Bab 108"Val, kamu nggak usah deh ngemis-ngemis lagi sama Rika sialan itu! Dia udah nginjak-nginjak harga diri kita! Aku nggak suka kalau kamu terus-terusan mohon-mohon sama dia!" ucapku.Tentu saja aku nggak suka kalau adik kesayanganku ini malah mengemis-ngemis cinta sama perempuan itu. Perempuan yang sok-sokan banget mentang-mentang udah bisa berjaya. Sungguh sikap dia tadi sama aku benar-benar membuatku kesal. Amat menjijikan sifat culasnya. Rasanya Demi Tuhan aku nggak rela hidup saat lagi sama dia. Aku akuin sih Mungkin aja dia tadi ngerasa panas karena dengar aku bilang kalau akan ngebangun rumah yang jauh lebih besar daripada rumahnya. Tapi sifat irinya dia tuh udah kayak ngancam aja. "Aku bukan yang ngemis-ngemis, Mel. Tapi apa kamu nggak mikir kalau seandainya aku balikan lagi sama dia yang untungnya siapa coba?" ucap Valdi terdengar amat polos. "Untung Apa maksud kamu? Mungkin untung di kamu aja! Mesti dibuat bengek kalau kembali hidup serumah sama dia." Ucapku kembali k
Bab 109"Emang ya kak kita bisa ngeraguin kalau Clara itu bukan anak aku, tapi aku takut orang-orang di sekeliling kita bakalan jadi omongan kayak laki-laki nggak tanggung jawab. ""Kamu nggak usah peduli sama omongan orang! Peduliin dulu keluarga kita ini!" cetusku cepat."Coba kamu pikirin ya, Val, Rika itu uangnya banyak. Emang orang kayak gitu masih patut buat kamu tolong? Harusnya dia yang mengulurkan bantuan buat kita! Bukannya malah kebalik gini!" lanjutku."Iya, kak. Tapi tuh kasihan si Clara, hidup nggak punya ayah!"Aku geleng-geleng kepala, tidak mengerti bagaimana cara berpikir Valdi."Nggak usah deh bilang-bilang kasihan! Salahnya sendiri kenapa dulu mau cerai! Salah sendiri juga mau gaya-gayaan ngehidupin anak seorang diri! Ya udah, itu emang resikonya dia! Nggak usah dipikirin lah! Kamu tuh laki-laki, ingat itu, Val!"Perlu sekali kayaknya aku ceramahin terus-terusan adik laki-laki semata wayangku ini.Sebentar kemudian kulihat Valdi keluar dari rumah dengan bersungut s
Bab 110Tanpa menunggu terlalu lama, telepon dari Weni aku matikan. "Kamu kenapa bilang aku ini sopir kamu? Kamu nggak mau ngakuin kalo aku ini adalah suami kamu? Atau kamu malu?' mata mas Raka menatapku tajam. "Mas, kenapa kamu ini pusing banget sama urusan aku sih? aku bukan ngomongin kamu, kok! Kamunya aja kali yang ngerasa kayak sopir aku. iya, kan? kalo kamu ngerasa emang pantes jadi sopir, harusnya kamu jangan tersinggung lah!" dia pikir cuma dia yang bisa ngegas tidak karuan. Tentu dia tahu aku juga bisa segarang singa."Udahlah, Mas! Aku capek ngeliat kamu! mending kamu berangkat aja ke gudang lagi!""Apaaa? kamu ngusir aku? Tanpa makan kamu suruh aku balik klerja lagi?""Iya! kenapa emang? Laki-laki tuh harus rajin cari uang! Nggak ada waktu buat malas-malasan!" Sengsja aku tatap mukanya."Jangan jadi pemalas! ingat itu! Udah jelek, pemalas, ribet lagi!" cibirku lagi."Buuk!" tiba-tiba kedua anakku berteriak dari depan pintu sambil membanting tasnya.Serly dan Mona pulang d
Di sudut taman kota, di kafe yang tak terlalu ramai, seorang laki-laki duduk menyendiri dengan tetapan matanya yang kosong. Orang-orang tak bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan.Di sana pria itu sama sekali tak menyentuh pesanan yang tadi ia pesan. Makanan itu hampir dingin karenanya. Alih alih menyantap hidangan, malah ia kembali mengingat sebait kata-kata yang tersimpan setia pada benak, tak pernah pudar larena angin, dan tak pernah pupus karena waktu.[Kita percaya, Tuhan memiliki rencana disetiap takdir yang telah Ia tentukan. Jikalau Yang kuasa tak menakdirkan aku bersamanya, tapi setidaknya aku berharap ia ditakdirkan bersama pria yang bisa menjaganya]Harapan semoga wanita itu menemukan pria lain yang mencintai wanita tersebut? Ha ha... Itu hanya untaian omong kosong saja. Sejatinya pria itu mengaharapkan cinta wanita itu dengan cinta yang utuh tanpa terbagi. ~Pov RanggaAku duduk di sini di tempat yanng bisa dikatakan sederhana untuk ukuran warga perkotaan, aku sengaja
"Ma, ini surat dari sekolah, besok di sekolah Clara ada acara pertemuan wali murid." Clara menyodorkan sebuah surat dari sekolahnya. Dia seperti kelelahan. Mungkin dia terlalu banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Anak itu, selalu saja tidak mau meninggalkan salah satu dari kegiatannya. Perhatianku kembali ke surat yang tadi dia berikan. Seperti biasa, itu adalah rapat yang harus di hadiri oleh para wali anak-anak. Sejenak aku tersenyum melihat anak cantik ini. Dia mulai tetlihat meninggi. Ya, empat tahun berlalu kami pindah kemari. Ah beberapa tahun kedepan anak ini akan beranjak remaja. Aku menantikan saat-saat itu, saat dimana anak-anak perempuan akan mulai sibuk menceritakan cowok populer disekolah atau mulai peduli dengan penampilan, sibuk menceritakan rencana kuliah dan jurusan apa yang akan dipilih. Ya ampuun, aku merindukan saat-saat itu. Tapi, meski perkembangan dan pertumbuhannya cukup baik, bagiku bagaimanapun dia masih akan terlihat seperti gadis mungil yang dulu
Bab 113"Katakan apa yang sudah hafal dilakukan sama kamu, Nak!" aku bertanyaMungkin saja caraku menanya seperti orang sedang menginterogasi. Ya Allah, apa mungkin caraku salah? Buktinya anak ini bukannya menjawab tapi malah terdiam membisu."Apa yang sudah dia lakukan padamu?" kali ini dengan lembut aku bertanya sembari memeluknya erat."Mah... Ayah... Ayah mengatakan aku anak yang cantik," ucapnya lalu diam."Lanjutkan, Nak!" ujarku."Maaf ma, sebelumnya aku pikir dia adalah ayah yang selama ini aku tunggu kedatangannya telah tiba,""Sebentar! Apa kamu menunggu kedatangan ayahmu?" Tanya ku mengernyit kan dahi. Dengan pelan anak itu mengangguk.Ya Tuhan, Apa yang menyebabkan anak ini menunggu ayahnya? Apa dia merindukan sosok seorang ayah? Kalau begitu apakah aku telah berdosa karena dulu membawa anak itu jauh dari ayahnya? Tapi sebaliknya, bila dulu aku tidak melakukan ini semua, apakah itu bisa dibenarkan? Apakah pantas aku membiarkan Clara hidup bersama seorang ayah yang bahkan
Bab 114"Nak, mama tahu kamu emang membutuhkan sosok seorang ayah. Jadi, jadi maafkan mama yang tak bisa bertahan untuk menjaga Papa di sampingmu, Nak. Ini semua salah ibu," aku berucap dengan harapan anak ini memaafkan kesalahan yang telah kulakukan. "Nggak, Ma. Ini bukan salah mama. Tapi ini adalah takdir. Justru aku yang harus meminta maaf. Karena aku terlalu ceroboh dalam setiap kondisi. Aku terlalu bodoh mempercayai Papa. maafin Clara, Ma!'Aku membenarkan alasan anak ini, pernah bertindak terlalu bodoh dan terburu-buru. Tapi, tapi aku tak ingin sepenuhnya menyalahkannya. Itu ia lakukan karena benar-benar mengharapkan kasih sayang seorang ayah. Memang seharusnya, setiap anak selalu berharap dibesarkan dalam keluarga yang lengkap dan harmonis."Nak maafkan Mama yang gak bisa bikin kamu hidup berdampingan dengan ayahmu,""Enggak Ma, ini bukan salah Mama. Mama udah cukup baik udah menghindari aku dari orang jahat kayak papa."Entah apa yang akan aku katakan lagi. Bocah yang selalu
Bab 115 Aku akhirnya mencari tahu dan kemudian menghubungi satu persatu pengacara yang ku ketahui.Bahkan aku berulang kali menghubungi pengacara David. Tapi entahlah tidak seperti biasanya David teramat susah untuk dimintai pertolongan untuk mendampingiku di pengadilan."Rika!" Seseorang berkata dari belakangku membuyarkan lamunanku.Aku menoleh.Huh orang itu lagi."Ya," sahutku.Kudengar langkah pelan laki-laki itu mendekat. Ada apa lagi dia mendekatiku? Membosankan."Kamu kelihatan lesu baru-baru ini. Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan? Apa masalah putrimu yang membuatmu seperti ini?" Aku terkejut bisa-bisanya dia menebak-nebak seduka hati. Menyebalkan. Anehnya tebakannya ternyata benar."Kenapa kamu tanya itu, Rangga?" Aku tanya balik."Tidak apa-apa. Aku hanya khawatir saja." ucapnya."Kayaknya kamu nggak perlu khawatir sama urusan aku!" Apa yang aku katakan itu adalah benar. Aku bukan siapa-siapanya dia, bahkan sekarang dibilang teman pun aku malas. Aku sudah mengurangi beri
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku