Pagi-pagi Niar sudah ke dapur menyiapkan sarapan. Ku lihat dia nampak biasa saja saat menyiapkan sarapan, tak ada yang salah dengannya.
Lalu setelah itu dia mencuci piring dan peralatan bekas ia masak. Ibu datang menghampirinya. Ia langsung mundur, lalu mengambil pekerjaan lain.
Lanjut ke menyapu dan mengepel rumah kami. Rumah ini cukup luas dan ada lantai duanya. Bisa-bisanya Niar menyapu dan mengepel semua bagian rumah.
"Den, ayo makan dulu!" Ibu memanggilku untuk makan.
Di meja makan sudah ada Kak Ayu, Bang Aldo, Icha, Farrel, Ayesa dan Ibu. Farrel dan Ayesa adalah anak-anaknya Kak Ayu.
"Lho, kok, Niar mana ya?"
"Niar masih di kamar tadi. Mungkin Farhan rewel," kata Ibu.
"Ya sudah, aku susul Niar dulu ya! Kalian makan saja duluan."
"Kamu makan saja dulu. Nanti habis makan, baru susul Istri kamu!"
"Maaf, Bu. Aku lihat tadi Istriku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apa salahnya aku panggil dia sekarang untuk sarapan bersama? Kasihan dia, mana sedang menyusui kan, Bu?"
Ibu terdiam mendengar jawabanku. Segera ku hampiri Istriku di kamar.
Kamar masih gelap, tak ku coba untuk menyalakannya lagi. Bisa-bisa marah lagi seperti kemarin.
Niar sedang menyusui Farhan. Aku mendekatinya, duduk di samping Niar.
"Dek, kita sarapan dulu, yuk!" Aku mengajaknya keluar.
Dia hanya diam, tak mau mengangkat wajahnya. Aku mengangkat wajah istriku, ternyata dia sedang menyusui sambil menangis.
"Dek, kamu kenapa?" Aku merapikan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya.
"Bang ... Aku benci pada diriku!"
Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Niar.
"Kenapa memangnya?" tanyaku sambil membelai rambutnya.
Niar bergeming. Ia tak mau berkata-kata lagi. Ia hanya menangis.
"Ya udah, kamu nangis aja dulu!"
Tak lama Icha datang.
"Mama, ayo makan!"
Aku menyambut tangan Icha. Ia masuk di pelukanku.
"Iya, sayang. Sebentar Mama juga makan."
Lalu Icha memegangi tangan Mamanya, ia tarik sampai Mamanya mau bangun.
Niar dan aku sarapan ditemani Icha, sementara Farhan kami tinggal di kamar, karena ia tertidur. Niar makan tidak terlalu banyak.
"Aku kenyang, Mas." Niar beranjak membersihkan bekas makannya, lalu membawanya ke dapur.
Niar tak muncul-muncul, akj mencarinya ke dapur juga. Ternyata Niar sedang cuci piring. Ku lihat semua pekerjaan di rumah ini, Niar yang kerjakan. Padahal dia masih punya bayi.
Sementara Ibu sedang asyik menonton serial Ku Menangis, Kak Ayu sedang sibuk dengan gawainya, dan Bang Aldo sedang mengurus burung kesayangannya.
Aku heran dengan penghuni rumah ini, nggak ada rasa ibanya pada Istriku.
"Sayang, sini Abang bantuin. Bolehkah?""Nggak usah!" jawabnya singkat.
"Biar cepet beres, Sayang. Nanti kita habis ini jalan-jalan, yuk!" Aku jadi teringat dosaku padanya, sejak menikah tak pernah mengajaknya jalan-jalan sekalipun.
Niatku menikah dengannya saat itu, agar ada yang bantu kerjaan di rumah Ibuku. Tapi ternyata ibu malah kesenengan.
Aku sebenarnya ingin mandiri, mengontrak rumah. Tapi, kuurungkan itu, karena Ibu memintaku tinggal bersamanya. Katanya sayang uangnya jika dipakai ngontrak. Mending di tabung buat beli rumah.
Namun, Niar bilang uang yang ku beri tiap bulan sudah habis. Salahmu sendiri tak pernah memintanya untuk memisahkan sebagian untuk nabung.
Aku merasa yakin Niar bisa membaginya. Tapi ternyata tidak seperti itu.
Gara-gara melamun, aku sampai kehilangan jejak Niar. Dia sudah tak ada di tempat cuci piring. Aku mencarinya ke kamar. Tetap tak ada.
"Niar, kamu di mana?" Aku mencari Niar di setiap sudut ruangan.
Mama sedang bersama Kak Ayu menerima banyak tamu. Katanya mereka sedang membicarakan seragam Ibu-ibu untuk tampil di salah satu stasiun televisi.
Lalu aku bertanya pada Icha yang sedang diam di antara banyak orang.
"Cha, Mama di mana? Icha lihat nggak?" tanyaku pada Icha.
"Nggak lihat. Mungkin mama sedang jemur baju, Pa!" kata Icha.
Aku menuju ke belakang, ke tempat jemuran.
Benar saja, Niar sedang sibuk menjemur baju. Sedangkan Ibu dan Kak Ayu malah sibuk diskusi mencari baju seragam. Apa Niar tak pernah diajak pengajian ya?
Bersambung
Benar saja, Niar sedang sibuk menjemur baju. Sedangkan Ibu dan Kak Ayu malah sibuk diskusi mencari baju seragam. Apa Niar tak pernah diajak pengajian, ya?Aku menghampiri Niar dan membantunya. Aku tuh biasanya tak pernah sekhawatir ini. Biasanya aku biarkan saja Istriku berbuat sesukanya.Kali ini senyuman itu hilang. Aku penasaran dengan apa yang terjadi dengannya.Aku mengambil sebuah baju untuk ku jemur juga di sebelah baju yang Niar sudah jemur. Lalu, Niar malah mengambilnya kasar, dia tak mau aku membantunya."Sayang, ayo kita jalan-jalan ke Alf*. Abang lihat, Istri-istri lain pada seneng jalan-jalan, walau cuma ke Alf*." Aku tersenyum semanis-manisnya.Niar tak menggubris perkataanku. Dia malah sibuk menjemur semua baju. Hingga aku merasa jamuran ada di sebelahnya."Niar, jawab pertanyaan Abang!" ucapku tegas.Niar tersentak. Dia menepuk-nep
"Bang, jangan suka sok pahlawan!" teriak Niar.Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. Tapi dia berontak, tak mau ku sentuh."Dek, Sayang, istighfar. Kamu kalau ada masalah, ceritakan padaku. Aku siap menampungnya, Dek!"Niar terus saja menangis. Tak lama dia bangkit, berusaha menghindar dariku."Dek, kamu bicara sama aku sekarang juga!"Tiba-tiba Ibu datang mengatakan kalau Icha terjatuh dari tangga."Deni, tolong. Icha jatuh, Den!"Aku berhambur ke luar. Kepala Icha berdarah, sepertinya lukanya dalam. Aku harus membawa Icha ke klinik terdekat."Siapa yang mau ikut?""Ibu saja!"Tanpa pikir panjang, aku dan Ibu menuju ke klinik terdekat. Icha terus menangis."Sabar ya, Cha. Insya Allah sebentar lagi sehat lagi kok!" hiburku pada Icha yang baru berusia tiga tahun.Tibalah kami di klinik. Dokter segera mengambil tindakan."Harus kami jahit, Pak. Lukanya lumayan dalam," katanya se
NiarBang Deni terus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi ... tak mungkin aku mengatakan hal ini.Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini. Dimana aku juga merasa kosong pada diriku. Tak ada yang peduli dengan semua kesusahanku.Kadang aku merasa ingin mencek*k Farhan saat dia rewel. Aku diantara banyak orang, tapi mereka selalu menyalahkanku.Termasuk suamiku, yang tak pernah mau mendengar pendapatku. Ia malah seenaknya tinggal di luar kota, sementara aku ditinggal dengan Ibu dan Kakaknya.Rasanya setiap hari seperti berada di n*raka. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, belum lagi mengurus kedua anakku, tak pernah diajak kemanapun, termasuk oleh suamiku, Kakak Ipar laki-lakiku - Bang Aldo yang genit serta Ibu yang merampas semua uang belanjaku. Ia hanya menyisakan 500 ribu untukku.Belum lagi berbagai ancaman jika aku mengatakannya pada Bang Deni. Ibu mengintervensi akan menjelekkan aku pada orang tuaku dan para te
Ibu RatihGadis itu tiba-tiba datang bersama anak kesayanganku dan mereka berencana akan menikah. Deni padahal baru beberapa bulan bekerja, aku baru saja merasakan gajinya tiap bulan."Tak bisakah pernikahanmu ditunda, Deni?" tanyaku saat itu."Tidak mungkin, Bu. Kami sudah merencanakan masa depan bersama."Dia gadis yang berasal dari keluarga miskin. Sementara keluarga kami terpandang. Serasa langit dan bumi, tapi aku harus menerima gadis miskin itu."Tenang saja, Bu. Niar akan membantu semua kerjaan rumah ibu nanti," kata Deni saat ia meminta menikahi Niar."Tapi, Nak. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu bakal menghentikan pemberian uangmu tiap bulan?""Paling nanti Ibu nggak bakal dapat lima juta lagi, sebagian besar akan kuberikan pada istriku," jawab Deni.Jawaban Deni membuatku sedih, ia akan memberikan sebagian besar uangnya pada seseorang yang baru ia kenal.Pada akhirnya, aku pun luluh dengan kegig
Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall.Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan."Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil.Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah."Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.Saat di mall, Icha memilih bermain mob
Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.Aku mengusap kepala Icha dan membiarkannya menangis di pelukanku. Setelah mereda, aku bawa Icha ke kamar, sepertinya ia ngantuk. Tak lama ia pun tertidur.Aku kembali menemui Ibu. Lalu aku bicara pada Ibu agar jangan berbuat seperti itu pada anak kecil."Apa sih kamu, Den. Kamu juga yang salah, jalan-jalan nggak ajak Ibu. Emang mereka doang yang butuh hiburan? Ibu juga pengen!" Ibu merajuk, aku kesal dibuatnya."Bu, aku hanya menghibur mereka. Sejak menikah, aku tak pernah mengajak Niar jalan-jalan. Anakku juga belum pernah kuajak keluar. Kalau ibu kan sering ku antar belanja. Dikit-dikit Ibu meminta diantar olehku," jawabku."Kamu sukanya membandingkan seperti itu. Ibu nggak suka digituin, Den. Kamu anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh-nyuruh kamu seperti itu."Aku merebahkan diri di sofa."Bu, intinya aku nggak suka Ibu membentak Icha. Kasian Icha udah berbuat baik pada Ibu, ma
NiarBang Deni mengajakku jalan-jalan, hal yang mahal bagiku setelah menikah dengannya. Beberapa kali dulu aku mengajaknya jalan-jalan, tapi ia tak pernah bisa.Aku akui Bang Deni sekarang belajar dari kesalahannya. Tapi, hatiku tetap sakit dengan semua penolakannya dulu, kata-kataku yang tak pernah ia percayai. Untuk apa aku dijadikan istri, jika kata-kataku saja tak ia percaya.Ditambah masalah Ibu yang selalu menindasku dengan tatapan matanya. Sehingga, walau tak berkata pun, aku sudah trauma dengannya.Kalau Kak Ayu, dia selalu mengataiku malas. Aku bukannya malas, tapi aku memang butuh waktu untuk anak-anakku dan diriku sendiri."Syukur ya, Deni sudah berangkat. Tak ada yang melindungimu sekarang," ucap Ayu saat Bang Deni sudah berangkat dengan mobilnya.Aku diam menunduk, tak mau bertikai dengannya, yang ada dia selalu mematahkan kata-kataku."Pinter ya, kamu. Bisanya diem-diem aja, padahal hatinya lain." ucap Kak Ayu lagi
Aku masih memikirkan cara untuk memasang kamera pengawas di rumahku tanpa ketahuan oleh anggota keluarga. Aku hubungi Niar agar dia memberitahukanku saat Ibu dan Kak Ayu pergi ke luar rumah. Tapi, dia tak mengerti dan sering lupa memberi tahukan padaku. [Maaf, Bang aku lupa. Padahal tadi mereka pergi.] [Kamu jangan sampai lupa-lupa terus. Gimana kamu di rumah? Apakah ibu bersikap baik padamu?] Lama sekali tak dijawab. Entah gawainya di simpan dimana, Niar tak pernah sigap menjawab pesan atau telepon dariku. Aku semakin bingung, karena sudah hampir hari Jumat lagi, waktunya aku pulang ke rumah. Pengawas kamera sudah dibeli oleh sahabatku, Bram. Tapi, ia tak punya celah untuk masuk rumahku. Ibu dan Kak Ayu bisa-bisa curiga padanya. "Coba Bram, kamu bicara dengan istriku. Karena dia yang bisa memberitahumu kalau rumah sedang sepi. Saat itu, kamu pasang di dapur dan di ruang tamu, Bram!" "Tapi, sepertinya aku nggak bisa. Karena kal
Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama
Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.
Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u
Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa
Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"
Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.
Bab 41 (UBIDI)Kami pergi ke dokter kandungan dengan menggunakan layanan umum, karena ingin mendapatkan USG, jadi harus umum.Setelah menunggu beberapa menit, kami dipanggil juga untuk masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu!""Sudah usia berapa kandungannya?" tanya Dokter Dian, nama yang tertera di mejanya."Sepertinya sudah 10 mingguan, Dok," jawab Niar memperkirakan."Oh, jadi selama ini belum diperiksa?" tanya Dokter."Iya, Dok. Karena keburu pandemi," jawab Niar."Baiklah, saya periksa dulu. Silahkan ke sini, kita lihat pakai USG ya, Bu!" Niar mengikuti Bu Dokter. Aku pun melihat dari kejauhan.Lalu dokter mengoleskan gel pada perut Niar sebelum sebuah alat digunakan untuk mendeteksi bakal calon bayi di dalam perut."Posisi calon bayi Ibu sudah bagus, benar usianya sekitar 10 Minggu."Lalu dokter menggerakkan-gerakkan alat itu di atas perut istriku."Mudah-mudahan sehat selalu, ya sampai melahirkan nant
"Kamu simpan parac*tamol nggak?" tanyaku pada Niar."Ada, tapi udah beberapa bulan. Setauku nggak boleh disimpan lama, Bang. Abang tolong belikan lagi saja di apotek," usulku."Iya, Dek. Aku pergi sekarang, ya! Sementara aku pergi, tolong kompres dahinya!" Aku meminta pada Niar."Ya, Bang. Aku mau ambil airnya dulu."Kami sama-sama keluar dari kamar Icha. Lalu aku langsung menyalakan mesin mobil, tak lama mobil meluncur.Aku mencari apotek yang masih buka. Karena covid, pemerintah membatasi jam operasional toko.Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.'Ya Allah, mudahkanlah aku mencari apotek yang masih buka, obatnya pun ada,' gumamku.Sepanjang jalan, toko dan apotek tutup. Lalu aku mengingat kalau di rumah sakit ada apotek juga.Aku mendatanginya dan langsung menanyakan obat penurun panas."Mbak, ada penurun panas anak?""Ada. Yang ini, ya?""Iya, berapa Mbak?""L
"Assalamualaikum. Deni!" Bang Aldo mengetuk pintu."Waalaikumsalam." Aku mempersilahkan masuk.Saat Bang Aldo masuk, tiba-tiba dia kaget ada Kak Ayu di sana."Loh kenapa kamu di sini?" tanya Bang Aldo."Aku sedang mengunjungi adikku, memang nggak boleh?" Kak Ayu membulatkan matanya.Bang Aldo malah menyeringai."Jangan-jangan kamu mau pinjem uang sama Deni?" Bang Aldo tetap menyeringai dan menoleh pada Kak Ayu.Kak Ayu akhirnya diam, mungkin tak mau cari ribut dengan Bang Aldo."Ada apa ya, Bang?"Bang Aldo melihat ke arah Kak Ayu."Aku mau minta tolong padamu, Deni.""Ada apa, Bang?""Bujuklah perempuan di sebelahku ini untuk membolehkan aku bertemu Farrel dan Ayesa. Sejak perceraian kemarin, aku tak boleh bertemu mereka lagi," kata Bang Aldo."Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, asal di rumahku. Kamu tak boleh membawa mereka pergi. Apalagi ke rumah perempuan itu!" Kak Ayu bicara sangat