Bu Ratih sibuk membersihkan setiap sudut rumah baru mereka. Begitupun Dira juga sibuk membantu. Menyapu, mengepel, hingga membersihkan setiap pojok kamar mandi. Sudah tiga hari ini keluarga itu repot melakukan pindahan. Vina duduk di teras depan sambil sesekali memantau kinerja keduanya. Sebuah laptop berada di atas meja yang berada tepat depan mukanya. Dari tadi Vina nampak sibuk dengan benda tersebut."Maaf ya, Bu. Lagi hamil muda gini aku ngerasa lemah banget. Jadi gak bisa bantuin," ujarnya."Nggak apa-apa, Nak Vina. Namanya juga lagi hamil." Bu Ratih tersenyum.Vina mengelus perutnya sambil rebahan di sofa. Sesekali ia menguap. Kipas angin di depannya memberikan hawa sejuk di siang terik."Dira, boleh nggak aku minta tolong bikinin jus alpukat? Gerah banget nih." Vina menoleh ke arah Dira. Dira sebenarnya mau menolak, taoi lagi-lagi Bu Ratih mengisyaratkan agar mengalah dan memaklumi keadaan Vina yang tengah hamil muda."Tentu, Mbak. Aku bisa buatin, kok."Vina tersenyum lega m
"Bu Ratih, calon mantu ibu yang baru cantik sekali ya. Bening banget. Bikin iri aja tuh paras menawannya." Puji Bu Lastri memuji kecantikan rupa Vina.Bu Ratih merasa cukup bangga. "Iya, Bu. Vina emang cantik, sopan sana orang tua, punya karir bagus, pinter pula." "Nggak nyangka ya Valdi bakalan dapet istri kayak model aja." lanjut Bu Lastri melanjutkan sanjungan."Makasih, Bu Lastri. Emang banyak yang muji calon mantuku. Taoi nggak bisa nyalah sih, Vina emang pantes ngedapetin pujian." Bu Lastri merasa amat bersyukur Vakdi bisa mendapatkan istri yang menurutnya jauh lebih baik dari Rika yang ua benci."Udah dulu ya, Bu Lastri. Ini mau pulang, kadian calon mantuku menunggu lama." Bu Ratih pamit pulang, sore itu Bu Ratih baru saja pulang dari keliling kompleks, untuk menyapa tetangga baru katanya. Tapi nyatanya, ia hanya ingin menyampaikan kepada para tetangga baru kalau Vina sebentar lagi akan sah jadi menantunya.***Bu Ratih celingak celinguk memperhatikan sekeliling rumah baru me
"Bu, kan aku udah bilang, untuk masalah tempat tinggal, akan lebih baik ibu tinggal di rumah Kak Mel aja dulu atau di rumah kak Salma. Aku dan mas Valdi kan belum resmi nikah. Kalo kita tinggal serumah, ntar takutnya malah dibilangi kumpul kebo sama orang-orang." ujar Vina dengan nada sebijak mungkin."Tapi ini rumah ibuku, Mbak." sela Dira tak suka."Iya, ini emang rumah ibumu. Tapi kan nggak etis kalo kita tinggal serumah. Maksudku cuma buat sementara.""Kalo gitu lebih baik Mbak aja yang tinggal di tempat lain dulu." sela Dira kembali."Nggak bisa, Ra! ini kan rumah buat Mas Valdi dan aku." lanjut Vina."Tapi kok kami yang kayak di usir?""Bukan ngusir. Tapi ini hanya solusi. Mohon nggak usah marah-marah ya kalian!" Vina berkata tegas***"Mas, ibu sama adikmu kok jahat banget." Vina tersedu-sedu."Emang ibu sama adikku habis ngapain, Sayang? Mereka nyakitin kamu? Apa iya? Bilang sini sana Mas!" Valdi mengelus rambut kekasihnya."Dira bilang aku jahat, nggak ngehargain dan pelit.
"Salma! Ibu pinjem duit kamu satu juta dulu, boleh ya! Minggu depan tunggu Valdi gajian aku bayarin!" celetuk Bu Ratih sambil merogoh dompet Salma.Salma buru-buru merebut dompetnya kembali."Ini uang Mas Fahri, Bu! Mtar dia bisa marah!" ujar Salma cepat."Halaah, Sal! Ibu pinjem sebentar aja, kok!""Nggak bisa, Bu." Salma bicara tak enak.Di ambang pintu, seorang laki-laki melihat keduanya dengan alis bertaut kesal."Salma bener, Bu! Tuh uang mau kupake besok! Maaf ya, nggak bisa kasih ibu pinjem. Kan kemarin ibu udah ambil lima ratus ribu ke Salma!" tandas Fahri ketus.Bu Salma kurang senang dengan tingkah Fahri yang menurutnya tidak bisa menghormati orang tua.***"Bu, itung-itung ibu udah empat hari tinggal di rumahku. Aku jadi nggak enak sama Mas Fahri, Bu." celetuk Salma."Lho, ada apa sama suani kamu?" Bu Ratih bertanya heran."Enggak, Bu. Cuma kemarin dia mengeluh pendapatan dari toko lagi menurun. Pemasukan sedikit, tapi pengeluaran tambah banyak aja." ucap Salma tak enak. I
"Val, ini uang buat resepsi kalian. Ngfak terlalu banyak. Cuma dua puluh juta. Insyaallah cukup buat resepsi." ucap Bu Ratih di hadapan Valdi dan Vina."Gini aja, Bu," sela Vina."Biar ibu gak ribet, biar aku aja yang atur semuanya. Aku punya tenen MUA yang bagus. Terus punya temen-temen yang mudah-mudahan bisa memudahkan untuk acara kayak gini." usul Bu Ratih."Boleh juga, Nak," Bu Ratih setuju."Oke, Bu. Kalau begitu biar aku aja yang pegang uangnya, supaya ntar gak ribet. Ntar aku bisa catet setiap ada uang yang keluar," tambah Vina.Melihat anggunnya sikap Vina, Bu Ratih tak ragu. Memang selama ini Bu Ratih benar-benar menaruh kepercayaan yang tinggi pada Vina. Calon mabtu tersayang."Uangnya cuma ada segini, Nak. Apa cukup?""Bu, berapapun uangnya kalau kita pinter mengelola, insyaallah pasti cukup. Lagipula kita kan nggak pedta gede-gedean. Nggak perlu juga besar-besaran, Bu. Yang penting bisa halal dan di akui Tuhan. Itu aja!"Kembali Bu Ratih dan Valdi terkesima dengan ucapan
"Val, kakak iparmu selingkuh. Ibu denger sendiri kemarin Fahri ngomong sama selingkuhannya di telepon.""Mas Fahri selingkuh?" Mata Valdi melotot."Iya, Val. Sakit hati ibu ngeliat anak perempuan ibu di giniin."Valdi menggenggam jari-jarinya."Kalo bener, Fahri gak bisa di biarkan, Bu! Keterlaluan! Besok biar kujemput Kak Salma sama keponakan-keponakanku. Biar dia tinggal di sini aja. Gajiku masih sanggup buat ngenafkahin kakak perempuanku!" geram Valdi."Ibu juga kepikiran buat ngejemput kakakmu. Biar dia tinggal bareng kita aja.""Telpon kak Salma sekarang, Bu! Suruh dia siapin baju-bajunya! Biar besok pagi aku yang jemput!"***"Kak Mel! Ini ruang tamu berantakan banget! Emangnya Apa sih kerjaan kalian di rumah? Coba nih beresin!" Vina mendelik ke arah Mel yang baru saja datang tadi malam bersama dua anaknya.Terlihat bungkusan makanan berserakan di depan tv. Mainan berserakan dimana-mana."Eh, Vina. Maaf Vin. Ini tadi anak-anak habis main. Jadi berantakan gini." sela Mel."Makany
"Eh ada Kak Zian rupanya? Udah lama, Kak?" Valdi berusaha seramah mungkin."Ya, sudah lama. Kenapa kamu gak pernah pulang?" Zian bertanya dingin.Jujur, Valdi tidak berani macam-macam dengan kakak sulung Rika tersebut. "Sial, kenapa dia datang," batin Valdi."Mmmm, maaf kak. Ibuku sakit sakit. Makanya aku pulang ke rumah ibu," jawab Valdi agak gugup. Zian hanya menatapnya dingin."Masf ya, Kak. Aku mau ke belakang dulu," Vakdi buru-buru permisi untuk menghindari pertanyaan berikutnya.Di dapur, Valdi buru-buru menghampiri Rika."Kok ada Kak Zian di sini?" Valdi bertanya tak suka, tapi tetap dengan suara tertahan, takut terdengar Zian.."Kak Zian cuma mampir ke sini. Kenapa emang?""Ssst, jangan keras-keras! Awas kalo kamu ngadu ke kakakmu soal rencana pernikahan aku sana Vina!" ancam Valdi. Rika hanya tertawa kecil."Rik, dimana barang-barang di rumah ini? Kok pada kosong?" Valdi keheranan melihat suasana rumah yang plong."Sedang ku servis, Mas. Sebagian yang lain mau kuganti sama y
Di sebuah gedung yang, kursi kursi tamu tersusun rapi. Resepsi berkonsep outdoor meriah terlaksana juga hari tersebut, meski banyak drama yang mengawali itu.Dua mempelai tersenyum sumringah di panggung sandiwara, eh di pelaminan maksudnya, hehee.Bu Ratih duduk dengan bangga di kursi khusus orang tua mempelai.Beberapa tamu mulai berdatangan. Bu Ratih tersentum bangga setiap menyalami para tetamu hari itu."Aku yakin, hari ini kau dan keluargamu akan menyesal Rika! Ha haa, tak sia-sia kemarin ku undang Rika beserta keluarganya sekalian! Biar dia tahu gimana rasanya di tertawakan di depan orang banyak." dalam hati tak henti-hentinya Bu Ratih merasa puas.Bu Ratih benar-benar tak sabar ingin melihat isak tangis Rika nanti.Dari kejauhan, dilihatnya sebuah Toyota Fortuner memasuki area parkir.Bu Ratih semakin bangga setelah melihat tamu-tamu undangannya berasal dari kalangan kaya."Cantik banget mantunya, Bu Ratih. Selamat ya!""Masih muda dan masih cantik mantuny, Bu. Semoga anaknya s
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku