Share

Bagian 5

Author: Fetina
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Niar

Bang Deni terus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi ... tak mungkin aku mengatakan hal ini. 

Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini. Dimana aku juga merasa kosong pada diriku. Tak ada yang peduli dengan semua kesusahanku.

Kadang aku merasa ingin mencek*k Farhan saat dia rewel. Aku diantara banyak orang, tapi mereka selalu menyalahkanku.

Termasuk suamiku, yang tak pernah mau mendengar pendapatku. Ia malah seenaknya tinggal di luar kota, sementara aku ditinggal dengan Ibu dan Kakaknya.

Rasanya setiap hari seperti berada di n*raka. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, belum lagi mengurus kedua anakku, tak pernah diajak kemanapun, termasuk oleh suamiku, Kakak Ipar laki-lakiku - Bang Aldo yang genit serta Ibu yang merampas semua uang belanjaku. Ia hanya menyisakan 500 ribu untukku.

Belum lagi berbagai ancaman jika aku mengatakannya pada Bang Deni. Ibu mengintervensi akan menjelekkan aku pada orang tuaku dan para tetangganya, sehingga orang-orang akan percaya kalau aku menantu dzolim.

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menangis dan menyalahkan diri sendiri.

"Ya Tuhan, tolong aku!"

***

"Dek, aku mau dipindah ke cabang pusat. Kamu tetap tinggal sama Ibu ya! Aku nanti pulang sepekan sekali." Bang Deni mengatakan maksudnya.

"Mas, aku nggak mau di sini. Aku mau ikut saja denganmu!" Aku merangkul suamiku dari samping, aku memohon padanya agar kami tak hidup terpisah.

"Tidak bisa, Dek. Di sana semua serba tak enak. Enakan di sini, nyaman. Sama ibu kamu bisa dibuatkan segala macam nanti setelah lahiran." 

Perkataan Bang Doni memang benar. Saat anak pertama kami lahir, Ibu begitu baik padaku karena Bang Deni masih bersama kami. 

Walaupun memang sejak itu aku sudah dibebani berbagai pekerjaan rumah. Tapi aku masih bisa mengelola keuanganku.

Sejak Bang Deni di mutasi ke kantor pusat, Ibu semakin berani padaku. Gaji Bang Deni yang tadinya 10 juta, naik menjadi 13 juta rupiah. Aku tak boleh memegang uang suamiku, Ibu hanya memberiku jatah 500 ribu saja.

Sejak saat itu, aku sudah tak punya harapan akan diriku sendiri. Aku merasa tak pantas menjadi seorang istri. Dan aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Tanpa bisa mengatakan semua pada Bang Deni.

Semua terkatup karena hati ini sudah terlalu sakit. Dan juga berbagai ancaman yang Ibu lontarkan.

Kakak Ipar perempuanku juga tau mengenai ini, dia berkomplot dengan Ibu untuk menguasai uangku.

***

"Niar, mana ATM kamu? Ibu mau mengambil uang yang Deni beri padamu, biar dipegang oleh Ibu. Kamu nggak bakal bisa mengelolanya. Nanti Ibu sisakan buatmu."

Aku bergeming, tak menjawab keinginan Ibu.

"Niar, mana ATM kamu? Cepat berikan pada Ibu!" Ibu melebarkan kedua matanya, tatapan mata Ibu membuatku sakit. 

Dengan berat hati, aku memberikan ATM itu. Ibu tersenyum puas.

"Berapa Pin-nya?"

Aku menyebutkan Pin ATM-ku pada Ibu. Ia langsung meninggalkan kamarku. Tak lama ku dengar Ibu pergi dengan Kak Ayu.

"Niar, kamu jaga rumah baik-baik, ya! Ibu mau pergi dulu sama Kak Ayu! Jangan lupa tugasmu selesaikan sebelum kami datang!"

"Baik, Bu!" jawabku datar.

Setelah Ibu pergi, aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Semua ku kerjakan satu per satu hingga selesai. 

Tak lama Bang Aldo -- Kakak Ipar laki-lakiku datang. Ia baru pulang kompetisi burung. Pekerjaannya hanya sebagai makelar tanah dan banyak bermain dengan burung.

Aku masuk setelah membukakan pintu. Tapi Bang Aldo sengaja mengejarku. Dia merayuku, aku menghindarinya dan masuk ke kamarku.

Untungnya Farhan dan Icha sudah di kamar, jadi aku bisa menguncinya.

Setelah kejadian itu, aku jadi harus lebih berhati-hati dengan Bang Aldo. 

***

"Bang, aku ingin pindah. Bang Aldo menggangguku. Dia mencoba merayuku, Bang." ucapku kala itu pada Bang Deni.

"Bang Aldo. Ah, tak mungkin. Dia laki-laki baik dan religius, Niar. Kamu jangan sekali-kali memfitnahnya." 

Bagai sengatan listrik, perkataan Bang Deni menancap di hatiku. Dia tak mempercayaiku. Aku merasa disia-siakan saat itu.

'Baiklah, Bang. Sejak ini, aku tak mau lagi bicara denganmu!' gumamku.

Bersambung

Related chapters

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 6

    Ibu RatihGadis itu tiba-tiba datang bersama anak kesayanganku dan mereka berencana akan menikah. Deni padahal baru beberapa bulan bekerja, aku baru saja merasakan gajinya tiap bulan."Tak bisakah pernikahanmu ditunda, Deni?" tanyaku saat itu."Tidak mungkin, Bu. Kami sudah merencanakan masa depan bersama."Dia gadis yang berasal dari keluarga miskin. Sementara keluarga kami terpandang. Serasa langit dan bumi, tapi aku harus menerima gadis miskin itu."Tenang saja, Bu. Niar akan membantu semua kerjaan rumah ibu nanti," kata Deni saat ia meminta menikahi Niar."Tapi, Nak. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu bakal menghentikan pemberian uangmu tiap bulan?""Paling nanti Ibu nggak bakal dapat lima juta lagi, sebagian besar akan kuberikan pada istriku," jawab Deni.Jawaban Deni membuatku sedih, ia akan memberikan sebagian besar uangnya pada seseorang yang baru ia kenal.Pada akhirnya, aku pun luluh dengan kegig

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 7

    Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall.Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan."Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil.Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah."Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.Saat di mall, Icha memilih bermain mob

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 8

    Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.Aku mengusap kepala Icha dan membiarkannya menangis di pelukanku. Setelah mereda, aku bawa Icha ke kamar, sepertinya ia ngantuk. Tak lama ia pun tertidur.Aku kembali menemui Ibu. Lalu aku bicara pada Ibu agar jangan berbuat seperti itu pada anak kecil."Apa sih kamu, Den. Kamu juga yang salah, jalan-jalan nggak ajak Ibu. Emang mereka doang yang butuh hiburan? Ibu juga pengen!" Ibu merajuk, aku kesal dibuatnya."Bu, aku hanya menghibur mereka. Sejak menikah, aku tak pernah mengajak Niar jalan-jalan. Anakku juga belum pernah kuajak keluar. Kalau ibu kan sering ku antar belanja. Dikit-dikit Ibu meminta diantar olehku," jawabku."Kamu sukanya membandingkan seperti itu. Ibu nggak suka digituin, Den. Kamu anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh-nyuruh kamu seperti itu."Aku merebahkan diri di sofa."Bu, intinya aku nggak suka Ibu membentak Icha. Kasian Icha udah berbuat baik pada Ibu, ma

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 9

    NiarBang Deni mengajakku jalan-jalan, hal yang mahal bagiku setelah menikah dengannya. Beberapa kali dulu aku mengajaknya jalan-jalan, tapi ia tak pernah bisa.Aku akui Bang Deni sekarang belajar dari kesalahannya. Tapi, hatiku tetap sakit dengan semua penolakannya dulu, kata-kataku yang tak pernah ia percayai. Untuk apa aku dijadikan istri, jika kata-kataku saja tak ia percaya.Ditambah masalah Ibu yang selalu menindasku dengan tatapan matanya. Sehingga, walau tak berkata pun, aku sudah trauma dengannya.Kalau Kak Ayu, dia selalu mengataiku malas. Aku bukannya malas, tapi aku memang butuh waktu untuk anak-anakku dan diriku sendiri."Syukur ya, Deni sudah berangkat. Tak ada yang melindungimu sekarang," ucap Ayu saat Bang Deni sudah berangkat dengan mobilnya.Aku diam menunduk, tak mau bertikai dengannya, yang ada dia selalu mematahkan kata-kataku."Pinter ya, kamu. Bisanya diem-diem aja, padahal hatinya lain." ucap Kak Ayu lagi

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 10

    Aku masih memikirkan cara untuk memasang kamera pengawas di rumahku tanpa ketahuan oleh anggota keluarga. Aku hubungi Niar agar dia memberitahukanku saat Ibu dan Kak Ayu pergi ke luar rumah. Tapi, dia tak mengerti dan sering lupa memberi tahukan padaku. [Maaf, Bang aku lupa. Padahal tadi mereka pergi.] [Kamu jangan sampai lupa-lupa terus. Gimana kamu di rumah? Apakah ibu bersikap baik padamu?] Lama sekali tak dijawab. Entah gawainya di simpan dimana, Niar tak pernah sigap menjawab pesan atau telepon dariku. Aku semakin bingung, karena sudah hampir hari Jumat lagi, waktunya aku pulang ke rumah. Pengawas kamera sudah dibeli oleh sahabatku, Bram. Tapi, ia tak punya celah untuk masuk rumahku. Ibu dan Kak Ayu bisa-bisa curiga padanya. "Coba Bram, kamu bicara dengan istriku. Karena dia yang bisa memberitahumu kalau rumah sedang sepi. Saat itu, kamu pasang di dapur dan di ruang tamu, Bram!" "Tapi, sepertinya aku nggak bisa. Karena kal

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 11

    Ibu meminta bicara padaku. Ia nampak gusar, mungkin mengenai usulku membawa Niar ke Psiater. "Den, kita lihat dulu ke depan. Kalau misalnya Niar menunjukkan gejala aneh, nanti ibu carikan psikiater untuknya. Alasannya, ibu tak pernah menganggap Niar ada gangguan. Gimana, Den?" Rasanya tak sependapat dengan hal itu, tapi aku akan mencoba mengikutinya. Lagian sekarang ada kamera pengawas, aku nggak terlalu khawatir. "Baik, bu. Aku akan mengamati perkembangan Niar ke depan. Jika dia semakin susah diajak bicara, aku kan langsung membawanya ke psikiater," ucapku pada ibu. "Okey." Ibu setuju dengan pendapatku. Pagi ini ku lihat Kak Ayu yang sibuk di dapur, ia dibantu oleh kedua anaknya, Farrel dan Ayesa. Terlihat Farrel mengepel lantai setelah Ayesa yang menyapunya terlebih dahulu. 'Baguslah,' pikirku saat melihatnya. Anakku Icha masih belum bangun, ia masih tertidur. Aku menemui Niar yang sudah terbangun dan salat subuh, karena ku b

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 12

    "Dek, kenapa Farhan ada di bawah? Kamu apain dia?" Aku berlari mengambil Farhan yang tengkurap di atas lantai."Tidaaak, aku tidak melemparnya. Aku kaget lihat dia di bawah." Niar bicara dengan pandangan lurus ke depan."Jadi, Farhan jatuh sendiri?""Tadi, ada yang ngintip di pintu! Ku tutup pintu. Dia jatuh!"Niar bicara dengan ketakutan. Aku mencoba menenangkannya, lalu mendudukkannya di bibir ranjang."Sebentar, aku ambilkan minum dulu ya, Dek!"Farhan masih ku gendong, ia tak menangis sedikit pun, hanya bergumam sesekali."Dek, ini minum dulu!"Niar mengambil air dari tanganku, lalu meminumnya. Setelah itu aku ambil, dan ku simpan di atas nakas."Bang, aku takut!" Niar berkata tanpa memandangku."Takut apa, Niar? Siapa yang ngintip? Di rumah ini hanya ada kita berempat.""Ada yang ngintip." Niar masih ketakutan."Ya udah, nanti Abang cari siapa orangnya."Aku mengambil gawai dari saku. Aku

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 13

    "Uuuuhhh ... Nggak enak!"Mata kami sama-sama ke arah Icha. Lalu, aku menoleh ke arah kak Ayu. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Wajahnya memerah, kak Ayu grogi saat aku perhatikan.Sebelumnya aku katakan pada Icha agar jangan berbicara tak baik pada makanan."Tapi kan ini nggak enak. Enak masakan Mama," katanya."Papa coba, ya!" Aku mencoba makanan itu.Rasanya memang tak karuan. Udang saos tiram keasinan, capcaynya tak berasa.'Kok bisa kak Ayu yang sudah punya jadwal masak memasak yang seperti ini,' ucapku dalam hati.Aku menatap lagi pada kak Ayu. Dia semakin gusar, keringat mengucur di wajahnya."Baiklah, kak Ayu ikut aku dulu!" perintahku pada kakak perempuanku ini. "Icha tunggu sama mama ya! Nanti papa pesankan makanan buat makan kita," kataku."Iya, Pa."Kak Ayu mengikutiku, tapi ibu mengekor di belakangnya. Ketika ku berbalik, aku menatap ibu."Kenapa ibu ikut? Mau bela kak Ayu?"

Latest chapter

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 47

    Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bab 46

    Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 45

    Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 44

    Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 43

    Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 42

    Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 41

    Bab 41 (UBIDI)Kami pergi ke dokter kandungan dengan menggunakan layanan umum, karena ingin mendapatkan USG, jadi harus umum.Setelah menunggu beberapa menit, kami dipanggil juga untuk masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu!""Sudah usia berapa kandungannya?" tanya Dokter Dian, nama yang tertera di mejanya."Sepertinya sudah 10 mingguan, Dok," jawab Niar memperkirakan."Oh, jadi selama ini belum diperiksa?" tanya Dokter."Iya, Dok. Karena keburu pandemi," jawab Niar."Baiklah, saya periksa dulu. Silahkan ke sini, kita lihat pakai USG ya, Bu!" Niar mengikuti Bu Dokter. Aku pun melihat dari kejauhan.Lalu dokter mengoleskan gel pada perut Niar sebelum sebuah alat digunakan untuk mendeteksi bakal calon bayi di dalam perut."Posisi calon bayi Ibu sudah bagus, benar usianya sekitar 10 Minggu."Lalu dokter menggerakkan-gerakkan alat itu di atas perut istriku."Mudah-mudahan sehat selalu, ya sampai melahirkan nant

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 40

    "Kamu simpan parac*tamol nggak?" tanyaku pada Niar."Ada, tapi udah beberapa bulan. Setauku nggak boleh disimpan lama, Bang. Abang tolong belikan lagi saja di apotek," usulku."Iya, Dek. Aku pergi sekarang, ya! Sementara aku pergi, tolong kompres dahinya!" Aku meminta pada Niar."Ya, Bang. Aku mau ambil airnya dulu."Kami sama-sama keluar dari kamar Icha. Lalu aku langsung menyalakan mesin mobil, tak lama mobil meluncur.Aku mencari apotek yang masih buka. Karena covid, pemerintah membatasi jam operasional toko.Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.'Ya Allah, mudahkanlah aku mencari apotek yang masih buka, obatnya pun ada,' gumamku.Sepanjang jalan, toko dan apotek tutup. Lalu aku mengingat kalau di rumah sakit ada apotek juga.Aku mendatanginya dan langsung menanyakan obat penurun panas."Mbak, ada penurun panas anak?""Ada. Yang ini, ya?""Iya, berapa Mbak?""L

  • Uang Belanja Istriku dirampas Ibuku   Bagian 39

    "Assalamualaikum. Deni!" Bang Aldo mengetuk pintu."Waalaikumsalam." Aku mempersilahkan masuk.Saat Bang Aldo masuk, tiba-tiba dia kaget ada Kak Ayu di sana."Loh kenapa kamu di sini?" tanya Bang Aldo."Aku sedang mengunjungi adikku, memang nggak boleh?" Kak Ayu membulatkan matanya.Bang Aldo malah menyeringai."Jangan-jangan kamu mau pinjem uang sama Deni?" Bang Aldo tetap menyeringai dan menoleh pada Kak Ayu.Kak Ayu akhirnya diam, mungkin tak mau cari ribut dengan Bang Aldo."Ada apa ya, Bang?"Bang Aldo melihat ke arah Kak Ayu."Aku mau minta tolong padamu, Deni.""Ada apa, Bang?""Bujuklah perempuan di sebelahku ini untuk membolehkan aku bertemu Farrel dan Ayesa. Sejak perceraian kemarin, aku tak boleh bertemu mereka lagi," kata Bang Aldo."Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, asal di rumahku. Kamu tak boleh membawa mereka pergi. Apalagi ke rumah perempuan itu!" Kak Ayu bicara sangat

DMCA.com Protection Status