Bab 123"Bu, Maaf sekali sepertinya aku nggak bisa untuk menuruti kemauan ibu." Tanpa menunggu lama aku segera menjawab.Dia nampak shock mendengar jawabanku."Me mengapa bisa kamu berkata kayak gitu Rika? Nggak bisakah kamu sedikit aja buat ngerti apa yang Ibu inginkan?" Ucapnya kembali memelas seperti sebelumnya."Aku udah tahu apa yang Ibu maksud dan apa yang Ibu inginkan." Ujarku."Kalau begitu, tolong dengarkan ibu sekali ini aja, ini permohonan Ibu terakhir percayalah, Nak! Ibu nggak bohong! Permintaan Ibu ini bukan hal sulit buat kamu. Kalaupun nanti ada biaya yang harus kamu bebankan karena mencabut laporan itu, ibu akan sangat bersedia untuk membayarnya. Jadi kamu nggak usah takut. Kamu.nggak perlu pakai uang kamu! Ini nggak sulit nak, sangat nggak sulit. Bahkan kalau kamu mau ibu akan kasih kamu uang yang banyak," mantan mertuaku itu berujar kembali."Enggak Bu! Itu nggak bisa. Untuk mencabut laporan memang bukan hal sulit meski mungkin harus mengeluarkan uang. Tapi perkaran
Bab 124"Kenapa kamu bisa berkata seperti ini padaku, Rika? dari tadi aku selalu berusaha untuk mengambil hatimu? Mulai dari meminta maaf dan merendahkan diri. Apa kamu nggak bisa menghargai usahaku? Aku ini udah tua sudah suruhnya kamu hormat sama aku. Lagi aku ini adalah orang yang pernah menyandang gelar sebagai mertua kamu!"Nah kan, sifat aslinya mulai keluar. Benar apa yang aku pikirkan tadi tentangnya ternyata dia memang benar-benar akting."Aku udah ngelakuin berbagai cara agar kamu bisa ngerti sama keadaan keluarga kami. Tapi apa yang udah kamu lakuin? Kamu tetap memandang aku ini nggak berarti apapun. Padahal aku hanya meminta untuk mencabut laporan atas Valdi. Karena Emang laporanmu itu nggak beralasan." Dia kembali melancarkan ucapan."Bu nanti di pengadilan ibu akan mengetahui semua kebenarannya. Kalau ibu menganggap semua laporanku itu nggak punya alasan yang kuat, maka sudah pasti nanti anak ibu akan terlepas dari jerat hukum. Tapi kalau seandainya laporanku ternyata be
Bab 125Pria dihadapanku ini menatapku. Baru saja dia membuat marahku naik karena gara-gara mengatakan kata-kata "calon suami" padaku. Aku ini tidak mempunyai calon suami, jangankan calon suami punya kekasih pun tidak. Jadi bagaimana bisa dia mengatakan seolah-olah aku ini akan segera menikah. Berbicara sembarangan saja.Aku memang terlalu sensitif apabila mendengar dia membicarakan soal pasangan hidup.Huuft! "Aku pikir aku tidak akan mau nikah lagi jadi jangan sebut kata-kata itu lagi! Aku tak suka mendengarnya!" cetusku kemudian. Aku ingin dia tahu bila aku benar-benar tak suka dengan tema obrolan seperti demikian."Apa? Kamu bilang tidak akan menikah lagi?" Dia kembali menatapku."Kalau kamu sudah mendengar seharusnya kamu tidak usah bertanya lagi!" Aku menanggapi."Tidak boleh berkata seperti itu, Rika! Di umurmu yang masih muda dan masih energik, siapa tahu Tuhan masih akan menakdirkan seorang jodoh untukmu? Kalau Tuhan menakdirkan begitu, apa mungkin kamu akan menolaknya?" d
Bab 126"Tidak! Siapa bilang aku cemburu? Bilang saja kalau kamu terlalu percaya diri dengan berani berkata seperti itu! Jadi, simpan saja percaya diri berlebihanmu itu, Rangga!" tandasku cepat."Oh, jadi kau tidak cemburu? Oke, kalau kamu tidak cemburu, aku bisa bercerita lebih banyak padamu," ucapnya lagi.Aku kembali menelan ludah. Sebenarnya hati ini sakit mendengarnya. Tapi aku tidak ada pilihan selain dari berusaha untuk tetap menjadi pendengar yang baik. "Aku berusaha untuk mendukung penuh pilihanmu, Rangga!" Aku melanjutkan."Baik-baik kalau begitu apakah wanita yang aku ceritakan tadi pantas untukku perjuangkan? Bagaimana menurutmu?" Dia bertanya."Apapun yang sudah kamu tetapkan sebagai pilihan, maka rasanya tidak ada yang bisa membuatku mengatakan pilihanmu tak pantas," jawabku."Alasannya?"Mendengar pertanyaannya, serasa aku sedang menjalani sesi pertanyaan pada wawancara saja. "Kau tanya apa alasannya? Semua orang yang mengenalmu pasti berpikiran sama denganku. Kau pri
Bab 127"Rika! Mengapa kamu tiba-tiba bicara dengan menyebut nama Dira?" Dia terus menodongku dengan pertanyaan itu."Kau menyembunyikan sesuatu, Rangga!" ucapku.Aku tak peduli betapa bodohnya aku karena langsung menghentikan hal itu di depannya. Yang pasti sekarang aku sudah puas telah melontarkan kata-kata itu."Menyembunyikan apa?" Mungkin dia masih ingin pura-pura tidak mengetahui."Baiklah. Kau sendiri merasa menyembunyikan sesuatu atau tidak?" Ucapku menimpali kata-katanya."Sungguh aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari kamu! Kau terkadang membuatku sangat bingung, Rik! Kalau kamu benar-benar menganggapku merahasiakan sesuatu, boleh kau jelaskan secara gamblang? Aku sendiri penasaran dengan apa yang kusembunyikan menurut versimu." dia berkata seperti itu lagi."Oke, kalau kamu memang tidak merahasiakan apapun, aku tidak masalah. Karena kalau kamu berbohong dengan kata-katamu, artinya kamu telah membohongi diri sendiri. Ya sudah kalau begitu!" ucapku.Aku bergegas melan
Bab 128Seorang wanita paruh baya kembali datang penampakan batang hidupnya di hadapanku.Melihat perempuan ini rasanya aku muak sekali. Aku membencinya, sangat membencinya."Rika, mengapa kamu tidak bisa sedikit saja menolong kami? Apa harus aku berlutut sama kamu? Kamu kan masih punya hati, tolong kasihani kami, Nak!" Wanita itu berkata sambil menangis di hadapanku.Aku tetap belum berkomentar apa-apa atas kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Ini pasti berkaitan dengan Valdi yang sekarang telah berada dalam penjara. Masa bodoh sekali dengan masalahnya. "Tolonglah kami nak Rika aku mohon atas nama kami sekeluarga," dia kembali memohon-mohon."Mau minta tolong apa lagi? Apa karena Valdi? Kalau ini tentang faldi mohon maaf sekali ya Bu aku nggak bisa bantu apapun,"Kulihat ekspresi ibu Ratih langsung seperti melemas Setelah mendengar Aku bicara."Tolong jangan berkata seperti itu, Nak. Ini Ibu sangat memohon sama kamu tolong kasihhani Valdi. Kasihan dia di dalam sana menjadi bulan-b
Bab 129"Rangga aku rasa kamu tidak perlu berbuat sejauh ini untuk membuktikan ucapan mereka. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, aku takut malah kau yang akan terjerat ke dalam kasus mereka," ucapku.Pria di sampingku tersebut hanya tertawa ringan dengan apa yang telah aku ucapkan."Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu? Tak ada yang perlu kamu khawatirkan dengan diriku, Rika. Kamulah yang harus selalu berhati-hati. Kadang aku khawatir pasti ada orang-orang yang tidak terima dengan keputusan hakim. Terlebih apa yang aku urus juga bukan melulu kasus Clara saja, tapi juga kasus yang melibatkan penyelundupan barang-barang haram dan terlarang lainnya. Tapi mudah-mudahan aku bisa mengatasi semua masalah yang menghampiriku. Jadi yang aku khawatirkan adalah kamu. Aku sungguh berharap Jangan sampai ada orang-orang yang berniat jahat padamu karena kita telah berhasil menumpas kasus itu hingga selesai,"Aku menghela nafas. Memang keputusan hakim beberapa hari yang lalu telah menjerat bany
Bab 130Sebelum hari mulai menggelap, aku memeriksa satu persatu jendela yang ada di rumah, sebelum kami terlelap Aku ingin memastikan bahwa semuanya sudah terkunci rapat. Tak lupa pula pintu pagar depan juga harus tergembok dengan sempurna. Kapan Rangga kembali terngiang-ngiang di telingaku, memang telah berkata benar bahwasanya aku dan Clara memang harus lebih berhati-hati lagi sekarang. Seperti yang dia katakan bahwa banyak orang yang memusuhi orang-orang yang berniat baik. Sebenarnya aku sudah merasakan ini sejak lama. Selama ini aku selalu berusaha untuk tidak merepotkan orang-orang di sekitarku, pernah meminta lebih pada mereka apalagi memberatkan. Kita memang benar-benar sedang membutuhkan bantuan. Ketika orang membutuhkan pertolongan maka aku akan membantu sebisa yang aku mampu, dan ketika orang-orang merendahkanku aku masih tetap berusaha untuk bersabar. Tapi entah mengapa kurasa ada-ada saja orang yang selalu mencari gara-gara denganku. Bahkan orang yang tidak tahu menahu
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku