Bab 109"Emang ya kak kita bisa ngeraguin kalau Clara itu bukan anak aku, tapi aku takut orang-orang di sekeliling kita bakalan jadi omongan kayak laki-laki nggak tanggung jawab. ""Kamu nggak usah peduli sama omongan orang! Peduliin dulu keluarga kita ini!" cetusku cepat."Coba kamu pikirin ya, Val, Rika itu uangnya banyak. Emang orang kayak gitu masih patut buat kamu tolong? Harusnya dia yang mengulurkan bantuan buat kita! Bukannya malah kebalik gini!" lanjutku."Iya, kak. Tapi tuh kasihan si Clara, hidup nggak punya ayah!"Aku geleng-geleng kepala, tidak mengerti bagaimana cara berpikir Valdi."Nggak usah deh bilang-bilang kasihan! Salahnya sendiri kenapa dulu mau cerai! Salah sendiri juga mau gaya-gayaan ngehidupin anak seorang diri! Ya udah, itu emang resikonya dia! Nggak usah dipikirin lah! Kamu tuh laki-laki, ingat itu, Val!"Perlu sekali kayaknya aku ceramahin terus-terusan adik laki-laki semata wayangku ini.Sebentar kemudian kulihat Valdi keluar dari rumah dengan bersungut s
Bab 110Tanpa menunggu terlalu lama, telepon dari Weni aku matikan. "Kamu kenapa bilang aku ini sopir kamu? Kamu nggak mau ngakuin kalo aku ini adalah suami kamu? Atau kamu malu?' mata mas Raka menatapku tajam. "Mas, kenapa kamu ini pusing banget sama urusan aku sih? aku bukan ngomongin kamu, kok! Kamunya aja kali yang ngerasa kayak sopir aku. iya, kan? kalo kamu ngerasa emang pantes jadi sopir, harusnya kamu jangan tersinggung lah!" dia pikir cuma dia yang bisa ngegas tidak karuan. Tentu dia tahu aku juga bisa segarang singa."Udahlah, Mas! Aku capek ngeliat kamu! mending kamu berangkat aja ke gudang lagi!""Apaaa? kamu ngusir aku? Tanpa makan kamu suruh aku balik klerja lagi?""Iya! kenapa emang? Laki-laki tuh harus rajin cari uang! Nggak ada waktu buat malas-malasan!" Sengsja aku tatap mukanya."Jangan jadi pemalas! ingat itu! Udah jelek, pemalas, ribet lagi!" cibirku lagi."Buuk!" tiba-tiba kedua anakku berteriak dari depan pintu sambil membanting tasnya.Serly dan Mona pulang d
Di sudut taman kota, di kafe yang tak terlalu ramai, seorang laki-laki duduk menyendiri dengan tetapan matanya yang kosong. Orang-orang tak bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan.Di sana pria itu sama sekali tak menyentuh pesanan yang tadi ia pesan. Makanan itu hampir dingin karenanya. Alih alih menyantap hidangan, malah ia kembali mengingat sebait kata-kata yang tersimpan setia pada benak, tak pernah pudar larena angin, dan tak pernah pupus karena waktu.[Kita percaya, Tuhan memiliki rencana disetiap takdir yang telah Ia tentukan. Jikalau Yang kuasa tak menakdirkan aku bersamanya, tapi setidaknya aku berharap ia ditakdirkan bersama pria yang bisa menjaganya]Harapan semoga wanita itu menemukan pria lain yang mencintai wanita tersebut? Ha ha... Itu hanya untaian omong kosong saja. Sejatinya pria itu mengaharapkan cinta wanita itu dengan cinta yang utuh tanpa terbagi. ~Pov RanggaAku duduk di sini di tempat yanng bisa dikatakan sederhana untuk ukuran warga perkotaan, aku sengaja
"Ma, ini surat dari sekolah, besok di sekolah Clara ada acara pertemuan wali murid." Clara menyodorkan sebuah surat dari sekolahnya. Dia seperti kelelahan. Mungkin dia terlalu banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Anak itu, selalu saja tidak mau meninggalkan salah satu dari kegiatannya. Perhatianku kembali ke surat yang tadi dia berikan. Seperti biasa, itu adalah rapat yang harus di hadiri oleh para wali anak-anak. Sejenak aku tersenyum melihat anak cantik ini. Dia mulai tetlihat meninggi. Ya, empat tahun berlalu kami pindah kemari. Ah beberapa tahun kedepan anak ini akan beranjak remaja. Aku menantikan saat-saat itu, saat dimana anak-anak perempuan akan mulai sibuk menceritakan cowok populer disekolah atau mulai peduli dengan penampilan, sibuk menceritakan rencana kuliah dan jurusan apa yang akan dipilih. Ya ampuun, aku merindukan saat-saat itu. Tapi, meski perkembangan dan pertumbuhannya cukup baik, bagiku bagaimanapun dia masih akan terlihat seperti gadis mungil yang dulu
Bab 113"Katakan apa yang sudah hafal dilakukan sama kamu, Nak!" aku bertanyaMungkin saja caraku menanya seperti orang sedang menginterogasi. Ya Allah, apa mungkin caraku salah? Buktinya anak ini bukannya menjawab tapi malah terdiam membisu."Apa yang sudah dia lakukan padamu?" kali ini dengan lembut aku bertanya sembari memeluknya erat."Mah... Ayah... Ayah mengatakan aku anak yang cantik," ucapnya lalu diam."Lanjutkan, Nak!" ujarku."Maaf ma, sebelumnya aku pikir dia adalah ayah yang selama ini aku tunggu kedatangannya telah tiba,""Sebentar! Apa kamu menunggu kedatangan ayahmu?" Tanya ku mengernyit kan dahi. Dengan pelan anak itu mengangguk.Ya Tuhan, Apa yang menyebabkan anak ini menunggu ayahnya? Apa dia merindukan sosok seorang ayah? Kalau begitu apakah aku telah berdosa karena dulu membawa anak itu jauh dari ayahnya? Tapi sebaliknya, bila dulu aku tidak melakukan ini semua, apakah itu bisa dibenarkan? Apakah pantas aku membiarkan Clara hidup bersama seorang ayah yang bahkan
Bab 114"Nak, mama tahu kamu emang membutuhkan sosok seorang ayah. Jadi, jadi maafkan mama yang tak bisa bertahan untuk menjaga Papa di sampingmu, Nak. Ini semua salah ibu," aku berucap dengan harapan anak ini memaafkan kesalahan yang telah kulakukan. "Nggak, Ma. Ini bukan salah mama. Tapi ini adalah takdir. Justru aku yang harus meminta maaf. Karena aku terlalu ceroboh dalam setiap kondisi. Aku terlalu bodoh mempercayai Papa. maafin Clara, Ma!'Aku membenarkan alasan anak ini, pernah bertindak terlalu bodoh dan terburu-buru. Tapi, tapi aku tak ingin sepenuhnya menyalahkannya. Itu ia lakukan karena benar-benar mengharapkan kasih sayang seorang ayah. Memang seharusnya, setiap anak selalu berharap dibesarkan dalam keluarga yang lengkap dan harmonis."Nak maafkan Mama yang gak bisa bikin kamu hidup berdampingan dengan ayahmu,""Enggak Ma, ini bukan salah Mama. Mama udah cukup baik udah menghindari aku dari orang jahat kayak papa."Entah apa yang akan aku katakan lagi. Bocah yang selalu
Bab 115 Aku akhirnya mencari tahu dan kemudian menghubungi satu persatu pengacara yang ku ketahui.Bahkan aku berulang kali menghubungi pengacara David. Tapi entahlah tidak seperti biasanya David teramat susah untuk dimintai pertolongan untuk mendampingiku di pengadilan."Rika!" Seseorang berkata dari belakangku membuyarkan lamunanku.Aku menoleh.Huh orang itu lagi."Ya," sahutku.Kudengar langkah pelan laki-laki itu mendekat. Ada apa lagi dia mendekatiku? Membosankan."Kamu kelihatan lesu baru-baru ini. Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan? Apa masalah putrimu yang membuatmu seperti ini?" Aku terkejut bisa-bisanya dia menebak-nebak seduka hati. Menyebalkan. Anehnya tebakannya ternyata benar."Kenapa kamu tanya itu, Rangga?" Aku tanya balik."Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir saja." ucapnya."Kayaknya kamu nggak perlu khawatir sama urusan aku!" Apa yang aku katakan itu adalah benar. Aku bukan siapa-siapanya dia, bahkan sekarang dibilang teman pun aku malas. Aku sudah mengurangi beri
Bab 116"Jangan asal bicara, Rangga! Seharusnya kalau kamu mau berbohong, ada baiknya kamu riset dulu keadaan yang sebenarnya." Serta merta aku berkata. Mungkin saja dia pikir aku bodoh akan mempercayai kata-katanya begitu saja."Apa maksudmu berkata seperti itu, Rika? Aku benar-benar mau menolongmu bukan membohongimu! Kalau kau punya prasangka buruk terhadapku simpan saja prasangkamu itu untuk sementara. Apa kamu mau terus-menerus berada dalam pikiranmu yang selalu saja memandangku dari sudut pandang negatif? Sehingga Kau rela mengabaikan sesuatu yang jauh lebih penting daripada perasaanmu itu?"Hampir saja aku tersedak mendengar kata-katanya. Meski tampangnya terlihat meyakinkan, tapi rasa curigaku rasanya sangat sulit untuk disampingkan. Bagaimana aku tidak terus-terusan merasa curiga jika kata-katanya saja mengandung kebohongan. "Kata-katamu akan dengan mudah membohongi targetmu, Rangga. Tapi baiklah maukah kamu aku tunjukkan salah satu bentuk kebohongan kamu? Agar kau berhenti t