melahirkan prematur, tubuh nya mendadak blank dan dia tak sadarkan diri.Jose rasanya ingin hancur menjadi debu saja ketika dia mendengar apa yang terjadi pada Thalia.Dipandanginya wanita itu dan digenggamnya erat tangan Thalia.“Bangunlah, please. Aku membutuhkanmu. Juga anak kita. Bangun, Sweet. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau meninggalkan kami di sini.”Pria itu tertunduk dan air matanya jatuh tak mampu dibendung lagi.Entah Jose harus menyalahkan siapa. Tapi melihat kondisi Thalia seperti ini,
Joseeee ... My man ... Joseeeeee ... Suara sayup-sayup seakan memanggil Jose. Saat itu dia berada di tebing tinggi dengan angin yang cukup kencang menerpa tubuhnya. Rambut coklatnya yang lumayan panjang berkibaran. Jose memandang sekeliling, tapi tidak melihat seorang pun. Hanya ada air laut yang menerpa karang hingga percikannya terlempar ke segala arah. Deburan ombak kembali mengisi pendengarannya saat panggilan itu sudah tak terdengar. Jose kembali menatap air laut di bawahnya. Entah mengapa dia merasa dirinya terpanggil untuk melompat dari sana. Joseeeeee ... Lagi, suara itu terdengar. Menajamkan telingannya, Jose menyadari jika itu suara Thalia. “Sweet? Di mana kau?” teriaknya pada sekelilingnya. Aku di sini .... Suara Thalia terdengar lagi dan tiba-tiba saja tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak tebing yang tak kalah tinggi dan Thalia berada di ujung tebing. Wanita itu mengenakan gaun panjang tipis berwarna pink. Perutnya sudah membuncit sementara angin menerpa ramb
Memikirkan itu, Fernando sedikit tenang. Meski pun dia tetap bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa Gustavo tetap mau menunjukkan rekaman di menit-menit setelah ini, jika memang isi rekaman sudah kabur dan dirinya tak terlihat jelas.Ah, mungkin itu hanya gertakan saja.Fernando menguatkan dirinya.Lalu mereka semua fokus pada rekaman. Dan benar saja, tak sampai lima menit kemudian, terlihat seseorang keluar dari ruang rawat ayahnya.Mr. Gustavo langsung menunjuk ke arah Fernando.“Apakah itu dirimu?”Fernando nyaris saja kehilangan kedua bola matanya karena mereka berlompatan keluar.Bu- bukankah dia sudah membayar hacker untuk mengaburkan rekaman saat dirinya keluar dari ruangan itu? Kenapa di rekaman kali ini dirinya terlihat jelas? Bahkan fitur wajahnya sangat jelas, karena Fernando sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan menatap ke arah kamera selama beberapa detik.Dengan logika yang masih tertutup keterkejutannya, Fernando sontak berteriak,“Bu- bukan aku! Itu bukan aku!”“Bu
Silvana mulai menirukan ucapan Mrs. Milly yang didengarnya waktu itu, “Kita harus tenang, Fernando. Pihak Bank tahunya pinjaman itu atas nama ayahmu. Dan ketika Jose mengetahui tentang ayah kalian meminjam dengan menjaminkan rumah dan tanahnya, maka dia gelap mata, murka, dan mendendam pada ayah kalian. Itulah kenapa ayahmu mati.Setelah itu, Jose lalu meminta dana pinjaman itu menjadi miliknya. Mengancam kita untuk mengirimkan dana itu ke rekeningnya. Itulah yang terjadi, Fernando. Kau mengerti? Itu yang terjadi!Camkan dalam benakmu, itulah yang terjadi. Ketika nanti kita memberi kesaksian pada yang berwajib, kita harus mengatakan seperti itu! Mengerti?!”Silvana menjelaskan dengan menirukan nada suara Mrs. Milly, membuat Mr. Gustavo jadi mempertanyakannya.“Apakah menurut anda ada yang aneh dari kata-kata Mrs. Milly itu?”“Iya! Tentu saja! Mrs. Milly seperti menyampaikan rencananya, bukan memberitakan sebuah kabar,” ucap Silvana yang langsung membuat Fernando memrotesnya.“Kau jang
“Jadi Anda sebenarnya sedang kembali ke rumah atau sedang di kafetaria?” tanya Mr. Gustavo dengan nada keras pada Fernando, ketika pria itu dipanggil untuk memberi kesaksian.“Di kafetaria,” sahut Fernando dengan nada kesal.Saat itu, sudah gilirannya yang dipanggil untuk memberikan kesaksian.Fernando awalnya menolak tegas, tapi Officer Danny dan para polisi lainnya memaksa. Jika dia tidak bersedia memberikan kesaksian, maka dirinya yang akan dituntut karena melakukan penipuan terhadap dana pinjaman bank.Tentu saja hal tersebut bisa dilakukan asalkan sesuai prosedur. Tapi para polisi menggertaknya seolah-olah tanpa prosedur pun Fernando bisa dituntut begitu saja.Dan Fernando mempercayai gertakan itu dan langsung menyetujui pemanggilan dirinya sebagai saksi.Kini, menghadapi garangnya Mr. Gustavo menanyai dirinya sebagai saksi, Fernando cukup ciut nyalinya.“Jam berapa Anda keluar dari ruang rawat ayah Anda?” tanya Mr. Gustavo lagi.“Ma- maaf, saya tidak melihat jam.”“Kira-kira saj
Dengan terbata-bata, Gabriella menjawab lagi tanpa pikiran logisnya lagi, “Bu- bukan aku yang membelinya! Apakah Anda tidak menanyakannya pada Fernando? Pastilah dia yang membeli mobil itu!” “Oh, Nona Gabriella,” Mr. Gustavo terlihat tersenyum kecil. dia sungguh sudah hapal dengan tingkah para saksi yang menyembunyikan sebuah kebenaran seperti Gabriella. “Anda tertangkap saat sedang berada di Tijuana City. Dan pembelian mobil itu juga terjadi di kota yang sama. Lagipula, sales showroom mobil sempat mengambil foto Anda saat Anda menuju mobil sesaat setelah transaksi pembelian terjadi. Ini fotonya!” Gabriella seperti disengat listrik tegangan tinggi kali ini. Dia tak bisa megnelak lagi dengan bukti foto yang ditunjukkan di depan wajahnya. Dia seperti mendapatkan tamparan di wajah. “It- itu ... Ak- aku ... aku tidak mengingatnya!” “Bagaimana anda tidak mengingatnya? Anda amnesia? Tapi dokter tidak memberi laporan bahwa anda amnesia. Lalu, apakah berarti anda pura-pura lupa?” “Buk
Thalia bagai menjalani hidup dalam naungan waktu yang berbeda. Dia seperti masih berada di titik yang jauh di belakang, tapi tiba-tiba Ramona sudah menyadarkannya bahwa sudah waktunya persidangan Jose lagi. “Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menghadarinya lagi, Ramona,” tangis Thalia saat sahabatnya itu menyuruhnya bersiap dan menunjukkan pada Jose bahwa dirinya akan bertahan sekuat tenaga demi Jose dan buah hati mereka. “Kau harus kuat, Thalia. Jika Jose melihatmu hancur, dia akan lebih hancur lagi!” Ramona terus mengguncang tubuh Thalia, berusaha menguatkan temannya itu. “Tapi melihat kondisinya yang semakin buruk, aku semakin hancur, Ramona.” Isak tangis Thalia semakin berhamburan keluar. Sudah sejak beberapa hari lalu, Ramona menginap di rumah Thalia. Dia membantu menjaga kondisi mental Thalia tetap waras. Sebagai ibu yang sedang mengandung, keadaan hati Thalia tidak seharusnya sekacau ini. Sudah seharusnya Thalia menjadi lebih tenang, santai, dan berbahagia, sehingga k
“Jangan seenaknya menuduhku! Aku tidak tahu menahu tentang hal itu!” Gabriella memelototi polisi di hadapannya. Setelah semalam dia dibuat pingsan oleh Danny yang ternyata adalah kaki tangan seorang detektif yang disewa Austin, sepuluh menit lalu dia terbangun di sebuah ruangan interogasi. Awalnya Gabriella diberi minum dan sedikit makanan untuk membuat kesadaran dirinya pulih dengan benar. Tapi setelah minuman dan makanan itu habis, proses interogasi dimulai. Detektif Owen bekerja sama dengan seorang kepolisian bersih yang setelah mendengar penjelasan tentang kasus ini, officer Randall pun bersedia membantu penyelidikan. “Kalau kau tidak tahu menahu tentang dana pinjaman bank untuk suamimu itu, silakan jelaskan sumber dana dari rekeningmu yang menggendut tiba-tiba. Darimana uang 2,5 juta dolar di rekeningmu, Nona? Itu bukan uang sedikit!” “Apa?” Gabriella terlihat shock. Bu- bukankah dia menyimpan dana itu di bank yang menjaga kerahasiaan nasabah seratus kali lebih rahasia daripa