"Kenapa kau mau menikahiku?" tanya Thalia frustrasi pada makhluk yang bertubuh kekar, penuh otot, serta raut kasar dan tidak peduli yang tercetak jelas di wajahnya.
Selain jauh dari kesan pria pesolek, pria itu juga terkenal dengan berbagai reputasi buruk. Memang bukan reputasi buruk berkaitan dengan wanita, tetapi reputasi buruk yang berkaitan dengan mematahkan tulang sesama manusia.
Dan baru kemarin, ayahnya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit meminta Thalia untuk menikah dengan Jose Antonio.
“Ada satu pria yang mau memperistrimu, Thalia. Dia … Jose Antonio,” kata ayahnya dengan suara yang lemah.
Bukan Thalia saja yang terkejut tetapi juga Camila, kakaknya. Akan tetapi keinginan ayahnya tak terbantahkan. Thalia memang pada akhirnya mengiyakan. Menyanggupinya.
Namun, pertanyaan tadi terus bercokol di kepalanya sehingga dia pun memutuskan untuk mencari Jose Antonio hari ini dan menanyakannya secara langsung.
Tanpa dia duga, pertanyaannya itu membuat Jose bangun dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat Thalia jadi semakin terintimidasi. Pria itu ternyata hanya membuang puntung rokoknya, menginjaknya hingga hancur, baru kemudian menatapnya lekat-lekat.
“Jadi, kau ingin tau yang sebenarnya?” tanyanya dengan memandang ke arah bawah, kepada Thalia, dengan melipat kedua lengannya di depan dada.
"Ya!" jawab Thalia kesal.
“Baiklah. Akan kukatakan yang sebenarnya. Aku datang untuk menjenguk ayahmu. Kemudian, di akhir obrolan ayahmu-lah yang memintaku untuk menikahimu. Katanya dia sudah tua, berharap ada seseorang yang menjagamu. Dan karena aku kasihan padanya, jadi aku mengiyakannya.” Jose mengucapkan semua itu dengan gaya santai dan tidak pedulinya.
Thalia meradang dan menyahutnya kaget. “APA?! Jadi maksudmu kau mau menikahiku karena kasihan?”
Alasan macam apa itu? Di seluruh dunia ini, mungkin hanya Jose Antonio, makhluk tak berbudi yang melamar dengan alasan kasihan. Rasanya, Thalia ingin meninjunya. Tapi nyatanya, seluruh urat tubuhnya kaku. Dia hanya mampu memandangi Jose dengan tatapan membara penuh murka.
“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Sekarang, lebih baik kau klarifikasikan lagi perasaanmu itu pada ayahku. Karena aku akan lebih senang jika tidak perlu menikah. Apalagi denganmu!”
“Sayang sekali. Itu tidak bisa!” sahut Jose tegas.
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Kau hanya perlu bicara kepada ayahku!” hardik Thalia dongkol.
“Tetap tidak bisa!” Wajah Jose sedari tadi memang teramat serius dan tak ada tanda-tanda dia bercanda sedikit pun.
Thalia pun semakin tersulut emosinya. “Kenapa tidak bisa?”
“Karena aku sudah mengiyakan permintaan ayahmu. Dan pria sejati sepertiku tidak akan plin plan dengan menarik kembali ucapanku atau pun mengubah jawabanku, terlebih lagi pada pria tua yang sedang terbaring sakit.”
Thalia merasakan kembali gejolak amarahnya yang membuatnya ingin meninju pria di depannya ini. Tangannya sampai terkepal erat karena menahan rasa itu. Mengiyakan permintaan Pap, katanya? Pria sejati, katanya?
“Aku tidak perlu rasa kasihan darimu!” seru Thalia marah.
Marah.
Entah kenapa kata itu melekat erat pada diri Thalia beberapa hari belakangan ini, sejak dia memutuskan Kembali ke Bacalar, kota asalnya.
Masih teringat jelas di benak Thalia bagaimana dadanya bergemuruh hingga dia merasa dirinya ingin meledak dan hancur menjadi kepingan-kepingan sehalus debu. Saat itu, dia menawarkan dirinya untuk bernyanyi di gereja menggantikan Juanita yang terkena demam di saat mendapat tugas membawakan pujian di misa kali itu.
Saat Thalia tiba di altar dan bersiap untuk menghanturkan pujiannya, saat itu pulalah dia menangkap sosok dua makhluk peselingkuh yang telah bermain api di belakangnya selama ini.
Fernando dan Gabriella. Jika Fernando adalah kekasihnya selama empat tahun terakhir, Gabriella adalah sahabatnya dari semasa sekolah dahulu.
Sudah menjadi tradisi di gereja kecil mereka, jika ada yang hendak menikah, dua minggu sebelum pernikahan, mereka akan duduk di kursi yang disediakan di depan altar. Jemaat haruslah melihat pasangan yang akan menikah.
Jika ada sanggahan, mereka boleh menyampaikannya saat itu juga dengan alasannya.
Jika tidak ada sanggahan, upacara pernikahan akan dilangsungkan sesuai rencana.
Dan selama menunggu adakah sanggahan dari jemaat yang hadir, berbagai persembahan nyanyian rohani dihanturkan kepada Sang Pencipta.
Itulah tugas yang diambil Thalia untuk menggantikan Juanita tanpa mengetahui bahwa Fernando dan Gabriella-lah yang sedang duduk di depan altar, mengumumkan pernikahan mereka yang akan diadakan minggu depan.
Hati Thalia hancur berkeping-keping. Seluruh penjuru nadinya melajukan darah yang mendidih hingga ke ubun-ubun.
Namun, dia tetap bernyanyi dengan begitu indah dan syahdu. Segala perasaannya dia curahkan dalam lantunan lagu yang dibawakannya dengan begitu merdu.
Selesai semua itu, Thalia mendapatkan tepuk tangan yang bergelora karena nyaris semua yang hadir di sana mengetahui hubungan asmaranya dengan Fernando. Dan mereka semua bersimpati padanya karena harus mengetahui pernikahan Fernando dengan Gabriella dengan cara seperti itu.
Tak memedulikan semua itu, Thalia berlari turun dari altar dan tak berhenti hingga langkahnya melewati pintu gereja, dan berhenti di teras belakang gereja.
Tubuhnya bersandar lemah di tembok teras yang hanya setinggi setengah tubuh orang dewasa saja. Tangisnya tak terbendung lagi.
‘Ya Tuhan, kenapa harus dia yang bernyanyi tadi. Kenapa harus bertepatan dengan pengumuman pernikahan mereka? Kenapa?’ jerit hati Thalia dengan segala pertahanan dirinya yang telah jebol.
Air matanya mengalir deras dan Thalia sudah tak menyadari lagi jika keberadaannya di teras belakang itu sudah disusupi makhluk lainnya.
Hingga suara serak nan berat itu menyapanya, “Hentikan! Dia tak layak kau tangisi!”
Saat melihat siapa yang berani mengusiknya di saat dia sedang menangis pilu sendirian, Thalia malah tercekat mendapati tatapan tajam nan dingin milik Jose Antonio Berbardo. “Mau apa kau ke sini?!” hardik Thalia sembari kembali ke arah pandangnya yang semula, menghindari tatapan menelisik lelaki itu. Jose Antonio adalah kakak tiri dari Fernando. Mereka satu ayah, berbeda ibu. Dan usia mereka berselisih cukup jauh. Fernando berusia 25 tahun, tiga tahun di atas Thalia. Itu berarti Jose sudah berusia ... 30 tahun, kurang lebih. “Mau apa kau ikut ke sini? Aku ingin sendiri!” hardik Thalia lagi karena Jose tak kunjung menjawab. Dia sedang menangis, sudah tentu dia ingin sendiri. Tetapi, kenapa makhluk itu mengganggunya? Apa makhluk itu tidak melihat bahwa dia sedang menangis? “Ini tempat umum. Kenapa aku tidak boleh ke sini?” Suara serak makhluk itu, yang juga rendah, bergumam santai sambil bibirnya mengepit sebatang rokok. Sebelah tangannya meraih Zippo dari saku celana kemudian menyal
“Ngomong-ngomong ... ada hubungan apa kau dengan Jose?” tanya kakaknya, Camila, ketika Thalia telah tiba di ruang rawat ayahnya dan mengeluarkan seluruh pasta buatannya. Ayahnya masih tertidur, kata Camila tadi, Pap baru saja selesai minum obat. Bagaikan bunga salju di tengah gurun pasir, pertanyaan Camilla itu begitu mengherankan Thalia. Jose? Thalia berpikir keras. Kenapa lagi-lagi nama itu disangkut pautkan padanya? “Maksudmu ... Jose Antonio, kakak tirinya si peselingkuh itu?” Sejak dia mengetahui perselingkuhan Fernando, Thalia merasa tak sudi menyebut nama itu lagi. Jadilah dia menggantinya dengan sebutan ‘si peselingkuh’. Thalia melihat Camilla mengangguk mengiyakan. Kini Thalia yang mengernyit semakin dalam, semakin heran. “Kenapa dia?” “Dia barusan datang ke sini,” jelas Camilla sambil mengunyah daging ayam yang telah diolah menjadi potongan yang lembut. “Dia datang? Ke sini?” Thalia semakin heran. Ada apa pria itu datang kemari? “Maksudmu menjenguk Pap?” Camilla menga
Ucapan ayahnya bahwa seorang Jose Antonio ingin menikahinya terus bergaung di kepalanya. Hampir semalaman Thalia tidak bisa tidur, meski kedua matanya terpejam. Karena itulah, di pagi hari ini, Thalia bangun cepat agar bisa bersiap dan mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menggedor-gedor benaknya itu. Thalia menunggu makhluk bernama Jose Antonio itu di depan gerbang rumah lelaki itu. Rumah yang besar, megah, dan mewah itu memiliki halaman yang sangat luas. Jarak antara pagar gerbang dan pintu rumahnya sekitar 25 meter. Dan, di bawah terik matahari yang semakin memanas, Thalia menunggu dengan bermondar mandir tak karuan. Sesekali dia mengintip dari celah pagar, adakah tanda-tanda kemunculan Jose. Sudah sepuluh menit berlalu dan Jose Antonio masih belum kelihatan batang hidungnya. Petugas satpam sudah menawarkannya untuk masuk, tapi Thalia tidak mau. Thalia masih menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Akhirnya pintu gerbang terbuk
Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari. Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan. "Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya. Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu. "Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia sa
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
“Rumah itu tetap akan disita bank. Biar bagaimana pun uang yang digelontorkan sudah terpakai dan berkurang. Jika kau ingin mengambil kembali rumah dan tanahmu itu, kau tetap harus mengganti uang bank yang telah digunakan Gabriella, barulah rumah itu bisa kembali ke tanganmu.”Mendengar penjelasan Mr. Gustavo, Phillio kesal dan berang. “Apa? Itu sama saja bohong!”Jose sendiri tak bisa berkata apa-apa lagi. Andai rumah itu bukan rumah peninggalan kakeknya, maka dia takkan mau memikirkannya lagi. Tapi dalam rumah itu ada banyak kenangan keluarga Miguel yang takkan mungkin tergantikan oleh apapun juga.Lalu pemakaman keluarga mereka pun terletak tak jauh dari kediaman mereka.Segala kenangan inilah yang benar-benar sedang diperjuangankan Jose.“Berapa yang harus kuganti?”“Lima ratus ribu dolar.”“Itu gila!” sahut Jose dengan meraup wajahnya.***Selepas dari pertemuan dengan Mr. Gustavo, Jose pulang ke rumah dengan semangat yang hanya tersisa setengahnya saja. Begitu lesu langkah kakinya
“Sweet, bangunlah.”Suara lemah Jose Antonio memecah keheningan di ruang ICU itu.Thalia terbaring di sana, dalam keadaan tidak sadar.Ramona menceritakan, Thalia terkena preeklampsia. Tapi dia tidak menyadarinya karena tidak pernah lagi memonitor kehamilannya sejak menghadiri persidangan demi persidangan.Ada beberapa gejala yang dia alami, seperti tekanan darah tingginya yang semakin meningkat. Juga kondisi kekurangan nutrisi. Tapi Thalia abai akan semua itu.Membuat ketika dia harus melahirkan prematur, tubuh nya mendadak blank dan dia tak sadarkan diri.Jose rasanya ingin hancur menjadi debu saja ketika dia mendengar apa yang terjadi pada Thalia.Dipandanginya wanita itu dan digenggamnya erat tangan Thalia.“Bangunlah, please. Aku membutuhkanmu. Juga anak kita. Bangun, Sweet. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau meninggalkan kami di sini.”Pria itu tertunduk dan air matanya jatuh tak mampu dibendung lagi.Entah Jose harus menyalahkan siapa. Tapi melihat kondisi Thalia seperti ini,
Joseeee ... My man ... Joseeeeee ... Suara sayup-sayup seakan memanggil Jose. Saat itu dia berada di tebing tinggi dengan angin yang cukup kencang menerpa tubuhnya. Rambut coklatnya yang lumayan panjang berkibaran. Jose memandang sekeliling, tapi tidak melihat seorang pun. Hanya ada air laut yang menerpa karang hingga percikannya terlempar ke segala arah. Deburan ombak kembali mengisi pendengarannya saat panggilan itu sudah tak terdengar. Jose kembali menatap air laut di bawahnya. Entah mengapa dia merasa dirinya terpanggil untuk melompat dari sana. Joseeeeee ... Lagi, suara itu terdengar. Menajamkan telingannya, Jose menyadari jika itu suara Thalia. “Sweet? Di mana kau?” teriaknya pada sekelilingnya. Aku di sini .... Suara Thalia terdengar lagi dan tiba-tiba saja tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak tebing yang tak kalah tinggi dan Thalia berada di ujung tebing. Wanita itu mengenakan gaun panjang tipis berwarna pink. Perutnya sudah membuncit sementara angin menerpa ramb
Memikirkan itu, Fernando sedikit tenang. Meski pun dia tetap bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa Gustavo tetap mau menunjukkan rekaman di menit-menit setelah ini, jika memang isi rekaman sudah kabur dan dirinya tak terlihat jelas.Ah, mungkin itu hanya gertakan saja.Fernando menguatkan dirinya.Lalu mereka semua fokus pada rekaman. Dan benar saja, tak sampai lima menit kemudian, terlihat seseorang keluar dari ruang rawat ayahnya.Mr. Gustavo langsung menunjuk ke arah Fernando.“Apakah itu dirimu?”Fernando nyaris saja kehilangan kedua bola matanya karena mereka berlompatan keluar.Bu- bukankah dia sudah membayar hacker untuk mengaburkan rekaman saat dirinya keluar dari ruangan itu? Kenapa di rekaman kali ini dirinya terlihat jelas? Bahkan fitur wajahnya sangat jelas, karena Fernando sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan menatap ke arah kamera selama beberapa detik.Dengan logika yang masih tertutup keterkejutannya, Fernando sontak berteriak,“Bu- bukan aku! Itu bukan aku!”“Bu
Silvana mulai menirukan ucapan Mrs. Milly yang didengarnya waktu itu, “Kita harus tenang, Fernando. Pihak Bank tahunya pinjaman itu atas nama ayahmu. Dan ketika Jose mengetahui tentang ayah kalian meminjam dengan menjaminkan rumah dan tanahnya, maka dia gelap mata, murka, dan mendendam pada ayah kalian. Itulah kenapa ayahmu mati.Setelah itu, Jose lalu meminta dana pinjaman itu menjadi miliknya. Mengancam kita untuk mengirimkan dana itu ke rekeningnya. Itulah yang terjadi, Fernando. Kau mengerti? Itu yang terjadi!Camkan dalam benakmu, itulah yang terjadi. Ketika nanti kita memberi kesaksian pada yang berwajib, kita harus mengatakan seperti itu! Mengerti?!”Silvana menjelaskan dengan menirukan nada suara Mrs. Milly, membuat Mr. Gustavo jadi mempertanyakannya.“Apakah menurut anda ada yang aneh dari kata-kata Mrs. Milly itu?”“Iya! Tentu saja! Mrs. Milly seperti menyampaikan rencananya, bukan memberitakan sebuah kabar,” ucap Silvana yang langsung membuat Fernando memrotesnya.“Kau jang
“Jadi Anda sebenarnya sedang kembali ke rumah atau sedang di kafetaria?” tanya Mr. Gustavo dengan nada keras pada Fernando, ketika pria itu dipanggil untuk memberi kesaksian.“Di kafetaria,” sahut Fernando dengan nada kesal.Saat itu, sudah gilirannya yang dipanggil untuk memberikan kesaksian.Fernando awalnya menolak tegas, tapi Officer Danny dan para polisi lainnya memaksa. Jika dia tidak bersedia memberikan kesaksian, maka dirinya yang akan dituntut karena melakukan penipuan terhadap dana pinjaman bank.Tentu saja hal tersebut bisa dilakukan asalkan sesuai prosedur. Tapi para polisi menggertaknya seolah-olah tanpa prosedur pun Fernando bisa dituntut begitu saja.Dan Fernando mempercayai gertakan itu dan langsung menyetujui pemanggilan dirinya sebagai saksi.Kini, menghadapi garangnya Mr. Gustavo menanyai dirinya sebagai saksi, Fernando cukup ciut nyalinya.“Jam berapa Anda keluar dari ruang rawat ayah Anda?” tanya Mr. Gustavo lagi.“Ma- maaf, saya tidak melihat jam.”“Kira-kira saj
Dengan terbata-bata, Gabriella menjawab lagi tanpa pikiran logisnya lagi, “Bu- bukan aku yang membelinya! Apakah Anda tidak menanyakannya pada Fernando? Pastilah dia yang membeli mobil itu!” “Oh, Nona Gabriella,” Mr. Gustavo terlihat tersenyum kecil. dia sungguh sudah hapal dengan tingkah para saksi yang menyembunyikan sebuah kebenaran seperti Gabriella. “Anda tertangkap saat sedang berada di Tijuana City. Dan pembelian mobil itu juga terjadi di kota yang sama. Lagipula, sales showroom mobil sempat mengambil foto Anda saat Anda menuju mobil sesaat setelah transaksi pembelian terjadi. Ini fotonya!” Gabriella seperti disengat listrik tegangan tinggi kali ini. Dia tak bisa megnelak lagi dengan bukti foto yang ditunjukkan di depan wajahnya. Dia seperti mendapatkan tamparan di wajah. “It- itu ... Ak- aku ... aku tidak mengingatnya!” “Bagaimana anda tidak mengingatnya? Anda amnesia? Tapi dokter tidak memberi laporan bahwa anda amnesia. Lalu, apakah berarti anda pura-pura lupa?” “Buk
Thalia bagai menjalani hidup dalam naungan waktu yang berbeda. Dia seperti masih berada di titik yang jauh di belakang, tapi tiba-tiba Ramona sudah menyadarkannya bahwa sudah waktunya persidangan Jose lagi. “Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menghadarinya lagi, Ramona,” tangis Thalia saat sahabatnya itu menyuruhnya bersiap dan menunjukkan pada Jose bahwa dirinya akan bertahan sekuat tenaga demi Jose dan buah hati mereka. “Kau harus kuat, Thalia. Jika Jose melihatmu hancur, dia akan lebih hancur lagi!” Ramona terus mengguncang tubuh Thalia, berusaha menguatkan temannya itu. “Tapi melihat kondisinya yang semakin buruk, aku semakin hancur, Ramona.” Isak tangis Thalia semakin berhamburan keluar. Sudah sejak beberapa hari lalu, Ramona menginap di rumah Thalia. Dia membantu menjaga kondisi mental Thalia tetap waras. Sebagai ibu yang sedang mengandung, keadaan hati Thalia tidak seharusnya sekacau ini. Sudah seharusnya Thalia menjadi lebih tenang, santai, dan berbahagia, sehingga k
“Jangan seenaknya menuduhku! Aku tidak tahu menahu tentang hal itu!” Gabriella memelototi polisi di hadapannya. Setelah semalam dia dibuat pingsan oleh Danny yang ternyata adalah kaki tangan seorang detektif yang disewa Austin, sepuluh menit lalu dia terbangun di sebuah ruangan interogasi. Awalnya Gabriella diberi minum dan sedikit makanan untuk membuat kesadaran dirinya pulih dengan benar. Tapi setelah minuman dan makanan itu habis, proses interogasi dimulai. Detektif Owen bekerja sama dengan seorang kepolisian bersih yang setelah mendengar penjelasan tentang kasus ini, officer Randall pun bersedia membantu penyelidikan. “Kalau kau tidak tahu menahu tentang dana pinjaman bank untuk suamimu itu, silakan jelaskan sumber dana dari rekeningmu yang menggendut tiba-tiba. Darimana uang 2,5 juta dolar di rekeningmu, Nona? Itu bukan uang sedikit!” “Apa?” Gabriella terlihat shock. Bu- bukankah dia menyimpan dana itu di bank yang menjaga kerahasiaan nasabah seratus kali lebih rahasia daripa