Share

Bab 5

Penulis: Silla Defaline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Rikaaa! Rikaaa! Bangun! Udah siang nih! Masakin sarapan sana!" Suara menggelegar dari luar kamar. Itu suara Kak Mel.

Berisik sekali. Kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Jam 05.30 pagi. Jika dibanding dengan hari-hari biasanya, aku memang kesiangan, tapi tidak dengan hari ini.

Sebentar kemudian pintu kamarku terbuka. Kak Salma nyelonong masuk begitu saja. Sangat tidak sopan sama sekali.

"Rika, hari ini kami libur aja kerja ya! Gajimu juga nggak seberapa, kan? Kamu asuh Lia sama Farel aja. Aku ada perjalanan," ujarnya cepat.

Enak sekali memberi perintah. Emang aku babby sitter?

Belum sempat aku menjawab dia telah beranjak. Kupikir dia akan keluar kamar. Tapi ternyata tidak. Ia berjalan menuju lemari.

"Eh ini pintu lemari kok nggak bisa dibuka? Sengaja kamu kunci ya, Rik? Cepetan bukain ini lemarinya! Aku mau cari baju buat kupake keluar nanti! Lagian kenapa pake dikunci-kunciin segala sih? Bikin kesel aja!" Ocehnya seraya menarik-narik paksa pintu lemari.

Lho, lho, ini orang pada mengapa? Langsung masuk kamarku, memberi perintah, lalu tanpa seizinku ingin membuka lemari pakaianku juga? Kebiasaan yang tak bermoral.

"Mau pakai baju yang mana, Kak?" Tanyaku sembari menguap.

"Ya terserah aku lah mau pake baju yang mana, kamu ngapain pake nanya? Biar aku yang pilih sendiri! Mana kuncinya? Cepet bukain ini lemari! Aku harus cepet, ntar temen-temenku nunggu kelamaan!" Kak Salma berkata dengan nada jutek.

"Emangnya Kak Mel nyimpen baju di lemariku ya?"

Wow, kulihat muka Kak Salma cemberut, lebih tepatnya terlihat kesal.

"Kamu ngapain ngomong begitu? Kamu nggak ngijinin aku buat pake baju kamu? Iya?" Ia memelototiku.

"Hey, kamu itu nyadar dong, kamu nggak berhak buat ngelarang aku ngelakuin apa aja di rumah ini! Kamu nyadar nggak, kamu bisa pake barang-barang bagus, baju, sepatu atau segala macem itu berkat adik laki-lakiku! Adikku yang bisa ngebeliin kamu semuanya! Jadi kamu nggak usah ngelarang aku untuk memakai sesuatu yang dibeli dari uang adikku! Paham kamu!"

Astaga tanpa babibu mulut perempuan itu langsung nyerocos. Percaya diri sekali dia mengatakan apa yang kupakai dibeli dengan uang adiknya? Karena kenyataannya justru terbalik. Uang adiknya tidak pernah dipakai untuk membeli kebutuhan pribadiku.

"Kak, aku nggak pernah makai uang Mas Valdi buat beli baju-bajuku maupun barang-barang pribadiku yang lain! Kakak jangan sampai salah asumsi," terangku.

"Ooh, ternyata sekarang kamu udah bisa ngomong kayak gini? Kamu sok sekali bilang gitu, kayak yang nggak butuh uang adikku saja! Nggak berterima kasih kamu ya! Udah bagus kamu dapat suami yang udah kerja, terus bisa kasih kamu kehidupan yang layak. Tapi kamu nggak bersyukur!"

Panjang sekali ocehannya. Perempuan ini perlu diladeni sedikit rupanya.

"Oke oke, begini aja Kak, adik laki-laki Kakak kan uangnya banyak, gajinya gede, jadi sekarang baiknya Kak Salma minta aja uang sama adik Kak Salma itu, supaya kakak bisa beli baju. Jadi nggak usah capek-capek pake bajuku!" jawabku santai.

Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar tanpa menyerahkan kunci lemari terlebih dahulu seperti yang diinginkan oleh kak Salma.

"Hei, Rika, tunggu dulu!"

Dia berlari cepat lalu menghadangku! Tangannya langsung melingkar di leherku. Oh ya, Rabb. Temperamen sekali. Aku berusaha tenang, tak lupa menyiapkan diri jika seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Rika! Keterlaluan kamu! Asalkan kamu tahu, hari ini Valdi akan mentransfer uang padaku! Kau tahu jumlahnya berapa? Sebelas juta rupiah, kau dengar?" Kak Salma kembali melotot.

"Ya, terus?" aku menanggapi tenang. Aku tak terkejut sama sekali. Karena aku sudah tahu tentunya.

"Rika, yang ditransfer sama adikku itu adalah uang cuma-cuma. Jadi kamu tahu bahwa kamu bukanlah orang nomor satu bagi Valdi! Dengan uang itu akan kubeliin apa aja yang aku mau. Kuharap kamu nggak usah iri ya! Jangan sekit hati! Satu hal yang harus kamu ketahui, bahwa kamu nggak bakalan bisa nguasaiin uang Valdi semuanya!"

Usai berucap demikian Kak Salma langsung meninggalkanku dengan diiringi tatapan kebencian.

Kak Salma, kuharap kamu tidak kecewa dengan uang sebelas juta itu.

Kak Salma, mengalah di awal bukanlah sesuatu yang memalukan. Tetapi kalah di akhir akan lebih menyakitkan. Sebab, mengalah dan kalah adalah dua kata yang mengandung arti yang tak sama.

"Rika! Siapin sarapan! Apalagi yang kamu tungguin? Tuh suamimu bentar lagi bakalan berangkat ngantor! Urusin dulu bekalnya!" Ibu mertua berkoar dari depan televisi yang menyala. Sedangkan di sampingnya, Kak Mel masih ngorok bersama anak-anaknya. Semalam mereka tidur di ruang tv rupanya.

"Apa kamu mau teledor lagi kayak semalam? Udah, cepetan! Hari udah siang! Masakin kari ayam sama sama soto. Jangan lupa tumis selada juga!"

"Oh iya, kerupuk ikannya juga, Rik! Buruan ke pasar sana! Ntar kesiangan!" Perintahnya lanjut berturut-turut.

Haduh, pikirnya aku akan ke pasar di pagi buta ini demi bisa memanjakan lidah mereka seperti yang biasa kulakukan sebelumnya? Tidak, Bu! Kalian dikasih ikan malah minta frozen food, eh maksudnya dikasih hati malah minta jantung.

Aku mengabaikan ucapannya. Kalau mau bekerja sama, tentu aku tidak keberatan. Tapi ini hanya aku saja yang mereka andalkan. Mengurus makan sekeluarga besar begini tentu bukan hal mudah. Jika dituruti, mereka mau dilayani dalam segala hal, bukan hanya soal makan saja, tapi mencuci baju kotor mereka, mengurus anak mereka dan lain-lain. Sedang mereka leha-leha.

Tapi maaf ya, ini bukan Rika yang dulu, gaes!

Kubuka jendela untuk menghirup udara segar.

Eh, tapi sepertinya ada yang berbicara diluar sana. Aku menguatkan kinerja indera pendengaran.

"Ooh, tentu jadi dong aku beli kursi jatinya. Yang model kupilih kemarin delapan juta, kan?" Kak Salma berbicara dengan semangat dengan ponsel menempel di daun telinga.

"Anter ke rumahku pagi ini, ya! Agak siang dikit nggak apa, soalnya pagi ini aku mau ke mall dulu bentar. Aku tungguin ya, jangan kelamaan," Kak Salma kian sumringah.

"Valdiii!"

Aku nyaris terkaget dengan teriakan membahana Kak Salma. Mulutnya benar-benar tidak bisa di rem. Seperti biasa, jika mereka ngumpul dirumah, pasti suasana rumah berubah bising bak pasar kaget.

Yang dipanggil buru-buru datang.

"Kenapa, Kak?" kulihat Mas Valdi menghampiri Kak Salma.

Beberapa saat kemudian terdengar Kak Salma bicara.

"Cepetan transfer uangnya, Val! Aku udah pesenin barang yang mau kubeli! Paling lama ntar siang barangnya pada dianterin. Makanya cepet transfer ke rekening aku!"

Rupanya dia mau uang mas Valdi untuk membeli kursi baru? Dan Mas Valdi ingin meminta uangku untuk mentransfer kakaknya? Aku mengangkat alis.

Huuuh! Ini rupanya rencana mereka. Tenang saja, kalian punya rencana, aku pun sama.

Tak berselang lama, Mas Valdi menemuiku tergopoh-gopoh. Ah, untung aku tidak ketahuan kalau tadi menguping obrolannya sama Kak Salma.

"Dek!"

"Ya,"

"Tolong transfer uangnya pagi ini, Dek. Kita cuma ada waktu satu jam mulai dari sekang. Soalnya ntar yang empunya tanah ada perjalanan penting. Dia mau kita bayar dp tanahnya sekarang."

"Terus? Kok buru-buru amat?"

"Iya, Dek. Harus sekarang, kalau tidak kita akan kehilangan tanah tersebut. Rugi besar kita. Tolong ya,"

Mas Valdi, kamu pikir aku buta soal proses pembelian begituan? Kamu pikir aku yakin jika prosesnya akan spontan seakan sama dengan proses membeli permen? Aku tidak bodoh, Mas!

Tiba-tiba aku punya sedikit ide nakal untuk mengerjai mereka. Hi... Hi...

"Iya, Mas. Ntar aku transfer, ya! Tapi nanti, tunggu aja pokoknya! Aku mau nyiapin diri buat ke kantor dulu." Jawabku sembari tersenyum lebar.

Mas Valdi kian sumringah ria.

"Nah gitu! Kamu istri hebat! Tapi jangan kelamaan ya, Sayang." pujinya.

Yang kamu puji hebat itu uangku, Mas.

"Aku yakin kalo kamu terus baik begini, pasti ibu sama kakak dan adikku akan menyukaimu, Rika."

"Dek, biar ibu sama kakak-kakakku semakin suka sama kamu, jangan lupa siapin sarapan terbaik buat mereka. Gimana?" Lanjutnya. Suaranya agak alon, tentu karena ada maunya.

"Iya, Mas! Tapi Mas ada uang nggak buat beli lauknya?" Pancingku.

Mas Valdi terdiam.

"Gimana kalo pake uang kamu aja dulu? Sesekali. Itung-itung cari pahala. Nggak usah perhitungan,"

Fyuuuh dasar. Tapi, lagi-lagi kali ini aku punya ide menarik.

"Oke, Mas. Ntar aku pesenin nasi bungkus aja ya, Mas. Supaya kakak-kakak sama ibu nggak cape masak. Gimana?"

Mas Valdi menunjukkan ekspresi kesenangan.

"Waaah, itu baru ide bagus!"

Aku tergelak dalam hati melihatnya cengar-cengir kesenangan. Untuk mengawali permainan ini, akan kubuat kalian kian melambung.

Hei Mas Valdi, memang benar aku akan memesankan nasi bungkus buat kalian sekeluarga besar. Tapi, ketika pesanan itu datang ke rumah, siapkan uang, silakan bayar masing-masing, he... he...

Bab terkait

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 6

    Bab 6 Bu Ratih sambil menggerutu membuka kulkas."Mau apa, Bu?" Valdi mendekati bu Ratih."Ibu nggak usah repot-repot. Aku udah memesankan cukup porsi untuk kita semua." Lanjut Valdi."Beneran?"Valdi mengangguk."Seandainya aja kalau istrimu bukan pemalas, tentu kamu nggak usah repot-repot ngeluarin duit buat beli beli kayak gitu. Uangnya bisa dikumpulin. Ini jatuhnya malah boros. Buat apa punya istri kalau apa-apa masih beli." Bu Ratih mengomel."Bu, nanti siang aku ada diskon buat ibu." ujar Valdi."Diskon apaan?""Alhamdulillah aku ada kelebihan rezeki, jadi rencana Aku mau kasih ibu sekitar tiga juta." ucap Valdi.Bu Ratih tampak senang sekali."Kamu mau kasih ibu tiga juta lagi?""Iya, Bu.""Alhamdulillah, makasih banyak ya, Nak. Pas banget. Rencana ibu mau ajak adikmu ke mall besok. Katanya mau beli jam tangan baru. Syukur sekali, ini rezeki adikmu, Val." Bu Ratih semakin sumringah."Alhamdulillah, Bu. Semua berkat do'a kalian, sekarang gajiku udah bisa mencapai tujuh jutaan.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 7

    Bab 7"Valdi, kapan uangnya kamu kirim? Ini bentar lagi kursiku nyampe," Salma bicara dengan nada panik."Katanya hari ini kamu kasih uangnya. Ini udah siang tahu! Masih aja belum kamu transfer. Kamu gimana sih? Niat gak kirim uangnya? Cuman ngirim segitu ajah prosesnya lama banget." Di telepon, salma masih mengomel."Ntar, sabar dulu, Kak! Ini m-bankingku lagi bermasalah. Aku coba kirim lagi.""Lah kalau m-banking kamu bermasalah, kamu langsung aja ambil atau kirim uangnya langsung dari ATM. Apa susahnya. Begitu aja kok ribet kebangetan." Salma masih terdengar kesal."Iya Kak Tapi masalahnya sekarang aku lagi di kantor. Bisa ke mana-mana. Nggak enak sama bos." Valdi memberi alasan."Ya udah cepet buruan usahain ngirim duitnya, pinjem dulu pakai m-banking temen-temennya kek, kamu ganti uangnya. Atau gimana gitu. Aku malu ntar barang nyampe malah duitnya nggak ada. Taruh di mana mukaku ini kalau sampai kayak gitu.""Iya iya Kak, ini lagi aku usahain."Telepon seluler tersebut dimatika

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 8

    "Apaaa? Kamu kasih uang ke Rika?" Mendengar penjelasan Valdi, Salma terkejut dan kembali marah."Iya Kak, soalnya aku pikir sesekali buat nitip uang sama dia." Jawab Valdi."Astaga kamu ini gimana, Valdi? Yang namanya uang nggak usah dikasih sama sembarangan orang. Aduh habislah aku ... Jangan-jangan uangnya udah dipake dihabisin sama Rika. Aduh gimana ini," Salma terdengar panik sendiri."Ya ampun ..! Ya Tuhan ..! Kenapa pula nggak dari tadi kamu ngomong kalau uangnya di tangan Rika! Kalo aku tahu begini, dari tadi udah aku minta langsung uangnya ke Rika! Kalo aku yang minta, dia nggak bakalan berani buat nahan-nahan uang kamu!" lanjut Salma dengan suara keras menahan amarah."Kak, kakak kasih penjelasan tuh sama yang jual, bilang kita akan bayar besok. Ntar aku akan ambil kembali uangku sama Rika." Valdi menenangkan sang kakak."Tapi kalau ternyata uangnya udah dipakai semua sama Rika gimana? Lagian ini orang yang jual nggak mau uangnya ditunda-tunda." Salma berdecak kesal."Atau

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 9

    "Rik! Rika! Cepetan kemari! Tuh ada orang di depan lagi cari-cari kamu! Dia marah-marah kayak orang kesurupan gitu. Ngeri, coba liat! Ngeri banget liatnya!" Fia datang tergopoh menghampiri Rika yang tengah bersantap siang. Rika agak kaget. Ia pun tak kalah penasaran dengan siapa orang yang dimaksud oleh Fia. "Orang ngamuk? Siapa ya?" Dahinya mengernyit."Aku juga nggak tahu, Rik! Cepat samperin, lihat tuh udah banyak orang ngeliatin dia. Pakai teriak-teriak manggil kamu!""Oh baiklah, aku coba liat dulu." tanggap Rika.Rika berjalan menuju ke area depan kantor di mana keberadaan orang yang dimaksud oleh Fia tersebut."Jangan lupa hati-hati, Rik!"Rika mengangguk.Dari kejauhan Rika melihat beberapa orang bergerombol melihat seseorang yang tengah berteriak-teriak memanggil-manggil nama Rika. Seperti yang dikatakan oleh Fia, dari kamu merasa ia perlu berhati-hati siapa tahu orang tersebut berbahaya. Rika bertanya-tanya siapakah gerangan orang tersebut? Tapi dengan suara yang terdengar

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 10

    Bab 10Salma duduk dengan wajahnya yang terlihat mengandung raut wajah kesedihan. Perempuan itu masih dengan perilaku Rika. Padahal semula niat Salma mendatangi kantor Rika adalah ingin membuka kedok adik iparnya itu di depan teman-teman sekantornya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Salmalah yang harus menanggung malu. Bagaimana Salma tidak kesal dengan itu.Melihat keadaan kakaknya, dengan wajah penuh rasa bersalah, Valdi baru saja pulang tersebut menghampiri kakaknya."Kak," tegur valdi.Salma menoleh."Kamu sudah pulang rupanya." tanggapnya."Kakak terlihat sedih. Kakak pasti sedih karena uang itu kan? Hmm ... Maafkan aku Kak, aku tidak menepati janji. Nanti aku akan ambil uangnya sama Rika, dan kasih uang itu ke kakak." Setetes dua tetes air mata jatuh di pipi Salma."Aku kecewa sama istrimu, Valdi! Keterlaluan sekali Rika! Tega dia" Valdi bingung melihat kakaknya yang tiba-tiba menangis sesenggukan."Kenapa kak? Kenapa tiba-tiba bicara soal Rika?" Dengan pelan-pelan Valdi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 11

    "Rika! Rikaaa!"Terdengar suara mas Valdi memanggil-manggil namaku. Belum sempat aku menghampiri, si empunya suara sudah menghampiriku lebih dulu. Kulihat raut muka Mas faldi menatapku dengan gurat wajah marah. Ada apa gerangan dengannya? "Ada apa, Mas?" Tanyaku."Apa-apaan yang udah kamu lakuin sama kak Salma siang tadi?" Suaranya yang membentak membuat keningku berkerut. Memang apa ya telah aku lakukan dengan kakaknya? Kurasa aku tidak melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan. "Aku nggak ngelakuin apa-apa kok, Mas.""Kamu nggak usah bohong ya! Apa tujuan kamu menyuruh kak Salma ke kantor kamu kalau cuma buat dipermaluin sama teman-teman kamu? Nggak ngotak, nyadar nggak kalau Kak Salma itu kakak aku! Kalau kamu nggak ngehargain dia berarti kamu juga nggak ngehargain aku. Dia Kakak iparmu, harusnya kamu menghormati dia!"Terus terang saja aku heran dengan penjelasan Mas Valdi."Aku nggak pernah nyuruh kak sama ke kantor aku kok, Mas. Soal kenapa tadi dia bisa dateng ke kantor aku

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 12

    "Nggak mungkin aku bisa semudah itu ngasih duit ke orang, Mas! Mas tahu, kebutuhan anakku jauh lebih penting daripada orang yang cuma bisa minta!" Aku menyanggah ucapan Mas Valdi."Anak, anak, anak terus yang kamu bicarain. Alesan! Clara itu masih kecil. Uang sebelas juta itu nggak seberapa kalo dibanding sama perngorbanan Kak Salma ke aku.""Kalo Mas anggap nggak seberapa kenapa nggak kamu aja yang kasih ke dia? Katamu Salma berkorban banyak untuk kamu, jadi tuntut aja balas budinya ke kamu, Mas! Jangan ke aku!" Aku menggelengkan kepala. Dia seorang lelaki yang pintar berperang kata. Apapun yang aku ucapkan, dia pasti bisa menemukan bantahan. Sekalipun bantahannya terdengar memaksa, tapi dia selalu menganggap pendapatnya benar. Kali ini, aku perlu untuk sedikit berkata jujur, agar bibirnya bisa bungkam sejenak."Rik, itu resiko kamu yang mau nikah sama aku! Kalo kakakku minta ke kamu itu adalah wajar. Kamu nyadar nggak sih, kalo uang yang aku dapat itu kamu yang nikmatin! Pendek kata

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 13

    "Valdi, kenapa istrimu belum ngirimin duit ke ibu? Ini udah tanggal lima, istrimu kan gajian tanggal empat?" Ibuku bertanya."Tunggu aja, Bu. Ntar pasti di transferin kok sama dia./, Kayak biasanya." jawabku."Tapi kok lama ya, biasanya kan tanggal empat sore udah dikirimin sama dia." "Sabar dulu Bu, siapa tahu gajiannya emang agak lambat." Aku menghibur ibuku. "Kalau ntar siang belum juga, sebaiknya kamu tanyain deh sama Rika. Ibu mau bayar kuliah adikmu nih, plus tagihan bulanan juga udah nunggu jadwal buat dibayarin. Tolong bilang sama Rika jangan lambat-lambat amat.""Iya, Bu. Ntar aku bilangin.""Jangan iya-iya aja, Ibu lagi butuh banget sekarang. Lagian uang tiga juta yang kamu janjiin kemarin q/belum ada beritanya juga." Ibu terlihat cemberut.Astaga mungkin saja Ibu kecewa, maafkan aku, aku ingkar janji dengan uang-uang itu. Ish, Rika sih keterlaluan, mana dia janji akan mentransfer uang lima belas juta untukku, tapi kenyataannya sampai hari ini tidak kunjung sampai ke rekeni

Bab terbaru

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 147

    Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 146

    Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 145

    Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 144

    Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 143

    Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 142

    Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 141

    Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 140

    Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k

  • Uangku Bukan Uangmu, Mas!   Bab 139

    Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku

DMCA.com Protection Status