Hari ini benar-benar sial. Mengapa aku harus bertemu Rika kembali? Dengan cara yang memalukan pula.Tapi kok bisa ya kenapa di mataku Rika benar-benar berubah. Tidak seperti dulu. Kulihat tubuhnya sedikit langsing dari biasanya. Padahal dulu tubuhnya mulai digumbuli lemak di mana-mana. Sampai-sampai tadi aku hampir tidak mengenalinya. Andai saja tadi ia tak melepaskan maskernya, mungkin aku tak akan pernah bisa tahu kalau itu adalah Rika. Tubuhnya benar-benar berbeda. Iya ramping dan tubuhnya berbentuk semakin, ia kemanakan lemak-lemak menjijikkan itu? Di wajahnya juga tak kulihat lagi adanya jerawat-jerawat kecil yang dulu bahkan membuatku bergidik, jerawat-jerawat kecil itu membuatku tak tertarik lagi.Tapi tadi kulihat wajahnya begitu bersih dan mulus. Aneh sekali wanita itu.Apa dia punya seorang laki-laki yang bisa membuatnya berubah? Ah tidak mungkin, bukannya Dira bilang Rangga sudah membatalkan pernikahannya dengan Rika?Aku yakin Rangga membatalkan pernikahan itu pasti karen
Setelah pertemuan kemarin, entah mengapa hari-hariku selalu saja dibayangi oleh sosok Rika. Ingatanku seolah-olah selalu tertuju padanya.Rasanya aku kembali jatuh cinta pada perempuan itu. Meskipun kemarin ia tak menerimaku dengan cara yang cukup sopan, tapi menurutku hal itu masih bisa dikondisikan. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalani hari-hari bersama, oleh karena itu kurasa bukanlah hal yang mudah bagi Rika untuk melupakanku sebagaimana sekarang aku juga kembali terus teriingat padanya.Aku harus mengakui jika Rika memang terlihat cukup cantik. Tidak seperti dulu. Perubahan yang benar-benar nyata dan aku sadar itu. Mungkin saja sekarang Wanita itu telah tersadarkan bahwa betapa pentingnya untuk menjaga penampilan. Mungkin saja dia juga telah menyesali sifatnya yang dulu malas untuk bersolek merawat diri sehingga membuatku kerap bosan padanya. Dan memang perceraianku padanya karena aku sudah terlalu bosan melihat penampilannya yang begitu-begitu saja tanpa ada
Bab 94Eh kenapa aku harus sewot? Bukankah kalau Rika benar-benar berprofesi sebagai manajer uangnya justru akan semakin besar? Wah kalau ini benar dan tidak salah orang, maka secara tidak langsung ini adalah sebuah keuntungan besar bagiku kalau bisa kembali untuk mendapatkannya. Mungkin adalah salah satu cara Tuhan untuk kembali menaikkan derajat kehidupanku. Berdoa untuk hal-hal yang baik memang tidak ada salahnya.Baik Rika, mari kita bertemu dulu. Kalau nanti kamu menolakku secara kasar, maka aku bisa menyebarkan aibmu di sini! "Boleh aku bertemu dengannya sekarang, Pak?" Kembali aku mengulang kata-kata yang sama pada satpam tersebut."Sekali lagi maaf Pak sekarang ini masih dalam jam kerja. Jadi tidak bisa untuk menemuinya sekarang. Atau apakah bapak punya jadwal resmi untuk bertemu dengan beliau?"Aduh mana ada jadwal, dia pun tidak tahu kalau aku kemari. Dasar perusahaan susah, mau ketemu aja sulit begini. Apa susahnya sih cuma untuk ketemu saja?Ingin rasanya aku mengumpat ke
Bab 95"Maksud kamu apa, Valdi?"Kulihat Rika melihatku dengan disertai tatapan matanya yang kurang mengenakkan. Sengaja aku menghampirinya kemari setelah tadi di usir dari kantor. Tentu aku tak hilang akal untuk bisa menemuinya.Diusir dari sana, maka kutunggu jam pulangnya dia."Aku masih cinta sama kamu, Rik!" Aku berkata jujur."Sebaiknya kamu istighfar, Val. Aku bukan istri kamu lagi. Jadi nggak baik kamu nemuin aku kayak gini. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, lupain ajah lah semuanya," ucap Rika.Kenapa dia nampak kayak males banget ngomongnya? Apa dia sedang capek? "Ya aku tahu kita udah gak punya hubungan apa-apa lagi. Tapi setidaknya kita pernah hidup bareng-bareng kan? Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Rik. Kamu yakin aku bisa ngelupain kamu secepat ini? Nggak bisa. Aku masih cinta sana kamu,""Sekarang aku hargain banget perubahan yang ada di diri kamu, Rik. Aku maklum dan ngerti banget kalo kamu udah sadar betapa penting banget buat ngejaga penampilan?
"Kenapa kamu nampak ngelamun terus, Val? Dari tadi Ibu lihat merenung aja kayak gitu kayak nggak punya semangat hidup lagi! Tuh kamu lihat di dapur kita nggak punya apa-apa lagi. Terus ntar malem emangnya kamu mau makan apa? Makan angin?"Datang-datang Ibu menatapku dengan sinis sambil berucap seperti itu. Terkadang hatiku bergemuruh kesal dengan sikap ibu yang sudah tidak bisa menghargaiku lagi. Ya mungkin saja karena aku tidak punya apa-apa lagi sekarang. Tapi seharusnya sebagai orang tua Dia memberi semangat pada anaknya ini. Bukan malah semakin membuat down saja."Maaf Bu, ntar malam aku ikut Kang Firman aja." Jawabku."Ikut ke mana?""Ikut dia buat kerja di gudang pertanian!" Jawabku lagi."Kerja apa kamu di gudang?""Ya bantu-bantu Apa aja lah Bu! Nurunin barang-barang yang baru nyampe juga bisa," ulasku lagi."Ooh, maksud kamu mau jadi kuli gitu?" Ibu kembali menatapku tajam. Adu sial kenapa tadi aku katakan itu sama ibu. Huuuh, ini kayaknya akan mengundang amarah ibu nih."N
Bab 97Atas permintaan ibu yang ngotot, aku mengajak ibu menuju ke gedung perkantoran di mana tempat Rika bekerja."Di sini kantornya, Val? Apa kamu nggak salah?" Ibu menatapku heran."Iya Bu. Emang beneran ini," Aku menjawab apa adanya."Wuaaaah....! Keren banget ini mah!" Ibu seperti terkagum-kagum dengan lokasi yang ada di sekitar kami."Ibu kayak kaget ya?"Aku menyindir."Kaget aja ngelihat kayak gini, Val. Ini bahkan lebih gede dari kantormu dulu!" Senyum Ibu mengembang. Senang aja melihat ibu kesenangan seperti ini. Ah ibu sebentar lagi Ibu tidak hanya akan kesenangan, Tapi semua kebutuhan ibu akan tercukupi. Doakan saja secepatnya Rika akan kembali sama aku, bu."Ayo kita masuk aja, Val. Kita langsung nemuin Rika!"Dengan tergesa-gesa ibu mengajakku untuk menemui Rika secara langsung di kantornya. Tentu aku menolak, sebab sudah tentu tidak dibolehkan seperti kemarin-kemarin."Nggak bisa langsung masuk begitu aja, Bu!" Ucapku cepat menolak tangan Ibu yang menarikku dengan cara
Kembali aku lihat ibu menatap kami dengan tatapan tak menyenangkan. Jujur saja Aku benci dengan tatapan mata Rika yang sangat tidak ramah. "Mengapa melihat kami dengan sorot mata kayak gitu Rika?" Tanpa menunggu lama aku pun bertanya."Menatap bagaimana maksud kamu?"Belagu bener dia pura-pura tidak tahu gimana dengan sorot matanya barusan."Yah tatapan mata kamu tuh ngelihat kami kayak nggak seneng aja!" Ucapku."Habis Emang kedatangan kalian aneh banget. Kok tiba-tiba banget, tanpa konfirmasi atau apapun sama aku!"Aku benar-benar semakin geram aja mendengar dia bicara. Benar-benar berubah agak sombong dia sekarang. Mentang-mentang sudah agak kaya malah jadinya sekarang melihat kami dengan tatapan merendah. Mungkin dia nggak sadar tuh kalau dia bisa kayak gini berkat karena aku juga. Dengan hidup bersamaku dulu dia bisa belajar banyak hingga bisa menuruti jejakku yang bisa berpengaruh di dunia perkantoran kayak sekarang. Memang di sini sepertinya dia bukan tipe orang yang bisa bert
Bab 99"Kalau kamu masih punya otak sebaiknya omongan kamu dijaga dulu, Rika! Nggak usah sombong-sombong amat kayak gini! Baru juga jadi manager, udah sombong setinggi langit! Kamu nggak ingat sama kehidupan kamu yang dulu? Kamu bisa kayak gini juga berkat aku, kan?" Tak bisa menahan diri Aku mengatakan apa yang ada dalam otakku.Orang yang tidak tahu berterima kasih memang patut untuk dikatakan seperti ini. Biar dia bisa segera sadar siapa dirinya sebenarnya. Tinggi hati mentang-mentang sudah jadi orang kaya."Mentalmu nggak ubah kayak orang kaya baru, Rika! Lupa kamu sama kami Padahal jelas-jelas kami ini adalah orang-orang yang ada di balik kesuksesan kamu!" Kembali aku semprot dia dengan kata-kata yang pedas agar dia segera sadar. Habis aku benci dengan kesombongannya dia. Bergaya amat sampai seperti lupa pada ibuku, lebih parahnya lagi sepertinya dia sekarang memperlakukan ibu dan aku seperti orang lain saja. Dasar perempuan tidak berterima kasih. "Kamu kenapa nyerang aku dengan
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku