Bab 85"Kamu beneran kurang ajar, Vina! Gara-gara kamu Valdi jadi nggak peduli lagi sama kami! Gara-gara kamu juga Valdi kehilangan pekerjaan!" Salma menghardik.Vina menatap Salma dengan tetapan heran. Sikap-sikap Salma yang blak-blakan dalam hati membuat Vina tertawa. Sebab bagi Vina orang seperti Salma tampak begitu kampungan dalam mengekspresikan sifatnya."Kenapa kamu malah nyalahin aku Kak Salma? Apakah Kak Salma Nggak bisa mikir penyebab kenapa Valdi kehilangan pekerjaannya?" Tanya Vina."Emang mau mikirin yang kayak gimana lagi? Udah jelas-jelas kamu yang jadi penyebabnya. Semua berubah setelah Valdi nikahin kamu?" Serobot Salma"Aduh bener-bener nggak bisa gitu dong, Kak! Seharusnya Kakak itu bisa mikir kayak gini, Kenapa Valdi bisa dipecat? Ya itu karena faldi sendiri yang bodoh! Artinya kemampuan Valdi nggak cocok di bidang itu! Bukan karena gara-gara aku! Tuh Di sini aku jadi korban loh, seandainya aja dulu aku tahu kalau faldi kayak gini, nggak ada apa-apa, mana keluargan
Bab 86Pov RanggaAku menatap ke kursi dan meja yang ada di hadapanku. Meja dan kursi itu telah kosong sejak beberapa waktu yang lalu. Hati ini terasa sakit bila mengingat wanita yang pernah duduk di posisi kursi itu.Rika! Wanita itu telah menghilang tanpa jejak, tanpa memberitahuku sebelumnya, dan juga ia pergi dengan mengabaikan lamaranku padanya.Mengapa dia tak percaya padaku? Mengapa dia tak memikirkan bagaimana perasaanku? Apa Aku ingin selalu membosankan baginya? Apa dia pikir aku ini hanya main-main saja?Oh ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? "Selamat siang, Pak! Boleh aku titip salam dati Dira, khusus buat Pak Rangga!" Senyum Melia mengembang mendekatiku."Oh iya tentu dalam dari aku juga, dong! Penggemar setia Pak Rangga," celoteh Melia berbisik manja.Ada apalagi dengan mereka-mereka ini? Ucapan Melia yang menyebut nama Rika membuat hatiku sedikit tak nyaman, sebab keluarga Dira telah menorehkan luka di hati Rika. Entah mengapa, rasanya aku menyimpan dendam pada siapap
Pov VinaKeluarga itu mengusirku. Mungkin saja mereka pikir aku tidak punya tempat untuk kembali pulang. Mereka keluarga yang benar-benar tidak bisa menghargai orang. Tanpa mereka tahu aku justru merasa bersyukur dengan pengusiran yang dilakukan oleh Salma. Dengan mereka yang mengusirku, aku bisa pergi dari rumah ini dengan tanpa harus mencari alasan lagi. Jika orang-orang bertanya maka orang-orang itu bisa melihat jika akulah yang menjadi korbannya di sini.Aku memesan sebuah mobil taksi untuk membawa barang-barang pribadiku. Kulihat beberapa pasang mata melihat aneh kepada mereka. Untuk tidak memicu aura negatif, Kakak sudah seharusnya aku memasang wajah sedih dan patut untuk dikasihani.Sebelum aku benar-benar pergi, beberapa orang menghampiriku dan menyarankanku untuk bersabar dan memberi pesan padaku untuk berhati-hati.Aku tidak keberatan dengan saran mereka, yang penting aku tidak terlihat buruk di mata mereka.Huuh... Di perjalanan itu aku menghubungi mas Fahri, laki-laki y
Bab 88Pov Dira"Maaf Rangga, sebaiknya kamu cari saja wanita lain. Yang perawan itu banyak. Aku salah satunya. Kenapa nggak milih aku saja? Aku bisa kasih kamu kenyamanan. Percayalah!" Aku berusaha untuk mengambil hati pria tampan ini."Diluar sana banyak yang pura-pura perawan, Mas. Tapi nyatanya mereka udah gak suci lagi. Mas mau ketipu sama perempuan kayak mereka?" aku menjelaskan dengan nada yang tak terlalu tinggi. Aku sadar, menghadapi pria seperti ini aku memang harus bersikap sedewasa mungkin."Masalahku bukan hanya terpaku pada perawan atau tidak, Dira!""Lalu?""Wanita yang bisa berpikir dewasa dan bisa di ajak hidup menata masa depan, itu yang lebih baik!"Woow, ucapan Rangga ada benarnya. Apa yang tidak tergoda pada pria ini. Dia tampan, bertubuh bagus, punya banyak duit, dan segudang kelebihan lainnya. Dia sangat dewasa. Aku suka pria penyayang seperti dia, bisa menghargai wanita dan lembut tutur katanya. Boleh dikatakan jika dia adalah sempurna. Tepatnya sangat sempurna
Bab 89"Vina, Kamu di mana sekarang kenapa kamu menjual rumah ini pada orang lain tanpa pamit dulu sama aku?" Serta merta Valdi langsung berkata. Sebab Valdi merasa kedongkolannya sudah naik ke ubun-ubun, dari tadi ia menghubungi nomor itu bahkan dari kemarin, tapi tidak pernah diangkat oleh Vina. Sekarang setelah teleponnya diangkat, Valdi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan banyak berbasa-basi. Langsung ke pokok masalah saja lebih baik baginya."Rumah yang mana maksudmu, Valdi?" Ucapan Vina seperti tidak merasa bersalah."Rumah ini. Rumah yang aku beli dari hasil menjual rumah ibuku ini! Keterlaluan! Perempuan apaan kamu" Valdi berucap sedikit kasar."Hee, kamu jangan sembarangan bilang aku perempuan kayak gimana-gimana! Harusnya kamu itu yang ngaca! Laki-laki apaan kamu, udah kasih rumah ke perempuan eh ujung-ujungnya diungkit-ungkit lagi! Seharusnya kamu tahu ya, dari manapun kamu mendapatkan uang untuk membeli rumah itu, yang pasti rumah itu udah kamu kasih sama aku,l. Bu
Dengan pengalaman kerja dan keahlian yang ia miliki akhirnya Rika mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor yang bergerak di bidang textile.Pekerjaan itu juga ia dapatkan karena pemilik perusahaan itu sendiri merupakan teman dekat dari ayah Rika. Awalnya masuk ke sana bukanlah pilihan yang mudah, sebab selain dari minimnya gaji, juga keadaan perusahaan yang acak-acakan dan tidak tertata dengan rapi. Keadaan itu disebabkan oleh beberapa karyawan sebelumnya yang ketahuan menilap uang perusahaan.Karena berbagai pertimbangan, Rika bersedia masuk ke sana atas saran sang ayah.Namun di luar dugaan, dengan peran Rika, lambat laun perusahaan tersebut bisa bergerak lebih baik dari sebelumnya. Hal itu membuat semua staf yang ada di sana bersyukur dengan adanya keberadaan Rika. Sebab secara tidak langsung kiat-kiat yang telah Rika lakukan menyebabkan perusahaan yang hampir bangkrut tersebut menjadi jauh lebih baik.Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, pihak perusahaan menempatkan Rika pada po
Pov ValdiDengan ketegaran hati aku merelakan mobilku ditarik oleh leasing kembali. Aku tidak tahu Dengan cara bagaimana aku harus mempertahankan mobil itu. Tidak punya uang, tidak punya pekerjaan, dan tidak punya tempat tinggal."Bagaimana kalau aku mencari solusi yang lain dulu? Aku mau jangan tarik mobil ini sekarang aku masih butuh mobil ini untuk mencari kerja?" Aku masih ingat betul bagaimana aku mengemis pada mereka agar tak mengambil mobil perusahaan itu juga. Apa yang aku dengar sungguh membuatku kecewa."Maaf sekali saudara faldi kami tidak bisa mengulur-ulur waktu lagi. Bapak sudah terlalu lama menunggak dan tidak ada usaha untuk membayar. Jadi dengan sangat terpaksa, mobil ini kami tarik kembali,""Tolong sekali ini saja, kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan tetap, sudah tentu aku akan bisa membayar angsurannya tanpa telat sama sekali," saat itu aku masih terus saja memohon-mohon.Tentu saja karena aku masih sangat membutuhkan waktu itu untuk mencari kerja."Tidak Pak me
Hari ini benar-benar sial. Mengapa aku harus bertemu Rika kembali? Dengan cara yang memalukan pula.Tapi kok bisa ya kenapa di mataku Rika benar-benar berubah. Tidak seperti dulu. Kulihat tubuhnya sedikit langsing dari biasanya. Padahal dulu tubuhnya mulai digumbuli lemak di mana-mana. Sampai-sampai tadi aku hampir tidak mengenalinya. Andai saja tadi ia tak melepaskan maskernya, mungkin aku tak akan pernah bisa tahu kalau itu adalah Rika. Tubuhnya benar-benar berbeda. Iya ramping dan tubuhnya berbentuk semakin, ia kemanakan lemak-lemak menjijikkan itu? Di wajahnya juga tak kulihat lagi adanya jerawat-jerawat kecil yang dulu bahkan membuatku bergidik, jerawat-jerawat kecil itu membuatku tak tertarik lagi.Tapi tadi kulihat wajahnya begitu bersih dan mulus. Aneh sekali wanita itu.Apa dia punya seorang laki-laki yang bisa membuatnya berubah? Ah tidak mungkin, bukannya Dira bilang Rangga sudah membatalkan pernikahannya dengan Rika?Aku yakin Rangga membatalkan pernikahan itu pasti karen
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku