Tentu saja aku muak dengan kedatangan Rika yang tiba-tiba. Sebaiknya aku apakan wanita itu ya? Apa harus aku ceraikan sekarang? Tapi kasihan sekali dia kalau aku ceraikan sekarang? Bagaimana bisa dia membesarkan Clara tanpa aku? Ah lagi-lagi anak itu yang jadi penghalang. Hmmm, tapi bukankah kayaknya Clara itu benar-benar bukan anak aku? Habis emang nggak ada mirip-miripnya sih masa aku yang ganteng gini bisa punya anak kayak gitu? Kurus dan nggak nampak sama sekali gurat-gurat gen-ku pada wajahnya.Sering kali waktuku habis hanya buat mikirin mereka. Rika sih nggak tahu diri, udah untung sekali aku mau mempertahankan dia, kalau aku menceraikannya belum tentu dia bisa mendapatkan laki-laki setampan aku. Di layar ponsel aku membuka sebuah akun media sosial dari wanita yang membuatku meleleh. Aku tersenyum melihat foto yang terpampang pada profil. Seraut wajah cantik dengan pesona yang sangat sempurna. Di tengah-tengah konsentrasiku, pesan Rika kembali mengganggu.[Mas, kapan pulang
Seorang anak kecil yang masih menatap lesu ke arah layar ponsel ibunya."Ma, panggilan Clara di tolak sama Papa. Papa kemana sih, Ma? Kok nggak pake pulang-pulang?" Anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak tersebut merunduk. Tatapan matanya kosong. Rika menghela nafas panjang. Sama sekali ia tak menyangka jika tadi Clara menghubungi Papa-nya."Nak, Papa mungkin masih sibuk kerja. Udah, Clara nggak usah ngehubungin Papa dulu, ya." Rika membujuk dengan kasih sayang."Tapi, Ma, ini hari udah sore, masa Papa belum selesai kerjanya? Udah lama lho papa nggak balik ke rumah. Apa papa marah sama Clara? Sampe-sampe nggak mau dateng ambil raport Clara?" Rika melihat setetes dua tetes air mata jatuh dari sudut mata anak kecil itu. "Nak, Clara kan masih punya mama? Sini, peluk sama mama." Rika memeluk putrinya.Clink!Satu pesan masuk. [Hai Mbak, majikanmu lagi nggak bisa di ganggu. Mohon pengertiannya ya! Nggak usah nelpon mulu.]"Majikan? Siapa majikan? Siapa yang ngirimin ini pesa
Sengaja aku bawakan semua baju kotorku dari rumah ibu. Maklum, selama di rumah ibu, baju-bajuku tidak pernah di setrika, jadi gak rapi. Maklum, ibuku yang sudah tua mana bisa menyetrika. Kasihan juga. Masa punya istri tapi nyetrika baju nyuruh orang tua, he ... he ...Kulihat Rika diam saja melihat kepulanganku."Apa itu, Pa?" tanya Clara."Ini baju kotor papa." jawabku."Rik, ntar tolong cuciin dikit ya bajunya! Tolong setrikain juga! Malu mah bajuku kusut semua." Ucapku.Rika masih diam saja. Apa sih maunya? "Aku taruh di sini ya bajunya," ujarku."Taruh saja." jawabnya.Aku menuju balkon untuk mengusir hawa panas."Pa, aku udah mau masuk SD, baiknya aku sekolah dimana ya, Pa?" Seorang anak kecil berlari menuju ke tempat dimana aku duduk. Uh, inilah hal yang terkadang membuatku malas pulang, kalau saja karena tidak ingin mengambil berkas yang tertinggal dan mengantar baju kotor, tentu saja aku malas untuk pulang ke rumah. "Pa!" Clara kembali mengulang."Apalagi, Clara?" Kadang
Dengan bersiul-siul kecil aku menghampiri lemari bajuku.Krieett! "Lho, kok kosong gini?" Aku kaget."Mana baju-bajuku?"Lemari bajuku kosong melompong, hanya ada beberapa baju saja di dalamnya. Mungkin saja masih Rika taruh di atas meja setrika. Kebiasaan sekali si Rika ini, kalau selesai nyetrika tuh, apa susahnya baju disusun kembali dalam lemari. Kalo kayak gini kan jadi pusing aku nyarinya. Padahal hari ini aku buru-buru sekali.Bergegas Aku menuju ke meja setrika di ruang tengah."Eh kok nggak ada?" Tidak bajuku di sana."Riiik ...!" Aku memanggil."Kenapa?" Suara Rika terdengar dari dalam kamar Clara."Mana kau taruh baju-bajuku?" Aku menghampirinya."Emang kemarin kamu taruh di mana bajumu, Mas?" Lho kok balas nanya dia?"Ya baju yang aku mintai tolong kamu buat cuciin kemarin! Kan aku taruh di samping mesin cuci." Jawabku."Oooh, kalo kamu taruh di samping mesin cuci ya berarti cari ajah di situ, Mas!" Jawab Rika."Kok kamu taruh di sana?""Cek ajah sendiri sana, Mas!" Hu
"Pacar? Apa maksudmu? Tahu apa kamu soal Vina, Ha?" Aku geram."Haa? Vina?" Rika nampak kaget.Busyeet, mulutku kok malah keceplosan nyebutin nama Vina sih. Mati aku."Eh, enggak, Rik. Maksudku, kamu jangan nuduh sembarangan. Aku gak punya pacar."Sejenak Rika diam "Serius, Rik. Aku nggak bohong. Aku tadi cuma keceplosan." ujarku."Iya, Mas. Aku tahu kamu keceplosan." Aduuh, ini lidah ada apa sih, kenapa harus ngaku segala kalo lagi keceplosan. Ini mungkin karena lagi nggak bisa menjaga kestabilan konsentrasi."Rik, Vina itu klien aku. Makanya tadi aku tak sengaja nyebutin nama dia." Ralatku.Nah, ini baru jawaban yang tepat."Iya aku tahu dia itu klien penting kamu. Nggak apa-apa, aku kan nggak mempermasalahin itu."Aku melihat ke arah Rika yang baru saja menjawab ringan. Kenapa nih orang selalu nampak santai-santai aja ya? Apa nggak curiga dia? Jujur sih, meski aku udah punya hubungan khusus sama Vina, tapi sepertinya aku belum bisa seratus persen meninggalkan Rika. Masih ragu aj
"Sini kertasnya! Kamu bohong, ini bukan kredit mobilku! Tapi mobil temen!" Aku menarik kertas itu dari tangannya.Hadeeh, ngapain pula surat itu bisa sampai ke tangan Rika! Sialan memang. Aku bergegas bersiap untuk kembali ke rumah ibu. Rasanya malu kalo sampai Rika melihat mimik kegelisahan pada raut wajahku.Satu lagi aku takut jika Vina menungguku terlalu lama. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan kesal, gagal sudah keinginanku untuk berangkat dengan baju yang rapi. Biarlah, kali ini aku maafin kamu Rika! Sekali lagi kamu berbuat kayak gini tak akan ku maafkan!Kalau begini terpaksa nanti aku meminta bantuan Kak Salma saja untuk merapikan bajuku. Oh iya aku lupa, aku kan masih punya kakak-kakak perempuan dan ibu yang benar-benar menyayangi dan peduli sama aku.***"Kak, tolong setrikain baju aku, Kak!" Aku meletakkan bajuku di atas kursi."Maaf kakak nggak bisa, Val. Loh kok kamu minta tolong sama Kakak sih? Istrimu kemana aja? Kenapa nggak urus keperluan kamu?" Kak Salma mendel
Pikiranku bingung. Ingin rasanya aku segera menyusul Vina menuju ke sekolah baru Claudia, tapi di samping itu aku takut juga di sana akan bakalan bertemu dengan Rika. Apa yang harus aku lakukan sekarang?[Apa kamu negur dia, Sayang? maksudku apa kamu negur art-ku?] [Nggak, Mas. Rasanya aku males buat negur. Ntar aku dikira temenan sama ART. Jan nggak lucu] Jawaban dari pesan yang membuat hatiku lega. Setidaknya tidak terjalin komunikasi di antara mereka. Jika mereka berbicara, takutnya Vina memberitahu Rika jika dia adalah kekasihku. Dan akan lebih berbahaya lagi ketika mengetahui ternyata Vina lebih cantik, Rika akan cemburu besar.Karena khawatir aku langsung menelepon Vina."Sayang, kamu nggak usah ladenin dia ya, nggak usah negur-negur juga," ujarku."Lho, kenapa, Mas? Bukannya lebih baik juga kalau aku bisa lebih akrab sama asisten kamu!" Ucap Vina diperseberangan sana."Gini, Vina Sayang, soalnya dia tuh mulutnya rempong, ntar kamu bisa kerepotan sendiri kalau ngeladenin dia ng
"Apaa? Kamu ngobrol sama dia?" Tentu aku kaget dong."Iya, Mas. Biasa aja kali, kedengarannya Mas kaget banget gitu? Aneh."Aku mulai dag dig dug tidak karuan, penasaran dengan apa saja yang sudah mereka obrolkan."Habis kalian obrolin apa aja?" cecarku."Obrolan biasa lah, Mas." Lagi-lagi Vina menjawab."Maaf ya, Vin. Kayaknya Mas gak bisa nyusul kamu ke sana. Mas tunggu di depan gerbang sekolahnya aja, ya!" Aku benar-benar khawatir Rika mencium aroma hubunganku dan Vina.***"Sayang, asisten kamu cantik juga ya. Pakaiannya juga tapi. Kayak bukan asisten aja. Hmm... Apa sehari-hari dia nginep di rumah kamu?" Vina menatapku lekat.Aku menoleh ke arah Vina."Cantik? Dia nggak cantik. Biasa aja sih.""Nggak usah bohong, Mas. Tadi aku perhatiin gerak-geriknya. Dia nggak keluatan kayak pembantu. Jangan-jangan mas nyimpen perasaan suka sama dia." Vina terdengar agak curiga.Apa dia cemburu? Kalau beneran iya, bisa-bisanya Vina cemburu pada wanita seperti Rika. "Mana ada aku ada perasaan
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku